Pagi,
saat mentari belum beranjak naik,seorang ekonom terkenal menyapa saya lewat blackberry
messenger. Minggu pagi pekan kemarin saya sebetulnya masih terkantuk-kantuk,lantaran
habis menonton final Liga Champion antara Real Madrid versus Atletico Madrid.
Ekonom yang giat menyerang sistem ekonomi neo liberal ini rupanya tergelitik
mengomentari display ficture saya, yang memasang gambar lucu
capres-cawapres yang maju.
“Sekarang
hari bingung nasional ya?”ujarnya. Saya tertawa kecil. Diskusi ringan lantas
berlanjut. Pengusung konsep ekonomi kerakyatan ini akhirnya mengaku sudah
memiliki ketetapan hati memilih. Ia bahkan membuka kisah masa lalu,tentang
betapa intensifnya ia berdialog dengan salah satu capres. Topiknya apalagi,jika
bukan soal ekonomi.Intinya, kita harus tegas menolak intervensi asing yang akan
menjadikan Indonesia sebagai “jajahan”nya secara ekonomi.
Sebagai
negara berkembang,tentu diperlukan nyali hebat. Seorang pemimpin berhati singa.
Malaysia pernah punya Mahatir Muhammad, mantan perdana menteri yang dijuluki
Sukarno kecil. Dengan konsep ekonomi kerakyatan yang jelas, dan kepemimpinan
nasional yang tegas dan berani, tak ada celah bagi negara lain melecehkan kita.
Sesuatu yang selama ini jadi keprihatinan banyak orang,lantaran para presiden
RI setelah masa reformasi,lebih suka menggunakan soft power.
Dua
kali pemilihan presiden langsung,membersitkan harapan pada presiden setelah
SBY,yang bakal bertarung 9 Juni nanti. Visi ekonomi yang jadi bahan obrolan
pagi itu,sejauh ini memang tak banyak terekspos,lantaran jadwal debat yang
dipersiapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) belum terlaksana. “Sekarang yang lebih
banyak beredar iklan kecap nomor satu. Masyarakat juga enggan mencermati apa
isi kepala para capres,”kata ibu ekonom itu.
Kecap
nomor satu dalam konteks perhelatan demokrasi memang lebih banyak diwarnai
informasi kulit. Tidak esensial. Belum lagi gempuran berbagai kampanye
hitam,yang beredar di ranah sosial media. Pembentukan opini tak kalah hiruk
pikuk ditayangkan televisi. Jika sebelum pemilihan legislatif pemberitaan
didominasi tema soal partai pemilik televisi, kini masing-masing
capres-cawapres punya “corong” sendiri-sendiri.
Memang
sempat tersiar kabar ada protes dari awak redaksi sebuah televisi,yang jengah
lantaran dilarang menurunkan berita tertentu. “Kita harus lawan
kesewenang-wenangan pemilik media.Karena frekuensi adalah milik publik,”bunyi broadcast
message, yang di share di sebuah grup kumpulan para kuli tinta. Tapi
hingga kini,televisi berita masih dan seolah sudah jadi TV kabel yang beritanya
tak jauh-jauh dari capres usungannya.
Melihat
TV berita,bagi sebagian orang lantas jadi ritual yang menyiksa. Di sosial media
seperti facebook,ingar bingar ini bahkan telah membelah pengguna dalam
pro dan kontra tak berujung. Semua beropini,dengan data dan fakta yang kerap
diambil dari sumber tak jelas. Kondisi ini tak urung menimbulkan kebimbangan.
Atau seperti kata ibu ekonom tadi, sekarang kita sedang dalam kondisi “bingung
nasional”.
Tak
hanya melanda akar rumput. Para elit partai pun banyak terbelah dalam dua kubu.
Perbedaannya,jika mereka berstrategi dengan pertimbangan kursi atau posisi,
rakyat kecil yang tak cukup melek informasi sering termakan oleh berbagai
pencitraan. Sesuatu yang tidak riil,tapi sengaja “dijual” untuk
meyakinkan publik bahwa itu adalah nyata.
Godaan
kekuasaan membuat para politisi kerap kehilangan akal sehat. Lihatlah di
Jakarta. Musim kampanye belum dimulai, tapi tebaran spanduk sudah memenuhi
berbagai perempatan jalan. Setiap celah aturan,jika mungkin akan
disiasati,dan inilah yang membuat situasi semakin runyam. Ada sosialisasi, tapi
kita tak tahu apa yang akan mereka perbuat jika terpilih.
Sejatinya,hal
paling mudah menentukan calon pemimpin hanya merujuk pada empat
kriteria,seperti yang dicontohkan Rosul Muhammad. Secara universal,
inilah ibu kandung dari segala kebaikan, jaminan mutu “kecap nomor satu”, dus,segala
ingar bingar kampanye dan propaganda, tak lebih dari tambahan informasi yang
bakal semakin memantapkan pada pilihan yang tersedia. Empat kriteria itu adalah
Shiddiq (benar), Amanah (bisa dipercaya), Tabligh
(menyampaikan) dan Fathonah (cerdas).
Shiddiq
mengacu pada bukan saja perbuatannya yang benar,tapi juga keselarasan antara
ucapan dan perbuatan. Sesuatu yang amat langka dikalangan para politisi. Shiddiq
mesti ditunjang dengan kecerdasan (Fathonah),lantaran setiap keputusan
yang menyangkut rakyat banyak, akan berakibat panjang jika tak ada ilmu untuk
memutuskan.
Amanah
menjadi elemen penting untuk menilai,apakah ia benar-benar bisa dipercaya saat
mengemban tugas yang di endorse oleh masyarakat. Kekuasaan yang
memabukan, sering membuat sifat Amanah berubah menjadi pemenuhan syahwat
kekuasaan belaka. Dilantik untuk lima tahun,namun begitu ada kesempatan memburu
jabatan yang lebih tinggi, posisi yang sudah dipegang “dilepas”.
Ironisnya
tak benar-benar dilepas,tapi sekadar mengajukan cuti,dengan pikiran jika
gagal,ia masih bisa terus “duduk” jadi bupati,walikota atau gubernur. Sekarang
sudah saatnya tutup telinga,tapi buka mata lebar-lebar. Semua informasi bisa
datang dari mana saja, untuk meyakinkan diri sendiri,jika mereka yang nyapres
benar-benar memiliki empat sifat itu. Jika sudah yakin, saya jamin “bingung
nasional” tidak akan berkepanjangan