Daftar Isi

Monday, June 2, 2014

Aa Gym diantara Prabowo dan Jokowi


Jelang pemilihan presiden, ada yang menarik dari sikap Aa Gym. Lama “menyepi”, Aa Gym tiba-tiba muncul. Ia muncul bukan sembarang muncul. Pendiri pesantren Darut Tauhid ini terang-terangan memihak pada salah satu capres-cawapres. Langkah Aa Gym ini memang terbilang mengejutkan. Saat dai-dai tenar lain terlihat tiarap, Aa Gym seperti membawa misi tertentu, yang menarik untuk dicermati. Ia mengikuti jejak Kyai Hasyim Muzadi, Ketua Umum PBNU Kyai Said Aqil Siradj dan ulama-ulama lain di Jawa Timur, yang memang sudah dikenal sebagai kyai dan politisi.

Perjuangan Aa Gym, jika boleh dibilang begitu, tidak setengah-setengah. Lihatlah tweet politiknya, yang belakangan beredar di dunia maya. Aa Gym bilang,”Yang pilih Jokowi artinya memilih Ahok jadi gubernur.Yang pilih Prabowo artinya memilih Jokowi jadi Gubernur Jakarta,”. Tak cukup lewat twitter, Aa Gym juga menyarankan langsung, agar Jokowi menuntaskan amanahnya di Jakarta selama 5 tahun. Tanggapan publik, tentu beragam. Ada yang setuju. Tapi pihak tertentu mengecam keras,bahkan cenderung kasar.

Di awal-awal Aa Gym mendekat ke kubu Prabowo, ia memang beralasan soal kiprah Prabowo sebagai jenderal “hijau” yang banyak membela kepentingan umat Islam.  Aa Gym seolah mengisyaratkan, ada kemaslahatan Umat Islam yang bakal terganggu, jika ia tidak “turun gunung”. Atau setidaknya, ada nilai-nilai Islam terkait kepemimpinan yang ingin di share, dan itu bukan soal kalah dan menang.  Aa Gym mungkin merujuk kriteria pemimpin ala rosul Muhammad, yang menekankan pada sifat Siddiq, Tabligh, Amanah dan Fathonah.

Manuver Aa Gym, bagi saya lumayan menarik. Selama ini, ia dikenal memilih untuk berjuang di wilayah ideologis. Bukan politis. Ibarat “petani”, ia lebih suka menggarami tanaman “padi” (baca Islam), agar tumbuh subur dan menghijau. Bukan tipe ulama garis keras, yang memilih jalan dengan unjuk kekuatan untuk menghalau “tikus-tikus”, yang akan memakan “padi”.  Meski popularitasnya sebagai dai sudah meredup, namun sikap Aa Gym ini, tak dipungkiri punya peran penting,minimal sebagai wahana pencerahan bagi jamaahnya.

Sebagai negara dengan penganut Islam terbesar di dunia setelah India dan Pakistan, massa muslim sudah pasti amat diperhitungkan. Namun memang, isu-isu yang kerap diusung untuk memperebutkan suara kaum muslim, lebih bertumpu pada seberapa religiusnya sang capres-cawapres. Jarang yang sadar, jika sejatinya ada kepentingan umat Islam yang lebih utama, dan inilah yang sedang diperjuangkan Aa Gym.  Ia nampaknya “terganggu”, setelah Solo diwariskan ke wakilnya oleh Jokowi,kini Jakarta pun bakal mengalami nasib serupa.

Sejak era reformasi bergulir, move seperti yang dilakukan Aa Gym bukanlah sesuatu yang membahayakan kepentingan nasional. Meski masih menggunakan asas tunggal Pancasila, beberapa partai politik sekarang sudah menggunakan Islam sebagai asas perjuangannya. Ini tentu berbeda saat orde baru masih berkuasa.  Kala itu, sekitar tahun 1973, Islam politik dilemahkan dengan kebijakan fusi partai-partai Islam dalam satu partai. Puncaknya tahun 1984, kala Partai Persatuan Pembangunan mendapat pukulan berat agar mengganti asas Islam menggunakan ideologi Pancasila.

Kaum muslim semakin terpinggirkan secara politis, setelah peristiwa Tanjung Priok meletus.  Kalangan Islam santri lebih sedikit berkiprah di elit militer dan birokrat.  Mereka memainkan peranan yang lebih kecil dibanding jumlahnya. Begitu juga kiprah di ranah ekonomi, yang dikuasai oleh kalangan Tionghoa. Perusahaan-perusahaan milik pengusaha muslim tidak memiliki peran signifikan, di tengah putaran roda ekonomi nasional. Atas nama toleransi,umat Islam dituntut untuk menerima kesetaraan bersandar pada ideologi Pancasila, sehingga mereka harus menerima posisi yang tidak berdaya secara ekonomi dan politik.

Di tengah tekanan militer sebagai alat politik penguasa yang begitu keras terhadap kaum muslim, konon Prabowo punya peran menentukan. Seorang ulama pimpinan ormas Islam terkenal menyebut, mantan danjen Kopassus itu pihak yang berani membela umat Islam. Tak heran, dikalangan Islam, ia dipanggil Umar,merujuk pada sahabat Umar bin Khatab, yang gagah berani membela Islam dari serangan pihak luar. Aa Gym pun menyentil ini, dan ia mungkin merasa inilah saatnya untuk membalas budi.

Terbentuknya Ikatan Cendekiawan Muslim Se-Indonesia (ICMI) tahun 1990 memang menjadi titik balik hubungan mesra negara dan umat Islam. Apalagi kemudian Pak Harto menunaikan ibadah haji, setelah sebelumnya dianggap memeluk sinkretisme. Alam demokrasi yang kian berkembang, membantu pemahaman tentang Islam sebagai kekuatan yang harus dirangkul, sebagai manifestasi ajaran Islam Rahmatan lil Alamin –rahmat bagi semuanya.

Apresiasi saya terhadap manuver Aa Gym, lebih ke keyakinan saya jika ia melakukannya jauh dari harapan posisi duniawi. Aa Gym mungkin berbicara karena mempunyai sesuatu untuk dikatakan. Bukan berbicara karena ingin mengatakan sesuatu. Mungkin dengan meminta Jokowi agar meneruskan pekerjaan sebagai gubernur, sesuai prinsip Nahdlatul Ulama, ia ingin mempertahankan sesuatu yang dianggap baik, entah buat Jakarta sendiri,lebih-lebih buat kemashlahatan Umat Islam.

Di titik ini, seperti yang saya sebut diatas, kalah menang bukanlah menjadi tujuan. Jika mengingat ini, sepakat atau tidak, tak bijak jika kontroversi Aa Gym yang pernah dilakukan di masa lalu, dijadikan senjata untuk menghujatnya. Ada banyak cara menyikapi ketidaksetujuan. Tapi hanya satu cara untuk menunjukkan keluhuran budi seseorang, saat ia menyikapi perbedaan dengan tabbayun yang baik, dan meluangkan waktu untuk berfikir positif. Bukankah lawan kita dalam berdebat adalah teman kita dalam berfikir?

No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas kunjungan anda!