Daftar Isi

Saturday, March 29, 2014

Jalan Sunyi


Syahdan,suatu hari almarhum mantan Presiden Gus Dur mengajak dua temannya menemui seorang waliyullah di sudut Kota Baghdad,Irak. Saat itu, Gus Dur masih menuntut ilmu di Timur Tengah. Dalam perjalanan spiritual itu, mereka sempat menjumpai seseorang dengan jubah panjang,dahi hitam dan jenggot menjuntai.Orang itu sedang tekun berdzikir.Sang teman bertanya,itukah wali yang dicari?”Bukan,”jawab Gus Dur pendek.

Sembari tersaruk-saruk, mereka terus melanjutkan perjalanan. Tak lama,disatu majelis, ditemui seseorang yang sedang berapi-api memberikan tausyah. Serbannya menggelantung indah. Air mukanya bersih.Sang teman lantas memastikan,itukah waliyullah yang hendak dituju Gus Dur? Sambil berbisik, Gus Dur menyahut,”Bukan,”.Mereka lantas melanjutkan perjalanan.

Disebuah keramaian,di tengah deretan toko, tiba-tiba Gus Dur memperlambat langkahnya. Di depan mereka,ada seorang laki-laki dengan baju kumal,yang sedang duduk di depan toko. Laki-laki itu sedang mencari angin. Tiba di depan orang itu, Gus Dur mengucap salam. Setelah basi-basi sejenak, Gus Dur meminta didoakan oleh orang yang dipanggilnya ‘syeh’.Tak lupa, Gus Dur berbisik pada temannya,kalau itulah waliyullah yang dicari.

Melihat Gus Dur tahu jatidirinya, si syeh nampak terkejut. Tapi mau tak mau ia akhirnya mendoakan, sambil tak lupa berguman,”Ya,Allah.Dosa apa saya hingga orang ini tahu,”. Gus Dur tersenyum kecil,sambil mengamini doa yang dipanjatkan orang itu. Di kalangan kaum spiritualis, si syeh dikenal telah memilih ‘jalan sunyi’, berbeda dengan para alim lain yang beramai-ramai menunjukkan penguasaan ilmunya.

Belum lama saya diundang diskusi iklan oleh Irwan Hidayat,pengusaha jamu terkenal. Ia akan merilis iklan berjudul “memaafkan”. Iklan ini berkisah tentang sosok Suroto dan Elisabeth Diana, orang tua dari almarhumah Ade Sara Angelina, yang dibunuh oleh teman SMA dan bekas pacarnya, Hafidt dan Assyifa. Saat iklan itu diputar,tak terasa bulir-bulir air mata jatuh dari sudut mata saya. Ada kesedihan melanda.

Sesungguhnya rasa haru bukan semata kenapa Ade Sara harus terbunuh sia-sia, dari sosok yang mestinya tidak melakukannya. Tapi pilihan pasutri Suroto dan Elisabeth Diana,dengan kekuatan iman Kristianinya, untuk memaafkan Hafidt dan Assyifa yang telah menghilangkan nyawa anak tunggalnya, menjadi daya dorong yang berhasil meruntuhkan bendungan air mata saya. Mungkin jika kejadian itu menimpa anak saya, ceritanya menjadi berbeda. Tapi, Suroto dan Diana telah memilih ‘jalan sunyi’.

‘Jalan sunyi’ sejatinya jalan para wali dan resi.Jalan yang tidak dipenuhi taburan mawar dan puja puji.Inilah jalan yang ditempuh juga oleh Syeh Abdul Qodir Jaelani,seorang wali besar yang bertahun-tahun mengasingkan diri di hutan belantara untuk membersihkan hatinya. Jalan yang dikalangan wali songo pernah dilakoni Sunan Kalijaga,dengan bertapa di sisi kali sebelum pintu pencerahan batin digapainya.

Semua agama mengajarkan,namun hanya sedikit yang mau memilihnya. Betapa banyak sanak saudara yang memilih memelihara dendam,dan terperangkap dalam sakit hati bertahun-tahun,ketika anak atau orang tua dibunuh oleh orang lain. Padahal ketika Suroto dan Elisabeth Diana memilih untuk memaafkan,saat itulah cerita sesungguhnya sedang bergulir. Cerita dua orang sederhana,yang memiliki jiwa agung dan pantas menjadi teladan.

Tiap hari infotainment ramai dengan konflik. Saling bantah,gede-gedean omong,meski kualitas pembicaraannya bak pepatah esuk tempe,sore dele.Tak ada yang konsisten. Musim kampanye dimana-mana umbar janji,saling jatuh menjatuhkan,memutihkan diri sendiri dengan menghitamkan orang lain.Bahkan tak jarang membuat janji untuk bikin jembatan,meski tahu di tempat itu tak ada sungai mengalir.

Baru-baru ini kita melihat,seorang tabib yang mengaku ustaz,satu persatu aibnya dibuka oleh Allah,lantaran meninggalkan ‘jalan sunyi’. Dituduh menipu,digugat melakukan pelecehan seksual,saat popularitas didapat setelah getol mendatangkan infotainment untuk meliput aktifitasnya,bahkan saat bermain-main layangan di tepi pantai. Berapa banyak lagi orang-orang yang mengalami nasib naas seperti ustaz kita tadi, tak terhitung, silih berganti datang dan pergi.

‘Jalan sunyi’ ada,dan itu menentramkan batin. Kita bisa tanya Aa Gym bagaimana rasanya setelah kini memilih ‘jalan sunyi’. Coba korek Dewi Hughes, yang kini menjauhi kamera dan rajin menyisir sekolah-sekolah PAUD di jalur Pantura, Jawa Tengah, untuk menolong keuangan para guru PAUD. Popularitas dan puja-puji adalah racun sukma. Ia akan mendatangkan bala,ketika kita tak pandai mengelolanya.

Para politisi mungkin perlu untuk sejenak mampir di ‘jalan sunyi’. Merenung kembali sumpah yang telah terucap untuk menjabat lima tahun dan kini akan ditinggalkan meski belum genap memenuhi janji. Mengevaluasi lagi apa-apa yang sudah dijanjikan,dan kini telah dimasukan laci meja dengan alasan itu janji politik. Atau jika perlu,meluruskan kembali niat dan memperbaharui sikap yang suka sok suci dan tak mau mengalah.

Pasutri Suroto dan Elisabeth Diana,serta beberapa yang lain pemilih ‘jalan sunyi’,telah menebar ilmu hikmah yang tak terperi pada kita yang mau belajar. Tak banyak orang yang mau bertindak seperti ragi –mengubah singkong menjadi tape secara diam-diam. Tanpa tempik sorak dan sorotan kamera. ’Jalan sunyi’ hakikatnya pengejawantahan tiga pusaka kebajikan,yang diajarkan Rosul Muhammad yaitu merahasiakan keluhan,merahasiakan musibah dan merahasiakan sedekah.

Jika kesunyian abadi belum tiba mendatangi kita,dus artinya kita masih punya kesempatan,kenapa kita enggan untuk sesekali mampir ke ‘jalan sunyi’?Kenapa?

No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas kunjungan anda!