Di tengah hujan rintik-rintik, saat
kemacetan hebat sedang melanda jalan Mampang Prapatan,Jakarta Selatan,
peristiwa sepekan lalu ini terjadi secara cepat.Sebuah sepeda motor dengan
stiker bertuliskan sebuah keluarga besar satu kesatuan TNI, berusaha mencari
celah jalan. Saya meyakini ia adalah aparat,karena laras pistol di pinggang
nampak menyembul dari balik jaketnya.Mungkin karena kurang cepat menginjak rem,
sebuah sepeda motor di samping saya terlanjur maju, dan rodanya yang basah
menyentuh celana si tentara.Ya,hanya menyentuh,tidak menabrak.
Tapi adegan berikutnya sungguh
diluar nalar. Tanpa ampun, pemilik motor berstiker TNI itu menendang keras roda
motor si laki-laki malang yang terlambat menginjak rem. Tak cukup itu, bogem
mentah segera melayang ke helm.Buk! Saat ada jalan kecil terbuka,laki-laki
penabrak celana itu mencoba menyelinap. Seolah tak mau buruannya lenyap,si
laki-laki bertubuh tegap itu terus mengejar,menabrak roda belakang sambil
mengeluarkan sumpah serapah. Dari tengah keriuhan suara mesin mobil dan
motor,saya masih mendengar suara permintaan maaf,tapi semua tak ada guna.
Sesungguhnya, saya pastikan,ini
bukan peristiwa pertama kali terjadi. Jalanan Jakarta kini seperti hutan
rimba.Mungkin jika tak ada hukum yang berlaku, siklus rantai makanan seperti
yang berlaku di dunia binatang akan dianut juga. Tapi di jalanan, dalam
tindak yang paling sederhana, tabiat tanpa perikemanusiaan seolah sudah menjadi
kebiasaan. Mungkin di sinilah lantas timbul pertahanan diri,berupa warning
sejak awal, yang termanifestasi dalam bentuk stiker.
”Anda jangan macam-macam dengan saya
ya? Saya ini anggota perkumpulan pendekar Banten lho,”mungkin inilah pesan yang
ingin dilontarkan,jika ada motor atau mobil yang memasang stiker, “Keluarga
Besar Pendekar Banten”.Kali lain, ada yang memasang stiker
“Paspampres”,”Keluarga Besar Mabes Polri”,”Pemuda Pancasila”, atau yang agak intelek,”Ikatan
Dokter Indonesia”. Lucunya,tak ada yang mau memasang stiker yang bisa
mengundang tawa,misal,”Anggota Asosiasi Pelawak Indonesia”.
Sebagai jurnalis, tak bisa
dipungkiri, saya juga sempat tergoda untuk memasang stiker “pers”.Ya, minimal
ketika akan diberhentikan saat ada operasi lilin, siapa tahu pak polisi mau
bermurah hati meloloskan. Jika pun polisi masih tega memberhentikan,
setelah melihat stiker “pers”, niat untuk menilang jadi urung. Tapi timbang
punya timbang, niat itu hingga kini tak kuwujudkan,lantaran saya tak ingin
dicap menjadikan kolektivitas profesi sebagai daya tawar untuk sebuah
pelanggaran hukum.
Saya tak hendak mengatakan,jika
pemasangan stiker identitas adalah naif dan menunjukan ketidakpercayaan
diri. Dalam kasus sang serdadu yang mengejar buruannya seolah ia musuh negara
yang mesti dilenyapkan, kondisi problematik kejiwaannya bahkan lebih akut lagi.
Fungsi pembinaan mental prajurit mungkin hanya seremonial belaka.Kondisi ini
seolah membenarkan joke yang biasa ditujukan ke alat negara kita.”Bergaya di
masa damai,mati di masa perang”. Nampak gagah dan seram di mata rakyat,tapi tak
berdaya di depan musuh bangsa.
Stiker, entah nama organisasi
negara,atau omas bentukan swasta, dalam berbagai bentuk dan tampilan,jika sudah
digunakan sebagai identitas di kendaraan, sudah pasti menunjukan kelemahan
hati. Susahnya, gejala ini tak hanya menyerang kalbu masyarakat biasa. Dalam
kasus-kasus tertentu, ulama sebagai “dokter” yang menyembuhkan penyakit mental,
juga ikut-ikutan mengalami krisis identitas diri. Jika sudah begini, susah
rasanya menerima ilmu, hikmah dan makrifat, lantaran hatinya masih belum
tertata.
Siapakah yang mesti
digugat?Mengeluarkan peraturan daerah larangan memasang stiker kelompok,rasanya
tidak perlu. Selain tidak efektif,ia bisa mematikan pengusaha stiker. Atau
minimal mengurangi laba koperasi sebuah institusi,yang sengaja membuat dan
mengedarkan stiker narsis. Lagi-lagi, fungsi kemanusiaan kitalah yang bisa
menimbang.Bahwa teori kebutuhan penghargaan ala Abaraham Maslow,sejatinya tak
bisa dituai hanya dari sebuah stiker kesatuan,tanpa implementasi nilai-nilai
persaudaraan dan welas asih.
Dalam gambaran saya, konsep
pertahanan rakyat semesta TNI yang melibatkan seluruh rakyat,akan rapuh jika
perilaku seperti kejadian di atas terus dibiarkan.Ah,boro-boro kita mau bantu.
Mereka kerepotan menghadapi musuh,ya biarkan saja,karena sudah terlanjur pernah
menyakiti. Pertanyaannya, jika melihat kondisi sosial politik dan pertahanan
kita yang masih adem ayem,mungkinkah perang besar yang bakal menguji nyali
serdadu kita bakal terjadi dalam waktu dekat?
Tentu tak semua stiker kelompok
masuk kategori tak berguna. Trend penghuni komplek perumahan sekarang juga
mengeluarkan stiker internal. Ini berfungsi identifikasi. Bukan intimidasi.
Apalagi gagah-gagahan,biar tak ada orang yang sembarangan menyenggol. Tidak
pula seperti kebiasaan rumah makan etnis tertentu, yang selalu memasang foto
orang berseragam, supaya dikira masih punya famili. Dus,preman dan pengamen tak
bakalan berani mengutip uang jago.
Stiker, pada akhirnya seperti pisau
bermata dua. Meski untuk apa pula ketinggian kemanusiaan kita,hanya dihargai
sebatas stiker? Apalagi untuk menakut-nakuti. Padahal jika mau kreatif sedikit,
stiker juga bisa menjadi ladang amal. Mau tahu, dan ini benar-benar saya
temukan di mobil, saat melintas di wilayah Pamulang, Tangerang Selatan.
Bunyinya,”La Tahzan,Innallaha Ma’ana.Janganlah kamu berduka cita,sesungguhnya
Allah beserta kita,”. Kalau membaca stiker terjemahan Al qur’an Surat At-Taubah
ayat 40 ini,rasanya hati menjadi tentram bukan? Jadi bijaklah dalam berstiker
ria..
No comments:
Post a Comment
Terima kasih atas kunjungan anda!