Daftar Isi

Saturday, March 29, 2014

Empat Jempol Buat Giring

“Bokap gue wartawan.Makanya gue respek banget ama profesi ini.Karena dari dunia jurnalistik gue dibesarkan dan bisa seperti sekarang ini,”kata Giring,vokalis grup Band Nidji,awal Maret 2014 kemarin. Sejenak,ada desiran aneh yang menjalari urat-urat kalbuku. Antara haru dan senang. Namun tanpa ragu, aku tepis jauh-jauh rasa itu, dan segera aku alihkan pembicaraan ke topik lain. Aku tak mau terlalu sentimentil mendengar empati Giring.

Sore di Kawasan Kota Tua Jakarta, deru mobil dan motor masih terdengar garang. Hari itu, Giring memang menjanjikan untuk bertemu. Awalnya, saya kesulitan mengontaknya. Dua kali saya telepon, Giring tidak mengangkatnya. Aku sempat bertanya pada seorang tukang parkir, di mana grup band Nidji sedang syuting video klip. Juga seorang penjual siomay,yang mangkal di depan pintu masuk Kawasan Kota Tua.

“Tadi sih ada orang nenteng kamera.Tapi nggak tahu mau syuting dimana,”kata si penjual siomay. Tak berselang lama, ponsel aku berdenting. Giring mengaku sedang berada di Museum Bank Mandiri. Aku tanyakan lokasinya pada tukang parkir. Dalam satu lesatan pandang,aku melihat di atap Museum Bank Mandiri, para personil grup Nidji sedang sibuk diambil gambarnya.

Cukur Rambut
“Aku meluncur bro ke Museum Bank Mandiri,”balasku. Berjalan melawan arus, aku menuju museum. Aku tanya pada pak satpam bagaimana caranya naik. Usai diijinkan, aku segera masuk. Tapi baru naik satu lantai, perutku bermasalah. Aduh, ada-ada saja. Mana bingung mencari kamar kecil. Setelah aku tanya pada tiga orang ibu yang sedang asyik berfoto, kamar kecil yang cukup kotor itu aku temukan.

Tapi ritual alami itu mendadak berhenti. Ponselku berdering dan di ujung sana, Giring bilang sudah berada di luar gedung. Ia mau keluar sebentar.Ada keperluan mendesak.Aku diharuskan ikut. Alamak. Lagi enak-enak,malah dipanggil.”Saya tunggu ya mas?Kita cukur rambut dulu,”katanya. Terpaksa aku segera bergegas. Memakai celana,setengah berlari,dan dari lantai dua, aku lihat Giring sudah berdiri di pinggir mobil Hyundai H-1 sambil tangannya dimasukkan ke saku celana .

“Hoi,mas...tunggu ya?”kataku.

Uluran tangannya aku sambut. Usai bersalaman, aku dan Giring masuk mobil,  ditemani seorang road manajer berambut kriwil. Giring bilang, ia akan mencari tukang cukur. Tadi pagi ia marah banget,karena hair style-nya salah memotong rambutnya.”Sampai sekarang masih gondok.Sudah saya bilang jangan dipotong ini-nya (sambil tangannya memegang rambut bagian belakang),saya sambil telepon,eh,tahu-tahu langsung dipangkas.Khan nggak enak dilihat dikamera?”ujar Giring.

Situasi jalanan saat itu sangat ruwet. Macet dimana-mana.Apalagi di sekitaran Harmoni. Si sopir sampai harus meminggirkan mobil berbadan bongsor yang dibawanya lebih mepet,sekedar bertanya pada tukang parkir dimana salon terdekat dari Museum Bank Mandiri. Setelah lelah berputar-putar,kami akhirnya menemukan salon. Giring disambut seorang perempuan muda, yang sangat lihai memangkas rambut.

Untunglah suasana salon sangat sepi.Ditemani dua gelas kopi pahit,tak henti-henti Giring memandu sang kapster,agar tidak salah pangkas lagi.”Coba kacanya.Aku ingin lihat belakangnya,”katanya.

Tak luput, si kapster juga terus menggoda. Mungkin baru kali ini ada vokalis band terkenal mampir ke tempat kerjanya.Suasana jadi ramai. Waktu setengah jam hampir tak terasa. Rasa kopi pahit yang semula panas,kini mulai mendingin. Tapi suasana tetap hangat. Apalagi saat Giring cerita soal istrinya yang dinikahinya dengan status janda. Si kapster langsung nyeletuk,”Saya juga janda lho mas...akakakak,”.Ampyuuun....

