“Bokap
gue wartawan.Makanya gue respek banget ama profesi ini.Karena dari dunia
jurnalistik gue dibesarkan dan bisa seperti sekarang ini,”kata Giring,vokalis
grup Band Nidji,awal Maret 2014 kemarin. Sejenak,ada desiran aneh yang menjalari
urat-urat kalbuku. Antara haru dan senang. Namun tanpa ragu, aku tepis
jauh-jauh rasa itu, dan segera aku alihkan pembicaraan ke topik lain. Aku tak
mau terlalu sentimentil mendengar empati Giring.
Sore
di Kawasan Kota Tua Jakarta, deru mobil dan motor masih terdengar garang. Hari
itu, Giring memang menjanjikan untuk bertemu. Awalnya, saya kesulitan
mengontaknya. Dua kali saya telepon, Giring tidak mengangkatnya. Aku sempat
bertanya pada seorang tukang parkir, di mana grup band Nidji sedang syuting
video klip. Juga seorang penjual siomay,yang mangkal di depan pintu masuk
Kawasan Kota Tua.
“Tadi
sih ada orang nenteng kamera.Tapi nggak tahu mau syuting dimana,”kata si
penjual siomay. Tak berselang lama, ponsel aku berdenting. Giring mengaku
sedang berada di Museum Bank Mandiri. Aku tanyakan lokasinya pada tukang
parkir. Dalam satu lesatan pandang,aku melihat di atap Museum Bank Mandiri,
para personil grup Nidji sedang sibuk diambil gambarnya.
Cukur
Rambut
“Aku
meluncur bro ke Museum Bank Mandiri,”balasku. Berjalan melawan arus, aku menuju
museum. Aku tanya pada pak satpam bagaimana caranya naik. Usai diijinkan, aku
segera masuk. Tapi baru naik satu lantai, perutku bermasalah. Aduh, ada-ada
saja. Mana bingung mencari kamar kecil. Setelah aku tanya pada tiga orang ibu
yang sedang asyik berfoto, kamar kecil yang cukup kotor itu aku temukan.
Tapi
ritual alami itu mendadak berhenti. Ponselku berdering dan di ujung sana,
Giring bilang sudah berada di luar gedung. Ia mau keluar sebentar.Ada keperluan
mendesak.Aku diharuskan ikut. Alamak. Lagi enak-enak,malah dipanggil.”Saya
tunggu ya mas?Kita cukur rambut dulu,”katanya. Terpaksa aku segera bergegas.
Memakai celana,setengah berlari,dan dari lantai dua, aku lihat Giring sudah
berdiri di pinggir mobil Hyundai H-1 sambil tangannya dimasukkan ke saku celana
.
“Hoi,mas...tunggu
ya?”kataku.
Uluran
tangannya aku sambut. Usai bersalaman, aku dan Giring masuk mobil, ditemani seorang road manajer berambut kriwil.
Giring bilang, ia akan mencari tukang cukur. Tadi pagi ia marah banget,karena
hair style-nya salah memotong rambutnya.”Sampai sekarang masih gondok.Sudah
saya bilang jangan dipotong ini-nya (sambil tangannya memegang rambut bagian
belakang),saya sambil telepon,eh,tahu-tahu langsung dipangkas.Khan nggak enak
dilihat dikamera?”ujar Giring.
Situasi
jalanan saat itu sangat ruwet. Macet dimana-mana.Apalagi di sekitaran Harmoni.
Si sopir sampai harus meminggirkan mobil berbadan bongsor yang dibawanya lebih
mepet,sekedar bertanya pada tukang parkir dimana salon terdekat dari Museum
Bank Mandiri. Setelah lelah berputar-putar,kami akhirnya menemukan salon.
Giring disambut seorang perempuan muda, yang sangat lihai memangkas rambut.
Untunglah
suasana salon sangat sepi.Ditemani dua gelas kopi pahit,tak henti-henti Giring
memandu sang kapster,agar tidak salah pangkas lagi.”Coba kacanya.Aku ingin
lihat belakangnya,”katanya.
Tak
luput, si kapster juga terus menggoda. Mungkin baru kali ini ada vokalis band
terkenal mampir ke tempat kerjanya.Suasana jadi ramai. Waktu setengah jam
hampir tak terasa. Rasa kopi pahit yang semula panas,kini mulai mendingin. Tapi
suasana tetap hangat. Apalagi saat Giring cerita soal istrinya yang dinikahinya
dengan status janda. Si kapster langsung nyeletuk,”Saya juga janda lho mas...akakakak,”.Ampyuuun....
