Daftar Isi

Sunday, November 9, 2014

TK A,TK B dan TKW kita


“Ciaaaaaaaat!!!”.Seperti pendekar sakti Sungai Kuning, Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri melompati pagar sebuah penampungan Tenaga Kerja Wanita (TKW) di daerah Tebet, Jakarta Selatan. Konon pak menteri memilih melompat,lantaran tidak segera dibukakan pintu oleh sang empunya Penyalur Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI). Saat melihat fotonya di media masa, spontan saya ingat aksi pendekar di cerita silat karangan Asmaraman S. Kho Ping Ho, yang sering saya baca waktu SMP. Sang pendekar,eh pak menteri seperti memiliki ilmu  gin kang alias ilmu meringankan tubuh.Wusss....

Mungkin saya lebay ya?Tapi pak menteri memang pantas gusar. Apalagi belum lama dua TKW kita meninggal secara  mengenaskan di Hongkong. Sumarti Ningsih dan Seneng Mujiasih terbunuh dengan luka tusukan yang diduga dilakukan seorang bankir asal Inggris. Saya tak mau membahas apa profesi keduanya. Namanya orang sudah meninggal, yang baik-baik sajalah yang kita ungkit. Ora ilok,kata orang Tegal. Walau saat melihat foto-foto Ningsih di akun jejaring sosialnya, sungguh terlihat ‘ngeri-ngeri sedap’.

Sebelum kedua jenasah TKW kita itu dipulangkan dan dikebumikan,rasa-rasanya bibir kita semua sudah dower, untuk mengingatkan betapa acakadutnya proses rekrutmen dan pengiriman TKW kita. Dari umur yang dituakan,pembinaan yang asal-asalan,sampai penyelundupan TKW, yang kalau apes malah kejebur di laut jadi makanan ikan teri. Dari proses itu, hasilnya TKW kita kalau tidak membunuh ya terbunuh. Derita paling umum adalah dihamili, atau kalau beruntung seperti Darsem. Dapat pembebasan hukuman pancung karena bayar denda, sekaligus menerima duit 1 milyar sumbangan pemirsa Tvone. Hassyiiik....

Memang tak semua TKW bercitra negatif. Saya pernah kenalan dengan seorang perempuan muda, yang  sedang liputan Agnes Monica (sekarang disingkat jadi Agnes MO,gara-gara lagi ngetrend singkat-singkatan). Ngobrol punya ngobrol, ternyata dia mengelola sebuah tabloid khusus TKI di Hongkong dan Taiwan. Belum lama berselang, ketika main di sebuah toko buku, saya juga lihat ada buku yang ditulis seorang  TKW yang kemudian beralih profesi  menjadi motivator sukses. Luar biasa.

Pekerjaan mereka awalnya sama;ngosek WC. Tapi lantaran ingin maju, mereka belajar, dan berhasil. Masih ingat kasus Soleh Mahmud alias Solmed, yang berseteru dengan jamaah pengajian di Hongkong, gara-gara pasang tarif selangit. Nah,itu juga jadi bukti, diluar mereka bekerja sebagai asisten rumah tangga, sesekali juga mereka  menyantap hidangan rohani, walau mungkin tidak sering. Tapi paling tidak,itu menggambarkan, mereka adalah TKW yang baik dan tidak sombong,eh, maksud saya ingin memperbaiki akhlak.

Soal TKW yang nyambi melayani pria, tentu  tak ada bukti yang valid. Paling gosip-gosip, yang jika digosok makin sip. Mungkin dari melihat penampilan mereka di Victoria Park,sebuah taman di pusat Kota Hongkong tempat para TKW pada kongkow saat weekend, lantas muncul cerita itu. Soalnya di situ dandanan mereka aduhai sekali. Prilly Latuconsina atau Bunga Citra Lestari pasti lewat. Lihat saja, dari celana super  pendek hingga bokongnya kelihatan, sampai berani mentato tubuh dengan gambar aneka rupa. Kadang-kadang juga terlihat para TKW itu ditenteng bule (rantang kali ditenteng,hehehe). Tapi semua hanya kabar burung, sebelum akhirnya kejadian tragis itu muncul.

Saya pribadi ingin, sudahlah, hentikan saja pengiriman TKW,apalagi yang muda dan montok (hmmm...).  Namun jika ini sulit, ya minimal ada pembinaan intensif dan terukur, jangan cuma sekedar dilatih membuat ceplok telor dan memotong lontong. Sebab saya fikir, para TKW itu juga tak jauh beda dengan anak-anak TK A dan TK B. Jangan marah dulu. Maksud saya, jika anda memiliki anak yang masih duduk di bangku TK A dan TK B, pasti merasa repot untuk menjelaskan segala sesuatu yang baru di luar rumah.

