Daftar Isi

Wednesday, May 28, 2014

Kecap nomor satu (renungan ttg kepemimpinan nasional)



Pagi, saat mentari belum beranjak naik,seorang ekonom terkenal menyapa saya lewat blackberry messenger. Minggu pagi pekan kemarin saya sebetulnya masih terkantuk-kantuk,lantaran habis menonton final Liga Champion antara Real Madrid versus Atletico Madrid. Ekonom yang giat menyerang sistem ekonomi neo liberal ini rupanya tergelitik mengomentari display ficture saya, yang memasang  gambar lucu capres-cawapres yang maju.

“Sekarang hari bingung nasional ya?”ujarnya. Saya tertawa kecil. Diskusi ringan lantas berlanjut. Pengusung konsep ekonomi kerakyatan ini akhirnya mengaku sudah memiliki ketetapan hati memilih. Ia bahkan membuka kisah masa lalu,tentang betapa intensifnya ia berdialog dengan salah satu capres. Topiknya apalagi,jika bukan soal ekonomi.Intinya, kita harus tegas menolak intervensi asing yang akan menjadikan Indonesia sebagai “jajahan”nya secara ekonomi.

Sebagai negara berkembang,tentu diperlukan nyali hebat. Seorang pemimpin berhati singa. Malaysia pernah punya Mahatir Muhammad, mantan perdana menteri yang dijuluki Sukarno kecil. Dengan konsep ekonomi kerakyatan yang jelas, dan kepemimpinan nasional yang tegas dan berani, tak ada celah bagi negara lain melecehkan kita. Sesuatu yang selama ini jadi keprihatinan banyak orang,lantaran para presiden RI setelah masa reformasi,lebih suka menggunakan soft power.

Dua kali pemilihan presiden langsung,membersitkan harapan pada presiden setelah SBY,yang bakal bertarung 9 Juni nanti. Visi ekonomi yang jadi bahan obrolan pagi itu,sejauh ini memang tak banyak terekspos,lantaran jadwal debat yang dipersiapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) belum terlaksana. “Sekarang yang lebih banyak beredar iklan kecap nomor satu. Masyarakat juga enggan mencermati apa isi kepala para capres,”kata ibu ekonom itu.

Kecap nomor satu dalam konteks perhelatan demokrasi memang lebih banyak diwarnai informasi kulit. Tidak esensial. Belum lagi gempuran berbagai kampanye hitam,yang beredar di ranah sosial media. Pembentukan opini tak kalah hiruk pikuk ditayangkan televisi. Jika sebelum pemilihan legislatif pemberitaan didominasi tema soal partai pemilik televisi, kini masing-masing capres-cawapres  punya “corong” sendiri-sendiri.

Memang sempat tersiar kabar ada protes dari awak redaksi sebuah televisi,yang jengah lantaran dilarang menurunkan berita tertentu. “Kita harus lawan kesewenang-wenangan pemilik media.Karena frekuensi adalah milik publik,”bunyi broadcast message, yang di share di sebuah grup kumpulan para kuli tinta. Tapi hingga kini,televisi berita masih dan seolah sudah jadi TV kabel yang beritanya tak jauh-jauh dari capres usungannya.

Melihat TV berita,bagi sebagian orang lantas jadi ritual yang menyiksa. Di sosial media seperti facebook,ingar bingar ini bahkan telah membelah pengguna dalam pro dan kontra tak berujung. Semua beropini,dengan data dan fakta yang kerap diambil dari sumber tak jelas. Kondisi ini tak urung menimbulkan kebimbangan. Atau seperti kata ibu ekonom tadi, sekarang kita sedang dalam kondisi “bingung nasional”.

Tak hanya melanda akar rumput. Para elit partai pun banyak terbelah dalam dua kubu. Perbedaannya,jika mereka berstrategi dengan pertimbangan kursi atau posisi, rakyat kecil yang tak cukup melek informasi sering termakan oleh berbagai pencitraan. Sesuatu yang tidak riil,tapi sengaja “dijual” untuk meyakinkan publik bahwa itu adalah nyata.

Godaan kekuasaan membuat para politisi kerap kehilangan akal sehat. Lihatlah di Jakarta. Musim kampanye belum dimulai, tapi tebaran spanduk sudah memenuhi berbagai perempatan jalan.  Setiap celah aturan,jika mungkin akan disiasati,dan inilah yang membuat situasi semakin runyam. Ada sosialisasi, tapi kita tak tahu apa yang akan mereka perbuat jika terpilih.

