Teman saya,
seorang Islam Abangan, sungguh amat berminat mengikuti kontestasi pemilihan
kepala desa. Tim sukses sudah ia bentuk. Dana disiapkan. Sebelum pendaftaran dimulai,
ia sempat berdiskusi dengan seorang kyai kampung, yang ikut jadi penasihat
spiritualnya . Si bakal calon (balon) kepala desa ini rupanya masih bimbang
dengan masih kuatnya politik aliran di desanya. Terutama yang terkait dengan
isu-isu agama.
“Sampeyan
khan tahu kyai? Saya tidak ingin terlihat bodoh dan mendapat cap buruk sebagai
tidak Islami. Saya ingin mulai besok, bakal membiasakan diri pakai baju koko
dan peci. Kalau disuruh berpidato, saya akan mengawali dengan mengucap salam secara
takzim,”kata sang balon.
Pak kyai
sempat termenung lama. Ini memang ide lumrah. Trik biasa yang sudah kerap
dianut para politisi,termasuk balon-balon lain. Tapi rupanya pak kyai masih
punya pertimbangan lain. Ada rona ketidaksukaan dengan usulan si balon.Pak kyai
lantas menarik nafas panjang,sebelum ia mengeluarkan suara.
“Sudah saya
duga hal itu bakal sampeyan lakukan. Mungkin sampeyan ingin juga menyebar foto
sholat, mengumbar bacaan-bacaan Al Qur’an,menyuruh istri memakai jilbab, bilang
bakal pergi haji dalam waktu dekat, dan lain-lain. Pertanyaan saya,apakah itu
penting?”ujar pak kyai.
“Lho,
sampeyan ini bagaimana toh kyai?”tukas si balon cepat.”Sudah jelas itu sangat
menentukan elektabilitas saya nanti, karena mereka menganggap saya sebagai
bagian dari mereka. Saya bukan orang lain. Minimal jarak yang tadinya lebar
jadi sempit. Ingat kyai, isu ini sangat sensitif. Kalau tidak kita antisipasi
sejak awal, saya bisa dianggap kafir, nggak jelas agamanya atau setidaknya dipandang
tidak relijius,”sambung si balon.
“Lha, itu
yang saya khawatirkan. Kenapa harus mengajak-ajak Tuhan untuk kampanye? Apa
urusan Tuhan dengan ambisi sampeyan? Kalau mau salam, atau mengutip sholawat
saat pidato, ucapkan saja tanpa pamrih. Saya tak mau Tuhan menganggap sampeyan
kurang ajar, gara-gara membawa Dia dalam kampanye. Menjual kebesaran-Nya untuk membesarkan
sampeyan sendiri. Atau menjual ayat-ayat-Nya dengan harga murah,”ujar pak kyai.
“Waduh,pak
kyai sepertinya tidak ngerti politik. Ini cara paling mudah untuk memberi citra
baik. Tuhan pasti memaafkan. Lagi pula pihak lawan juga pasti melakukan ini. Jika
mereka ogah memakai cara ini, kita bisa serang mereka dengan menghembuskan isu
ini secara akurat. Biar mereka dianggap tidak jelas keyakinannya,”jawab si
balon.
“Justru saya
punya ide, urusan keyakinan, ya untuk diri sendiri saja. Memang kalau kita
tidak bisa bismilah, itu masalah buat mereka? Dari situ, jika kita cermati,
kita bisa belajar kejujuran. Kalau istri sampeyan belum siap berjilbab, buat
apa dipaksakan? Islam itu gampang. Tidak mempersulit. Dengan kita tampil
adanya,tanpa harus bertentangan dengan hati nurani, orang akan melihat karakter
kita. Hidayah tidak bisa dipaksakan,”ucap pak kyai.
“Saya tertarik dengan argumentasi pak kyai.
Tapi politik tetaplah politik. Kata Machiavelli, untuk merebut kekuasaan,
segala cara bisa kita tempuh. Termasuk dengan sedikit tipu-tipu. Atau dalam bahasa pak kyai, dengan mengajak
Tuhan berkampanye. Kalau tidak, kita bakal kena knock out lawan,”ujar si balon.
“Ini yang
sering kita lupakan. Tujuan baik mestinya harus dicapai dengan jalan baik.
Islam melarang kita menipu diri. Karena dari situ bisa muncul sikap merasa diri
paling baik. Ujung-ujungnya,kita bisa tergoda untuk menyudutkan orang lain. Itu
akan menyakiti mereka. Lagi-lagi, Islam melarang kita menyakiti orang lain,”ceramah
pak kyai.
Lantaran dialog
tak kunjung menemukan simpul, saya segera angkat bicara,“Begini,saya punya
usul,”
“Pasti kamu
sependapat dengan ide saya khan bung?Kita rebut suara umat Islam dengan
tampilan artifisial. Bila perlu,kamu ajak lawan kita untuk bertanding baca Al
Qur’an. Saya tidak takut. Karena itu pasti tidak akan terjadi, lantaran undang-undang tidak mengatur. Ya, semacam psy
war-lah,perang psikologis,sekaligus menyampaikan pesan jika kita lebih alim
dibanding lawan”sambar teman saya.
Saya
tercekat. Tapi tanpa pikir panjang saya sampaikan usul, yang sedari tadi
mengganjal di kepala.
“Saya minta
kamu mundur saja dari pencalonan kades. Biar pak kyai saja yang maju. Dukung
dia. Kasih dana. Saya yakin perdebatan semacam ini tidak akan terjadi.
Bagaimana? Setuju dengan usul saya?”
Teman saya
nampak terperanjat. Tapi saya tak peduli. Pak kyai lebih kaget lagi. Tapi saya
yakin ini solusi terbaik. Saya tak ingin biaya dan waktu terbuang mubazir,
hanya untuk memoles seseorang yang mengaku Islam abangan, agar terlihat lebih “hijau”.
Pikiran saya simpel. Kalau ada yang lebih genuine,kenapa pilih yang “KW” dua? Satu-satunya
yang pas, yang berada di hadapan saya saat itu,ya pak kyai.
“Pikiranmu
sangat radikal bro. Jangan menjerumuskan orang jujur seperti pak kyai ke dunia
politik yang penuh tipu daya. Berbahaya. Dia bisa disetir orang lain, yang
lebih tega. Justru saya menawarkan diri, karena saya sadar, politik ya seperti
itu. Kita harus banyak janji dan nampak bersungguh-sungguh dengan janji itu.
Nanti meskipun saya terpilih dan kemudian disumpah jadi kepala desa untuk satu
periode, kalau ada kesempatan nyalon bupati, tinggal diserahkan ke pak carik.
Gampang toh?Politik gitu lho,”cuap si balon.
“Saya juga
tidak mau,”potong pak kyai tegas. “Saya lebih nikmat mengurus masjid dan umat.
Wong sudah jadi karyawan Allah,kok masih mau memburu jabatan dunia. Setua saya,
ketika semua hal berbau dunia sudah saya rasakan, sudah waktunya untuk
mengabdikan diri pada Allah. Jadi jangan tarik-tarik saya untuk berpolitik,”
“Hush, pak
kyai jangan terlalu tinggi omongan politiknya.Ingat,sekarang lagi musim
pilpres,”kata saya.
“Lho, dari
tadi yang kita omongkan bukannya itu?”.
No comments:
Post a Comment
Terima kasih atas kunjungan anda!