Usai pangkas, Giring minta kontak si kapster.Rencananya,kalau di lokasi syuting nanti masih terlihat jelek,ia akan memanggilnya. Namun tak cukup itu. Si enchi pemilik salon,rupanya sejak tadi menunggu pekerjaan anak buahnya kelar. Begitu mau pulang,ia mengkomando anak buahnya untuk foto bareng. Giring dengan senang hati memenuhinya.

“Buat kenang-kenangan,”kata si Enci,malu-malu.

Kami meninggalkan salon dalam kondisi perut lapar. Mas road manajer menawari kami masuk Bakmi Gajah Mada. Tapi Giring menolak. Akhirnya, sambil terus bercanda di dalam mobil, mas road manajer membeli dua nasi goreng dan dibungkus. Menjelang maghrib, rumah makan Bakmi Gajah Mada kami tinggalkan. Di dalam mobil,nasi goreng itu kami sikat. Jujur saja,sebetulnya aku masih kenyang.Makanya tak colek sedikit saja.

Cerita Istri
Dalam perjalanan menuju Museum Bank Mandiri, Giring banyak cerita soal istrinya. Aku melihat,ia tipe orang yang terbuka,jujur dan apa adanya. Bahkan sepanjang obrolan yang lebih banyak disertai guyonan itu, Giring mau bercerita tanpa tedeng aling-aling.  Termasuk keputusannya menikahi Chintya,istrinya yang seorang janda beranak satu. Tentu banyak kerikil yang harus ditaklukan.Banyak ujian yang mesti dihadapi.

“Pokoknya kasihan deh, istri saya saat masih belum saya nikahi,”kata Giring.”Orang tua saya menolak. Bahkan banyak fitnah berseliweran,menuduh dia perempuan nggak bener. Padahal saya menikahi dia,karena dia baik banget. Sampai sekarang,saya tak pernah mendengar ia mengumpat kalau sedang jengkel,”sambung Giring.

Memang, ketika akhirnya ia menikah,sempat terjadi shock cultur. Dari biasa tidur sendiri, tiba-tiba ada anak umur 3 tahun yang muncul dikamar tidurnya,selain istrinya. Beruntung,pelan-pelan Giring mulai menemukan cara menghadapi anak balita. Dalam perjalanan waktu,Zidane,anak tirinya,kini malah tak tahu ayah biologisnya,dan menganggap Giring sebagai ayah kandungnya.

Begitu pula ibunya,yang semula menolak Chintya. Kini berbalik sayang. Kata Giring,kuncinya mengenal dengan baik.”Saya jadi percaya pepatah,tak kenal maka tak sayang. Dulu orang tua menolak,karena mereka nggak kenal. Setelah tahu istri saya dari A sampai Z,hubungan orang tua dengan istri langsung mencair,”ujar Giring.

Saat bercerita ayahnya yang sudah almarhum, Giring tiba-tiba terhenti. Kalimatnya terbata-bata. Ia lantas mengeluarkan kalimat, seperti yang aku tulis di awal cerita. Giring menambahkan, ayahnya meninggal akibat stroke,karena bekerja terlalu keras untuk menyelamatkan majalahnya dari terpaan krisis ekonomi.”Ayah tidak mau majalah itu mati, dan berdampak pada karyawan dan wartawannya,”kata Giring lirih.

Gelap mulai menggelayut,saat mobil yang kami tumpangi akhirnya sampai di Museum Bank Mandiri. Jalanan sudah mulai lengang. Giring berjanji akan mengirim foto. Kami berpisah, setelah saling berjabat tangan. Ia membungkuk,dan aku jabat tangannya sambil membungkuk juga. Nasi goreng yang sejak tadi kupegang,aku berikan pada seorang bapak yang sedang menunggu penumpang di dalam bajajnya.


Hari ini,jujur saja, saya baru mendapat pelajaran penting soal kerendahatian dan penghargaan. Dengan segala atribut yang melekatnya, Giring terlihat beda. Saat kesuksesan dan kekayaan kerap mengubah seseorang menjadi pribadi yang arogan dan memandang rendah pihak lain, Giring memaknainya dengan kapasitas yang tidak dimiliki musisi lain.Saya bersyukur bisa mengenal dan mengawalnya raun-raun di sekitaran Kawasan Kota Tua,Jakarta, meski tak lama. Empat jempol buat Giring#

Jalan Sunyi


Syahdan,suatu hari almarhum mantan Presiden Gus Dur mengajak dua temannya menemui seorang waliyullah di sudut Kota Baghdad,Irak. Saat itu, Gus Dur masih menuntut ilmu di Timur Tengah. Dalam perjalanan spiritual itu, mereka sempat menjumpai seseorang dengan jubah panjang,dahi hitam dan jenggot menjuntai.Orang itu sedang tekun berdzikir.Sang teman bertanya,itukah wali yang dicari?”Bukan,”jawab Gus Dur pendek.

