Daftar Isi

Monday, February 24, 2014

Gundik


Menurut kamus  besar Bahasa Indonesia,gundik artinya istri simpanan, selir, atau perempuan piaraan.Pokoknya yang serba ‘gelap’.  Mungkin sekarang lebih halus lagi menyebutnya;istri siri.Tapi jika istri siri lebih kental aroma religinya,  sebutan gundik mungkin secara sosiologis tak begitu sedap didegar,karena maknanya lebih luas. Bisa sah,bisa tidak. Mungkin juga seperti cabo kata orang Betawi bilang.

Sekilas,fenomena gundik hanya terlihat sebagai gejala sosial biasa. Tapi jika melihat trend yang kini terjadi di banyak kasus korupsi di Indonesia, isu ini sebetulnya sangat menarik untuk dikaji. Saya tidak ingin menghakimi, jika para koruptor yang tertangkap KPK, pasti mempunyai gundik. Namun jika kita belajar dari negara China misalnya,ada hal-hal yang bisa direnungkan,untuk semakin menggiatkan para penegak hukum agar Indonesia cepat-cepat bersih dari penggerogot uang negara.

Gundik di China berkelindan dengan budaya leluhur,yang sudah berumur berabad-abad. Kaisar-kaisar China tempo dulu, rasanya tidak afdol jika tak punya gundik. Bilangannya bukan satuan.Tapi ratusan. Lucunya, budaya ini banyak ditiru oleh para koruptor di China.Ada semacam kelainan jiwa bernama Emperor’s Complex –sindrom kaisar. Menjadi “kaisar” berarti punya banyak perempuan. Bagi mereka itu simbol kebanggaan.

Tak heran, menurut pemerintah China (2007), para kekasih gelap,atau bini gelap, telah jadi simbol korupsi. Sekitar 90 persen pejabat yang jatuh akibat skandal korupsi, pasti punya gundik bahkan lebih dari satu.Mantan Menteri Kereta Api China, Liu Zhijun misalnya,setelah ditangkap pihak yang berwenang karena tuduhan korupsi, diketahui memiliki 18 wanita simpanan.

Hebatnya di China,mungkin ini bedanya dengan di Indonesia,sebagian besar gundik menjadi whistle-blower.Ada yang kecewa karena merasa tidak diperhatikan.Mereka lantas bernyanyi jadi simpanan pejabat Fulan.Diberi uang belanja tiap hari sekian juta.Mobil,apartemen dan perhiasan. Dari situ,pihak berwenang bisa menengarai berdasar profil pejabat yang dituduh.Apakah penghasilannya sebagai pegawai negeri sipil sesuai dengan kekayaannya.

Sejak Deng Xiaoping melakukan reformasi tahun 1978,China memang sangat keras bertindak terhadap koruptor. Banyak hukuman mati dijatuhkan. Ketika dilantik jadi Perdana Menteri China pada tahun 1998, Zhu Rongji bahkan berteriak lantang, "Berikan saya 100 peti mati, 99 akan saya isi dengan mayat para koruptor, dan yang satunya lagi buat saya sendiri jika saya pun melakukan perbuatan hina dan memalukan itu"katanya.Luar biasa.

Sayang,semangat itu tak pernah kita transfer dalam roh dan jiwa para penegak hukum kita. Sejauh ini,kita masih terikat pada rantai Hak Asasi Manusia (HAM). Hukuman mati tidak manusiawi,begitu kampanye anggota komnas HAM. Para koruptor pun memilih untuk melakukan aksi preemtive strike.Serbu dulu, urusan belakangan. Korupsi dan piara gundik dulu, kalau ketahuan berarti apes. Kalau lolos,alhamdulilah.

Para gundik pun tak punya nyali ganda untuk membongkar kelakuan “mitranya”. Saya tidak tahu,apakah ini dipengaruhi oleh tatanan masyarakat Indonesia yang khas. Sejarah pergundikan di Indonesia tak melulu didasari oleh rasa kebanggaan,seperti di China. Ada motif lain;entah seperti saat sekarang sebagai sarana pencucian uang.Atau sekedar menyalurkan hawa nafsu liar, ditengah himpitan ekonomi para gundik,yang ingin lepas dari kemiskinan akut.

Cerita Nyai Dasima misalnya.Lakon karangan G.Francis yang dirilis tahun 1896 itu menunjukan kedudukan gundik sebagai pihak yang tak punya power.Baik ekonomi maupun politik. Perempuan simpanan bangsawan Inggris Edward William ini konon diangkat dari kisah nyata gadis dusun Kahuripan, tak jauh dari Ciseeng,Bogor. Begitu pula Hikayat Siti Mariah, satu-satunya karya sastra Pra-Indonesia yang muncul di saat tanam paksa 1830-1890 dan membahas pergundikan.

Kita masih berkutat pada cerita panjang penindasan para pemodal terhadap gundik-gundik yang dimilikinya. Termasuk cengkeraman stigma jelek gundik,yang membuat cap ini sebisa mungkin dihindari. Dikasih mobil Alphard,mengaku teman biasa. Diberi apartemen, berdalih rekanan bisnis. Kalau bisa,sebelum dipanggil KPK, ramai-ramai mengaku tidak kenal. Atau berulang-ulang bilang dibayar secara profesional, karena jasanya didunia seni.

Di negara komunis seperti Republik Rakyat China, hati nurani para gundik masih berbicara,saat ada kepentingan bangsa yang dirugikan. Mungkin ini sebagai penebus dosa,karena masuk dalam perangkap para pengumbar hawa nafsu. Tentu saja penegak hukum tak hanya mengejar pengakuan,sebagai satu-satunya bukti. Tapi petunjuk lebih awal lekas tertangkap,ketika niat berjujur ria itu muncul,walau karena motif sakit hati misalnya.

China lekas bangkit sebagai kekuatan ekonomi dunia,karena penegakan hukumnya yang tak pandang bulu dan maksimal. Tak ada salahnya kita belajar,seperti hadis nabi Muhammad,”Tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri China,”. Perlu ada gebrakan keras KPK,untuk membuat efek jera para koruptor.

Jika para gundiknya enggan berkompromi,sekali-kali undang-undang tindak pidana pencucian uang (TPPU) diseriusi untuk menjerat mereka.Bukankah selama ini mereka hanya terlihat berlenggak lenggok di gedung KPK, tanpa sanksi hukum yang terang untuk menjebloskan mereka ke dalam penjara, meski nyata-nyata sudah menikmati aliran uang dari hasil merampok negara?



No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas kunjungan anda!