Pagi, saat
rencana pengunduran diri Rhoma Irama dari kursi calon presiden beredar,saya
baru yakin inilah jalan paling baik bagi si raja dangdut. Di awal-awal ia maju
sebagai capres, masih ada penghormatan itulah hak Rhoma sebagai warga negara.
Meski sebagai penggemar Rhoma, saya tentu berharap ia masih mau berdiri di atas
semua golongan dan parpol. Ini artinya, Rhoma jangan berafiliasi dengan parpol
tertentu. Jangan mau terkooptasi oleh kekuatan tertentu. Rhoma adalah
Rhoma,yang menyuarakan sikap politiknya berdasar kejujuran atas realitas yang
ada.
Tanda-tanda
jika angin baik tak lagi berhembus ke pihak Rhoma memang sedikit terasa,ketika
hasil pileg diumumkan oleh lembaga-lembaga hitung cepat. Nama Rhoma seperti
tenggelam dalam euporia para politisi, yang kasak kusuk saling incar kursi.
Jangankan disebut sebagai calon presiden,seperti niat awalnya yang terbilang
menggebu-gebu. Untuk kursi calon wakil presiden saja,nama Rhoma hilang. Mungkin
pengurus parpol yang mengusung Rhoma bersikap realistis. Atau, jika pun ada
peluang mengincar kursi cawapres,ketua umum parpol tempat Rhoma bergabung pun
sepertinya berminat.
Rhoma tentu
bukan harga mati.Seperti kata ahli politik Prusia-Jerman, Otto Von Bismarck
(1815-1898), politik adalah seni memainkan segala kemungkinan. Semua masih
ingat,bagaimana mantan walikota Solo selalu berujar tidak berambisi mengincar
kursi DKI 1.”Wajah jelek begini kok ngincar kursi gubernur Jakarta. Ya,nggak
mungkin,”katanya. Belakangan, saat kursi DKI 1 sudah ditangan, ketika ia
ditanya soal pencapresan,selalu berujar,”Ndak mikir,ndak mikir...”. Tapi
kemudian,publik akhirnya tahu.
Sudah
diingatkan artis hanya dipakai parpol sebagai vote getter (pengumpul suara).
Politik bukanlah dunia mereka,karena disini harus punya hati tega. Sementara
seniman bermain dengan ‘rasa’.Partai tahu dan bisa memanfaatkan. Buktinya,banyak partai yang membiayai pencalegan artis hingga milyaran
untuk maju jadi caleg.Jika jadi syukur,tidak juga tak apa-apa yang penting
suara melonjak. Hitung-hitungannya, daripada membeli suara dari konstituen
langsung dan itu bisa dianggap pelanggaran pemilu,lebih baik membiayai artis
terkenal untuk “membeli” suara masyarakat.
Ini tentu saja
bukan kabar angin. Meski untuk mengejar pengakuan para artis terasa musykil.
Yang jelas, dari transaksi parpol dan artis,muncul pula makelar yang mencari
calon-calon artis untuk dimasukan jadi caleg. Imbalannya,begitu dana
operasional turun,sang makelar mendapat sekian persen sebagai komisi. Para
makelar ini menyebar dalam berbagai profesi, utamanya mereka yang punya akses
ke artis yang bersangkutan.Lengkap sudah praktik money politik dalam beragam
modus.
Pola ini
membuat fighting spirit para artis tenar tak begitu kuat.Mereka merasa nothing to
loose. Jadi syukur. Tidak juga tak apa-apa.Toh semua sudah difasilitasi.
Boro-boro menyiapkan diri secara intelektual untuk tugas-tugas anggota
legislatif. Jika pun dewi fortuna berpihak ke mereka, keberadaannya di parlemen
sekedar untuk pelengkap kuorum rapat. Hanya satu-dua yang mau dan bisa
berbicara dengan konten berbobot. Lainnya memilih diam,sembari asyik menerima
gaji bulanan tanpa kontribusi berarti.
Seniman harus
jujur dalam berkarya.Maka saat masuk politik ia dipaksa berbohong,karena bohong
adalah “Tuhan”nya para politisi. Sejak awal digaet parpol,Rhoma mestinya sadar
ia bakal di manfaatkan.Bagaimanapun, pengalaman berpolitiknya cukup panjang dan
mumpuni.Pernah di PPP,gabung ke Golkar,tapi semua membuatnya kecewa. Meski
untuk itu Rhoma tidak “teriak” dan lebih memilih mundur dari dunia politik dan
kembali berkesenian.
Sebagai calon
presiden, modal Rhoma juga minim. Baik modal kapital maupun ideologi.Modal
popularitas saja tak cukup mumpuni untuk mendongkrak elektabilitas. Justru
popularitas Rhoma dimanfaatkan caleg parpol,untuk menaikan nama mereka dengan
cara ikut dipasang gambarnya di spanduk-spanduk. Secara masif,nama Rhoma
dijadikan ikon,untuk mengingatkan calon pemilih.Istilahnya,kalau mau mencoblos
si Fulan,ya yang spanduknya ada gambar Rhomanya.Luar biasa.
Agak naif kalau
parpol tertentu yang suaranya melonjak 100 persen di pileg kemarin karena kerja
keras para kadernya.Parpol ini terkenal sebagai parpol lokal yang menasional.
Artinya, menonjol hanya di wilayah-wilayah tertentu,yang banyak bermukim
orang-orang penganut Nahdlatul Ulama. Kehadiran Rhoma, menimbulkan ‘efek Rhoma’ yang luar biasa. Jika ada hitung-hitungan ekonomi,berapa
harga Rhoma untuk mendongkrak suara parpol yang bersangkutan?
Kalaua khirnya
Rhoma berniat mundur,ini bukan kekalahan Rhoma. Ini
kemenangan kebenaran. Dunia seni masih membutuhkan kiprah Rhoma. Lantaran
seperti dunia dakwah, seni bersifat universal. Bahasa seni harus bisa diterima
semua kalangan. Seniman yang terpenjara oleh warna baju,akan membuat geraknya
menjadi terbatasi. Kursi presiden pun akan membuat kemungkinan
serangan-serangan sistematis berdatangan,lantaran ideologi dan pilihan hidup
yang dipilih Rhoma selama ini tak begitu populer di mata masyarakat.Misal
pandangannya soal poligami.
Jika Rhoma kecewa,saya
bisa mafhum. Boleh saja ia bilang,”Terlalu...”,untuk menggambarkan realitas
politik yang ada. Tapi apapun,saya ingin mengutip statemen menarik dari film
Kungfu Panda 2.”Ceritamu awalnya mungkin tidak menyenangkan.Tapi itu tidak
berarti sudah menunjukan siapa kamu. Akhir cerita yang menentukan. Dan sekarang
kamu yang menentukan akan jadi apa,”. Seperti kata Livius,sejarawan Romawi
kuno,apa yang terjadi nanti malam belumlah pasti. Hari ini Rhoma sempat berencana mundur,meski
kemudian ditangguhkan, dan siapa tahu nanti maju
lagi. Tapi saya
berharap ia tetap jadi seniman.Bukan politisi.
No comments:
Post a Comment
Terima kasih atas kunjungan anda!