Sembari tersaruk-saruk, mereka terus melanjutkan perjalanan. Tak lama,disatu majelis, ditemui seseorang yang sedang berapi-api memberikan tausyah. Serbannya menggelantung indah. Air mukanya bersih.Sang teman lantas memastikan,itukah waliyullah yang hendak dituju Gus Dur? Sambil berbisik, Gus Dur menyahut,”Bukan,”.Mereka lantas melanjutkan perjalanan.

Disebuah keramaian,di tengah deretan toko, tiba-tiba Gus Dur memperlambat langkahnya. Di depan mereka,ada seorang laki-laki dengan baju kumal,yang sedang duduk di depan toko. Laki-laki itu sedang mencari angin. Tiba di depan orang itu, Gus Dur mengucap salam. Setelah basi-basi sejenak, Gus Dur meminta didoakan oleh orang yang dipanggilnya ‘syeh’.Tak lupa, Gus Dur berbisik pada temannya,kalau itulah waliyullah yang dicari.

Melihat Gus Dur tahu jatidirinya, si syeh nampak terkejut. Tapi mau tak mau ia akhirnya mendoakan, sambil tak lupa berguman,”Ya,Allah.Dosa apa saya hingga orang ini tahu,”. Gus Dur tersenyum kecil,sambil mengamini doa yang dipanjatkan orang itu. Di kalangan kaum spiritualis, si syeh dikenal telah memilih ‘jalan sunyi’, berbeda dengan para alim lain yang beramai-ramai menunjukkan penguasaan ilmunya.

Belum lama saya diundang diskusi iklan oleh Irwan Hidayat,pengusaha jamu terkenal. Ia akan merilis iklan berjudul “memaafkan”. Iklan ini berkisah tentang sosok Suroto dan Elisabeth Diana, orang tua dari almarhumah Ade Sara Angelina, yang dibunuh oleh teman SMA dan bekas pacarnya, Hafidt dan Assyifa. Saat iklan itu diputar,tak terasa bulir-bulir air mata jatuh dari sudut mata saya. Ada kesedihan melanda.

Sesungguhnya rasa haru bukan semata kenapa Ade Sara harus terbunuh sia-sia, dari sosok yang mestinya tidak melakukannya. Tapi pilihan pasutri Suroto dan Elisabeth Diana,dengan kekuatan iman Kristianinya, untuk memaafkan Hafidt dan Assyifa yang telah menghilangkan nyawa anak tunggalnya, menjadi daya dorong yang berhasil meruntuhkan bendungan air mata saya. Mungkin jika kejadian itu menimpa anak saya, ceritanya menjadi berbeda. Tapi, Suroto dan Diana telah memilih ‘jalan sunyi’.

‘Jalan sunyi’ sejatinya jalan para wali dan resi.Jalan yang tidak dipenuhi taburan mawar dan puja puji.Inilah jalan yang ditempuh juga oleh Syeh Abdul Qodir Jaelani,seorang wali besar yang bertahun-tahun mengasingkan diri di hutan belantara untuk membersihkan hatinya. Jalan yang dikalangan wali songo pernah dilakoni Sunan Kalijaga,dengan bertapa di sisi kali sebelum pintu pencerahan batin digapainya.

Semua agama mengajarkan,namun hanya sedikit yang mau memilihnya. Betapa banyak sanak saudara yang memilih memelihara dendam,dan terperangkap dalam sakit hati bertahun-tahun,ketika anak atau orang tua dibunuh oleh orang lain. Padahal ketika Suroto dan Elisabeth Diana memilih untuk memaafkan,saat itulah cerita sesungguhnya sedang bergulir. Cerita dua orang sederhana,yang memiliki jiwa agung dan pantas menjadi teladan.

Tiap hari infotainment ramai dengan konflik. Saling bantah,gede-gedean omong,meski kualitas pembicaraannya bak pepatah esuk tempe,sore dele.Tak ada yang konsisten. Musim kampanye dimana-mana umbar janji,saling jatuh menjatuhkan,memutihkan diri sendiri dengan menghitamkan orang lain.Bahkan tak jarang membuat janji untuk bikin jembatan,meski tahu di tempat itu tak ada sungai mengalir.