Sejatinya,hal paling mudah menentukan calon pemimpin hanya merujuk pada empat kriteria,seperti yang dicontohkan Rosul Muhammad.  Secara universal, inilah ibu kandung dari segala kebaikan, jaminan mutu “kecap nomor satu”, dus,segala ingar bingar kampanye dan propaganda, tak lebih dari tambahan informasi yang bakal semakin memantapkan pada pilihan yang tersedia. Empat kriteria itu adalah Shiddiq (benar), Amanah (bisa dipercaya), Tabligh (menyampaikan) dan Fathonah (cerdas).

Shiddiq mengacu pada bukan saja perbuatannya yang benar,tapi juga keselarasan antara ucapan dan perbuatan. Sesuatu yang amat langka dikalangan para politisi. Shiddiq mesti ditunjang dengan kecerdasan (Fathonah),lantaran setiap keputusan yang menyangkut rakyat banyak, akan berakibat panjang jika tak ada ilmu untuk memutuskan.

Amanah menjadi elemen penting untuk menilai,apakah ia benar-benar bisa dipercaya saat mengemban tugas yang di endorse oleh masyarakat. Kekuasaan yang memabukan, sering membuat sifat Amanah berubah menjadi pemenuhan syahwat kekuasaan belaka. Dilantik untuk lima tahun,namun begitu ada kesempatan memburu jabatan yang lebih tinggi, posisi yang sudah dipegang “dilepas”.

Ironisnya tak benar-benar dilepas,tapi sekadar mengajukan cuti,dengan pikiran jika gagal,ia masih bisa terus “duduk” jadi bupati,walikota atau gubernur. Sekarang sudah saatnya tutup telinga,tapi buka mata lebar-lebar. Semua informasi bisa datang dari mana saja, untuk meyakinkan diri sendiri,jika mereka yang nyapres benar-benar memiliki empat sifat itu. Jika sudah yakin, saya jamin “bingung nasional” tidak akan berkepanjangan


Monday, May 19, 2014

mestakung



Ditengah hiruk pikuk berita koalisi parpol dan pendaftaran capres-cawapres 2014, film televisi ini menarik untuk disimak.  Ditayangkan di MNCTV, film berjudul “Cita-citaku Setinggi Tanah” itu bercerita tentang sosok anak kecil bernama Agus,yang memendam ambisi yang terdengar remeh,tapi punya pesan moral tinggi.  Dari perspektif para motivator,mungkin apa yang dicita-citakan Agus tidak penting.  Sebagai anak seorang karyawan pabrik tahu, ia hanya bermimpi ingin makan di rumah Makan Padang favoritnya. Ya, sekedar ingin mencicipi masakan Padang.

Agus terus berusaha mewujudkannya. Awalnya ia menabung di sebuah celengan bambu. Tapi saat pabrik tahu tempat ayahnya bekerja sedang menurun produksinya, Agus tak lagi diberi uang saku.  Saban sekolah,ia akhirnya membawa bekal nasi dan lauk tahu bacem. Penulis cerita coba mengkaitkan kebiasaan Agus yang tiap hari makan dengan lauk tahu bacem, untuk sebuah alasan ia ingin mencoba lezatnya masakan Padang.

Lewat sebuah cerita yang penuh liku, Agus akhirnya mendapat rejeki tak terduga,ketika ia menjadi pengantar tahu ke seorang juragan ayam.  Honor dari mengantar tahu setiap hari itu kemudian dikumpulkan,hingga jumlahnya menjadi cukup untuk mampir ke Restoran Padang.  Di akhir cerita,film tak menggambarkan ia sedang makan di rumah makan idamannya. Agus hanya membaca cerita soal cita-citanya di depan kelas, dan tepuk tangan teman-temannya mengakhiri kisah mengharukan ini.

Cita-cita Agus memang “rendah”. Tapi bukan itu sebenarnya esensi dari sikap dan daya juang yang melecutnya.  Agus mengajarkan,cita-cita bukan untuk dipilih.  Tapi diwujudkan. Ini pula yang dilakukan seorang Birul Qodriyah.  Jika Agus cerita fiksi, kisah Birul sempat membuat mata saya merebak.  Mahasiswi tingkat akhir Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada,Yogyakarta ini bisa meraih mimpinya menjadi dokter,lewat beasiswa Bidikmisi,yang diperuntukan bagi anak keluarga miskin.

