Daftar Isi

Wednesday, May 28, 2014

Kecap nomor satu (renungan ttg kepemimpinan nasional)



Pagi, saat mentari belum beranjak naik,seorang ekonom terkenal menyapa saya lewat blackberry messenger. Minggu pagi pekan kemarin saya sebetulnya masih terkantuk-kantuk,lantaran habis menonton final Liga Champion antara Real Madrid versus Atletico Madrid. Ekonom yang giat menyerang sistem ekonomi neo liberal ini rupanya tergelitik mengomentari display ficture saya, yang memasang  gambar lucu capres-cawapres yang maju.

“Sekarang hari bingung nasional ya?”ujarnya. Saya tertawa kecil. Diskusi ringan lantas berlanjut. Pengusung konsep ekonomi kerakyatan ini akhirnya mengaku sudah memiliki ketetapan hati memilih. Ia bahkan membuka kisah masa lalu,tentang betapa intensifnya ia berdialog dengan salah satu capres. Topiknya apalagi,jika bukan soal ekonomi.Intinya, kita harus tegas menolak intervensi asing yang akan menjadikan Indonesia sebagai “jajahan”nya secara ekonomi.

Sebagai negara berkembang,tentu diperlukan nyali hebat. Seorang pemimpin berhati singa. Malaysia pernah punya Mahatir Muhammad, mantan perdana menteri yang dijuluki Sukarno kecil. Dengan konsep ekonomi kerakyatan yang jelas, dan kepemimpinan nasional yang tegas dan berani, tak ada celah bagi negara lain melecehkan kita. Sesuatu yang selama ini jadi keprihatinan banyak orang,lantaran para presiden RI setelah masa reformasi,lebih suka menggunakan soft power.

Dua kali pemilihan presiden langsung,membersitkan harapan pada presiden setelah SBY,yang bakal bertarung 9 Juni nanti. Visi ekonomi yang jadi bahan obrolan pagi itu,sejauh ini memang tak banyak terekspos,lantaran jadwal debat yang dipersiapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) belum terlaksana. “Sekarang yang lebih banyak beredar iklan kecap nomor satu. Masyarakat juga enggan mencermati apa isi kepala para capres,”kata ibu ekonom itu.

Kecap nomor satu dalam konteks perhelatan demokrasi memang lebih banyak diwarnai informasi kulit. Tidak esensial. Belum lagi gempuran berbagai kampanye hitam,yang beredar di ranah sosial media. Pembentukan opini tak kalah hiruk pikuk ditayangkan televisi. Jika sebelum pemilihan legislatif pemberitaan didominasi tema soal partai pemilik televisi, kini masing-masing capres-cawapres  punya “corong” sendiri-sendiri.

Memang sempat tersiar kabar ada protes dari awak redaksi sebuah televisi,yang jengah lantaran dilarang menurunkan berita tertentu. “Kita harus lawan kesewenang-wenangan pemilik media.Karena frekuensi adalah milik publik,”bunyi broadcast message, yang di share di sebuah grup kumpulan para kuli tinta. Tapi hingga kini,televisi berita masih dan seolah sudah jadi TV kabel yang beritanya tak jauh-jauh dari capres usungannya.

Melihat TV berita,bagi sebagian orang lantas jadi ritual yang menyiksa. Di sosial media seperti facebook,ingar bingar ini bahkan telah membelah pengguna dalam pro dan kontra tak berujung. Semua beropini,dengan data dan fakta yang kerap diambil dari sumber tak jelas. Kondisi ini tak urung menimbulkan kebimbangan. Atau seperti kata ibu ekonom tadi, sekarang kita sedang dalam kondisi “bingung nasional”.

Tak hanya melanda akar rumput. Para elit partai pun banyak terbelah dalam dua kubu. Perbedaannya,jika mereka berstrategi dengan pertimbangan kursi atau posisi, rakyat kecil yang tak cukup melek informasi sering termakan oleh berbagai pencitraan. Sesuatu yang tidak riil,tapi sengaja “dijual” untuk meyakinkan publik bahwa itu adalah nyata.

Godaan kekuasaan membuat para politisi kerap kehilangan akal sehat. Lihatlah di Jakarta. Musim kampanye belum dimulai, tapi tebaran spanduk sudah memenuhi berbagai perempatan jalan.  Setiap celah aturan,jika mungkin akan disiasati,dan inilah yang membuat situasi semakin runyam. Ada sosialisasi, tapi kita tak tahu apa yang akan mereka perbuat jika terpilih.

Sejatinya,hal paling mudah menentukan calon pemimpin hanya merujuk pada empat kriteria,seperti yang dicontohkan Rosul Muhammad.  Secara universal, inilah ibu kandung dari segala kebaikan, jaminan mutu “kecap nomor satu”, dus,segala ingar bingar kampanye dan propaganda, tak lebih dari tambahan informasi yang bakal semakin memantapkan pada pilihan yang tersedia. Empat kriteria itu adalah Shiddiq (benar), Amanah (bisa dipercaya), Tabligh (menyampaikan) dan Fathonah (cerdas).

Shiddiq mengacu pada bukan saja perbuatannya yang benar,tapi juga keselarasan antara ucapan dan perbuatan. Sesuatu yang amat langka dikalangan para politisi. Shiddiq mesti ditunjang dengan kecerdasan (Fathonah),lantaran setiap keputusan yang menyangkut rakyat banyak, akan berakibat panjang jika tak ada ilmu untuk memutuskan.

Amanah menjadi elemen penting untuk menilai,apakah ia benar-benar bisa dipercaya saat mengemban tugas yang di endorse oleh masyarakat. Kekuasaan yang memabukan, sering membuat sifat Amanah berubah menjadi pemenuhan syahwat kekuasaan belaka. Dilantik untuk lima tahun,namun begitu ada kesempatan memburu jabatan yang lebih tinggi, posisi yang sudah dipegang “dilepas”.

Ironisnya tak benar-benar dilepas,tapi sekadar mengajukan cuti,dengan pikiran jika gagal,ia masih bisa terus “duduk” jadi bupati,walikota atau gubernur. Sekarang sudah saatnya tutup telinga,tapi buka mata lebar-lebar. Semua informasi bisa datang dari mana saja, untuk meyakinkan diri sendiri,jika mereka yang nyapres benar-benar memiliki empat sifat itu. Jika sudah yakin, saya jamin “bingung nasional” tidak akan berkepanjangan


No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas kunjungan anda!