Ditengah hiruk pikuk berita koalisi parpol dan pendaftaran
capres-cawapres 2014, film televisi ini menarik untuk disimak. Ditayangkan di MNCTV, film berjudul
“Cita-citaku Setinggi Tanah” itu bercerita tentang sosok anak kecil bernama Agus,yang
memendam ambisi yang terdengar remeh,tapi punya pesan moral tinggi. Dari perspektif para motivator,mungkin apa
yang dicita-citakan Agus tidak penting. Sebagai
anak seorang karyawan pabrik tahu, ia hanya bermimpi ingin makan di rumah Makan
Padang favoritnya. Ya, sekedar ingin mencicipi masakan Padang.
Agus terus berusaha mewujudkannya. Awalnya ia menabung di
sebuah celengan bambu. Tapi saat pabrik tahu tempat ayahnya bekerja sedang
menurun produksinya, Agus tak lagi diberi uang saku. Saban sekolah,ia akhirnya membawa bekal nasi
dan lauk tahu bacem. Penulis cerita coba mengkaitkan kebiasaan Agus yang tiap
hari makan dengan lauk tahu bacem, untuk sebuah alasan ia ingin mencoba lezatnya
masakan Padang.
Lewat sebuah cerita yang penuh liku, Agus akhirnya mendapat
rejeki tak terduga,ketika ia menjadi pengantar tahu ke seorang juragan ayam. Honor dari mengantar tahu setiap hari itu
kemudian dikumpulkan,hingga jumlahnya menjadi cukup untuk mampir ke Restoran
Padang. Di akhir cerita,film tak
menggambarkan ia sedang makan di rumah makan idamannya. Agus hanya membaca
cerita soal cita-citanya di depan kelas, dan tepuk tangan teman-temannya
mengakhiri kisah mengharukan ini.
Cita-cita Agus memang “rendah”. Tapi bukan itu sebenarnya
esensi dari sikap dan daya juang yang melecutnya. Agus mengajarkan,cita-cita bukan untuk
dipilih. Tapi diwujudkan. Ini pula yang
dilakukan seorang Birul Qodriyah. Jika
Agus cerita fiksi, kisah Birul sempat membuat mata saya merebak. Mahasiswi tingkat akhir Fakultas Kedokteran
Universitas Gadjah Mada,Yogyakarta ini bisa meraih mimpinya menjadi
dokter,lewat beasiswa Bidikmisi,yang diperuntukan bagi anak keluarga miskin.
Orang tua Birul hanya buruh tani. Sehari kalau ada pekerjaan ia dibayar Rp 5000.
Birul yang menyadari kekurangan ekonomi orang tuanya,sempat bimbang. Tapi ia tulis cita-citanya di selembar
kertas,dan digantung di dinding bambu rumahnya. Setiap orang yang baca mentertawakannya.
Birul belajar keras,hingga akhirnya lolos mendapatkan beasiswa Bidikmisi.
Pidato testimoninya di depan Presiden SBY dan para Menteri di Hotel Bidakara,Jakarta,belum
lama ini, membuat para undangan larut dalam keharuan dan kebanggaan.
“Sekarang pelajar miskin jangan takut bermimpi,”kata Birul.”Saya
yakin,dengan belajar keras,kita bisa menjadi orang berkualitas dan menjadi
generasi emas,”sambung Birul. Kata-kata Birul inilah yang sempat menohok kalbu
saya,lantaran kagum dan salut dengan perjuangannya. Saya tahu betul psikologi
anak muda yang punya cita-cita,tapi dukungan dana orang tua tak ada. Namun saya
setuju,mimpi punya siapa saja,dan jika kita bergerak mewujudkannya,hal-hal
penuh keajaiban akan datang membantunya.
Agus dan Birul hanya segelintir contoh anak muda bermental
baja,ditengah ribuan anak muda lain yang tak tahu arah hidup yang ingin
dibidiknya. Kadang-kadang,ketika segala fasilitas pendukung bisa dipakai, kita
menyia-nyiakannya. Banyak anak dari orang tua kaya,tapi gagal dalam hidup
karena lengah dengan segala kemudahan. Ada pula yang sudah diberi “jembatan”
untuk mewujudkan mimpi,namun kalah oleh godaan nikmat sesaat,hingga hancur
segala perjuangan yang sudah dilakukan.
Belum lama ramai berita Shara Meilanda Ayu, gadis 20 tahun
yang kuliah di Politeknik Negeri Jakarta Jurusan Administrasi. Orang tua Ayu,
Sugianto, pernah sesumbar hendak jual ginjal,demi membiayai kuliah anaknya.
Oleh Mendikbud Muhammad Nuh, Ayu dikasih beasiswa lewat program Bidikmisi. Satu
semester Rp 3 juta. Untuk biaya hidup,Ayu dapat Rp 600 ribu tiap bulan. Tapi apa
yang terjadi? Baru satu semester kuliah, Ayu pilih kabur bersama pacarnya ke
Bangka Belitung. Studinya ditinggalkan begitu saja.
Kasus Ayu memang hanya satu noda kecil,dibalik ratusan kisah
heroik anak-anak muda peraih Bidikmisi. Tapi tetap saja,itu jadi tamparan
paling telak bagi dunia pendidikan kita. Ada kesalahan identifikasi,lantaran
mendikbud terkesan dengan perjuangan Sugianto meratap-ratap di depan kamera televisi.
Tapi pak menteri tak awas,jika moral dan mental Ayu sebetulnya mental pecundang.
Ibarat belum terlatih kerasnya kehidupan, ia sudah diberi “senjata” untuk maju “perang”.Ya,
jelas tak tahan.
Cita-cita hanya kita yang tahu. Saat andrenalin kita
bergejolak agar kita tergerak mewujudkannya, ada yang percaya alam bawah sadar
kita akan membantu. Teori mestakung alias semesta mendukung,sebagai “campur
tangan” Tuhan, setidaknya bukan omong kosong belaka.”Tidak apa-apa jika kita
berasal dari keluarga yang biasa.Tapi kita hidup di zaman yang memungkinkan kita menjadi manusia luar biasa,”kata
Emirsyah Satar,Direktur Utama maskapai penerbangan Garuda Indonesia,saat jadi
pembicara supermentor,pekan lalu di Gedung Djakarta Theater XXI,Jakarta.
Bila dilakukan survey di berbagai lembaga pemerintah,
mayoritas pegawai dan mereka yang mendapat tugas belajar ke luar negeri adalah
dari keluarga tak mampu. Mereka berasal dari pelosok-pelosok desa. Tak heran,
kadang saat mereka mendapat kesempatan bisa membeli mobil di Amerika yang
tergolong murah, hambatan pertama adalah mereka tak bisa menyetir. Tentu saja
mereka bermental seperti Agus dan Birul. Bukan seperti Ayu,yang justru merasa
jenuh kuliah,saat semua pintu keberuntungan dibuka lebar-lebar oleh pemerintah.#
No comments:
Post a Comment
Terima kasih atas kunjungan anda!