Orang tua Birul hanya buruh tani.  Sehari kalau ada pekerjaan ia dibayar Rp 5000. Birul yang menyadari kekurangan ekonomi orang tuanya,sempat bimbang.  Tapi ia tulis cita-citanya di selembar kertas,dan digantung di dinding bambu rumahnya. Setiap orang yang baca mentertawakannya. Birul belajar keras,hingga akhirnya lolos mendapatkan beasiswa Bidikmisi. Pidato testimoninya di depan Presiden SBY dan para Menteri di Hotel Bidakara,Jakarta,belum lama ini, membuat para undangan larut dalam keharuan dan kebanggaan.

“Sekarang pelajar miskin jangan takut bermimpi,”kata Birul.”Saya yakin,dengan belajar keras,kita bisa menjadi orang berkualitas dan menjadi generasi emas,”sambung Birul. Kata-kata Birul inilah yang sempat menohok kalbu saya,lantaran kagum dan salut dengan perjuangannya. Saya tahu betul psikologi anak muda yang punya cita-cita,tapi dukungan dana orang tua tak ada. Namun saya setuju,mimpi punya siapa saja,dan jika kita bergerak mewujudkannya,hal-hal penuh keajaiban akan datang membantunya.

Agus dan Birul hanya segelintir contoh anak muda bermental baja,ditengah ribuan anak muda lain yang tak tahu arah hidup yang ingin dibidiknya. Kadang-kadang,ketika segala fasilitas pendukung bisa dipakai, kita menyia-nyiakannya. Banyak anak dari orang tua kaya,tapi gagal dalam hidup karena lengah dengan segala kemudahan. Ada pula yang sudah diberi “jembatan” untuk mewujudkan mimpi,namun kalah oleh godaan nikmat sesaat,hingga hancur segala perjuangan yang sudah dilakukan.

Belum lama ramai berita Shara Meilanda Ayu, gadis 20 tahun yang kuliah di Politeknik Negeri Jakarta Jurusan Administrasi. Orang tua Ayu, Sugianto, pernah sesumbar hendak jual ginjal,demi membiayai kuliah anaknya. Oleh Mendikbud Muhammad Nuh, Ayu dikasih beasiswa lewat program Bidikmisi. Satu semester Rp 3 juta. Untuk biaya hidup,Ayu dapat Rp 600 ribu tiap bulan. Tapi apa yang terjadi? Baru satu semester kuliah, Ayu pilih kabur bersama pacarnya ke Bangka Belitung. Studinya ditinggalkan begitu saja.

Kasus Ayu memang hanya satu noda kecil,dibalik ratusan kisah heroik anak-anak muda peraih Bidikmisi. Tapi tetap saja,itu jadi tamparan paling telak bagi dunia pendidikan kita. Ada kesalahan identifikasi,lantaran mendikbud terkesan dengan perjuangan Sugianto meratap-ratap di depan kamera televisi. Tapi pak menteri tak awas,jika moral dan mental Ayu sebetulnya mental pecundang. Ibarat belum terlatih kerasnya kehidupan, ia sudah diberi “senjata” untuk maju “perang”.Ya, jelas tak tahan.

Cita-cita hanya kita yang tahu. Saat andrenalin kita bergejolak agar kita tergerak mewujudkannya, ada yang percaya alam bawah sadar kita akan membantu. Teori mestakung alias semesta mendukung,sebagai “campur tangan” Tuhan, setidaknya bukan omong kosong belaka.”Tidak apa-apa jika kita berasal dari keluarga yang biasa.Tapi kita hidup di zaman yang  memungkinkan kita menjadi manusia luar biasa,”kata Emirsyah Satar,Direktur Utama maskapai penerbangan Garuda Indonesia,saat jadi pembicara supermentor,pekan lalu di Gedung Djakarta Theater XXI,Jakarta.