Anak saya misalnya, paling rewel bertanya ini itu. Sebagai orang tua, saya harus menjelaskan. Ini biar anak saya tidak kecemplung “got”, yang terjadi karena ketidaktahuannya. Dalam kasus para TKW, mereka itu mayoritas berasal dari desa dan berpendidikan paling banter SMA.  Kadang ada yang berasal dari pucuk gunung, dimana capung saja tak kuat naik saking jauh dan terpencil tempatnya. Berani taruhan, dunia mereka ya sekitar kasur,sumur dan dapur. Boro-boro pernah ke Taiwan atau Hongkong. Di lepas ke Senayan City saja mungkin sudah linglung.

Dari habitat wong ndeso, laiknya anak TK A atau TKB kita yang belum tahu situasi luar rumah, tentu berisiko, ketika akhirnya harus dilepas ke kota metropolitan seperti Hongkong. Apalagi dengan gaji gede,melebihi gaji sarjana di Indonesia. Hakul yakin, mereka akan mengalami gegar budaya. Bergaul dengan teman-teman dari berbagai lintas negara, melihat orang-orang baru bertampang seperti Shaheer Sheikh yang jadi Arjuna di Mahabbarata  atau Jet Lee (bukan Jet pump lho ya?). Siapa yang kuat iman?Sudah begitu,jauh pula dari ustaz dan orang tua.

Kondisi ini diperparah dengan sifat orang kita yang snob –suka pamer. Bukan dengan mencantumkan stiker happy family di kaca belakang mobil, agar seluruh dunia tahu itu mobil kita.Bukan. Tapi para TKW ketika berangkat sudah mendapat beban psikologis harus kaya. Harus kirim uang buat bangun rumah, sumbang mushola, sembelih wedus saat Idul Adha atau beli sawah dan pekarangan yang luas. Ya mungkin itu bisa terwujud kalau dapat majikan baik. Kalau tidak?

Mereka yang masih ingat ajaran di madrasah bakal bertahan dengan idealisme,dan berpegang teguh pada nilai-nilai agama. Namun saat tawaran untuk nyambi melayani bule dengan harga menggiurkan datang, sementara tekanan untuk terlihat kaya kerap menghimpit,jangan salahkan jika pertahanan iman mereka ambrol.  Di sinilah,maksud saya, peranan para psikolog,agamawan, atau kaum moralis, untuk memberi “bekal” pada mereka sebelum  bekerja di negeri tetangga, laiknya kita memberi “bekal” anak balita kita sebelum  ke TKA atau TKB.

Kasus Hongkong menjadi “warning” serius, jangan sampai TKW  negeri kita di identikan dengan kemesuman belaka.  Coba kalau anda lihat perempuan Uzbek yang bekerja di  Jakarta. Atau maaf, perempuan-perempuan muda yang berasal dari Indramayu yang bekerja di warem (warung reman-remang) sepanjang Parung,Bogor.  Pasti konotasinya negatif. Padahal saya yakin, banyak perempuan Uzbek dan Indramayu yang baik-baik, yang stay di Jakarta. Tapi karena nila setitik, rusak susu sebelanga.

Hak para TKW untuk mencari nafkah di mana suka. Cuma mbok ya jangan sektor pembantu rumah tangga terus yang diperbesar “ kuotanya”.  Ini tugas pemerintah barulah. Antara lain, ya dengan lompatan gin kang pak menteri  tadi. Para TKW juga mesti sadar, bahwa  bekerja diluar negeri itu untuk memuliakan kehidupan. Yang masih cantik dan bohay, harus mikir satu saat akan menikah dengan baik-baik. Yang sudah janda dan punya anak,ingat, anak itu harus sekolah tinggi dan butuh biaya.

Sementara bagi yang terpaksa meninggalkan suami, buat apa bermain api dengan orang Arab, India, Hongkong atau bule, jika akhirnya harus di mutilasi atau pancung? Bersyukur  kalau jasad kita masih utuh. Jika dimasak,terus ditiriskan dan dikasihkan kucing, sudah kita kehilangan nyawa, keluarga juga malu. Bekerja saja yang benar. Jika dipersulit atau kesulitan, ya, segera kabur ke KBRI. Atau seperti tetangga saya,yang berpegang prinsip, seenak-enaknya hujan emas di negeri orang, lebih enak lagi di negeri sendiri meskipun hujan batu. Pendek kata, rejeki toh Allah yang atur. Jadi ngapain dikhawatirkan, sampai maksain diri jadi TKW. Setuju monggo,nggak setuju barbel melayang,hehehe...