Daftar Isi

Saturday, May 16, 2015

Menulis Buku Sebagai Puncak “Ibadah” Seorang Jurnalis



Mungkin judulnya agak bombastis. Tapi laiknya ibadah shalat –bilamana anda muslim atau muslimah- yang dilakukan sehari-hari,menulis bagi seorang jurnalis adalah "makanan" sehari-hari juga. Puncak dari aktivitas kepenulisan itu, saya yakin, seribu persen jurnalis ingin menulis sebuah buku. Entah apapun temanya,model bagaimanapun tulisannya. Lebih-lebih,jika tulisan itu disponsori langsung oleh penerbit. Syukur-syukur penerbit besar.

Bagi seorang pemilik modal gede, menulis buku bukanlah persoalan besar. Jika ia seorang jurnalis, tinggal rajin menulis di medianya, kumpulkan,jadilah semacam bunga rampai. Kalau ia owner sebuah media, dan tidak bisa menulis, tinggal menyuruh penulis bayangan,jadilah buku atas nama dirinya. Atau jika punya ide, dan ingin menuangkannya dalam buku, gerakan semua sumber keuangan yang ia miliki,terwujud juga buku yang diidamkan.

Lain cerita bagi jurnalis kroco,macam saya. Laiknya ribuan teman jurnalis lain di Jakarta, saya pun mengidamkan punya buku. Bukan sekedar untuk memperbaiki kesejahteraan hidup. Bukan. Buku menjadi warisan berharga bagi anak cucu, atau sebagai “jejak” bahwa kita pernah berkecimpung di dunia tulis menulis. Saya tak ingin, kematian saya hanya dikenang dan diunggah lewat pesbuk teman-teman, atau sekedar kata RIP di status Blackberry. Sebulan kemudian terlupakan, tanpa ada karya yang masih bisa dibaca.

Beberapa kali tema saya ajukan ditolak penerbit. Saya mencoba menulis novel, tapi belum selesai juga lantaran kesibukan kerja. Satu ketika, saya aktif menulis status di Blackberry, menawarkan diri untuk menulis apa saja,bagi siapa saja. Seorang teman dari penerbit Puspaswara membacanya. Kami lantas terlibat diskusi intens, tema apa yang kira-kira sedang in. Kebetulan sedang booming akik. Usai terjadi kesepakatan, agenda berikutnya mewujudkannya.

Kebetulan paman saya di kampung mengabarkan butuh biaya pembangunan Taman Pendidikan Al Qur’an. Saya tak mau merendahkan diri dengan meminta-minta bantuan pada orang-orang kaya Jakarta. Saya berfikir, dengan menulis buku,dari royalti yang saya dapat bisa sedikit membantu paman. Ini yang membuat "baling-baling" kreativitas saya semakin berputar kencang.

Persoalan pertama adalah keterbatasan waktu. Karena booming akik tidak boleh hilang,ketika buku saya harus terbit. Saya sanggupi. Hampir selama saya riset data di internet dan di lapangan, tiap hari selalu kurang tidur. Data terus menerus minta di up date. Belum lagi foto, yang juga harus saya penuhi sendiri. Seorang teman,fotografer profesional, menolak bergabung lantaran tidak ada uang DP yang masuk duluan.Saya bisa memaklumi,karena kerja sekarang semuanya diukur dengan uang dan uang.

Lebih tragis lagi, order menulis biografi terpaksa batal. Padahal uang panjar sudah di tangan. Si pengorder ingin buru-buru. Tapi saya minta waktu, sampai naskah buku akik yang bisa di share untuk khalayak lengkap. Karena tak mau ditunda, kerjasama menulis biografi kandas. Saya ikhlas.

Tentu ini bukan pengalaman pertama saya menulis buku. Sebelumnya saya pernah terlibat pembuatan biografi seorang tokoh. Beliau adalah mantan panglima pasukan gerak cepat era Bung Karno. Pernah juga ikut menggarap proyek buku SIKIB (solidaritas istri kabinet Indonesia bersatu).Lain waktu, tulisan saya di media ditawar untuk dibukukan. Tapi karena kendala birokrasi, tawaran itu tidak bisa terealisasi. Karya-karya itu, tidak dijual secara komersial, tak aneh, impian menulis buku masih tetap berkecamuk.