Bila dilakukan survey di berbagai lembaga pemerintah, mayoritas pegawai dan mereka yang mendapat tugas belajar ke luar negeri adalah dari keluarga tak mampu. Mereka berasal dari pelosok-pelosok desa. Tak heran, kadang saat mereka mendapat kesempatan bisa membeli mobil di Amerika yang tergolong murah, hambatan pertama adalah mereka tak bisa menyetir. Tentu saja mereka bermental seperti Agus dan Birul. Bukan seperti Ayu,yang justru merasa jenuh kuliah,saat semua pintu keberuntungan dibuka lebar-lebar oleh pemerintah.#


Monday, May 12, 2014

Rest in Peace



Desain duka cita itu laiknya iklan lelayu di media massa. Ada foto,ada nama yang meninggal dunia. Cuma kali ini, foto dan namanya begitu ‘spesial’.Di situ tertulis Ir. Herbertus Joko Widodo,dengan foto Jokowi yang biasa terpampang di halaman surat kabar. Jokowi dikabarkan “meninggal dunia” pada 4 Mei 2014 lalu,dan dikremasi dua hari kemudian. Tak lupa, nama Iriana Widodo,yang juga istri Jokowi tercantum sebagai pihak yang mengirim “iklan” duka cita itu ke surat kabar.

Bagian-bagian tertentu memang terkesan ingin main-main. Lihat saja bagaimana Jokowi dikabarkan disemayamkan dulu di Lenteng Agung,Jakarta Selatan,kantor DPP PDI Perjuangan, sebelum dikremasi. Begitu juga munculnya nama Megawati, sebagai pihak yang ikut berduka cita. Jokowi sendiri mengaku,”iklan” ini menjadi sesuatu yang tidak mengenakan, walau ia enggan meladeni.

Jokowi,tentu saja masih hidup. Tapi “iklan” duka cita itu sudah terlanjur menyebar lewat facebook dan twitter. “Iklan” ini sempat menjadi trending topic di dunia maya. Berbagai analisis kemudian mencuat. Ada yang bilang,itu kerjaan tim sukses capres Jokowi,untuk menuai simpati massa. Banyak pula yang ngomong, “iklan” itu kerjaan dari lawan politik Jokowi,yang akan bertanding di pilpres mendatang.

Isu meninggal dunia, berita kematian, dan kabar berpulangnya tokoh terkenal,memang kerap kali mengejutkan.  Tapi isu ini menjadi menarik,bukan saja lantaran posisi Jokowi sebagai salah satu capres terkuat. Pernyataan Rest in Peace (RIP) alias beristirahat dalam damai,jika ditinjau dari sisi analisis konten, seperti memberi informasi keyakinan yang dianut Jokowi. Inilah makna bersayap yang ingin dilempar si pembuat “iklan” itu.

Sayang,Jokowi memilih melupakan.”Cuma menghabiskan energi mengurusnya,”katanya. Meski secara teknis,dengan kecanggihan alat yang dimiliki polri, misteri pengunggah dan pembuat “iklan” ini bisa diungkap dengan mudah. Syaratnya, Jokowi mesti membawa kasus ini ke ranah hukum.Minimal ada shock therapy,dan kampanye-kampanye miring serupa tidak terus terulang saban perhelatan demokrasi lima tahunan datang.

Sebab,tak semua orang bisa menebak arti peristiwa politik yang tersaji. Di zaman orde baru,kampanye semacam ini sering dilakukan lewat sebuah operasi khusus. Tujuannya apalagi, kalau bukan untuk menarik simpati massa. Misal ada massa partai politik tertentu yang diserang oleh massa dengan seragam partai lain.Padahal otak penyerangan adalah orang dari parpol yang diserang.

Jika boleh jujur, jelang pilpres mendatang, semakin menunjukan karakter demokrasi kita yang masih anak bawang. Pilihan kampanye negatif, saling serang untuk hal-hal yang tak substansial, serta isu-isu lama yang getol diangkat lagi,memenuhi ruang publik dan berulang-ulang dijejalkan ke otak kita. Ironisnya, media massa ikut menari dari gendang yang mereka tabuh. Mereka terjebak dalam perang opini yang kerap menyesatkan.

Meski terbilang sukses,dua kali perhelatan pemilihan presiden langsung mengajarkan banyak hal. Politik fitnah,dengan desain dan skenario yang sistematis dan cermat,mengubur “perang” visi dan misi. Dua kandidat,Jokowi dan Prabowo,sama-sama disenggol isu SARA. Inilah isu yang sensitif,dan amat mudah menimbulkan sentimen massa,lantaran sikap melodramatik rakyat Indonesia yang masih tinggi.

