Subahanallah.
Hampir dua tahun tak bertemu,pria berbaju gamis dengan jenggot menjulur panjang
itu, tiba-tiba ia berada di depanku, Kamis (19/6) sore, di rumah Polonia, Jakarta
Timur. Kebetulan saya sedang bertandang. Saya sapa segera,”Hai, ustaz...wah,
mampir ke sini juga ya?”kata saya. Obrolan lantas terjadi, meski sebentar, karena beliau
buru-buru mau pulang.
Dulu dia
pendukung berat Jokowi-Ahok,kala proses kampanye pilgub Jakarta. Dua kali saya
diundangnya untuk deklarasi Jokowi-Ahok. Saya sempat tak percaya, jika akhirnya dia ‘berlabuh’
ke markas pemenangan Prabowo-Hatta. Soalnya dia orang Makassar. Tapi setelah
mendengar penjelasannya sekilas, saya mafhum, hingga membuat saya tergelitik
untuk menulis ini.
Pilpres
memang kerap membuat seseorang seperti memakai kaca mata kuda. Teman akrab
saya harus mencaci maki Kyai Mustofa Bisri, lantaran menerima broadcast message
dukungan Kyai Mustofa pada capres tertentu. Ustaz dan kyai seperti Aa Gym,Anwar
Sanusi, Arifin Ilham dan Noer Iskandar SQ dianggap sepi, beberapa bahkan
dihujatnya dengan berapi-api,hanya karena mereka ‘menganjurkan’ untuk memilih
nomor hiji.
Kyai-kyai
khos NU tak luput dari ejekan dibodoh-bodohi, karena mereka menunjukkan ijtihad
politiknya untuk pasangan nomor siji. Prihatin sudah pasti. Coba bayangkan, mereka seperti sudah jadi hakim, kalau pilihan merekalah yang paling oke. Pihak
lain, meski itu sekelas Habib Lutfhi, dianggap “bodoh” dan menggadaikan harga
diri ketika menerima Hatta Rajasa. Padahal saya yakin, dukungan deras para ulama ke Prabowo-Hatta, tanpa
dilandasi transaksi jual beli, seperti yang terjadi pada para politisi.
“Yang paling
sedikit kerugiannya,”alasan ustaz yang saya temui di rumah Polonia tadi, saat
ditanya kenapa mendukung Prabowo-Hatta. Saya mencoba mengkalkulasi, apa plus
minus dari kedua pasangan capres-cawapres itu. Secara agama,mereka sama-sama
Islam. Prestasi, ada tapi tak bisa dibandingkan karena mereka berbeda profesi.
Ahai, mungkin ini.
Dari
pasangan Jokowi-JK,ada isu akan melarang perda Syariah berlaku di daerah-daerah
selain di Aceh. Juga wacana penghapusan kolom agama di KTP, yang buru-buru ditolak
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Ada juga dukungan ulama Syiah lewat Jalaludin Rahmat. Terakhir, Wimar Witoelar mengunggah gambar
Prabowo bersama para pendukungnya, termasuk Aa Gym dan simbol Muhammadiyah, dengan disertai kalimat
Gallery of Rogues, Kebangkitan Bad Guys (galeri para bajingan, kebangkitan orang
jahat).
Saya
pikir,okelah, itu jadi salah satu alasan, kenapa mayoritas ulama dan pondok
pesantren terkenal berbondong-bondong mendukung Prabowo. Namun sesungguhnya tak
banyak yang ngeh, jika di Jakarta elektabilitas Jokowi menurun, lantaran warga
Jakarta ogah dipimpin Ahok. Ini memang SARA, tapi fakta ini sejujurnya yang
jadi pertimbangan utama, kenapa para kyai itu memilih yang lebih sedikit
kerugiannya.
Jadi murni
pertimbangannya bukan karena Prabowo lebih religius dibanding Jokowi. Bukan.
Sekarang timbul kekhawatiran, Jakarta akan dipimpin gubernur non muslim,jika
Jokowi jadi RI 1. Ini menyusul Solo, yang setelah ditinggal Jokowi dipimpin
bukan orang Islam. Kadang jika saya ngomong begini, saya justru dihujat ngapain
bawa-bawa agama ke pilpres. Lha, kencing saja ada tuntunanya kok. Apalagi
memilih pemimpin.
Sedih juga,
jika teman yang Islam tak tahu,kalau kita tidak boleh ikut andil menaikan orang
non muslim menjadi pemimpin mayoritas muslim. Alasannya, negara kita berdasar
Pancasila. Ada Bhinekka Tunggal Ika. Lha, mereka tak sadar, pluralisme juga
harus menimbang asas keberimbangan (proporsionalisme). Kalau saya orang Hindu,
saya tak rela Bali dipimpin gubernur muslim. Begitu juga Papua, NTT, dan
Sulawesi Utara. Pasti masyarakatnya ingin gubernur satu keyakinan dengan agama
mayoritas, yaitu Kristen.
Sekarang
umat Islam Jakarta sedang terancam tersakiti,menyusul Solo. Ada ladang jihad di
depan kita, dan itu yang membuat mereka yang mau sedikit berempati terhadap
sesama saudara muslimnya, berbondong-bondong sekuat daya tetap mendudukan
Jokowi yang muslim sebagai gubernur Jakarta. Tidak ada yang salah bukan? Ingat,
mayoritas penduduk Jakarta adalah muslim.
Kasus
korupsi yang membekap para politisi Islam, kerap membuat teman-teman
menggampangkan masalah ini.”Pilih wong Islam akhirnya korupsi,”kata mereka.
Saya selalu kutip hadis nabi, Al-Islamu ya’lu wala yu’la’alaih---Islam itu
tinggi nilainya, dan tidak ada sesuatupun yang dapat menyaingi ketinggian nilai
Islam. Seluruh umat Islam korupsi, tidak akan mengurangi sedikitpun keagungan
Islam. Jadi jangan salahkan agamanya,kalau ada yang korupsi.
Saat Bill
Clinton (mantan Presiden Amerika Serikat) selingkuh dengan Monica Lewinsky, apa
iya kita salahkan kepercayaannya? Ketika Silvio Berlusconi (mantan perdana
menteri Italia) menyewa PSK, nggak nyambung khan kalau keyakinannya di
seret-seret juga? Oknum adalah oknum. Ajaran agama bukan cerminan dari
perbuatan sang oknum.
Sekarang
sudah jelas, kenapa ijtihad politik para ulama itu condong ke Prabowo-Hatta.
Ada pilihan di balik bilik suara.Jadi bukan soal kalah dan menang.
Selamatkan umat Islam Jakarta, kalau kita
mengaku care dengan agama kita. Buka hati dengan kejernihan jiwa. Saya katakan,
dua-duanya sama-sama orang baik. Tapi jika kita bukan para politisi yang akan
dapat kursi jika jadi timses, minimal kita bisa membantu kekecewaan
saudara-saudara seiman kita, jika Jakarta benar-benar dilepas Jokowi, dengan memilih
Prabowo sebagai RI 1. Save umat Islam Jakarta, Save Indonesia!