Jika akhirnya buku soal akik yang saya tulis ini “menyimpang” dari pekerjaan sehari-hari saya sebagai wartawan hiburan, point penting sesungguhnya adalah karya ini terwujud dengan perjuangan yang sangat keras. Semua mafhum,tidak mudah meyakinkan penerbit,untuk orang dengan level seperti saya. Di sisi lain, buku ini juga menjadi pemicu, untuk berkarya lebih baik lagi, dengan tema-tema yang lain. Sederet ide coba saya wujudkan, siapa tahu ada lagi yang nembus ke penerbit.

Pada akhirnya menjadi jurnalis bukan diukur dari posisi apa dia di kantor,seberapa pandai dia berbicara dan seberapa piawai ia menjilat atasan di kantor agar bisa terus menduduki jabatan empuk.  Menulis berkualitas adalah produk yang tidak bisa dinafikan sebagai wujud intelektualitas, walau sang jurnalis hanya menduduki jenjang sebagai reporter biasa. Dan menulis buku adalah puncak “ibadah”, sebagaimana puncak-puncak yang lain yang masih memungkinkan untuk digapai.Misalnya meraih penghargaan Adinegoro.Syukur-syukur bisa menyabet Pulitzer. Tapi ini cuma becanda, karena satu hal yang mustahal. Bukan begitu?hehehe...


   

Sunday, April 19, 2015

Carita,Menpora dan Sopir Tua



“Besok ikut saja ke Carita.Bisa khan?”kata staf khusus Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi, menawarkan perjalanan weekend di akhir pekan, awal April 2015 lalu. Kata sang stafsus, kebetulan menpora mau berlibur.  Saya bisa nebeng di bus,kalau mau ngobrol panjang lebar. Sebetulnya, soal ikut dan tidak ikut itu hal biasa. Tapi perjalanan ke Carita yang cukup jauh, dengan jatah waktu hanya sehari untuk wawancara, membuat saya harus berfikir keras.

Saya minta jaminan, ada mobil yang mengantar ke Jakarta hari itu juga. Soalnya saya ogah nginep. Si stafsus setuju. Oke,deal. Pagi-pagi,saya meluncur ke Kemenpora di Senayan, Jakarta. Lantaran diberitahu maksimal jam 9 pagi sudah berangkat, sekitar pukul  7 saya sudah keluar rumah. Saya berfikir positif, semua akan on time. Jam 9 langsung cabut. Perkiraan kasar, maghrib sudah sampai lagi di Jakarta. Tapi begitu sampai di Kemenpora, nyatanya saya harus menunggu hingga pukul 11.00.

Ada tiga bus terparkir milik kementerian pemuda dan olahraga. Rupanya agenda menpora hari itu ia akan mengajak para stafnya berlibur. Selama ini,lantaran kesibukan kerja, Imam tak cukup akrab dengan orang-orang yang telah membantunya. Moment libur panjang akhirnya dipakai. Saya sempat kagok,karena teman saya si stafsus ternyata tidak ikut.”Hubungi bagian protokol mas. Dia yang ngatur,”katanya via SMS.
Namun ada yang membuat saya was-was. Ternyata Pak Yudi, protokol kemenpora, tidak bisa menjamin ada mobil yang bisa membawa saya pulang habis wawancara. Beliau menyerah.Pak Yudi malah menyangka, saya bakal ikut rombongan selama tiga hari di Carita. Berangkat Jum’at pulang Minggu. “Nanti kita kasih kamar hotel,”ujarnya. Hadeuh...

Karena saya sudah pegang komitmen sang stafsus, saya putuskan ikut. Nanti kalau tidak ada mobil yang bisa mengantar ke Jakarta gampang. Saya tagih saja janjinya. Rombongan berangkat. Tiga bus,beberapa mobil, berjalan merayap menembus kemacetan jalan menuju Banten. Kami sempat mampir ke makam Sultan Ageng Tirtayasa di Kawasan Banten lama. Rupanya menpora mau ziarah. Dalam perjalanan yang demikian tersendat-sendat, harapan untuk pulang sore pun sirna. Bagaimana bisa?Jam 14.00 saja masih di area makam.

Kelar Jumatan, rombongan di arahkan ke rumah makan. Sejak di Jakarta, saya memang tidak pernah melihat menpora. Rupanya ia pakai mobil lain, yang dikawal petugas. Begitu terlihat di restoran, tanpa pikir panjang saya todong. Pokoknya sedot semua bahan. Ngobrol disitu, biar misi segera tuntas. Saya menangkap kesan, Imam Nahrawi belum lepas dari kultur Nahdlyin-nya yang egaliter, suka guyon dan tidak ngeboss. Beda jauh dengan koleganya yang sama-sama dari PKB dan juga jadi menteri.

