Daftar Isi

Monday, June 16, 2014

Allah Kok di Ajak Kampanye


Teman saya, seorang Islam Abangan, sungguh amat berminat mengikuti kontestasi pemilihan kepala desa. Tim sukses sudah ia bentuk. Dana disiapkan. Sebelum pendaftaran dimulai, ia sempat berdiskusi dengan seorang kyai kampung, yang ikut jadi penasihat spiritualnya . Si bakal calon (balon) kepala desa ini rupanya masih bimbang dengan masih kuatnya politik aliran di desanya. Terutama yang terkait dengan isu-isu agama.

“Sampeyan khan tahu kyai? Saya tidak ingin terlihat bodoh dan mendapat cap buruk sebagai tidak Islami. Saya ingin mulai besok, bakal membiasakan diri pakai baju koko dan peci. Kalau disuruh berpidato, saya akan mengawali dengan mengucap salam secara takzim,”kata sang balon.

Pak kyai sempat termenung lama. Ini memang ide lumrah. Trik biasa yang sudah kerap dianut para politisi,termasuk balon-balon lain. Tapi rupanya pak kyai masih punya pertimbangan lain. Ada rona ketidaksukaan dengan usulan si balon.Pak kyai lantas menarik nafas panjang,sebelum ia mengeluarkan suara.

“Sudah saya duga hal itu bakal sampeyan lakukan. Mungkin sampeyan ingin juga menyebar foto sholat, mengumbar bacaan-bacaan Al Qur’an,menyuruh istri memakai jilbab, bilang bakal pergi haji dalam waktu dekat, dan lain-lain. Pertanyaan saya,apakah itu penting?”ujar pak kyai.

“Lho, sampeyan ini bagaimana toh kyai?”tukas si balon cepat.”Sudah jelas itu sangat menentukan elektabilitas saya nanti, karena mereka menganggap saya sebagai bagian dari mereka. Saya bukan orang lain. Minimal jarak yang tadinya lebar jadi sempit. Ingat kyai, isu ini sangat sensitif. Kalau tidak kita antisipasi sejak awal, saya bisa dianggap kafir, nggak jelas agamanya atau setidaknya dipandang tidak relijius,”sambung si balon.

“Lha, itu yang saya khawatirkan. Kenapa harus mengajak-ajak Tuhan untuk kampanye? Apa urusan Tuhan dengan ambisi sampeyan? Kalau mau salam, atau mengutip sholawat saat pidato, ucapkan saja tanpa pamrih. Saya tak mau Tuhan menganggap sampeyan kurang ajar, gara-gara membawa Dia dalam kampanye. Menjual kebesaran-Nya untuk membesarkan sampeyan sendiri. Atau menjual ayat-ayat-Nya dengan harga murah,”ujar pak kyai.

“Waduh,pak kyai sepertinya tidak ngerti politik. Ini cara paling mudah untuk memberi citra baik. Tuhan pasti memaafkan. Lagi pula pihak lawan juga pasti melakukan ini. Jika mereka ogah memakai cara ini, kita bisa serang mereka dengan menghembuskan isu ini secara akurat. Biar mereka dianggap tidak jelas keyakinannya,”jawab si balon.

“Justru saya punya ide, urusan keyakinan, ya untuk diri sendiri saja. Memang kalau kita tidak bisa bismilah, itu masalah buat mereka? Dari situ, jika kita cermati, kita bisa belajar kejujuran. Kalau istri sampeyan belum siap berjilbab, buat apa dipaksakan? Islam itu gampang. Tidak mempersulit. Dengan kita tampil adanya,tanpa harus bertentangan dengan hati nurani, orang akan melihat karakter kita. Hidayah tidak bisa dipaksakan,”ucap pak kyai.

“Saya tertarik dengan argumentasi pak kyai. Tapi politik tetaplah politik. Kata Machiavelli, untuk merebut kekuasaan, segala cara bisa kita tempuh. Termasuk dengan sedikit tipu-tipu.  Atau dalam bahasa pak kyai, dengan mengajak Tuhan berkampanye. Kalau tidak, kita bakal kena knock out lawan,”ujar si balon.

“Ini yang sering kita lupakan. Tujuan baik mestinya harus dicapai dengan jalan baik. Islam melarang kita menipu diri. Karena dari situ bisa muncul sikap merasa diri paling baik. Ujung-ujungnya,kita bisa tergoda untuk menyudutkan orang lain. Itu akan menyakiti mereka. Lagi-lagi, Islam melarang kita menyakiti orang lain,”ceramah pak kyai.

Lantaran dialog tak kunjung menemukan simpul, saya segera angkat bicara,“Begini,saya punya usul,”
“Pasti kamu sependapat dengan ide saya khan bung?Kita rebut suara umat Islam dengan tampilan artifisial. Bila perlu,kamu ajak lawan kita untuk bertanding baca Al Qur’an. Saya tidak takut. Karena itu pasti tidak akan terjadi, lantaran  undang-undang tidak mengatur. Ya, semacam psy war-lah,perang psikologis,sekaligus menyampaikan pesan jika kita lebih alim dibanding lawan”sambar teman saya.

Saya tercekat. Tapi tanpa pikir panjang saya sampaikan usul, yang sedari tadi mengganjal di kepala.
“Saya minta kamu mundur saja dari pencalonan kades. Biar pak kyai saja yang maju. Dukung dia. Kasih dana. Saya yakin perdebatan semacam ini tidak akan terjadi. Bagaimana? Setuju dengan usul saya?”

Teman saya nampak terperanjat. Tapi saya tak peduli. Pak kyai lebih kaget lagi. Tapi saya yakin ini solusi terbaik. Saya tak ingin biaya dan waktu terbuang mubazir, hanya untuk memoles seseorang yang mengaku Islam abangan, agar terlihat lebih “hijau”. Pikiran saya simpel. Kalau ada yang lebih genuine,kenapa pilih yang “KW” dua? Satu-satunya yang pas, yang berada di hadapan saya saat itu,ya pak kyai.

“Pikiranmu sangat radikal bro. Jangan menjerumuskan orang jujur seperti pak kyai ke dunia politik yang penuh tipu daya. Berbahaya. Dia bisa disetir orang lain, yang lebih tega. Justru saya menawarkan diri, karena saya sadar, politik ya seperti itu. Kita harus banyak janji dan nampak bersungguh-sungguh dengan janji itu. Nanti meskipun saya terpilih dan kemudian disumpah jadi kepala desa untuk satu periode, kalau ada kesempatan nyalon bupati, tinggal diserahkan ke pak carik. Gampang toh?Politik gitu lho,”cuap si balon.

“Saya juga tidak mau,”potong pak kyai tegas. “Saya lebih nikmat mengurus masjid dan umat. Wong sudah jadi karyawan Allah,kok masih mau memburu jabatan dunia. Setua saya, ketika semua hal berbau dunia sudah saya rasakan, sudah waktunya untuk mengabdikan diri pada Allah. Jadi jangan tarik-tarik saya untuk berpolitik,”

“Hush, pak kyai jangan terlalu tinggi omongan politiknya.Ingat,sekarang lagi musim pilpres,”kata saya.

“Lho, dari tadi yang kita omongkan bukannya itu?”.


No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas kunjungan anda!