Salahudin Al Ayubi |
Syahdan,saat Raja Inggris
Richard The Lion Heart menderita sakit,Sultan Salahudin Al-Ayubi segera
mengirim hadiah dan tim medis untuk mengobati penyakit Richard. Salahudin juga menghentikan
pertempuran. Kala itu,Raja Richard memang sedang mengepung Yerussalem, yang
sudah dikuasai Salahudin. Pemimpin kekhalifahan Suriah dan Mesir ini
berharap,musuhnya sehat dulu, baru kemudian beradu strategi di medan laga.
Pernah pula,saat Richard
berjalan kaki bersama prajuritnya, Salahudin mengirim kuda Arab terbaik,agar
sang raja bisa menungganginya. Ia tak tega,seorang raja harus berjalan kaki di
padang tandus, yang bisa merendahkan derajat kebangsawannya.Pertempuran di
bulan Desember 1191 dan berlanjut di bulan Juli 1192 ini memang menjadi catatan
penting tentang sosok sultan yang di dunia Barat dikenal dengan nama Saladin
ini. Ia dikenal karena kesantunan,kerendahatian dan kasih sayangnya.
Berabad-abad
kemudian,setiap nama Sultan Salahudin disebut,kisah keberanian dan kesabarannya
selalu menggetarkan hati kaum muslim. Dari kaca mata seorang anak kecil yang
mendengarnya di musola kampung di pelosok Tegal, saya pribadi meyakini, dialah
sosok paling representatif dan mendekati paripurna, dari contoh akhlak Rosul
Muhammad SAW.Solahudin keras ketika akidahnya disinggung,tapi lemah lembut
terhadap sesamanya,bahkan musuh besarnya sekalipun, seperti Raja Richrad.
Saya sengaja mengambil
contoh sang sultan, karena saban ada ustaz bertindak melampaui batas,misal
karena merasa harkatnya direndahkan, para pendukung ustaz tidak mau terima jika
disuruh mencontoh pribadi Muhammad. Mereka berdalih, di sisi Muhammad ada
sahabat Umar, yang siap jadi benteng bagi siapapun yang menghina nabi. Namun
sepanjang pengetahuan saya, nabi
pun tak pernah marah untuk hal yang bersifat pribadi. Kecuali sudah menyangkut
akidah.
Muhammad,misalnya, sangat
marah ketika Usamah bin Zaid membunuh Mirdas bin Nuhaik,usai penaklukan benteng
Khaibar. Kala itu, Mirdas berhasil membunuh beberapa prajurit muslim. Usamah
yang mengejar,berhasil membuat Mirdas kepepet. Dalam kondisi genting,Mirdas
mengucap dua kalimat sahadat. Tapi Usamah yang takut itu hanya lips service, segera menghabisi Mirdas.
Nabi pun menegur dengan keras.
Kemarahan yang proporsional,apalagi
untuk menegakan kesucian ajaran Allah,sesungguhnya menjadi bukti jika penyakit “marah”
amatlah berbahaya jika sudah menjangkiti hati. Sekelompok dokter di Inggris
menemukan fakta, ketidakmampuan mengontrol diri, berkolerasi positif dengan
penyakit jantung, kanker,stroke, frustasi dan bahkan pilek. Marah juga membuat
jumlah tindak pidana meningkat. Dalam batas-batas tertentu, kemarahan selama delapan
menit akan lebih cepat melumpuhkan kekuatan daripada delapan jam bekerja.
Para ahli manajemen
mewanti-wanti, kita tak boleh marah saat mengambil keputusan. Dari sisi transendental,
kata rosul Muhammad, seorang mukmin tidak bisa disebut mukmin,jika ia suka
mencela, pengutuk,kata-katanya kotor dan keji.
Termasuk, memaki orang mukmin adalah fasik (dosa) dan memeranginya
adalah kufur (keluar dari Islam). Apalagi hanya karena masalah suara mike sound system yang kurang keras.
Lantas,apakah benar
anggapan banyak orang,jika kesabaran sesungguhnya ada batasnya?Kita bukan Nabi
Ayub,yang puluhan tahun diuji penyakit dan lolos dengan kesabaran luar biasa.
Atau Rosul Muhammad, yang menaklukan kota Mekkah dengan damai dan memaafkan
semua penghuninya,walau pernah memberikan penderitaan luar biasa dalam
dakwahnya. Namun jika melihat tebaran ayat-ayat Allah dalam kitabnya,
sesungguhnya manajemen marah adalah keniscayaan yang bisa dipelajari semua
orang.
Kuncinya adalah
bersabar.Imam Al Ghazali menyebut, sabar adalah satu bagian dari dua bagian
iman, termasuk bersyukur. Sifat ini bahkan termasuk dalam Asmaul Husna. Banyak
ayat Al Qur’an yang memuat janji Allah yang akan meninggikan derajat orang yang
sabar. “Sesungguhnya orang bersabar itu,akan dipenuhi pahalanya tanpa mengingat
perhitungan” (Surat Az-Zumar ayat 10).
Kasus Ustaz Hariri semakin
menunjukan,pembentukan mental dan karakter para da’i (penyampai) telah gagal
akibat buaian budaya instan. Tak jarang,untuk menutupi kekurangan itu,kita
bermain dengan simbol-simbol agama, yang notabene itu bukanlah esensi dari
nilai Islam. Kita terjebak pada peniruan besar-besaran kultur Arab,sekedar
untuk mendapat legitimasi sebagai orang alim,meski pondasinya rapuh.
Benar kata Gus Dur, Islam
datang bukan untuk mengubah budaya leluhur kita jadi budaya Arab. Bukan untuk ‘aku’
jadi ‘ana’,’sampeyan’ jadi ‘antum’,’sedulur’ jadi ‘akhi’. Gus Dur
menegaskan,kita pertahankan milik kita,kita harus serap ajarannya,tapi bukan
budaya Arabnya. Rasanya tak perlu dikasih contoh, betapa banyak sosok-sosok
berjubah yang nyata-nyata berperilaku menyimpang, dan tidak mencerminkan nilai-nilai
Islam.
Apakah dengan kesabaran
itu kita membuka ruang untuk membiarkan pihak lain merendahkan dan menghina
kita?Jika menyangkut ini,kita harus faham tentang dahsyatnya sikap memaafkan. Tindakan
ini hanya bisa dilakukan oleh orang-orang kuat,seperti Nelson Mandela misalnya.Pilihan
itu tersedia, kita ingin dikenang sebagai pribadi yang lemah,atau sebaliknya.Namun
apapun, mungkin ini bisa jadi pegangan, ketika kita kita sedang direndahkan
orang lain,percayalah,pada saat yang sama kita sebetulnya sedang ditinggikan
derajatnya oleh Allah. Wallahua’lam
bishowab.
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete