Daftar Isi

Monday, May 12, 2014

Rest in Peace



Desain duka cita itu laiknya iklan lelayu di media massa. Ada foto,ada nama yang meninggal dunia. Cuma kali ini, foto dan namanya begitu ‘spesial’.Di situ tertulis Ir. Herbertus Joko Widodo,dengan foto Jokowi yang biasa terpampang di halaman surat kabar. Jokowi dikabarkan “meninggal dunia” pada 4 Mei 2014 lalu,dan dikremasi dua hari kemudian. Tak lupa, nama Iriana Widodo,yang juga istri Jokowi tercantum sebagai pihak yang mengirim “iklan” duka cita itu ke surat kabar.

Bagian-bagian tertentu memang terkesan ingin main-main. Lihat saja bagaimana Jokowi dikabarkan disemayamkan dulu di Lenteng Agung,Jakarta Selatan,kantor DPP PDI Perjuangan, sebelum dikremasi. Begitu juga munculnya nama Megawati, sebagai pihak yang ikut berduka cita. Jokowi sendiri mengaku,”iklan” ini menjadi sesuatu yang tidak mengenakan, walau ia enggan meladeni.

Jokowi,tentu saja masih hidup. Tapi “iklan” duka cita itu sudah terlanjur menyebar lewat facebook dan twitter. “Iklan” ini sempat menjadi trending topic di dunia maya. Berbagai analisis kemudian mencuat. Ada yang bilang,itu kerjaan tim sukses capres Jokowi,untuk menuai simpati massa. Banyak pula yang ngomong, “iklan” itu kerjaan dari lawan politik Jokowi,yang akan bertanding di pilpres mendatang.

Isu meninggal dunia, berita kematian, dan kabar berpulangnya tokoh terkenal,memang kerap kali mengejutkan.  Tapi isu ini menjadi menarik,bukan saja lantaran posisi Jokowi sebagai salah satu capres terkuat. Pernyataan Rest in Peace (RIP) alias beristirahat dalam damai,jika ditinjau dari sisi analisis konten, seperti memberi informasi keyakinan yang dianut Jokowi. Inilah makna bersayap yang ingin dilempar si pembuat “iklan” itu.

Sayang,Jokowi memilih melupakan.”Cuma menghabiskan energi mengurusnya,”katanya. Meski secara teknis,dengan kecanggihan alat yang dimiliki polri, misteri pengunggah dan pembuat “iklan” ini bisa diungkap dengan mudah. Syaratnya, Jokowi mesti membawa kasus ini ke ranah hukum.Minimal ada shock therapy,dan kampanye-kampanye miring serupa tidak terus terulang saban perhelatan demokrasi lima tahunan datang.

Sebab,tak semua orang bisa menebak arti peristiwa politik yang tersaji. Di zaman orde baru,kampanye semacam ini sering dilakukan lewat sebuah operasi khusus. Tujuannya apalagi, kalau bukan untuk menarik simpati massa. Misal ada massa partai politik tertentu yang diserang oleh massa dengan seragam partai lain.Padahal otak penyerangan adalah orang dari parpol yang diserang.

Jika boleh jujur, jelang pilpres mendatang, semakin menunjukan karakter demokrasi kita yang masih anak bawang. Pilihan kampanye negatif, saling serang untuk hal-hal yang tak substansial, serta isu-isu lama yang getol diangkat lagi,memenuhi ruang publik dan berulang-ulang dijejalkan ke otak kita. Ironisnya, media massa ikut menari dari gendang yang mereka tabuh. Mereka terjebak dalam perang opini yang kerap menyesatkan.

Meski terbilang sukses,dua kali perhelatan pemilihan presiden langsung mengajarkan banyak hal. Politik fitnah,dengan desain dan skenario yang sistematis dan cermat,mengubur “perang” visi dan misi. Dua kandidat,Jokowi dan Prabowo,sama-sama disenggol isu SARA. Inilah isu yang sensitif,dan amat mudah menimbulkan sentimen massa,lantaran sikap melodramatik rakyat Indonesia yang masih tinggi.

Kemajuan teknologi sosial media juga menjadi “kuda troya” yang amat efektif untuk menimbulkan absurdnya kekisruhan seperti ini. Kondisi ini bahkan merambah ke bidang lain,yang jauh dari hiruk pikuk politik. Usai muncul “iklan” RIP Jokowi, pesan blackberry serupa menyebar, yang menyebut pelawak Olga Syahputra menghembuskan nafas terakhir di Singapura.

Berita kematian tanpa fakta akhirnya menjadi sesuatu yang begitu mudah keluar. Dinding-dinding kesadaran kita kerap kali tersiksa,tapi sejauh ini tak ada instrumen yang bisa menghentikan isu-isu yang kerap dilempar di sosial media. Sesuatu yang jarang terjadi di negara-negara dengan tingkat peradaban tinggi,saat kematian menjadi momen yang sakral dan mendapat tempat yang mulia.

“Iklan” RIP Jokowi mengisyaratkan,ada yang salah dengan cara-cara perebutan kekuasaan, yang kerap menghalalkan segala cara.Kekuasaan tak lagi dipandang sebagai “alat” untuk menggapai cita-cita tertinggi mensejahterakan rakyat. Hal ini juga menjadi bukti,betapa kejamnya pasukan-pasukan klandestin yang bertugas meng-create isu-isu tertentu,dengan motif-motif tertentu. 

Tak perlu ada yang ditakutkan dengan kematian.Tapi mempermainkan kematian,juga menjadi bentuk kesombongan yang menunjukan kelemahan tak termaafkan. Jika orang bijak bilang kematian menjadi salah satu rahasia Tuhan selain kelahiran dan perjodohan,penghargaan terhadap hidup juga menjadi cara kita untuk percaya, jika Tuhan tidak pernah menghendaki kita untuk “mematikan”orang lain,meski dalam bentuk berita bohong*

No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas kunjungan anda!