Dua minggu belakangan, banyak
undangan mampir ke rumah. Ada yang mengkhitankan anaknya. Beberapa bakal naik
pelaminan. Tak hanya bentuk undangan secara fisik, ada pula yang hanya lewat
Blackberry Messenger (BBM). Tentu saja diawali dengan permohonan maaf, jika
undangan lewat BBM itu dilakukan karena keterbatasan waktu dan tenaga. Sambil
tak lupa meminta, undangan gaya baru itu anggap saja seperti undangan dalam
bentuk cetak.
Ini bulan baik dan hari baik untuk
menikah.Ada ilmu petung, yang menurut khasanah Budaya Jawa,atau dalam segi-segi
tertentu menurut kepercayaan agama, bisa mendatangkan barokah jika mengadakan
hajatan di bulan ini.Mungkin saja. Walau banyak juga yang sekedar ikut
trend,karena aneh rasanya jika mengadakan hajatan di bulan lain.
Sekarang mari kita lihat, apa yang
tertulis di dalam undangan. Dulu sempat ada rangkaian kalimat,yang "mendikte"
kita untuk tidak memberikan kado. Bunyinya,”Dengan tidak mengurangi rasa
hormat,sudilah kiranya bapak/ibu tidak memberikan sumbangan dalam bentuk
kado,”.Begitulah kira-kira redaksionalnya. “Petunjuk” ini memang sempat
menimbulkan pro dan kontra. Ada sindiran keras, situ yang nikah, kok, kita yang
disuruh bayar. Namun berangsur-angsur, belakangan ”titah” itu akhirnya lenyap.
Penyebabnya kira-kira begini.
Sekarang orang sudah ogah membawa kado ke arena pernikahan. Sudah berat,
membungkusnya juga susah. Belum kalau ke tempat resepsi pernikahan naik motor.
Repot bin njlimet. Sebab lain, membawa uang lebih praktis. Atau bagi mereka
yang nakal, kondangan hanya bermodal baju batik dan celana hitam pun cukup. Di
kotak tinggal masukan amplop tanpa nama, sekaligus tanpa isi. Bukankah sang
pengantin tak mungkin protes, meski jatah makanannya sudah berpindah ke perut
tamu undangan tak tahu diri itu?
Oke, soal kado sudah selesai
masanya. Tapi ada hal menggelitik lain, yang sering membuat saya
termenung-menung. Pernah lihat undangan yang nama mempelainya mencantumkan
gelar akademis berderet-derat? Ir, SH, MA atau DR. Tak ketinggalan haji.Misal,
menikah Fulan,SH,MA dengan Fulani, A.Md,S.Ag. Pertanyaan saya, ini
undangan pernikahan atau kegiatan akademis?Semacam presentasi keilmuan yang
digeluti si pengundang? Atau mungkin dengan undangan itu,katakanlah ada pesan,
jika yang mengundang adalah seorang intelektualis?
Gelar akademis, juga gelar lain yang
non akademis, termasuk haji,ustaz atau kyai, memang masih dipandang sebagai
pelengkap sosial untuk menunjuk di kelas mana seseorang berada. Ini pikiran
yang secara substantif dipengaruhi budaya feodal. Saya tidak mengatakan bahwa
ini salah. Tapi dalam kondisi tertentu, kita sering mencantumkan gelar secara
keliru. Istilah orang-orang tua kita; tidak empan mapan.
Betul jika kita telah berjuang keras
meraih gelar itu. Habis waktu,pikiran dan dana agar diwisuda. Jual sawah,kebun
atau menghabiskan warisan untuk pergi ke tanah suci Mekkah. Tak heran,
dikalangan masyarakat tertentu, suasana egaliter terasa sangat langka,
lantaran pengkotak-kotakan akibat gelar. Orang-orang yang tinggal di Pulau
Madura misalnya. “Haram” rasanya jika sudah naik haji,tapi sehari-hari tak
memakai topi putih.Bahkan untuk kegiatan yang tak terkait dengan momen-momen
religi,seperti mencangkul ke sawah. Ada kebanggaan. Ada “rasa” yang beda.
Bahkan jika pun belum cukup modal
untuk mewujudkan mimpi naik haji, identitas topi putih lumayan mengundang
penghargaan,walau mungkin dibelakang disertai cibiran. Dalam lingkup sosial
masyarakat pinggiran, yang jauh dari akses informasi dan masyarakat yang
kurang teredukasi,fenomena semacam ini sudah lumrah. Kondisi ini juga
menyangkut gelar akademis, yang menjadi penanda kelas sosial,politik bahkan
ekonomi.
Maka ketika tokoh sekaliber Rhoma
Irama tertangkap basah memasang baliho dengan gelar “profesor”, saya justru
bingung,apa pesan yang ingin disampaikan? Jika ditelisik lebih jauh, gelar ini
juga berbuah pertanyaan lanjutan;kapan dan dimana Rhoma pernah menjadi civitas
akademica?Minimal,apakah selama ini si raja dangdut pernah menjadi dosen,misal
untuk ilmu “sejarah dangdut”?Segenap pertanyaan ini mesti dijawab,karena gelar
profesor bersifat khas dan hanya diberikan untuk mereka yang aktif mengajar.
Tentu perlu waktu untuk memberi
penyadaran pada masyarakat, jika gelar hanyalah “alat” yang mesti dipakai dalam
momen dan kegiatan yang pas. Di luar negeri, terutama di Amerika Serikat,ketika
mayoritas masyarakatnya minimal berijasah sarjana,kualitas individu justru
lebih kuat jadi referensi untuk “menilai” seberapa “harga” dari orang yang
bersangkutan.Jika mengingat ini,kita mungkin sepanjang jalan bakal tertawa
terbahak-bahak,lantaran semua baliho caleg yang bertebaran sepertinya “haram”
jika tak mencantumkan gelar.
Lepas dari sisi negatif yang
ada,kita bisa belajar dari dunia hiburan, entah di Indonesia atau di Amerika.
Berapa banyak gelar Doktor,Phd,Ir dan bahkan profesor yang disandang para
pesohor, yang digunakan secara proporsional. Misalnya para penyanyi rock. Saat
mereka ngerock di panggung, atribut akademisi itu lenyap tak berbekas. Namun
ketika mereka mengajar di kampus,atau dalam acara-acara akademis, semua tahu
saat curicullum vitai dibacakan, jika mereka adalah jebolan dari universitas
bergengsi.Bahkan dengan nilai akademis summa cum laude alias sangat memuaskan. Mestinya beginilah
kita bersikap dan bertindak.Tapi kalau tidak setuju, ya monggo saja.Suka-suka
saja..
No comments:
Post a Comment
Terima kasih atas kunjungan anda!