Usai dikalahkan kesebelasan Granada
dengan skor 1-0 di ajang La Liga, para punggawa Barcelona mendapat banyak
cemoohan,saat mereka kembali ke markasnya di Camp Nou, Barcelona,Spanyol,pekan
lalu. Kekalahan ini melengkapi penderitaan Barca, setelah sebelumnya mereka
tersingkir dari arena Liga Champion,setelah kalah agregat dari Atletico Madrid.
Perjuangan untuk mempertahankan status juara La Liga pun semakin berat.
Ejekan itu bahkan cenderung rasis,
saat mereka menirukan suara monyet untuk bintang Barca asal Brasil,Neymar
Junior. Sang mega bintang, Lionel Messi, tak luput dari hardikan. Neymar dan
Messi dituduh hanya fokus di Piala Dunia, dan tidak berjuang mati-matian untuk
kejayaan klub. Banyak yang menuduh,sikap fans Barca lebih dikarenakan mereka
sebagai Glory Hunter,dan bukan The Real Fans.
Situasi berbeda terjadi di klub
besar asal Inggris, Manchester United (MU). Kendati di ajang Liga Primer mereka
hancur lebur,dus gelar juara liga primer musim lalu bakal melayang,sikap fans
MU tak seekstrim penggemar Barca. Sama seperti Barca, MU juga tersingkir
di Liga Champion, setelah kalah dari Bayern Munchen. Tapi, the real fans MU
tetap bisa tenang dan mendukung penuh sikap tim.
Sindrom Glory Hunter alias pemburu
kejayaan,seiring perjalanan waktu memang memiliki pergeseran makna.Ulah fans
kesebelasan yang tidak simpatik,ditengah semangat sportifitas yang dijunjung
tinggi di dunia olahraga, membuat spirit perjuangan untuk meraih kejayaan tak
lagi dipandang berarti.Mereka lebih melihat hasil dan hasil. Tak peduli itu
dilakukan dengan cara tak elegan. Alhasil, sepak bola tidak lagi dipandang
sebagai sebuah game, yang kadang menang,bisa pula kalah.
Lantaran kejayaan dan kemegahan
menjadi tujuan utama,yang masih di atas ingin terus bertahta. Mereka yang
dibawah,berusaha sekuat daya merangkak naik. Ini pula yang terjadi di tanah
air, di minggu-minggu yang penuh hiruk pikuk politik, saat Sindrom Glory Hunter
merasuki banyak politisi karbitan. Jika revolusi,kata Bung Karno, kerap memakan
anak kandungnya sendiri,maka demokrasi,tak bisa dipungkiri, sering merusak
tatanan sosial ekonomi masyarakat. Sindrom Glory Hunter membuat praktik
money politic merebak. Kekalahan menjadi aib yang tak pantas disandang.
Banyak yang bilang, ini adalah
buah dari ketergesa-gesaan sistem. Orde Baru tumbang begitu cepat,dan semua
belum siap berdemokrasi secara sehat. Di sisi lain, ada anggapan jika menjadi
politisi adalah profesi terhormat menuju jalan pintas kekayaan dan kepopuleran.
Kombinasi ini membuat mereka yang terjun di dunia politik masih sebatas pemburu
kejayaan. Bukan real politisi.
Belajar dari kesuksesaan Presiden
Obama, politik sejatinya adalah titian jalan panjang. Bertahun-tahun Obama
menggeluti dan terjun sebagai aktivis sosial. Ia dikenal lantaran kerja
sosialnya.Bukan kekuatan finansial atau menjual janji-janji setelah namanya
berkibar didunia hiburan.Politik adalah dunia pengabdian. Mereka dipilih karena
integritas dan misi visinya. Bukan karena gencarnya serangan fajar,atau
wajahnya sering muncul tiap hari di sinetron stripping.
Sindrom Glory Hunter juga membuat
jabatan sebatas batu loncatan. Saya pernah berdebat keras soal ini, ketika
seorang bintang sinetron terkenal yang juga anggota DPR RI dari PDI P,
menyatakan maju sebagai calon gubernur Jawa Barat. Jika si artis tersebut
gagal, rekan separtainya sukses meninggalkan posisi wakil bupati
Tangerang,untuk meraih jabatan sebagai wakil gubernur Banten. Padahal, saat
jadi wakil bupati Tangerang, tak ada prestasi yang ditorehkan dan bisa jadi
kebanggaan.
Ketika gubernur DKI Jakarta dengan
cepat memilih untuk sibuk mengurus pencapresannya, dibanding urusan-urusan
gubernuran,tanda-tanda terkena sindrom Glory Hunter seperti menemukan buktinya.
Terlalu naïf jika atas nama partai lantas amanat masyarakat Jakarta diabaikan
begitu saja. Glory Hunter masih jadi momok politisi kita, hingga dana milyaran
tak jadi soal,untuk memburu jabatan publik. Entah di lingkup eksekutif atau
legislatif.
Kondisi ini diperparah oleh pengurus
partai yang pragmatis, membuat semua seolah-olah berjalan secara demokratis.
Sebetulnya sudah lama kritik pedas ini dilontarkan para pengamat. Tapi atas
nama hak asasi, tak bosan-bosan para pengurus partai menyediakan karpet merah
untuk para caleg dari kalangan artis misalnya,sekedar untuk mendulang suara.
Tak aneh, Senayan kerap menjadi pelabuhan para politisi kembang kertas –mereka
enak diliat tapi tak punya “akar” ke bawah.
Menjadi tantangan para penyelenggara
negara dan pengurus partai ke depan,bagaimana merubah imej politik sebagai
arena pengabdian. Fakta jika yang melenggang ke Senayan kebanyakan pengusaha,
menjadi tolok ukur kalau dunia politik banyak diwarnai semangat transaksional.
Faham ini akan menghasilkan orang, yang jika menang ingin tetap untung, namun
jika kalah akan cepat mutung.
Penghitungan suara nanti akan
menjadi pembuktian, apakah mental-mental Glory Hunter masih bersemayam dalam
diri para politisi kita atau tidak. Apakah artis-artis yang tersingkir akan
kembali ke dunia hiburan, atau akan terus jadi pengurus partai,dengan
konsekwensi hidup sederhana. Apakah akan tetap normal,atau jadi linglung.
Sementara cukuplah fakta-fakta berita ada sumbangan ditarik lagi, caleg gagal
masuk perawatan rumah sakit karena depresi,dan uang sogokan diminta kembali,
menjadi bukti jika sindrom ini telah menjangkiti banyak politisi di daerah#