Mungkin judulnya agak bombastis. Tapi laiknya ibadah shalat –bilamana
anda muslim atau muslimah- yang dilakukan sehari-hari,menulis bagi seorang
jurnalis adalah "makanan" sehari-hari juga. Puncak dari aktivitas kepenulisan
itu, saya yakin, seribu persen jurnalis ingin menulis sebuah buku. Entah
apapun temanya,model bagaimanapun tulisannya. Lebih-lebih,jika tulisan itu
disponsori langsung oleh penerbit. Syukur-syukur penerbit besar.
Bagi seorang pemilik modal gede, menulis buku bukanlah
persoalan besar. Jika ia seorang jurnalis, tinggal rajin menulis di medianya,
kumpulkan,jadilah semacam bunga rampai. Kalau ia owner sebuah media, dan tidak
bisa menulis, tinggal menyuruh penulis bayangan,jadilah buku atas nama dirinya.
Atau jika punya ide, dan ingin menuangkannya dalam buku, gerakan semua sumber
keuangan yang ia miliki,terwujud juga buku yang diidamkan.
Lain cerita bagi jurnalis kroco,macam saya. Laiknya ribuan
teman jurnalis lain di Jakarta, saya pun mengidamkan punya buku. Bukan sekedar
untuk memperbaiki kesejahteraan hidup. Bukan. Buku menjadi warisan berharga
bagi anak cucu, atau sebagai “jejak” bahwa kita pernah berkecimpung di dunia
tulis menulis. Saya tak ingin, kematian saya hanya dikenang dan diunggah lewat
pesbuk teman-teman, atau sekedar kata RIP di status Blackberry. Sebulan
kemudian terlupakan, tanpa ada karya yang masih bisa dibaca.
Beberapa kali tema saya ajukan ditolak penerbit. Saya mencoba
menulis novel, tapi belum selesai juga lantaran kesibukan kerja. Satu ketika, saya aktif menulis status di Blackberry, menawarkan diri untuk menulis apa saja,bagi siapa saja. Seorang teman dari penerbit Puspaswara membacanya. Kami lantas terlibat diskusi intens, tema apa yang kira-kira sedang in. Kebetulan sedang booming akik. Usai terjadi kesepakatan, agenda berikutnya mewujudkannya.
Kebetulan paman saya di kampung mengabarkan butuh biaya pembangunan Taman Pendidikan Al Qur’an. Saya tak mau merendahkan diri dengan meminta-minta bantuan pada orang-orang kaya Jakarta. Saya berfikir, dengan menulis buku,dari royalti yang saya dapat bisa sedikit membantu paman. Ini yang membuat "baling-baling" kreativitas saya semakin berputar kencang.
Kebetulan paman saya di kampung mengabarkan butuh biaya pembangunan Taman Pendidikan Al Qur’an. Saya tak mau merendahkan diri dengan meminta-minta bantuan pada orang-orang kaya Jakarta. Saya berfikir, dengan menulis buku,dari royalti yang saya dapat bisa sedikit membantu paman. Ini yang membuat "baling-baling" kreativitas saya semakin berputar kencang.
Persoalan pertama adalah keterbatasan waktu. Karena booming
akik tidak boleh hilang,ketika buku saya harus terbit. Saya sanggupi. Hampir
selama saya riset data di internet dan di lapangan, tiap hari selalu kurang
tidur. Data terus menerus minta di up date. Belum lagi foto, yang juga harus
saya penuhi sendiri. Seorang teman,fotografer profesional, menolak bergabung
lantaran tidak ada uang DP yang masuk duluan.Saya bisa memaklumi,karena kerja
sekarang semuanya diukur dengan uang dan uang.
Lebih tragis lagi, order menulis biografi terpaksa batal. Padahal uang panjar sudah di tangan. Si pengorder ingin buru-buru. Tapi saya minta waktu, sampai naskah buku akik yang bisa di share untuk khalayak lengkap. Karena tak mau ditunda, kerjasama menulis biografi kandas. Saya ikhlas.
Tentu ini bukan pengalaman pertama saya menulis buku.
Sebelumnya saya pernah terlibat pembuatan biografi seorang tokoh. Beliau adalah mantan panglima pasukan gerak cepat era Bung Karno. Pernah juga
ikut menggarap proyek buku SIKIB (solidaritas istri kabinet Indonesia bersatu).Lain
waktu, tulisan saya di media ditawar untuk dibukukan. Tapi karena kendala
birokrasi, tawaran itu tidak bisa terealisasi. Karya-karya itu, tidak dijual
secara komersial, tak aneh, impian menulis buku masih tetap berkecamuk.
Jika akhirnya buku soal akik yang saya tulis ini “menyimpang”
dari pekerjaan sehari-hari saya sebagai wartawan hiburan, point penting
sesungguhnya adalah karya ini terwujud dengan perjuangan yang sangat keras.
Semua mafhum,tidak mudah meyakinkan penerbit,untuk orang dengan level seperti
saya. Di sisi lain, buku ini juga menjadi pemicu, untuk berkarya lebih baik
lagi, dengan tema-tema yang lain. Sederet ide coba saya wujudkan, siapa tahu
ada lagi yang nembus ke penerbit.
Pada akhirnya menjadi jurnalis bukan diukur dari posisi apa
dia di kantor,seberapa pandai dia berbicara dan seberapa piawai ia menjilat
atasan di kantor agar bisa terus menduduki jabatan empuk. Menulis berkualitas adalah produk yang tidak
bisa dinafikan sebagai wujud intelektualitas, walau sang jurnalis hanya
menduduki jenjang sebagai reporter biasa. Dan menulis buku adalah puncak “ibadah”,
sebagaimana puncak-puncak yang lain yang masih memungkinkan untuk digapai.Misalnya
meraih penghargaan Adinegoro.Syukur-syukur bisa menyabet Pulitzer. Tapi ini cuma becanda, karena satu hal yang mustahal. Bukan begitu?hehehe...