Daftar Isi

Tuesday, May 6, 2014

Jam Tangan



Ada perasaan kesal secara berulang,jika saya membeli jam tangan seharga Rp 50 ribu. Murah,tapi tak pernah awet. Baru 5 bulan sudah rusak. Ujung-ujungnya, jam tangan hanya jadi sampah. Saya malas memperbaikinya,karena biaya perbaikan hampir mendekati harga beli. Sesekali saya berkhayal juga ingin membeli jam tangan bagus. Tentu saja yang harganya agak mahalan. Tapi saldo di rekening sering “menjerit”,jika saya paksakan untuk diambil.

Belakangan otak dagang saya mulai bekerja.Katakanlah jam tangan Rp 50 ribu itu bisa bertahan selama 5 bulan. Jika direrata,setiap bulan saya mnghabiskan uang Rp 10 ribu. Lumayan menghemat. Kadang kalau hati-hati jangan sampai kena air hujan,umur jam tangan saya lumayan panjang. Tapi gangguan tak semata air hujan. Jam jatuh,atau kena benturan,tahu-tahu mati. Ya,namanya jam imitasi,begitulah adatnya, meski merknya Swiss Army.

Saya mungkin tipe orang yang melihat  jam tangan secara konservatif. Jam saya hargai lebih ke fungsionalnya. Dalam teori kebutuhan Maslow,saya tak tahu ini masuk kategori mana. Tapi yang jelas bukan asesoris dan tak pernah berfikir jadi barang hiasan. Saya terpaksa pakai jam tangan, karena tidak seperti orang-orang dikampung, saya tak punya ketrampilan visual melihat matahari untuk menentukan sudah jam berapa. Ketrampilan visual ini yang membuat jam semahal apapun dikampung saya di Tegal, Jawa Tengah, tak ada harganya.

Bertahun-tahun hidup di daerah terpencil dan saya amati,mayoritas warga tak pernah memakai jam tangan. Padahal mereka harus mencangkul pagi-pagi. Shalat dzuhur di dangau tepi sawah. Kemudian pulang ketika bayangan tubuh mulai agak memanjang. Semua dilakukan dengan felling.Tapi anehnya, saban kali diundang untuk walimahan atau yasinan,mereka tak pernah telat. Jika kita butuh acara mulai pukul 20.00 WIB,mereka akan datang 15 menit sebelumnya. Luar biasa.

Jam tangan pertama yang saya miliki adalah ketika saya habis sunatan. Ada uang lebih dan saya diajak ke kota kabupaten membeli jam. Berikutnya saat ada saudara yang naik haji. Selain teko warna keemasan, saya juga diberi oleh-oleh jam tangan,yang belakangan saya tahu itu bisa dibeli di toko di Tanah Abang, Jakarta Pusat. Masa itu jam tangan bukan lagi benda berharga. Banyak jam tiruan yang bisa dibeli bebas di berbagai kali lima. Pemakaian jam tak lagi identik dengan kaum priyayi,yang memakai jam rantai ketika mengenakan baju beskap. Pokoknya mau pilih jam KW apa saja ada.

Mungkin karena banyak produk jam tangan bajakan,kita jadi terbuai untuk selalu memakai jam imitasi. Ini seolah sudah jadi “penyakit” nasional. Tak hanya jam, dari tas sampai sekrup, semua dibajak. Coba sesekali tengok daerah Adiwerna di Kabupaten Tegal. Di wilayah yang dijuluki “Jepangnya Indonesia” itu,kita bisa menemukan dari jarum sampai onderdil traktor. Dari baling-baling mesin perahu sampai pesawat jet. Semua dijamin tiruan,dan aman-aman saja.

Di dunia kreatif lebih gawat lagi. Skenario sinetron sampai Compac Disc (CD) lagu dibuat duplikasinya. Musisi sekaliber Bob  Geldof sampai teriak-teriak,tapi hingga sekarang pembajakan tak kunjung berhenti. Di satu sisi,aktifitas ini memang sedikit memancing kreatifitas. Tapi kalau itu dibumbui inovasi tambahan. Celakanya, peniruan itu bersifat copy paste. Mungkin karena sudah akut, berlangsung lama dan massif, peniruan dan pemakaian barang bajakan seperti bukan dosa.

Jangan pula dikait-kaitkan dengan pelanggaran hak cipta. Semua aparat hukum di Indonesia melempem. Buktinya, tak pernah kita dengar produsen jam mahal seperti Rolex dan lainnya,yang komplain saat produknya ditiru dan dijual ratusan ribu hingga Rp 5 juta. Semua berjalan biasa. Ibarat kebohongan yang terus menerus diulang, akhirnya dianggap kebenaran. Jam asli atau palsu, semua sama saja.

Ironisnya, karakter kita beda dengan Bangsa Jepang. Karakter negeri matahari terbit itu,kata para sosiolog, pelit secara kultural. Permukaannya modern. Tapi dalamnya masih tradisional,tertutup, dan curiga dengan benda-benda asing. Sampai-sampai, mantan perdana menteri Jepang saat masih menjabat, Yasuhiro Nakasone, berkampanye agar rakyat Jepang lebih banyak membeli barang buatan luar negeri. Hal ini menanggapi kemarahan Amerika Serikat (AS),yang negerinya banyak diserbu barang Jepang. Sementara barang AS tak laku di Jepang.

Dari zaman Menteri Penerangan Harmoko kampanye mencintai produk dalam negeri didengungkan. Di film, konon biar jadi tuan rumah di negeri sendiri. Tapi tetap tak berhasil. Mungkin salah kita, untuk urusan jam tangan, belum ada produk asli dalam negeri. Tapi inipun tak harus jadi pembenaran,jika pejabat yang mestinya jadi teladan,malah terus terang mengaku memakai jam tangan tiruan. Tentu semua berharap,pangkat pejabat tadi bukan pangkat KW,seperti pangkat Jenderal Naga Bonar,misalnya.

Mahal atau murah,KW atau orisinal,fungsi jam tangan pada akhirnya sama. Pembedanya adalah mental pemakainya. Di kalangan selebritis, jam-jam mahal dengan tatakan berlian kerap dipakai. Ada kebanggaan untuk menunjuk dimana kelas sosialnya berada. Tapi semua menjadi sia-sia,ketika dasarnya dia suka ngaret. Yang teringat kemudian cuma satu,ketika kita janjian dengan artis tersebut.

“Oh, sama yang suka telat ya kalau janjian,”ucap teman. Alhasil,ketika muncul dengan jam yang melingkar di tangan seharga Rp 1 milyar pun, “harga” orang itu tak lebih mahal dari jam KW yang banyak dijual orang di Pasar  Rumput. Asesoris tetaplah asesoris.Ia tak bisa mengalahkan karakter baik, kemuliaan jiwa dan akhlak mulia, yang tak bisa dinilai dengan nominal seberapapun banyaknya. Sekarang tinggal pilih,kita mau yang bagaimana...
                                                                                                    

No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas kunjungan anda!