Baru-baru ini kita melihat,seorang tabib yang mengaku ustaz,satu persatu aibnya dibuka oleh Allah,lantaran meninggalkan ‘jalan sunyi’. Dituduh menipu,digugat melakukan pelecehan seksual,saat popularitas didapat setelah getol mendatangkan infotainment untuk meliput aktifitasnya,bahkan saat bermain-main layangan di tepi pantai. Berapa banyak lagi orang-orang yang mengalami nasib naas seperti ustaz kita tadi, tak terhitung, silih berganti datang dan pergi.

‘Jalan sunyi’ ada,dan itu menentramkan batin. Kita bisa tanya Aa Gym bagaimana rasanya setelah kini memilih ‘jalan sunyi’. Coba korek Dewi Hughes, yang kini menjauhi kamera dan rajin menyisir sekolah-sekolah PAUD di jalur Pantura, Jawa Tengah, untuk menolong keuangan para guru PAUD. Popularitas dan puja-puji adalah racun sukma. Ia akan mendatangkan bala,ketika kita tak pandai mengelolanya.

Para politisi mungkin perlu untuk sejenak mampir di ‘jalan sunyi’. Merenung kembali sumpah yang telah terucap untuk menjabat lima tahun dan kini akan ditinggalkan meski belum genap memenuhi janji. Mengevaluasi lagi apa-apa yang sudah dijanjikan,dan kini telah dimasukan laci meja dengan alasan itu janji politik. Atau jika perlu,meluruskan kembali niat dan memperbaharui sikap yang suka sok suci dan tak mau mengalah.

Pasutri Suroto dan Elisabeth Diana,serta beberapa yang lain pemilih ‘jalan sunyi’,telah menebar ilmu hikmah yang tak terperi pada kita yang mau belajar. Tak banyak orang yang mau bertindak seperti ragi –mengubah singkong menjadi tape secara diam-diam. Tanpa tempik sorak dan sorotan kamera. ’Jalan sunyi’ hakikatnya pengejawantahan tiga pusaka kebajikan,yang diajarkan Rosul Muhammad yaitu merahasiakan keluhan,merahasiakan musibah dan merahasiakan sedekah.

Jika kesunyian abadi belum tiba mendatangi kita,dus artinya kita masih punya kesempatan,kenapa kita enggan untuk sesekali mampir ke ‘jalan sunyi’?Kenapa?

Thursday, March 20, 2014

Tujuh Satria Piningit



Pagi-pagi,usai Jokowi diperintahkan Megawati untuk nyapres, Jum’at (14/3) lalu, betapa riuh rendahnya dunia sosial media dengan aksi saling dukung dan telikung. Penelikung Jokowi kecewa,karena ia melanggar sumpah jabatan untuk menjabat Gubernur DKI Jakarta selama 5 tahun. Masih banyak pekerjaan belum terselesaikan. Sementara pendukungnya lebih pragmatis;kesempatan tidak datang dua kali.

Status di Blackberry, foto-foto display picture,tak urung dari aksi pro dan kontra. Jokowi jadi trending topic. Apalagi setelah Prabowo galau dan menggugat kesepakatan Batu Tulis, yang berisi perjanjian Megawati untuk mendukung Prabowo nyapres di 2014. Tak ayal, hari-hari belakangan, semua orang seperti jadi pengamat politik dadakan. Harga elpiji naik,Jakarta yang belum aman dari banjir,macet dan kriminalitas, sejenak terlupa kan.

Saya sebetulnya tak mau ikut-ikutan rempong soal pencalonan Jokowi. Namun dalam perjalanan Jakarta-Cijeruk,Bogor,Minggu (16/3) kemarin,tiba-tiba tema ini muncul mendadak. Seorang teman,ustaz dan penghayat budaya Jawa,mencoba mengidentifikasi siapakah sesungguhnya sosok satria piningit ketujuh,yang bakal memimpin Indonesia dan jauh-jauh hari sudah diramalkan oleh Ronggowarsito.

Namanya ramalan,mau percaya monggo.Tak percaya tak mengurangi pahala.Raden Ngabehi Ronggowarsito memang menyebut tujuh satria piningit yang bakal memimpin republik tercinta ini.Enam sudah menjabat, tinggal satrio piningit ketujuh yang masih jadi teka-teki.Prabowo atau Jokowi. Atau ada kuda hitam yang meroket di hari-hari terakhir pemilihan presiden.