Usai
pangkas, Giring minta kontak si kapster.Rencananya,kalau di lokasi syuting
nanti masih terlihat jelek,ia akan memanggilnya. Namun tak cukup itu. Si enchi
pemilik salon,rupanya sejak tadi menunggu pekerjaan anak buahnya kelar. Begitu
mau pulang,ia mengkomando anak buahnya untuk foto bareng. Giring dengan senang
hati memenuhinya.
“Buat
kenang-kenangan,”kata si Enci,malu-malu.
Kami
meninggalkan salon dalam kondisi perut lapar. Mas road manajer menawari kami
masuk Bakmi Gajah Mada. Tapi Giring menolak. Akhirnya, sambil terus bercanda di
dalam mobil, mas road manajer membeli dua nasi goreng dan dibungkus. Menjelang
maghrib, rumah makan Bakmi Gajah Mada kami tinggalkan. Di dalam mobil,nasi
goreng itu kami sikat. Jujur saja,sebetulnya aku masih kenyang.Makanya tak
colek sedikit saja.
Cerita
Istri
Dalam
perjalanan menuju Museum Bank Mandiri, Giring banyak cerita soal istrinya. Aku
melihat,ia tipe orang yang terbuka,jujur dan apa adanya. Bahkan sepanjang
obrolan yang lebih banyak disertai guyonan itu, Giring mau bercerita tanpa
tedeng aling-aling. Termasuk
keputusannya menikahi Chintya,istrinya yang seorang janda beranak satu. Tentu
banyak kerikil yang harus ditaklukan.Banyak ujian yang mesti dihadapi.
“Pokoknya
kasihan deh, istri saya saat masih belum saya nikahi,”kata Giring.”Orang tua
saya menolak. Bahkan banyak fitnah berseliweran,menuduh dia perempuan nggak
bener. Padahal saya menikahi dia,karena dia baik banget. Sampai sekarang,saya
tak pernah mendengar ia mengumpat kalau sedang jengkel,”sambung Giring.
Memang,
ketika akhirnya ia menikah,sempat terjadi shock cultur. Dari biasa tidur
sendiri, tiba-tiba ada anak umur 3 tahun yang muncul dikamar tidurnya,selain
istrinya. Beruntung,pelan-pelan Giring mulai menemukan cara menghadapi anak
balita. Dalam perjalanan waktu,Zidane,anak tirinya,kini malah tak tahu ayah
biologisnya,dan menganggap Giring sebagai ayah kandungnya.
Begitu
pula ibunya,yang semula menolak Chintya. Kini berbalik sayang. Kata
Giring,kuncinya mengenal dengan baik.”Saya jadi percaya pepatah,tak kenal maka
tak sayang. Dulu orang tua menolak,karena mereka nggak kenal. Setelah tahu
istri saya dari A sampai Z,hubungan orang tua dengan istri langsung
mencair,”ujar Giring.
Saat
bercerita ayahnya yang sudah almarhum, Giring tiba-tiba terhenti. Kalimatnya
terbata-bata. Ia lantas mengeluarkan kalimat, seperti yang aku tulis di awal
cerita. Giring menambahkan, ayahnya meninggal akibat stroke,karena bekerja
terlalu keras untuk menyelamatkan majalahnya dari terpaan krisis ekonomi.”Ayah
tidak mau majalah itu mati, dan berdampak pada karyawan dan wartawannya,”kata
Giring lirih.
Gelap
mulai menggelayut,saat mobil yang kami tumpangi akhirnya sampai di Museum Bank
Mandiri. Jalanan sudah mulai lengang. Giring berjanji akan mengirim foto. Kami
berpisah, setelah saling berjabat tangan. Ia membungkuk,dan aku jabat tangannya
sambil membungkuk juga. Nasi goreng yang sejak tadi kupegang,aku berikan pada
seorang bapak yang sedang menunggu penumpang di dalam bajajnya.
Hari
ini,jujur saja, saya baru mendapat pelajaran penting soal kerendahatian dan
penghargaan. Dengan segala atribut yang melekatnya, Giring terlihat beda. Saat
kesuksesan dan kekayaan kerap mengubah seseorang menjadi pribadi yang arogan
dan memandang rendah pihak lain, Giring memaknainya dengan kapasitas yang tidak
dimiliki musisi lain.Saya bersyukur bisa mengenal dan mengawalnya raun-raun di sekitaran
Kawasan Kota Tua,Jakarta, meski tak lama. Empat jempol buat Giring#