Seberapa jauh sepotong sajak bisa mengubah keadaan atau bahkan memicu
sebuah revolusi sebuah bangsa?Jelang runtuhnya kekuasaan Orde Baru, ada satu
penggalan penting tentang betapa takutnya seorang penguasa terhadap sebuah
sajak. Kala itu, sajak berjudul “Peringatan” kerap dibacakan di depan massa
demonstran. Sang penulis, Wiji Thukul, yang juga seorang buruh pabrik,tak
putus-putus menyuarakan keresahannya dengan kata-kata keras dan tegas. Dan
penguasa mendengarnya dengan seksama.
“Apabila usul ditolak tanpa ditimbang. Suara dibungkam kritik dilarang
tanpa alasan.Dituduh subversif dan mengganggu keamanan. Maka hanya ada satu
kata:lawan!”
Wiji akhirnya menjemput takdirnya sebagai martir. Hingga kini nasibnya tak
diketahui, masih hidup atau sudah meninggal. Nasib Wiji,memang berbeda dengan
penyair besar almarhum WS. Rendra. Sajak “Sebatang Lisong” karya Rendra tak
kalah keras menohok penguasa Orde Baru. Penyair berjuluk ‘Si Burung Merak’ ini
memang sempat dipinggirkan. Pentas-pentasnya dilarang. Hak ekonominya dicabut.
Sampai-sampai, Rendra harus bekerja kantoran,sekedar untuk bertahan hidup.
Kerja kantoran Renda, tentu bukan laiknya para pekerja masa kini. Ia hanya
memenuhi tawaran teman-temannya yang kasihan,karena kepenyairannya dibungkam.
Kondisi ini berimbas pada asap dapurnya. Rendra jadi pajangan di kantor. Saban
pagi naik Datsun,ngantor sejenak,sekedar menunggu angin baik saat ia bisa
kembali pentas. Mungkin karena nama besar Rendra yang sudah menasional, hingga
penguasa takut untuk “melenyapkannya”.
Efektifitas sajak sebagai palu godam untuk menggedor tebalnya pintu
kekuasaan memang terasa berbeda,ketika zaman masih diliputi kegelapan. Sastra
menjadi “pedang” bermata ganda. Ia bisa menjadi katarsis dari sumpeknya jiwa
yang dibelenggu tanpa sebab,dan disisi lain dapat menggambarkan realitas yang
kerap ditutup-tutupi sekuat daya oleh sebuah rezim.“Menghisap sebatang
lisong,melihat Indonesia Raya,mendengar 130 juta rakyat, dan dilangit dua tiga
cukong mengangkang,berak di atas kepala mereka,”kata Rendra.
Kesadaran pentingnya karya sastra untuk memotivasi perubahan
politik,ditangkap sebagai ancaman dan hal ini banyak terjadi di berbagai negara
penganut komunisme.Sastrawan peraih Nobel tahun 1958, Boris Pasternak, harus
jatuh miskin lantaran buku-buku kumpulan sajaknya dilarang terbit oleh
pemerintah Uni Sovyet. Tak banyak penghormatan saat Boris meninggal 30 Mei 1960
di rumahnya,kecuali belakangan setelah era glasnot dan perestroika berhembus,
Boris Pasternak dipandang sebagai simbol perlawanan terhadap penindasan dan
teror.
Vaclac Havel mungkin lebih beruntung. Puisi-puisinya yang keras terhadap
sistem komunisme, menghantarnya meraih popularitas tinggi usai komunisme hancur
di Eropa Timur. Vaclac satu-satunya sastrawan yang sukses di dunia politik, dan
menjadi Presiden Ceko dari 1993-2003. Wiji, Rendra,Boris dan Vaclac, menjadi
contoh betapa sastra dan kekuasan diletakan dalam sebuah teater kehidupan yang
mengusung idealisme dan nilai-nilai dasar kemanusiaan kita.
“Apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan. Apakah
artinya berfikir, bila terpisah dari masalah kehidupan,”teriak Rendra.
Tentu karya sastra dan sastrawan tak imun dari godaan yang membuatnya
terjerumus dalam kepentingan politik golongan.Munculnya Lembaga Kebudayaan Rakyat
atau Lekra yang didirikan oleh DN Aidit 17 Agustus 1950, menjadi era paling
menyedihkan dari reputasi sastra sebagai alat pembebasan. Keberpihakan sastra
dipertanyakan,terlebih banyak tekanan terhadap mereka yang enggan bergabung
dengan Lekra. Musim yang buruk itu menjadi titik paling kelam dalam sejarah
perjalanan bangsa kita,khususnya di dunia kesusastraan.
Maka saat para politisi saling berbalas sajak jelang Pileg dan Pilpres
2014, ada pertanyaan besar menggantung, seberapa jauh hal itu menggambarkan
kondisi riil masyarakat kita. Memang, di satu sisi, gairah dan perhatian massa
terhadap karya puisi dan sajak kembali menjelma. Selama ini, ketika era
reformasi orang bisa bicara apa saja,kata-kata indah dalam rangkaian sajak tak
lagi mendapat tempat layak. Ishadi SK, pakar komunikasi yang juga petinggi
sebuah stasiun TV swasta,saat meluncurkan buku kumpulan puisinya, sampai-sampai
‘hanya’ menjadikan puisi sebagai hadiah untuk ulang tahun istrinya,lantaran
murah meriah.
Mungkin tuntutan saya terlalu berlebihan. Tapi ketinggian marwah sajak
sebagai alat tohok penguasa lalim, menuntut kita semua untuk terus menerus
mengingatkan,ketika akhirnya ada yang menggunakan sebagai alat politik jangka
pendek. Bagaimanapun, sepotong sajak telah membawa kita pada kekaguman terhadap
Pangeran Diponegoro misalnya, yang digambarkan bersenjatakan keris dan
pedang,dengan semangat yang tak bisa mati. Atau sajak yang menggugah semangat
juang,seperti Karawang-Bekasinya Chairil Anwar.
Jika kebebasan berkreasi menjadi alasan dasar, ada baiknya masing-masing pihak mengadakan lomba pembacaan
sajak saja di tiap kecamatan. Hadiah besar sediakan. Peserta harus membaca
sajak wajib berjudul “Sandiwara” atau “Sajak Tentang Boneka”. Pihak lainnya
usung sajak berjudul “Pemimpin Tanpa Kuda”. Cara ini,selain membuat gairah
bersajak semakin menggelora, hadiah yang ada juga bisa menjadi tambahan beli
beras dan mentraktir kawan. Ini lebih bermanfaat,daripada ribut di televisi tak
berkesudahan. Tabik!
No comments:
Post a Comment
Terima kasih atas kunjungan anda!