Kemajuan teknologi sosial media juga menjadi “kuda troya” yang amat efektif untuk menimbulkan absurdnya kekisruhan seperti ini. Kondisi ini bahkan merambah ke bidang lain,yang jauh dari hiruk pikuk politik. Usai muncul “iklan” RIP Jokowi, pesan blackberry serupa menyebar, yang menyebut pelawak Olga Syahputra menghembuskan nafas terakhir di Singapura.

Berita kematian tanpa fakta akhirnya menjadi sesuatu yang begitu mudah keluar. Dinding-dinding kesadaran kita kerap kali tersiksa,tapi sejauh ini tak ada instrumen yang bisa menghentikan isu-isu yang kerap dilempar di sosial media. Sesuatu yang jarang terjadi di negara-negara dengan tingkat peradaban tinggi,saat kematian menjadi momen yang sakral dan mendapat tempat yang mulia.

“Iklan” RIP Jokowi mengisyaratkan,ada yang salah dengan cara-cara perebutan kekuasaan, yang kerap menghalalkan segala cara.Kekuasaan tak lagi dipandang sebagai “alat” untuk menggapai cita-cita tertinggi mensejahterakan rakyat. Hal ini juga menjadi bukti,betapa kejamnya pasukan-pasukan klandestin yang bertugas meng-create isu-isu tertentu,dengan motif-motif tertentu. 

Tak perlu ada yang ditakutkan dengan kematian.Tapi mempermainkan kematian,juga menjadi bentuk kesombongan yang menunjukan kelemahan tak termaafkan. Jika orang bijak bilang kematian menjadi salah satu rahasia Tuhan selain kelahiran dan perjodohan,penghargaan terhadap hidup juga menjadi cara kita untuk percaya, jika Tuhan tidak pernah menghendaki kita untuk “mematikan”orang lain,meski dalam bentuk berita bohong*

Tuesday, May 6, 2014

Jam Tangan



Ada perasaan kesal secara berulang,jika saya membeli jam tangan seharga Rp 50 ribu. Murah,tapi tak pernah awet. Baru 5 bulan sudah rusak. Ujung-ujungnya, jam tangan hanya jadi sampah. Saya malas memperbaikinya,karena biaya perbaikan hampir mendekati harga beli. Sesekali saya berkhayal juga ingin membeli jam tangan bagus. Tentu saja yang harganya agak mahalan. Tapi saldo di rekening sering “menjerit”,jika saya paksakan untuk diambil.

Belakangan otak dagang saya mulai bekerja.Katakanlah jam tangan Rp 50 ribu itu bisa bertahan selama 5 bulan. Jika direrata,setiap bulan saya mnghabiskan uang Rp 10 ribu. Lumayan menghemat. Kadang kalau hati-hati jangan sampai kena air hujan,umur jam tangan saya lumayan panjang. Tapi gangguan tak semata air hujan. Jam jatuh,atau kena benturan,tahu-tahu mati. Ya,namanya jam imitasi,begitulah adatnya, meski merknya Swiss Army.

Saya mungkin tipe orang yang melihat  jam tangan secara konservatif. Jam saya hargai lebih ke fungsionalnya. Dalam teori kebutuhan Maslow,saya tak tahu ini masuk kategori mana. Tapi yang jelas bukan asesoris dan tak pernah berfikir jadi barang hiasan. Saya terpaksa pakai jam tangan, karena tidak seperti orang-orang dikampung, saya tak punya ketrampilan visual melihat matahari untuk menentukan sudah jam berapa. Ketrampilan visual ini yang membuat jam semahal apapun dikampung saya di Tegal, Jawa Tengah, tak ada harganya.

Bertahun-tahun hidup di daerah terpencil dan saya amati,mayoritas warga tak pernah memakai jam tangan. Padahal mereka harus mencangkul pagi-pagi. Shalat dzuhur di dangau tepi sawah. Kemudian pulang ketika bayangan tubuh mulai agak memanjang. Semua dilakukan dengan felling.Tapi anehnya, saban kali diundang untuk walimahan atau yasinan,mereka tak pernah telat. Jika kita butuh acara mulai pukul 20.00 WIB,mereka akan datang 15 menit sebelumnya. Luar biasa.