Usai wawancara, dalam perjalanan menuju Carita, baru kemudian saya tahu, tujuan sebenarnya adalah pantai Anyer. Kami masuk ke Hotel Marbella, Anyer, saat sore hampir menjelang. Foto-foto pak menteri dan keluarganya belum dapat banyak. Maka saat matahari mulai tenggelam di Pantai Anyer,  menpora yang sedang berenang dengan empat anaknya di kolam renang hotel kami kejar. Di situ,  kembali kami berinteraksi. “Ayo foto-foto lagi bro,”kata menpora pada fotografer. Jepret,jepret,jepret.

Nah,ini yang kemudian saya khawatirkan. Sesuai janji, mestinya ada mobil yang bakal membawa kami (saya dan fotografer) ke Jakarta. Tapi telepon sang stafsus tak bisa dihubungi. Saya juga lobi ajudan menpora. Jawabannya sama, tidak ada mobil yang bisa pulang malam itu. Sementara fotografer sudah minta pulang karena bininya sakit. Di rumah sendirian. Takut kenapa-napa. Busyet dah. Dalam kondisi serba tak menentu, tiba-tiba ada telepon masuk.

“Halo mas...saya asistennya Mas Reza, staf khusus pak menteri,”kata suara di seberang. Rupanya stafsus juga sedang berlibur di tempat lain.  Makanya ia tak ikut ke Anyer. Solusi lantas di cari. Saya disuruh naik taksi, atau menunggu ada mobil rental. Saya pilih menunggu. Ajudan menpora lantas yang sibuk nyari mobil. Malam hampir pukul 21.00 tentu susah mencari mobil rental di daerah terpencil seperti Anyer. Tak heran, kami menunggu cukup lama,dengan perasaan tak menentu.

Sekitar jam 22.00 mobil datang. Seorang pria berusia lanjut menyapa kami dengan ramah. Ia membuka pintu sebelum saya masuk, dan segera memegang kemudi. Pak sopir mengaku, mobil yang dikendarainya milik keponakannya, yang bekerja di Hotel Marbella. Ia biasa membawa sewa dari Anyer sampai Jakarta. Bahkan pak tua yang masih gesit itu mengaku sudah biasa menjelajah pulau Jawa,membawa mobil rental.”Yang penting bapak tidur saja. Nanti sampai kantor menpora, saya bangunin,”kata pak tua, memanggil saya “bapak”.

Tapi nanti dulu. Sepanjang perjalanan saya bukannya bisa tidur nyaman. Sopir tua ini membawa mobilnya bak Michael Schumancer menggenjot Ferrari. Gila. Saya bahkan kerap menahan nafas, takut si bapak yang juga penggemar akik ini tiba-tiba ngantuk, mobil oleng dan brak, mobil nabrak. Mampuslah saya yang duduk di samping sopir.Padahal pertama kali saya masuk mobil, pak sopir sudah saya wanti-wanti jangan ngebut.

Hampir dua jam nyali saya menciut. Perasaan baru tenang, setelah masuk wilayah Gelora Bung Karno. Meski masih ngebut, saya yakin kalau pun ngantuk tidak bakal celaka. Minimal sudah dekatlah. Perjalanan menegangkan berakhir, ketika mobil tiba di samping kemenpora. Saya turun, dan pesan dengan sungguh-sungguh pada pak sopir tua.”Hati-hati,pak. Pelan-pelan saja ke Anyernya.Takut ngantuk,”. Pak tua mengangguk sambil tersenyum...

Sunday, April 5, 2015

SMS,BBM dan WA Pak Menteri



Jujur saya sering merasa kepontal-pontal mengikuti perkembangan teknologi. Dulu, saat Blackberry belum menjamur, menghubungi teman atau nara sumber,cukup dengan mengirim pesan pendek (SMS). Kala itu, merk Blackberry hanya saya dengar ketika Oprah Winfrey  secara mengejutkan membagi-bagikan hadiah pada penonton acara yang dipandunya; The Oprah Winfrey Show. Sekilas saja. Tanpa pernah terpikir, jika benda ajaib itu akhirnya mendarat ke Indonesia.

Setelah musim Blackberry menjamur, pesan pendek saya menjadi kadaluarsa. Pelan-pelan, mereka yang berduit mengganti gadgetnya dengan Blackberry. Karena harganya relatif mahal, saya tentu saja tak serta merta bisa membeli. Tapi tiap kali meminta nomor pada kenalan baru, selalu di beri PIN,dus berarti saya harus menghubunginya lewat Blackberry Messenger (BBM). Duh, rasanya capai banget, untuk mengikuti perkembangan teknologi yang berlari secepat kereta Shinkansen. 

