Jelang pemilihan presiden, ada yang
menarik dari sikap Aa Gym. Lama “menyepi”, Aa Gym tiba-tiba muncul. Ia muncul
bukan sembarang muncul. Pendiri pesantren Darut Tauhid ini terang-terangan
memihak pada salah satu capres-cawapres. Langkah Aa Gym ini memang terbilang
mengejutkan. Saat dai-dai tenar lain terlihat tiarap, Aa Gym seperti membawa
misi tertentu, yang menarik untuk dicermati. Ia mengikuti jejak Kyai Hasyim
Muzadi, Ketua Umum PBNU Kyai Said Aqil Siradj dan ulama-ulama lain di Jawa Timur,
yang memang sudah dikenal sebagai kyai dan politisi.
Perjuangan Aa Gym, jika boleh
dibilang begitu, tidak setengah-setengah. Lihatlah tweet politiknya, yang
belakangan beredar di dunia maya. Aa Gym bilang,”Yang pilih Jokowi artinya
memilih Ahok jadi gubernur.Yang pilih Prabowo artinya memilih Jokowi jadi
Gubernur Jakarta,”. Tak cukup lewat twitter, Aa Gym juga menyarankan langsung,
agar Jokowi menuntaskan amanahnya di Jakarta selama 5 tahun. Tanggapan publik,
tentu beragam. Ada yang setuju. Tapi pihak tertentu mengecam keras,bahkan
cenderung kasar.
Di awal-awal Aa Gym mendekat ke kubu
Prabowo, ia memang beralasan soal kiprah Prabowo sebagai jenderal “hijau” yang
banyak membela kepentingan umat Islam. Aa Gym seolah mengisyaratkan, ada
kemaslahatan Umat Islam yang bakal terganggu, jika ia tidak “turun gunung”.
Atau setidaknya, ada nilai-nilai Islam terkait kepemimpinan yang ingin di
share, dan itu bukan soal kalah dan menang. Aa Gym mungkin merujuk
kriteria pemimpin ala rosul Muhammad, yang menekankan pada sifat Siddiq,
Tabligh, Amanah dan Fathonah.
Manuver Aa Gym, bagi
saya lumayan menarik. Selama ini, ia dikenal memilih untuk berjuang di wilayah
ideologis. Bukan politis. Ibarat “petani”, ia lebih suka menggarami tanaman
“padi” (baca Islam), agar tumbuh subur dan menghijau. Bukan tipe ulama garis
keras, yang memilih jalan dengan unjuk kekuatan untuk menghalau “tikus-tikus”,
yang akan memakan “padi”. Meski popularitasnya sebagai dai sudah meredup,
namun sikap Aa Gym ini, tak dipungkiri punya peran penting,minimal sebagai
wahana pencerahan bagi jamaahnya.
Sebagai negara dengan
penganut Islam terbesar di dunia setelah India dan Pakistan, massa muslim sudah
pasti amat diperhitungkan. Namun memang, isu-isu yang kerap diusung untuk
memperebutkan suara kaum muslim, lebih bertumpu pada seberapa religiusnya sang
capres-cawapres. Jarang yang sadar, jika sejatinya ada kepentingan umat Islam
yang lebih utama, dan inilah yang sedang diperjuangkan Aa Gym. Ia
nampaknya “terganggu”, setelah Solo diwariskan ke wakilnya oleh Jokowi,kini
Jakarta pun bakal mengalami nasib serupa.
Sejak era reformasi
bergulir, move seperti yang dilakukan Aa Gym bukanlah sesuatu yang membahayakan
kepentingan nasional. Meski masih menggunakan asas tunggal Pancasila, beberapa
partai politik sekarang sudah menggunakan Islam sebagai asas perjuangannya. Ini
tentu berbeda saat orde baru masih berkuasa. Kala itu, sekitar tahun
1973, Islam politik dilemahkan dengan kebijakan fusi partai-partai Islam dalam
satu partai. Puncaknya tahun 1984, kala Partai Persatuan Pembangunan mendapat
pukulan berat agar mengganti asas Islam menggunakan ideologi Pancasila.
Kaum muslim semakin
terpinggirkan secara politis, setelah peristiwa Tanjung Priok meletus. Kalangan
Islam santri lebih sedikit berkiprah di elit militer dan birokrat. Mereka
memainkan peranan yang lebih kecil dibanding jumlahnya. Begitu juga kiprah di
ranah ekonomi, yang dikuasai oleh kalangan Tionghoa. Perusahaan-perusahaan
milik pengusaha muslim tidak memiliki peran signifikan, di tengah putaran roda
ekonomi nasional. Atas nama toleransi,umat Islam dituntut untuk menerima
kesetaraan bersandar pada ideologi Pancasila, sehingga mereka harus menerima
posisi yang tidak berdaya secara ekonomi dan politik.
Di tengah tekanan
militer sebagai alat politik penguasa yang begitu keras terhadap kaum muslim,
konon Prabowo punya peran menentukan. Seorang ulama pimpinan ormas Islam
terkenal menyebut, mantan danjen Kopassus itu pihak yang berani membela umat
Islam. Tak heran, dikalangan Islam, ia dipanggil Umar,merujuk pada sahabat Umar
bin Khatab, yang gagah berani membela Islam dari serangan pihak luar. Aa Gym
pun menyentil ini, dan ia mungkin merasa inilah saatnya untuk membalas budi.
Terbentuknya Ikatan
Cendekiawan Muslim Se-Indonesia (ICMI) tahun 1990 memang menjadi titik balik
hubungan mesra negara dan umat Islam. Apalagi kemudian Pak Harto menunaikan
ibadah haji, setelah sebelumnya dianggap memeluk sinkretisme. Alam demokrasi
yang kian berkembang, membantu pemahaman tentang Islam sebagai kekuatan yang harus
dirangkul, sebagai manifestasi ajaran Islam Rahmatan lil Alamin –rahmat bagi
semuanya.
Apresiasi saya terhadap
manuver Aa Gym, lebih ke keyakinan saya jika ia melakukannya jauh dari harapan
posisi duniawi. Aa Gym mungkin berbicara karena mempunyai sesuatu untuk
dikatakan. Bukan berbicara karena ingin mengatakan sesuatu. Mungkin dengan
meminta Jokowi agar meneruskan pekerjaan sebagai gubernur, sesuai prinsip
Nahdlatul Ulama, ia ingin mempertahankan sesuatu yang dianggap baik, entah buat
Jakarta sendiri,lebih-lebih buat kemashlahatan Umat Islam.
Di titik ini, seperti
yang saya sebut diatas, kalah menang bukanlah menjadi tujuan. Jika mengingat
ini, sepakat atau tidak, tak bijak jika kontroversi Aa Gym yang pernah
dilakukan di masa lalu, dijadikan senjata untuk menghujatnya. Ada banyak cara
menyikapi ketidaksetujuan. Tapi hanya satu cara untuk menunjukkan keluhuran
budi seseorang, saat ia menyikapi perbedaan dengan tabbayun yang baik, dan
meluangkan waktu untuk berfikir positif. Bukankah lawan kita dalam berdebat adalah
teman kita dalam berfikir?
No comments:
Post a Comment
Terima kasih atas kunjungan anda!