Malam itu beradalah saya di sebuah negeri yang terkenal gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta
raharja. Sebuah negeri yang kaya sumber daya alam, yang memiliki iklim tropis
nan bagus, dan penduduk yang ramah. Tapi malam itu, beberapa hari sebelum Bulan
Ramadhan tiba, suasana seluruh negeri mulai tegang. Tak ada lagi senyum ramah,
sapa bersahabat dan tawa kecil yang menjadi penanda keluhuran jiwa. Usai debat
capres ke sekian, malam itu yang berseliweran adalah kalimat olok-olok, debat
kusir, kampanye hitam dan upaya saling jatuh menjatuhkan antar sesama anak
negeri.
Memang sempat muncul sikap saling memaafkan, atau minimal
meminta maaf, ketika menyadari jiwa-jiwa yang kotor akan memasuki bulan suci.
Beberapa tulus terucap. Beberapa hanya meneruskan broadcast message, tanpa
semangat dan kebesaran jiwa. Mungkin hanya basa basi belaka. Tapi setelah itu,
kita kembali mengasah kata-kata setajam mungkin. Menunggu pertempuran dahsyat
di 9 Juli, lantaran suasana panas tak kunjung mereda akibat polah para elit
politik kita. Hampir dua minggu berselang, Tuhan pun tak pernah tersenyum
–karena saling kutuk dan bongkar aib begitu massif terjadi di negeri ini.
Para jenderal seperti anak SMA. Pendidikan Lemhanas dan
Sekolah Staf dan Komando yang pernah mereka jalani,tinggal sebatas formalitas
untuk naik pangkat belaka. Politisi sipil tak jauh beda. Kita seperti berada di
pusaran permusuhan, terperangkap dalam sikap pro dan kontra, dikipas terus
menerus oleh tayangan-tayangan berita. Kita beropini sesuai imajinasi. Kadang
tanpa bukti, demi menegaskan dan memaksakan apa yang kita pikirkan. Tak ada
lagi ruang dialog terbuka. Hilang pula rasa toleransi.
Memang sejenak kenaikan tensi itu mereda, saat piala
dunia tiba. Bisa dibilang, ini hikmah terselubung. Tuhan mungkin mengaturnya secara arif,
lantaran semua tak pernah tahu jika para capres dan cawapres yang bertarung
ternyata hanya ada dua kubu. Laksana sebuah perjalanan panjang di gurun pasir
yang gersang, masih ada oase tempat kita meletakan penat. Tempat sejenak
menyeruput kesegaran mata air dan mengalihkan perhatian. Semua berharap ini
menjadi langkah awal kita mulai mensucikan jiwa di bulan puasa.
Jika pusat pelacuran Dolly di Surabaya di tutup sebagai
makna pemberangusan nafsu hina memasuki bulan puasa, elit-elit politik Jakarta
mestinya belajar untuk menutup mulut, demi kesucian bulan agung itu. Sebab,
puasa adalah ibadah istimewa. Ia hanya perlu iman dan tak butuh kata-kata.
Tidak juga perlu pengakuan orang lain, karena pahala puasa itu urusannya dengan
Allah. Jangan pula berfikir, jika moment itu bisa dijadikan ajang pencitraan,
kalau kita tak mau kemarahan Tuhan datang lebih cepat.
Cukuplah sudah bencana demi bencana menjadi pengingat
kita, betapa kita begitu keras kepala memperjuangkan kepentingan pribadi dan
partai. Kita seperti menjadi hamba partai. Bukan hamba Tuhan. Hakekat manusia
yang diciptakan oleh Tuhan untuk beribadah, seolah dinafikan begitu saja. Dalam
batas-batas tertentu, kita bahkan secara sadar menjadikan prosesi ritual untuk
keuntungan dunia. Kita menjadi manusia yang tak tahu diri, lancang dan penuh
kamuflase. Cukuplah sudah.
Puasa tentu bukan sekedar menahan haus dan lapar.
Pengendalian diri yang menjadi inti dari ibadah ini, menjadi soko guru dari
keagungan perilaku, lebih-lebih disaat hujan fitnah deras melanda di
pekan-pekan politik ini. Segala hal yang membatalkan puasa, sesungguhnya telah
di desain Tuhan untuk direnung dalam-dalam, agar kita menjadi pribadi yang
mawas diri. Misal, mulut adalah sumber kebajikan,sekaligus keangkaramurkaan.
Puasa menjadi sarana kita membersihkan jiwa, agar yang keluar dari mulut adalah
kalimat-kalimat manis dan bermanfaat, laksana teko yang di dalamnya berisi
madu.
Beberapa hari ke depan, dan ketika kita memasuki bulan puasa, ada baiknya kita rehat sejenak membuka kejelekan sesama. Bukan atas nama korsa, bukan pula berharap pujian dunia. Takutlah kita tentang peringatan Tuhan, yang menyamakan manusia sebagai pemakan bangkai , lantaran suka membuka aib saudaranya. Atas nama apa saja. Dengan motif apa saja. Termasuk motif untuk mendegradasi elektabilitas lawan politiknya.
Beberapa hari ke depan, dan ketika kita memasuki bulan
puasa, ada baiknya kita rehat sejenak memuji diri sendiri .Entah atas nama
harga diri, atau biar dianggap punya nyali dan peroleh simpati. Takutlah kita
akan peringatan orang-orang alim, jika kesombongan adalah pintu menuju
kesesatan. Seperti Fir’aun yang mengaku Tuhan, dan akhirnya musnah dibenamkan
ke dalam laut merah tanpa daya. Puasa adalah momentum untuk belajar berendah
hati, setinggi dan sebesar apapun prestasi yang pernah kita lewati.
Pada akhirnya puasa adalah bulan tempat kita bercermin. Sebagai
khalifah Tuhan dimuka bumi, apakah kita telah menepati janji-janji? Mengingat
segala jejak yang berbekas, benarkah kita telah memanggul amanah dengan bijak ?
Mengurai umur yang telah sirna, yakinkah kita telah bermanfaat bagi sesama ?
Cermin itu terpasang kukuh di dada, dan puasa menjadi ajang pembersihan sang
cermin, agar kita menjadi pribadi yang peka, selain bertakwa.
Malam itu beradalah saya di negeri yang penuh dilingkupi senyum ramah. Dunia maya dipenuhi kalimat-kalimat bermanfaat. Koran dijejali berita-berita berimbang. Televisi menjadi sarana yang mencerdaskan. Para elit berangkulan, dan bahu-membahu berjuang mensejahterakan rakyat. Lantunan ayat-ayat suci Al Qur’an terus berkumandang dari masjid-masjid. Sebuah negeri yang Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur (Negeri yang subur,makmur, adil dan aman). Negeri yang akan membuat Tuhan selalu tersenyum gembira#
No comments:
Post a Comment
Terima kasih atas kunjungan anda!