Syahdan,suatu hari almarhum mantan Presiden Gus Dur mengajak dua temannya menemui seorang waliyullah di sudut Kota Baghdad,Irak. Saat itu, Gus Dur masih menuntut ilmu di Timur Tengah. Dalam perjalanan spiritual itu, mereka sempat menjumpai seseorang dengan jubah panjang,dahi hitam dan jenggot menjuntai.Orang itu sedang tekun berdzikir.Sang teman bertanya,itukah wali yang dicari?”Bukan,”jawab Gus Dur pendek.
Sembari tersaruk-saruk, mereka terus melanjutkan perjalanan. Tak lama,disatu majelis, ditemui seseorang yang sedang berapi-api memberikan tausyah. Serbannya menggelantung indah. Air mukanya bersih.Sang teman lantas memastikan,itukah waliyullah yang hendak dituju Gus Dur? Sambil berbisik, Gus Dur menyahut,”Bukan,”.Mereka lantas melanjutkan perjalanan.
Disebuah keramaian,di tengah deretan toko, tiba-tiba Gus Dur
memperlambat langkahnya. Di depan mereka,ada seorang laki-laki dengan baju
kumal,yang sedang duduk di depan toko. Laki-laki itu sedang mencari angin. Tiba
di depan orang itu, Gus Dur mengucap salam. Setelah basi-basi sejenak, Gus Dur
meminta didoakan oleh orang yang dipanggilnya ‘syeh’.Tak lupa, Gus Dur berbisik
pada temannya,kalau itulah waliyullah yang dicari.
Melihat Gus Dur tahu jatidirinya, si syeh nampak terkejut.
Tapi mau tak mau ia akhirnya mendoakan, sambil tak lupa berguman,”Ya,Allah.Dosa
apa saya hingga orang ini tahu,”. Gus Dur tersenyum kecil,sambil mengamini doa
yang dipanjatkan orang itu. Di kalangan kaum spiritualis, si syeh dikenal telah
memilih ‘jalan sunyi’, berbeda dengan para alim lain yang beramai-ramai menunjukkan
penguasaan ilmunya.
Belum lama saya diundang diskusi iklan oleh Irwan
Hidayat,pengusaha jamu terkenal. Ia akan merilis iklan berjudul “memaafkan”.
Iklan ini berkisah tentang sosok Suroto dan Elisabeth Diana, orang tua dari
almarhumah Ade Sara Angelina, yang dibunuh oleh teman SMA dan bekas pacarnya,
Hafidt dan Assyifa. Saat iklan itu diputar,tak terasa bulir-bulir air mata
jatuh dari sudut mata saya. Ada kesedihan melanda.
Sesungguhnya rasa haru bukan semata kenapa Ade Sara harus
terbunuh sia-sia, dari sosok yang mestinya tidak melakukannya. Tapi pilihan
pasutri Suroto dan Elisabeth Diana,dengan kekuatan iman Kristianinya, untuk
memaafkan Hafidt dan Assyifa yang telah menghilangkan nyawa anak tunggalnya,
menjadi daya dorong yang berhasil meruntuhkan bendungan air mata saya. Mungkin
jika kejadian itu menimpa anak saya, ceritanya menjadi berbeda. Tapi, Suroto
dan Diana telah memilih ‘jalan sunyi’.
‘Jalan sunyi’ sejatinya jalan para wali dan resi.Jalan yang
tidak dipenuhi taburan mawar dan puja puji.Inilah jalan yang ditempuh juga oleh
Syeh Abdul Qodir Jaelani,seorang wali besar yang bertahun-tahun mengasingkan
diri di hutan belantara untuk membersihkan hatinya. Jalan yang dikalangan wali
songo pernah dilakoni Sunan Kalijaga,dengan bertapa di sisi kali sebelum pintu
pencerahan batin digapainya.
Semua agama mengajarkan,namun hanya sedikit yang mau
memilihnya. Betapa banyak sanak saudara yang memilih memelihara dendam,dan
terperangkap dalam sakit hati bertahun-tahun,ketika anak atau orang tua dibunuh
oleh orang lain. Padahal ketika Suroto dan Elisabeth Diana memilih untuk
memaafkan,saat itulah cerita sesungguhnya sedang bergulir. Cerita dua orang
sederhana,yang memiliki jiwa agung dan pantas menjadi teladan.
Tiap hari infotainment ramai dengan konflik. Saling
bantah,gede-gedean omong,meski kualitas pembicaraannya bak pepatah esuk
tempe,sore dele.Tak ada yang konsisten. Musim kampanye dimana-mana umbar
janji,saling jatuh menjatuhkan,memutihkan diri sendiri dengan menghitamkan
orang lain.Bahkan tak jarang membuat janji untuk bikin jembatan,meski tahu di
tempat itu tak ada sungai mengalir.
Baru-baru ini kita melihat,seorang tabib yang mengaku
ustaz,satu persatu aibnya dibuka oleh Allah,lantaran meninggalkan ‘jalan
sunyi’. Dituduh menipu,digugat melakukan pelecehan seksual,saat popularitas
didapat setelah getol mendatangkan infotainment untuk meliput
aktifitasnya,bahkan saat bermain-main layangan di tepi pantai. Berapa banyak
lagi orang-orang yang mengalami nasib naas seperti ustaz kita tadi, tak
terhitung, silih berganti datang dan pergi.
‘Jalan sunyi’ ada,dan itu menentramkan batin. Kita bisa tanya
Aa Gym bagaimana rasanya setelah kini memilih ‘jalan sunyi’. Coba korek Dewi
Hughes, yang kini menjauhi kamera dan rajin menyisir sekolah-sekolah PAUD di
jalur Pantura, Jawa Tengah, untuk menolong keuangan para guru PAUD. Popularitas
dan puja-puji adalah racun sukma. Ia akan mendatangkan bala,ketika kita tak
pandai mengelolanya.
Para politisi mungkin perlu untuk sejenak mampir di ‘jalan
sunyi’. Merenung kembali sumpah yang telah terucap untuk menjabat lima tahun
dan kini akan ditinggalkan meski belum genap memenuhi janji. Mengevaluasi lagi
apa-apa yang sudah dijanjikan,dan kini telah dimasukan laci meja dengan alasan
itu janji politik. Atau jika perlu,meluruskan kembali niat dan memperbaharui
sikap yang suka sok suci dan tak mau mengalah.
Pasutri Suroto dan Elisabeth Diana,serta beberapa yang lain
pemilih ‘jalan sunyi’,telah menebar ilmu hikmah yang tak terperi pada kita yang
mau belajar. Tak banyak orang yang mau bertindak seperti ragi –mengubah
singkong menjadi tape secara diam-diam. Tanpa tempik sorak dan sorotan kamera. ’Jalan
sunyi’ hakikatnya pengejawantahan tiga pusaka kebajikan,yang diajarkan Rosul
Muhammad yaitu merahasiakan keluhan,merahasiakan musibah dan merahasiakan sedekah.
Jika kesunyian abadi belum tiba mendatangi kita,dus artinya kita masih punya kesempatan,kenapa kita enggan untuk sesekali mampir ke ‘jalan sunyi’?Kenapa?
No comments:
Post a Comment
Terima kasih atas kunjungan anda!