Soekarno disebut dalam ramalan Ronggowarsito sebagai satrio kinunjoro murwo kuncoro. Seorang pemimpin yang keluar masuk penjara tapi berhasil membuat nama Indonesia menjulang dan mampu membongkar penjajahan Belanda. Lahirlah proklamasi.

Penggantinya,Soeharto, konon identik dengan satrio mukti wibowo kesandung kesampar.Inilah pemimpin yang berhasil membawa kemuliaan negeri. Sampai-sampai,sekarang pun masih ada yang  terobsesi kembali ke zaman orde baru, dengan tagline ‘enak jamanku tho’. Memang di akhir masa pemerintahannya, ia banyak kesandung kesampar. Banyak kena masalah. 

Satrio jinumput sumelo atur diidentifikasikan sebagai BJ. Habibie. Ia terambil untuk sementara waktu,menjembatani presiden periode berikutnya. Saat Gus Dur naik,inilah satria piningit yang disebut oleh Ronggowarsito sebagai satrio topo ngrame wuto ngideri jagat. Kekurangan dalam penglihatan, tak menghalangi ia dalam waktu singkat berkelana ke berbagai pelosok tanah air dan dunia.

Mega muncul dan ia konon sesuai dengan ramalan sebagai satrio piningit hamong tuwuh. Seorang pemimpin yang membawa karisma karena keturunannya (hamong tuwuh). Ia digantikan oleh satrio boyong pambukaning gapuro. Tokoh yang berpindah tempat (boyong dari menteri menjadi presiden),sebagai pembuka gerbang zaman keemasan.

Presiden setelah SBY, diidentifikasi sebagai satrio pinandito sinisihan wahyu. Ia berjiwa satria,tapi relijius. Saking relijiusnya maka disebut pinandito sinisihan wahyu. Konsep satria pinandito sinisihan wahyu, tak hanya untuk presiden.Bisa juga satu paket dengan wakilnya.Jika tepat, mereka akan membawa Indonesia ke arah kemakmuran.

Bisa saja yang terpilih bukan satrio pinandhito sinisihan wahyu. Indonesia bisa terus berjalan,tapi banyak goncangan. Bak sekrup yang tidak pas di sepeda motor. Si motor masih bisa lari, tapi bakal tidak stabil dan penuh goncangan.Satrio piningit ketujuh ini laiknya sosok seperti Joko Tingkir. Orang yang kuat berfikir (think) dan berdzikir. Bersih tak punya kepentingan pribadi apalagi partai.

Pemilihan cawapres menjadi penting,jangan sampai muncul matahari kembar. Dulu ada Mega dan Tutut. Lantas Habibie  dan Try Sutrisno. Mereka berlomba-lomba “naik” dan berebut pengaruh. Siapa yang punya potensi menjadi satria piningit berikutnya, ia berpotensi menjadi Ratu Adil.

Tentu saja  Ratu Adil yang terlihat dari perbuatannya.  Bukan seperti Raymond Westerling, yang membabi buta dengan APRA-nya alias angkatan perang ratu adil. Mungkin Westerling pernah membaca buku babon,yang mengidentifikasi Ratu Adil sebagai orang Belanda keturunan Turki. Tapi ternyata membawa kerusakan. Ratu Adil dinilai dari kemaslahatannya terhadap rakyat.

Jika melihat dua kandidat terkuat;Jokowi dan Prabowo,lantas siapakah yang paling mirip dengan kriteria satrio pinandhito sinisihan wahyu versi Ronggowarsito? Ini memang mirip tebak-tebak buah manggis,meski kadang lembaga-lembaga survey sudah memastikan si A pasti jadi,dengan berbagai kombinasi prosentase perolehan suaranya.

Kalau perjanjian batu tulis menyeruak jadi amunisi untuk menyerang pihak lain,sesungguhnya kita sudah mulai disuguhi pertempuran kecil,sebelum pertempuran demi pertempuran lain bakal terjadi,untuk memenangi peperangan. Naskah batu tulis memang jadi tolok ukur penting,seberapa jauh seorang pemimpin bisa konsisten menegakan moralitas diri.

Dalam kosmologi budaya Jawa,yang diucapkan seorang ratu adalah iduh geni. Sabda pandita ratu. Apa yang terucap adalah undang-undang. Harus ditepati. Kalau diingkari, akan kena tulah.Jika bukan tulah pribadi,Indonesia akan terus dirundung masalah.

Namun apapun hasilnya,lantaran pertarungan belum selesai, silahkan saja para pendukung  masing-masing capres beradu kreatif di dunia maya. Yah,lumayan buat hiburan ditengah kemacetan Jakarta yang sering bikin stress.