Untung kantor memberi keringanan memiliki  Blackberry, dengan cicilan terjangkau. Lewat teknologi BBM inilah, saya mengenal Saleh Husin, politisi Hanura, yang kini jadi menteri perindustrian. Nama pria asal NTT ini terpampang di daftar teman Blackberry saya, meski kami jarang bertegur sapa. Bahkan saat kejayaan Blackberry pelan-pelan tergerus Iphone, sosok beliau masih setia bertengger di gadget saya. Belakangan, saya mulai was-was, lantaran pelan-pelan orang -orang berduit sudah tak nyaman berinteraksi lewat BBM.

Pertimbangannya, BBM sering ngadat. Ngirim hari ini,bisa besok baru nyampai. Kemudian lahirlah teknologi baru, WhatsApp. Berbondong-bondong orang beralih memakai aplikasi yang kerap disingkat WA ini. Blackberry saya sebetulnya bisa dipakai untuk WA. Tapi lantaran semakin menua, satu ketika WA-nya tak bisa diunggah. Tak ayal,kadang jika bertemu orang baru, dan meminta PIN BB, jawaban sudah tak memakai BB tapi beralih ke WA, membuat saya jadi melongo. Ujung-ujungnya, saya kembali ke SMS.

Nah,gara-gara soal SMS, BBM dan WA ini, buruk sangka sempat menghinggapi ketika tiba-tiba nama Pak Saleh Husin tak muncul di BB saya. Kebetulan ia men-delcon saya pas saat Presiden Jokowi mengangkatnya jadi menteri perindustrian. Saya sempat berfikir, waduh, apa beliau takut ya saya mintain proyek atau melamar jadi staf khususnya. Saya jadi sensi. Bukan apa-apa. Sepanjang saya kenalan dengan para pejabat negeri ini, pantang bagi saya untuk colak colek atau sok kenal sok dekat, dengan motivasi tertentu. 

Mungkin saya lugu. Tapi memang saya goblok untuk soal ini. Saya selalu bertahan dengan prinsip, hidup apa adanya,kalau perlu jangan jadi beban orang lain. Saya masih ingat,bagaimana seorang calon wakil gubernur begitu baik hati. Bolak balik memanggil agar diliput. Saat sudah duduk dan kini naik jadi gubernur, betapa susah saat dihubungi sekedar untuk say hello,apalagi meminta waktu untuk wawancara. Namun lantaran sikap saya yang easy going, saya woles saja. 

Buruk sangka terhadap pak menteri yang sempat bercokol itu akhirnya sirna seketika,  saat saya mengunjungi rumahnya di bilangan Buncit, Jakarta Selatan, awal April 2015 lalu. Tanpa saya tanya, beliau bilang sekarang memakai WA. “BB sudah nggak musim lagi,”katanya. Sejak pagi hingga hampir dzuhur berinteraksi dengan beliau, semakin menyadarkan diri saya, jika sosok Saleh Husin memang jauh dari pikiran negatif saya.

Tentu saja saya tak perlu secara gamblang mengungkap kelebihan-kelebihan beliau secara personal, karena nanti dianggap subyektif. Tapi pesan penting dari semuanya, teknologi membuat kita semakin terbantu dalam berbagai hal. Namun di sisi lain, ada sisi sentimentil yang kerap timbul jika kita tak hati-hati menempatkannya. Okelah, hak setiap orang untuk menunjukan level sosial atau seberapa jauh ia melek teknologi, ketika setiap saat mengikuti trend. Tapi sebetulnya, bukan di situ substansi sebenarnya dari sebuah penciptaan teknologi.

Pada akhirnya, semua berpulang ke diri kita masing-masing. Ada pekerja dengan penghasilan pas-pasan, yang rela kredit Iphone hanya demi menunjukan diri jika ia berselera tinggi. Tapi banyak juga konglomerat tajir, yang tetap setia dengan gadget Nokia jadul, dengan layar monocrom, lantaran fungsi komunikasi sebenarnya ya sekedar  menerima dan mengirim telepon. 

Tak heran,jika tak disikapi dengan bijak, jatuhnya mungkin seperti yang saya alami. Orang sebaik Saleh Husin, sempat saya curigai,gara-gara saya di delcon. Padahal mah problemnya sederhana aja, beliau hanya beralih dari BBM ke aplikasi WA. So, tolong orang-orang pinter IT, jangan bikin kita jadi kepontal-pontal mengikuti imajinasi liar kalian. Tapi mungkinkah?