Jam tangan pertama yang saya miliki adalah ketika saya habis sunatan. Ada uang lebih dan saya diajak ke kota kabupaten membeli jam. Berikutnya saat ada saudara yang naik haji. Selain teko warna keemasan, saya juga diberi oleh-oleh jam tangan,yang belakangan saya tahu itu bisa dibeli di toko di Tanah Abang, Jakarta Pusat. Masa itu jam tangan bukan lagi benda berharga. Banyak jam tiruan yang bisa dibeli bebas di berbagai kali lima. Pemakaian jam tak lagi identik dengan kaum priyayi,yang memakai jam rantai ketika mengenakan baju beskap. Pokoknya mau pilih jam KW apa saja ada.

Mungkin karena banyak produk jam tangan bajakan,kita jadi terbuai untuk selalu memakai jam imitasi. Ini seolah sudah jadi “penyakit” nasional. Tak hanya jam, dari tas sampai sekrup, semua dibajak. Coba sesekali tengok daerah Adiwerna di Kabupaten Tegal. Di wilayah yang dijuluki “Jepangnya Indonesia” itu,kita bisa menemukan dari jarum sampai onderdil traktor. Dari baling-baling mesin perahu sampai pesawat jet. Semua dijamin tiruan,dan aman-aman saja.

Di dunia kreatif lebih gawat lagi. Skenario sinetron sampai Compac Disc (CD) lagu dibuat duplikasinya. Musisi sekaliber Bob  Geldof sampai teriak-teriak,tapi hingga sekarang pembajakan tak kunjung berhenti. Di satu sisi,aktifitas ini memang sedikit memancing kreatifitas. Tapi kalau itu dibumbui inovasi tambahan. Celakanya, peniruan itu bersifat copy paste. Mungkin karena sudah akut, berlangsung lama dan massif, peniruan dan pemakaian barang bajakan seperti bukan dosa.

Jangan pula dikait-kaitkan dengan pelanggaran hak cipta. Semua aparat hukum di Indonesia melempem. Buktinya, tak pernah kita dengar produsen jam mahal seperti Rolex dan lainnya,yang komplain saat produknya ditiru dan dijual ratusan ribu hingga Rp 5 juta. Semua berjalan biasa. Ibarat kebohongan yang terus menerus diulang, akhirnya dianggap kebenaran. Jam asli atau palsu, semua sama saja.

Ironisnya, karakter kita beda dengan Bangsa Jepang. Karakter negeri matahari terbit itu,kata para sosiolog, pelit secara kultural. Permukaannya modern. Tapi dalamnya masih tradisional,tertutup, dan curiga dengan benda-benda asing. Sampai-sampai, mantan perdana menteri Jepang saat masih menjabat, Yasuhiro Nakasone, berkampanye agar rakyat Jepang lebih banyak membeli barang buatan luar negeri. Hal ini menanggapi kemarahan Amerika Serikat (AS),yang negerinya banyak diserbu barang Jepang. Sementara barang AS tak laku di Jepang.

Dari zaman Menteri Penerangan Harmoko kampanye mencintai produk dalam negeri didengungkan. Di film, konon biar jadi tuan rumah di negeri sendiri. Tapi tetap tak berhasil. Mungkin salah kita, untuk urusan jam tangan, belum ada produk asli dalam negeri. Tapi inipun tak harus jadi pembenaran,jika pejabat yang mestinya jadi teladan,malah terus terang mengaku memakai jam tangan tiruan. Tentu semua berharap,pangkat pejabat tadi bukan pangkat KW,seperti pangkat Jenderal Naga Bonar,misalnya.

Mahal atau murah,KW atau orisinal,fungsi jam tangan pada akhirnya sama. Pembedanya adalah mental pemakainya. Di kalangan selebritis, jam-jam mahal dengan tatakan berlian kerap dipakai. Ada kebanggaan untuk menunjuk dimana kelas sosialnya berada. Tapi semua menjadi sia-sia,ketika dasarnya dia suka ngaret. Yang teringat kemudian cuma satu,ketika kita janjian dengan artis tersebut.

“Oh, sama yang suka telat ya kalau janjian,”ucap teman. Alhasil,ketika muncul dengan jam yang melingkar di tangan seharga Rp 1 milyar pun, “harga” orang itu tak lebih mahal dari jam KW yang banyak dijual orang di Pasar  Rumput. Asesoris tetaplah asesoris.Ia tak bisa mengalahkan karakter baik, kemuliaan jiwa dan akhlak mulia, yang tak bisa dinilai dengan nominal seberapapun banyaknya. Sekarang tinggal pilih,kita mau yang bagaimana...