Stiker


Di tengah hujan rintik-rintik, saat kemacetan hebat sedang melanda jalan Mampang Prapatan,Jakarta Selatan, peristiwa sepekan lalu ini terjadi secara cepat.Sebuah sepeda motor dengan stiker bertuliskan sebuah keluarga besar satu kesatuan TNI, berusaha mencari celah jalan. Saya meyakini ia adalah aparat,karena laras pistol di pinggang nampak menyembul dari balik jaketnya.Mungkin karena kurang cepat menginjak rem, sebuah sepeda motor di samping saya terlanjur maju, dan rodanya yang basah menyentuh celana si tentara.Ya,hanya menyentuh,tidak menabrak.

Tapi adegan berikutnya sungguh diluar nalar. Tanpa ampun, pemilik motor berstiker TNI itu menendang keras roda motor si laki-laki malang yang terlambat menginjak rem. Tak cukup itu, bogem mentah segera melayang ke helm.Buk! Saat ada jalan kecil terbuka,laki-laki penabrak celana itu mencoba menyelinap. Seolah tak mau buruannya lenyap,si laki-laki bertubuh tegap itu terus mengejar,menabrak roda belakang sambil mengeluarkan sumpah serapah. Dari tengah keriuhan suara mesin mobil dan motor,saya masih mendengar suara permintaan maaf,tapi semua tak ada guna.

Sesungguhnya, saya pastikan,ini bukan peristiwa pertama kali terjadi. Jalanan Jakarta kini seperti hutan rimba.Mungkin jika tak ada hukum yang berlaku, siklus rantai makanan seperti yang berlaku di dunia binatang akan dianut juga. Tapi di jalanan,  dalam tindak yang paling sederhana, tabiat tanpa perikemanusiaan seolah sudah menjadi kebiasaan. Mungkin di sinilah lantas timbul pertahanan diri,berupa warning sejak awal, yang termanifestasi dalam bentuk stiker.

”Anda jangan macam-macam dengan saya ya? Saya ini anggota perkumpulan pendekar Banten lho,”mungkin inilah pesan yang ingin dilontarkan,jika ada motor atau mobil yang memasang stiker, “Keluarga Besar Pendekar Banten”.Kali lain, ada yang memasang stiker “Paspampres”,”Keluarga Besar Mabes Polri”,”Pemuda Pancasila”, atau yang agak intelek,”Ikatan Dokter Indonesia”. Lucunya,tak ada yang mau memasang stiker yang bisa mengundang tawa,misal,”Anggota Asosiasi Pelawak Indonesia”.

Sebagai jurnalis, tak bisa dipungkiri, saya juga sempat tergoda untuk memasang stiker “pers”.Ya, minimal ketika akan diberhentikan saat ada operasi lilin, siapa tahu pak polisi mau bermurah hati meloloskan.  Jika pun polisi masih tega memberhentikan, setelah melihat stiker “pers”, niat untuk menilang jadi urung. Tapi timbang punya timbang, niat itu hingga kini tak kuwujudkan,lantaran saya tak ingin dicap menjadikan kolektivitas profesi sebagai daya tawar untuk sebuah pelanggaran hukum.

Saya tak hendak mengatakan,jika pemasangan stiker identitas  adalah naif dan menunjukan ketidakpercayaan diri. Dalam kasus sang serdadu yang mengejar buruannya seolah ia musuh negara yang mesti dilenyapkan, kondisi problematik kejiwaannya bahkan lebih akut lagi. Fungsi pembinaan mental prajurit mungkin hanya seremonial belaka.Kondisi ini seolah membenarkan joke yang biasa ditujukan ke alat negara kita.”Bergaya di masa damai,mati di masa perang”. Nampak gagah dan seram di mata rakyat,tapi tak berdaya di depan musuh bangsa.

Stiker, entah nama organisasi negara,atau omas bentukan swasta, dalam berbagai bentuk dan tampilan,jika sudah digunakan sebagai identitas di kendaraan, sudah pasti menunjukan kelemahan hati. Susahnya, gejala ini tak hanya menyerang kalbu masyarakat biasa. Dalam kasus-kasus tertentu, ulama sebagai “dokter” yang menyembuhkan penyakit mental, juga ikut-ikutan mengalami krisis identitas diri. Jika sudah begini, susah rasanya menerima ilmu, hikmah dan makrifat, lantaran hatinya masih belum tertata.

