Daftar Isi

Monday, May 19, 2014

mestakung



Ditengah hiruk pikuk berita koalisi parpol dan pendaftaran capres-cawapres 2014, film televisi ini menarik untuk disimak.  Ditayangkan di MNCTV, film berjudul “Cita-citaku Setinggi Tanah” itu bercerita tentang sosok anak kecil bernama Agus,yang memendam ambisi yang terdengar remeh,tapi punya pesan moral tinggi.  Dari perspektif para motivator,mungkin apa yang dicita-citakan Agus tidak penting.  Sebagai anak seorang karyawan pabrik tahu, ia hanya bermimpi ingin makan di rumah Makan Padang favoritnya. Ya, sekedar ingin mencicipi masakan Padang.

Agus terus berusaha mewujudkannya. Awalnya ia menabung di sebuah celengan bambu. Tapi saat pabrik tahu tempat ayahnya bekerja sedang menurun produksinya, Agus tak lagi diberi uang saku.  Saban sekolah,ia akhirnya membawa bekal nasi dan lauk tahu bacem. Penulis cerita coba mengkaitkan kebiasaan Agus yang tiap hari makan dengan lauk tahu bacem, untuk sebuah alasan ia ingin mencoba lezatnya masakan Padang.

Lewat sebuah cerita yang penuh liku, Agus akhirnya mendapat rejeki tak terduga,ketika ia menjadi pengantar tahu ke seorang juragan ayam.  Honor dari mengantar tahu setiap hari itu kemudian dikumpulkan,hingga jumlahnya menjadi cukup untuk mampir ke Restoran Padang.  Di akhir cerita,film tak menggambarkan ia sedang makan di rumah makan idamannya. Agus hanya membaca cerita soal cita-citanya di depan kelas, dan tepuk tangan teman-temannya mengakhiri kisah mengharukan ini.

Cita-cita Agus memang “rendah”. Tapi bukan itu sebenarnya esensi dari sikap dan daya juang yang melecutnya.  Agus mengajarkan,cita-cita bukan untuk dipilih.  Tapi diwujudkan. Ini pula yang dilakukan seorang Birul Qodriyah.  Jika Agus cerita fiksi, kisah Birul sempat membuat mata saya merebak.  Mahasiswi tingkat akhir Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada,Yogyakarta ini bisa meraih mimpinya menjadi dokter,lewat beasiswa Bidikmisi,yang diperuntukan bagi anak keluarga miskin.

Orang tua Birul hanya buruh tani.  Sehari kalau ada pekerjaan ia dibayar Rp 5000. Birul yang menyadari kekurangan ekonomi orang tuanya,sempat bimbang.  Tapi ia tulis cita-citanya di selembar kertas,dan digantung di dinding bambu rumahnya. Setiap orang yang baca mentertawakannya. Birul belajar keras,hingga akhirnya lolos mendapatkan beasiswa Bidikmisi. Pidato testimoninya di depan Presiden SBY dan para Menteri di Hotel Bidakara,Jakarta,belum lama ini, membuat para undangan larut dalam keharuan dan kebanggaan.

“Sekarang pelajar miskin jangan takut bermimpi,”kata Birul.”Saya yakin,dengan belajar keras,kita bisa menjadi orang berkualitas dan menjadi generasi emas,”sambung Birul. Kata-kata Birul inilah yang sempat menohok kalbu saya,lantaran kagum dan salut dengan perjuangannya. Saya tahu betul psikologi anak muda yang punya cita-cita,tapi dukungan dana orang tua tak ada. Namun saya setuju,mimpi punya siapa saja,dan jika kita bergerak mewujudkannya,hal-hal penuh keajaiban akan datang membantunya.

Agus dan Birul hanya segelintir contoh anak muda bermental baja,ditengah ribuan anak muda lain yang tak tahu arah hidup yang ingin dibidiknya. Kadang-kadang,ketika segala fasilitas pendukung bisa dipakai, kita menyia-nyiakannya. Banyak anak dari orang tua kaya,tapi gagal dalam hidup karena lengah dengan segala kemudahan. Ada pula yang sudah diberi “jembatan” untuk mewujudkan mimpi,namun kalah oleh godaan nikmat sesaat,hingga hancur segala perjuangan yang sudah dilakukan.

Belum lama ramai berita Shara Meilanda Ayu, gadis 20 tahun yang kuliah di Politeknik Negeri Jakarta Jurusan Administrasi. Orang tua Ayu, Sugianto, pernah sesumbar hendak jual ginjal,demi membiayai kuliah anaknya. Oleh Mendikbud Muhammad Nuh, Ayu dikasih beasiswa lewat program Bidikmisi. Satu semester Rp 3 juta. Untuk biaya hidup,Ayu dapat Rp 600 ribu tiap bulan. Tapi apa yang terjadi? Baru satu semester kuliah, Ayu pilih kabur bersama pacarnya ke Bangka Belitung. Studinya ditinggalkan begitu saja.

Kasus Ayu memang hanya satu noda kecil,dibalik ratusan kisah heroik anak-anak muda peraih Bidikmisi. Tapi tetap saja,itu jadi tamparan paling telak bagi dunia pendidikan kita. Ada kesalahan identifikasi,lantaran mendikbud terkesan dengan perjuangan Sugianto meratap-ratap di depan kamera televisi. Tapi pak menteri tak awas,jika moral dan mental Ayu sebetulnya mental pecundang. Ibarat belum terlatih kerasnya kehidupan, ia sudah diberi “senjata” untuk maju “perang”.Ya, jelas tak tahan.

Cita-cita hanya kita yang tahu. Saat andrenalin kita bergejolak agar kita tergerak mewujudkannya, ada yang percaya alam bawah sadar kita akan membantu. Teori mestakung alias semesta mendukung,sebagai “campur tangan” Tuhan, setidaknya bukan omong kosong belaka.”Tidak apa-apa jika kita berasal dari keluarga yang biasa.Tapi kita hidup di zaman yang  memungkinkan kita menjadi manusia luar biasa,”kata Emirsyah Satar,Direktur Utama maskapai penerbangan Garuda Indonesia,saat jadi pembicara supermentor,pekan lalu di Gedung Djakarta Theater XXI,Jakarta.

Bila dilakukan survey di berbagai lembaga pemerintah, mayoritas pegawai dan mereka yang mendapat tugas belajar ke luar negeri adalah dari keluarga tak mampu. Mereka berasal dari pelosok-pelosok desa. Tak heran, kadang saat mereka mendapat kesempatan bisa membeli mobil di Amerika yang tergolong murah, hambatan pertama adalah mereka tak bisa menyetir. Tentu saja mereka bermental seperti Agus dan Birul. Bukan seperti Ayu,yang justru merasa jenuh kuliah,saat semua pintu keberuntungan dibuka lebar-lebar oleh pemerintah.#


No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas kunjungan anda!