Daftar Isi

Thursday, March 20, 2014

Stiker


Di tengah hujan rintik-rintik, saat kemacetan hebat sedang melanda jalan Mampang Prapatan,Jakarta Selatan, peristiwa sepekan lalu ini terjadi secara cepat.Sebuah sepeda motor dengan stiker bertuliskan sebuah keluarga besar satu kesatuan TNI, berusaha mencari celah jalan. Saya meyakini ia adalah aparat,karena laras pistol di pinggang nampak menyembul dari balik jaketnya.Mungkin karena kurang cepat menginjak rem, sebuah sepeda motor di samping saya terlanjur maju, dan rodanya yang basah menyentuh celana si tentara.Ya,hanya menyentuh,tidak menabrak.

Tapi adegan berikutnya sungguh diluar nalar. Tanpa ampun, pemilik motor berstiker TNI itu menendang keras roda motor si laki-laki malang yang terlambat menginjak rem. Tak cukup itu, bogem mentah segera melayang ke helm.Buk! Saat ada jalan kecil terbuka,laki-laki penabrak celana itu mencoba menyelinap. Seolah tak mau buruannya lenyap,si laki-laki bertubuh tegap itu terus mengejar,menabrak roda belakang sambil mengeluarkan sumpah serapah. Dari tengah keriuhan suara mesin mobil dan motor,saya masih mendengar suara permintaan maaf,tapi semua tak ada guna.

Sesungguhnya, saya pastikan,ini bukan peristiwa pertama kali terjadi. Jalanan Jakarta kini seperti hutan rimba.Mungkin jika tak ada hukum yang berlaku, siklus rantai makanan seperti yang berlaku di dunia binatang akan dianut juga. Tapi di jalanan,  dalam tindak yang paling sederhana, tabiat tanpa perikemanusiaan seolah sudah menjadi kebiasaan. Mungkin di sinilah lantas timbul pertahanan diri,berupa warning sejak awal, yang termanifestasi dalam bentuk stiker.

”Anda jangan macam-macam dengan saya ya? Saya ini anggota perkumpulan pendekar Banten lho,”mungkin inilah pesan yang ingin dilontarkan,jika ada motor atau mobil yang memasang stiker, “Keluarga Besar Pendekar Banten”.Kali lain, ada yang memasang stiker “Paspampres”,”Keluarga Besar Mabes Polri”,”Pemuda Pancasila”, atau yang agak intelek,”Ikatan Dokter Indonesia”. Lucunya,tak ada yang mau memasang stiker yang bisa mengundang tawa,misal,”Anggota Asosiasi Pelawak Indonesia”.

Sebagai jurnalis, tak bisa dipungkiri, saya juga sempat tergoda untuk memasang stiker “pers”.Ya, minimal ketika akan diberhentikan saat ada operasi lilin, siapa tahu pak polisi mau bermurah hati meloloskan.  Jika pun polisi masih tega memberhentikan, setelah melihat stiker “pers”, niat untuk menilang jadi urung. Tapi timbang punya timbang, niat itu hingga kini tak kuwujudkan,lantaran saya tak ingin dicap menjadikan kolektivitas profesi sebagai daya tawar untuk sebuah pelanggaran hukum.

Saya tak hendak mengatakan,jika pemasangan stiker identitas  adalah naif dan menunjukan ketidakpercayaan diri. Dalam kasus sang serdadu yang mengejar buruannya seolah ia musuh negara yang mesti dilenyapkan, kondisi problematik kejiwaannya bahkan lebih akut lagi. Fungsi pembinaan mental prajurit mungkin hanya seremonial belaka.Kondisi ini seolah membenarkan joke yang biasa ditujukan ke alat negara kita.”Bergaya di masa damai,mati di masa perang”. Nampak gagah dan seram di mata rakyat,tapi tak berdaya di depan musuh bangsa.

Stiker, entah nama organisasi negara,atau omas bentukan swasta, dalam berbagai bentuk dan tampilan,jika sudah digunakan sebagai identitas di kendaraan, sudah pasti menunjukan kelemahan hati. Susahnya, gejala ini tak hanya menyerang kalbu masyarakat biasa. Dalam kasus-kasus tertentu, ulama sebagai “dokter” yang menyembuhkan penyakit mental, juga ikut-ikutan mengalami krisis identitas diri. Jika sudah begini, susah rasanya menerima ilmu, hikmah dan makrifat, lantaran hatinya masih belum tertata.

Siapakah yang mesti digugat?Mengeluarkan peraturan daerah larangan memasang stiker kelompok,rasanya tidak perlu. Selain tidak efektif,ia bisa mematikan pengusaha stiker. Atau minimal mengurangi laba koperasi sebuah institusi,yang sengaja membuat dan mengedarkan stiker narsis. Lagi-lagi, fungsi kemanusiaan kitalah yang bisa menimbang.Bahwa teori kebutuhan penghargaan ala Abaraham Maslow,sejatinya tak bisa dituai hanya dari sebuah stiker kesatuan,tanpa implementasi nilai-nilai persaudaraan dan welas asih.

Dalam gambaran saya, konsep pertahanan rakyat semesta TNI yang melibatkan seluruh rakyat,akan rapuh jika perilaku seperti kejadian di atas terus dibiarkan.Ah,boro-boro kita mau bantu. Mereka kerepotan menghadapi musuh,ya biarkan saja,karena sudah terlanjur pernah menyakiti. Pertanyaannya, jika melihat kondisi sosial politik dan pertahanan kita yang masih adem ayem,mungkinkah perang besar yang bakal menguji nyali serdadu kita bakal terjadi dalam waktu dekat?

Tentu tak semua stiker kelompok masuk kategori tak berguna. Trend penghuni komplek perumahan sekarang juga mengeluarkan stiker internal. Ini berfungsi identifikasi. Bukan intimidasi. Apalagi gagah-gagahan,biar tak ada orang yang sembarangan menyenggol. Tidak pula seperti kebiasaan rumah makan etnis tertentu, yang selalu memasang foto orang berseragam, supaya dikira masih punya famili. Dus,preman dan pengamen tak bakalan berani mengutip uang jago.

Stiker, pada akhirnya seperti pisau bermata dua. Meski untuk apa pula ketinggian kemanusiaan kita,hanya dihargai sebatas stiker? Apalagi untuk menakut-nakuti. Padahal jika mau kreatif sedikit, stiker juga bisa menjadi ladang amal. Mau tahu, dan ini benar-benar saya temukan di mobil, saat melintas di wilayah Pamulang, Tangerang Selatan. Bunyinya,”La Tahzan,Innallaha Ma’ana.Janganlah kamu berduka cita,sesungguhnya Allah beserta kita,”. Kalau membaca stiker terjemahan Al qur’an Surat At-Taubah ayat 40 ini,rasanya hati menjadi tentram bukan? Jadi bijaklah dalam berstiker ria..


No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas kunjungan anda!