Siapakah yang mesti digugat?Mengeluarkan peraturan daerah larangan memasang stiker kelompok,rasanya tidak perlu. Selain tidak efektif,ia bisa mematikan pengusaha stiker. Atau minimal mengurangi laba koperasi sebuah institusi,yang sengaja membuat dan mengedarkan stiker narsis. Lagi-lagi, fungsi kemanusiaan kitalah yang bisa menimbang.Bahwa teori kebutuhan penghargaan ala Abaraham Maslow,sejatinya tak bisa dituai hanya dari sebuah stiker kesatuan,tanpa implementasi nilai-nilai persaudaraan dan welas asih.

Dalam gambaran saya, konsep pertahanan rakyat semesta TNI yang melibatkan seluruh rakyat,akan rapuh jika perilaku seperti kejadian di atas terus dibiarkan.Ah,boro-boro kita mau bantu. Mereka kerepotan menghadapi musuh,ya biarkan saja,karena sudah terlanjur pernah menyakiti. Pertanyaannya, jika melihat kondisi sosial politik dan pertahanan kita yang masih adem ayem,mungkinkah perang besar yang bakal menguji nyali serdadu kita bakal terjadi dalam waktu dekat?

Tentu tak semua stiker kelompok masuk kategori tak berguna. Trend penghuni komplek perumahan sekarang juga mengeluarkan stiker internal. Ini berfungsi identifikasi. Bukan intimidasi. Apalagi gagah-gagahan,biar tak ada orang yang sembarangan menyenggol. Tidak pula seperti kebiasaan rumah makan etnis tertentu, yang selalu memasang foto orang berseragam, supaya dikira masih punya famili. Dus,preman dan pengamen tak bakalan berani mengutip uang jago.

Stiker, pada akhirnya seperti pisau bermata dua. Meski untuk apa pula ketinggian kemanusiaan kita,hanya dihargai sebatas stiker? Apalagi untuk menakut-nakuti. Padahal jika mau kreatif sedikit, stiker juga bisa menjadi ladang amal. Mau tahu, dan ini benar-benar saya temukan di mobil, saat melintas di wilayah Pamulang, Tangerang Selatan. Bunyinya,”La Tahzan,Innallaha Ma’ana.Janganlah kamu berduka cita,sesungguhnya Allah beserta kita,”. Kalau membaca stiker terjemahan Al qur’an Surat At-Taubah ayat 40 ini,rasanya hati menjadi tentram bukan? Jadi bijaklah dalam berstiker ria..


Monday, March 3, 2014

GELAR



Dua minggu belakangan, banyak undangan mampir ke rumah. Ada yang mengkhitankan anaknya. Beberapa bakal naik pelaminan. Tak hanya bentuk undangan secara fisik, ada pula yang hanya lewat Blackberry Messenger (BBM). Tentu saja diawali dengan permohonan maaf, jika undangan lewat BBM itu dilakukan karena keterbatasan waktu dan tenaga. Sambil tak lupa meminta, undangan gaya baru itu anggap saja seperti undangan dalam bentuk cetak.

Ini bulan baik dan hari baik untuk menikah.Ada ilmu petung, yang menurut khasanah Budaya Jawa,atau dalam segi-segi tertentu menurut kepercayaan agama, bisa mendatangkan barokah jika mengadakan hajatan di bulan ini.Mungkin saja. Walau banyak juga yang sekedar ikut trend,karena aneh rasanya jika mengadakan hajatan di bulan lain.

Sekarang mari kita lihat, apa yang tertulis di dalam undangan. Dulu sempat ada rangkaian kalimat,yang "mendikte" kita untuk tidak memberikan kado. Bunyinya,”Dengan tidak mengurangi rasa hormat,sudilah kiranya bapak/ibu tidak memberikan sumbangan dalam bentuk kado,”.Begitulah kira-kira redaksionalnya. “Petunjuk” ini memang sempat menimbulkan pro dan kontra. Ada sindiran keras, situ yang nikah, kok, kita yang disuruh bayar. Namun berangsur-angsur, belakangan ”titah” itu akhirnya lenyap.

Penyebabnya kira-kira begini. Sekarang orang sudah ogah membawa kado ke arena pernikahan. Sudah berat, membungkusnya juga susah. Belum kalau ke tempat resepsi pernikahan naik motor. Repot bin njlimet. Sebab lain, membawa uang lebih praktis. Atau bagi mereka yang nakal, kondangan hanya bermodal baju batik dan celana hitam pun cukup. Di kotak tinggal masukan amplop tanpa nama, sekaligus tanpa isi. Bukankah sang pengantin tak mungkin protes, meski jatah makanannya sudah berpindah ke perut tamu undangan tak tahu diri itu?

