Daftar Isi

Saturday, April 12, 2014

Sepotong Sajak


Seberapa jauh sepotong sajak bisa mengubah keadaan atau bahkan memicu sebuah revolusi sebuah bangsa?Jelang runtuhnya kekuasaan Orde Baru, ada satu penggalan penting tentang betapa takutnya seorang penguasa terhadap sebuah sajak. Kala itu, sajak berjudul “Peringatan” kerap dibacakan di depan massa demonstran. Sang penulis, Wiji Thukul, yang juga seorang buruh pabrik,tak putus-putus menyuarakan keresahannya dengan kata-kata keras dan tegas. Dan penguasa mendengarnya dengan seksama. 

“Apabila usul ditolak tanpa ditimbang. Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan.Dituduh subversif dan mengganggu keamanan. Maka hanya ada satu kata:lawan!” 

Wiji akhirnya menjemput takdirnya sebagai martir. Hingga kini nasibnya tak diketahui, masih hidup atau sudah meninggal. Nasib Wiji,memang berbeda dengan penyair besar almarhum WS. Rendra. Sajak “Sebatang Lisong” karya Rendra tak kalah keras menohok penguasa Orde Baru. Penyair berjuluk ‘Si Burung Merak’ ini memang sempat dipinggirkan. Pentas-pentasnya dilarang. Hak ekonominya dicabut. Sampai-sampai, Rendra harus bekerja kantoran,sekedar untuk bertahan hidup. 

Kerja kantoran Renda, tentu bukan laiknya para pekerja masa kini. Ia hanya memenuhi tawaran teman-temannya yang kasihan,karena kepenyairannya dibungkam. Kondisi ini berimbas pada asap dapurnya. Rendra jadi pajangan di kantor. Saban pagi naik Datsun,ngantor sejenak,sekedar menunggu angin baik saat ia bisa kembali pentas. Mungkin karena nama besar Rendra yang sudah menasional, hingga penguasa takut untuk “melenyapkannya”. 

Efektifitas sajak sebagai palu godam untuk menggedor tebalnya pintu kekuasaan memang terasa berbeda,ketika zaman masih diliputi kegelapan. Sastra menjadi “pedang” bermata ganda. Ia bisa menjadi katarsis dari sumpeknya jiwa yang dibelenggu tanpa sebab,dan disisi lain dapat menggambarkan realitas yang kerap ditutup-tutupi sekuat daya oleh sebuah rezim.“Menghisap sebatang lisong,melihat Indonesia Raya,mendengar 130 juta rakyat, dan dilangit dua tiga cukong mengangkang,berak di atas kepala mereka,”kata Rendra. 

Kesadaran pentingnya karya sastra untuk memotivasi perubahan politik,ditangkap sebagai ancaman dan hal ini banyak terjadi di berbagai negara penganut komunisme.Sastrawan peraih Nobel tahun 1958, Boris Pasternak, harus jatuh miskin lantaran buku-buku kumpulan sajaknya dilarang terbit oleh pemerintah Uni Sovyet. Tak banyak penghormatan saat Boris meninggal 30 Mei 1960 di rumahnya,kecuali belakangan setelah era glasnot dan perestroika berhembus, Boris Pasternak dipandang sebagai simbol perlawanan terhadap penindasan dan teror. 

Vaclac Havel mungkin lebih beruntung. Puisi-puisinya yang keras terhadap sistem komunisme, menghantarnya meraih popularitas tinggi usai komunisme hancur di Eropa Timur. Vaclac satu-satunya sastrawan yang sukses di dunia politik, dan menjadi Presiden Ceko dari 1993-2003. Wiji, Rendra,Boris dan Vaclac, menjadi contoh betapa sastra dan kekuasan diletakan dalam sebuah teater kehidupan yang mengusung idealisme dan nilai-nilai dasar kemanusiaan kita. 

“Apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan. Apakah artinya berfikir, bila terpisah dari masalah kehidupan,”teriak Rendra. 

Tentu karya sastra dan sastrawan tak imun dari godaan yang membuatnya terjerumus dalam kepentingan politik golongan.Munculnya Lembaga Kebudayaan Rakyat atau Lekra yang didirikan oleh DN Aidit 17 Agustus 1950, menjadi era paling menyedihkan dari reputasi sastra sebagai alat pembebasan. Keberpihakan sastra dipertanyakan,terlebih banyak tekanan terhadap mereka yang enggan bergabung dengan Lekra. Musim yang buruk itu menjadi titik paling kelam dalam sejarah perjalanan bangsa kita,khususnya di dunia kesusastraan. 

Maka saat para politisi saling berbalas sajak jelang Pileg dan Pilpres 2014, ada pertanyaan besar menggantung, seberapa jauh hal itu menggambarkan kondisi riil masyarakat kita. Memang, di satu sisi, gairah dan perhatian massa terhadap karya puisi dan sajak kembali menjelma. Selama ini, ketika era reformasi orang bisa bicara apa saja,kata-kata indah dalam rangkaian sajak tak lagi mendapat tempat layak. Ishadi SK, pakar komunikasi yang juga petinggi sebuah stasiun TV swasta,saat meluncurkan buku kumpulan puisinya, sampai-sampai ‘hanya’ menjadikan puisi sebagai hadiah untuk ulang tahun istrinya,lantaran murah meriah. 

Mungkin tuntutan saya terlalu berlebihan. Tapi ketinggian marwah sajak sebagai alat tohok penguasa lalim, menuntut kita semua untuk terus menerus mengingatkan,ketika akhirnya ada yang menggunakan sebagai alat politik jangka pendek. Bagaimanapun, sepotong sajak telah membawa kita pada kekaguman terhadap Pangeran Diponegoro misalnya, yang digambarkan bersenjatakan keris dan pedang,dengan semangat yang tak bisa mati. Atau sajak yang menggugah semangat juang,seperti Karawang-Bekasinya Chairil Anwar. 

Jika kebebasan berkreasi menjadi alasan dasar, ada baiknya masing-masing pihak mengadakan lomba pembacaan sajak saja di tiap kecamatan. Hadiah besar sediakan. Peserta harus membaca sajak wajib berjudul “Sandiwara” atau “Sajak Tentang Boneka”. Pihak lainnya usung sajak berjudul “Pemimpin Tanpa Kuda”. Cara ini,selain membuat gairah bersajak semakin menggelora, hadiah yang ada juga bisa menjadi tambahan beli beras dan mentraktir kawan. Ini lebih bermanfaat,daripada ribut di televisi tak berkesudahan. Tabik!

No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas kunjungan anda!