Daftar Isi

Sunday, June 22, 2014

Alasan Banyak Ulama Merapat ke Prabowo-Hatta



Subahanallah. Hampir dua tahun tak bertemu,pria berbaju gamis dengan jenggot menjulur panjang itu, tiba-tiba ia berada di depanku, Kamis (19/6) sore, di rumah Polonia, Jakarta Timur. Kebetulan saya sedang bertandang. Saya sapa segera,”Hai, ustaz...wah, mampir ke sini juga ya?”kata saya. Obrolan lantas terjadi, meski sebentar, karena beliau buru-buru mau pulang.

Dulu dia pendukung berat Jokowi-Ahok,kala proses kampanye pilgub Jakarta. Dua kali saya diundangnya untuk deklarasi Jokowi-Ahok. Saya sempat tak percaya, jika akhirnya dia ‘berlabuh’ ke markas pemenangan Prabowo-Hatta. Soalnya dia orang Makassar. Tapi setelah mendengar penjelasannya sekilas, saya mafhum, hingga membuat saya tergelitik untuk menulis ini.

Pilpres memang kerap membuat seseorang seperti memakai kaca mata kuda. Teman akrab saya harus mencaci maki Kyai Mustofa Bisri, lantaran menerima broadcast message dukungan Kyai Mustofa pada capres tertentu. Ustaz dan kyai seperti Aa Gym,Anwar Sanusi, Arifin Ilham dan Noer Iskandar SQ dianggap sepi, beberapa bahkan dihujatnya dengan berapi-api,hanya karena mereka ‘menganjurkan’ untuk memilih nomor hiji.

Kyai-kyai khos NU tak luput dari ejekan dibodoh-bodohi, karena mereka menunjukkan ijtihad politiknya untuk pasangan nomor siji. Prihatin sudah pasti. Coba bayangkan, mereka seperti sudah jadi hakim, kalau pilihan merekalah yang paling oke. Pihak lain, meski itu sekelas Habib Lutfhi, dianggap “bodoh” dan menggadaikan harga diri ketika menerima Hatta Rajasa. Padahal saya yakin, dukungan deras para ulama ke Prabowo-Hatta, tanpa dilandasi transaksi jual beli, seperti yang terjadi pada para politisi.

“Yang paling sedikit kerugiannya,”alasan ustaz yang saya temui di rumah Polonia tadi, saat ditanya kenapa mendukung Prabowo-Hatta. Saya mencoba mengkalkulasi, apa plus minus dari kedua pasangan capres-cawapres itu. Secara agama,mereka sama-sama Islam. Prestasi, ada tapi tak bisa dibandingkan karena mereka berbeda profesi. Ahai, mungkin ini.

Dari pasangan Jokowi-JK,ada isu akan melarang perda Syariah berlaku di daerah-daerah selain di Aceh. Juga wacana penghapusan kolom agama di KTP, yang buru-buru ditolak Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Ada juga dukungan ulama Syiah lewat Jalaludin Rahmat. Terakhir, Wimar Witoelar mengunggah gambar Prabowo bersama para pendukungnya, termasuk Aa Gym dan simbol Muhammadiyah, dengan disertai kalimat Gallery of Rogues, Kebangkitan Bad Guys (galeri para bajingan, kebangkitan orang jahat).

Saya pikir,okelah, itu jadi salah satu alasan, kenapa mayoritas ulama dan pondok pesantren terkenal berbondong-bondong mendukung Prabowo. Namun sesungguhnya tak banyak yang ngeh, jika di Jakarta elektabilitas Jokowi menurun, lantaran warga Jakarta ogah dipimpin Ahok. Ini memang SARA, tapi fakta ini sejujurnya yang jadi pertimbangan utama, kenapa para kyai itu memilih yang lebih sedikit kerugiannya.

Jadi murni pertimbangannya bukan karena Prabowo lebih religius dibanding Jokowi. Bukan. Sekarang timbul kekhawatiran, Jakarta akan dipimpin gubernur non muslim,jika Jokowi jadi RI 1. Ini menyusul Solo, yang setelah ditinggal Jokowi dipimpin bukan orang Islam. Kadang jika saya ngomong begini, saya justru dihujat ngapain bawa-bawa agama ke pilpres. Lha, kencing saja ada tuntunanya kok. Apalagi memilih pemimpin.

Sedih juga, jika teman yang Islam tak tahu,kalau kita tidak boleh ikut andil menaikan orang non muslim menjadi pemimpin mayoritas muslim. Alasannya, negara kita berdasar Pancasila. Ada Bhinekka Tunggal Ika. Lha, mereka tak sadar, pluralisme juga harus menimbang asas keberimbangan (proporsionalisme). Kalau saya orang Hindu, saya tak rela Bali dipimpin gubernur muslim. Begitu juga Papua, NTT, dan Sulawesi Utara. Pasti masyarakatnya ingin gubernur satu keyakinan dengan agama mayoritas, yaitu Kristen.

Sekarang umat Islam Jakarta sedang terancam tersakiti,menyusul Solo. Ada ladang jihad di depan kita, dan itu yang membuat mereka yang mau sedikit berempati terhadap sesama saudara muslimnya, berbondong-bondong sekuat daya tetap mendudukan Jokowi yang muslim sebagai gubernur Jakarta. Tidak ada yang salah bukan? Ingat, mayoritas penduduk Jakarta adalah muslim.

Kasus korupsi yang membekap para politisi Islam, kerap membuat teman-teman menggampangkan masalah ini.”Pilih wong Islam akhirnya korupsi,”kata mereka. Saya selalu kutip hadis nabi, Al-Islamu ya’lu wala yu’la’alaih---Islam itu tinggi nilainya, dan tidak ada sesuatupun yang dapat menyaingi ketinggian nilai Islam. Seluruh umat Islam korupsi, tidak akan mengurangi sedikitpun keagungan Islam. Jadi jangan salahkan agamanya,kalau ada yang korupsi.

Saat Bill Clinton (mantan Presiden Amerika Serikat) selingkuh dengan Monica Lewinsky, apa iya kita salahkan kepercayaannya? Ketika Silvio Berlusconi (mantan perdana menteri Italia) menyewa PSK, nggak nyambung khan kalau keyakinannya di seret-seret juga? Oknum adalah oknum. Ajaran agama bukan cerminan dari perbuatan sang oknum.
Sekarang sudah jelas, kenapa ijtihad politik para ulama itu condong ke Prabowo-Hatta. Ada pilihan di balik bilik suara.Jadi bukan soal kalah dan menang.

Selamatkan umat Islam Jakarta, kalau kita mengaku care dengan agama kita. Buka hati dengan kejernihan jiwa. Saya katakan, dua-duanya sama-sama orang baik. Tapi jika kita bukan para politisi yang akan dapat kursi jika jadi timses, minimal kita bisa membantu kekecewaan saudara-saudara seiman kita, jika Jakarta benar-benar dilepas Jokowi, dengan memilih Prabowo sebagai RI 1. Save umat Islam Jakarta, Save Indonesia!


No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas kunjungan anda!