Oke, soal kado sudah selesai masanya. Tapi ada hal menggelitik lain, yang sering membuat saya termenung-menung. Pernah lihat undangan yang nama mempelainya mencantumkan gelar akademis berderet-derat? Ir, SH, MA atau DR. Tak ketinggalan haji.Misal, menikah Fulan,SH,MA dengan Fulani, A.Md,S.Ag.  Pertanyaan saya, ini undangan pernikahan atau kegiatan akademis?Semacam presentasi keilmuan yang digeluti si pengundang? Atau mungkin dengan undangan itu,katakanlah ada pesan, jika yang mengundang adalah seorang intelektualis?

Gelar akademis, juga gelar lain yang non akademis, termasuk haji,ustaz atau kyai, memang masih dipandang sebagai pelengkap sosial untuk menunjuk di kelas mana seseorang berada. Ini pikiran yang secara substantif dipengaruhi budaya feodal. Saya tidak mengatakan bahwa ini salah. Tapi dalam kondisi tertentu, kita sering mencantumkan gelar secara keliru. Istilah orang-orang tua kita; tidak empan mapan.

Betul jika kita telah berjuang keras meraih gelar itu. Habis waktu,pikiran dan dana agar diwisuda. Jual sawah,kebun atau menghabiskan warisan untuk pergi ke tanah suci Mekkah. Tak heran, dikalangan masyarakat  tertentu, suasana egaliter terasa sangat langka, lantaran pengkotak-kotakan akibat gelar. Orang-orang yang tinggal di Pulau Madura misalnya. “Haram” rasanya jika sudah naik haji,tapi sehari-hari tak memakai topi putih.Bahkan untuk kegiatan yang tak terkait dengan momen-momen religi,seperti mencangkul ke sawah. Ada kebanggaan. Ada “rasa” yang beda.

Bahkan jika pun belum cukup modal untuk mewujudkan mimpi naik haji, identitas topi putih lumayan mengundang penghargaan,walau mungkin dibelakang disertai cibiran. Dalam lingkup sosial masyarakat pinggiran, yang  jauh dari akses informasi dan masyarakat yang kurang teredukasi,fenomena semacam ini sudah lumrah. Kondisi ini juga menyangkut gelar akademis, yang menjadi penanda kelas sosial,politik bahkan ekonomi.

Maka ketika tokoh sekaliber Rhoma Irama tertangkap basah memasang baliho dengan gelar “profesor”, saya justru bingung,apa pesan yang ingin disampaikan? Jika ditelisik lebih jauh, gelar ini juga berbuah pertanyaan lanjutan;kapan dan dimana Rhoma pernah menjadi civitas akademica?Minimal,apakah selama ini si raja dangdut pernah menjadi dosen,misal untuk ilmu “sejarah dangdut”?Segenap pertanyaan ini mesti dijawab,karena gelar profesor bersifat khas dan hanya diberikan untuk mereka yang aktif mengajar.

Tentu perlu waktu untuk memberi penyadaran pada masyarakat, jika gelar hanyalah “alat” yang mesti dipakai dalam momen dan kegiatan yang pas. Di luar negeri, terutama di Amerika Serikat,ketika mayoritas masyarakatnya minimal berijasah sarjana,kualitas individu justru lebih kuat jadi referensi untuk “menilai” seberapa “harga” dari orang yang bersangkutan.Jika mengingat ini,kita mungkin sepanjang jalan bakal tertawa terbahak-bahak,lantaran semua baliho caleg yang bertebaran sepertinya “haram” jika tak mencantumkan gelar.

Lepas dari sisi negatif yang ada,kita bisa belajar dari dunia hiburan, entah di Indonesia atau di Amerika. Berapa banyak gelar Doktor,Phd,Ir dan bahkan profesor yang disandang para pesohor, yang digunakan secara proporsional. Misalnya para penyanyi rock. Saat mereka ngerock di panggung, atribut akademisi itu lenyap tak berbekas. Namun ketika mereka mengajar di kampus,atau dalam acara-acara akademis, semua tahu saat curicullum vitai dibacakan, jika mereka adalah jebolan dari universitas bergengsi.Bahkan dengan nilai akademis summa cum laude alias sangat memuaskan. Mestinya beginilah kita bersikap dan bertindak.Tapi kalau tidak setuju, ya monggo saja.Suka-suka saja..