Menurut
kamus besar Bahasa Indonesia,gundik artinya istri simpanan, selir, atau
perempuan piaraan.Pokoknya yang serba ‘gelap’. Mungkin sekarang lebih
halus lagi menyebutnya;istri siri.Tapi jika istri siri lebih kental aroma
religinya, sebutan gundik mungkin secara sosiologis tak begitu sedap
didegar,karena maknanya lebih luas. Bisa sah,bisa tidak. Mungkin juga seperti
cabo kata orang Betawi bilang.
Sekilas,fenomena
gundik hanya terlihat sebagai gejala sosial biasa. Tapi jika melihat trend yang
kini terjadi di banyak kasus korupsi di Indonesia, isu ini sebetulnya sangat
menarik untuk dikaji. Saya tidak ingin menghakimi, jika para koruptor yang
tertangkap KPK, pasti mempunyai gundik. Namun jika kita belajar dari negara
China misalnya,ada hal-hal yang bisa direnungkan,untuk semakin menggiatkan para
penegak hukum agar Indonesia cepat-cepat bersih dari penggerogot uang negara.
Gundik
di China berkelindan dengan budaya leluhur,yang sudah berumur berabad-abad.
Kaisar-kaisar China tempo dulu, rasanya tidak afdol jika tak punya gundik.
Bilangannya bukan satuan.Tapi ratusan. Lucunya, budaya ini banyak ditiru oleh
para koruptor di China.Ada semacam kelainan jiwa bernama Emperor’s Complex
–sindrom kaisar. Menjadi “kaisar” berarti punya banyak perempuan. Bagi mereka
itu simbol kebanggaan.
Tak
heran, menurut pemerintah China (2007), para kekasih gelap,atau bini gelap,
telah jadi simbol korupsi. Sekitar 90 persen pejabat yang jatuh akibat skandal
korupsi, pasti punya gundik bahkan lebih dari satu.Mantan Menteri Kereta Api
China, Liu Zhijun misalnya,setelah ditangkap pihak yang berwenang karena
tuduhan korupsi, diketahui memiliki 18 wanita simpanan.
Hebatnya
di China,mungkin ini bedanya dengan di Indonesia,sebagian besar gundik menjadi
whistle-blower.Ada yang kecewa karena merasa tidak diperhatikan.Mereka lantas
bernyanyi jadi simpanan pejabat Fulan.Diberi uang belanja tiap hari sekian
juta.Mobil,apartemen dan perhiasan. Dari situ,pihak berwenang bisa menengarai
berdasar profil pejabat yang dituduh.Apakah penghasilannya sebagai pegawai
negeri sipil sesuai dengan kekayaannya.
Sejak
Deng Xiaoping melakukan reformasi tahun 1978,China memang sangat keras
bertindak terhadap koruptor. Banyak hukuman mati dijatuhkan. Ketika dilantik
jadi Perdana Menteri China pada tahun 1998, Zhu Rongji bahkan berteriak
lantang, "Berikan saya 100 peti mati, 99 akan saya isi dengan mayat para
koruptor, dan yang satunya lagi buat saya sendiri jika saya pun melakukan
perbuatan hina dan memalukan itu"katanya.Luar biasa.
Sayang,semangat
itu tak pernah kita transfer dalam roh dan jiwa para penegak hukum kita. Sejauh
ini,kita masih terikat pada rantai Hak Asasi Manusia (HAM). Hukuman mati tidak
manusiawi,begitu kampanye anggota komnas HAM. Para koruptor pun memilih untuk
melakukan aksi preemtive strike.Serbu dulu, urusan belakangan. Korupsi
dan piara gundik dulu, kalau ketahuan berarti apes. Kalau lolos,alhamdulilah.
Para
gundik pun tak punya nyali ganda untuk membongkar kelakuan “mitranya”. Saya
tidak tahu,apakah ini dipengaruhi oleh tatanan masyarakat Indonesia yang khas.
Sejarah pergundikan di Indonesia tak melulu didasari oleh rasa
kebanggaan,seperti di China. Ada motif lain;entah seperti saat sekarang sebagai
sarana pencucian uang.Atau sekedar menyalurkan hawa nafsu liar, ditengah
himpitan ekonomi para gundik,yang ingin lepas dari kemiskinan akut.
Cerita
Nyai Dasima misalnya.Lakon karangan G.Francis yang dirilis tahun 1896 itu
menunjukan kedudukan gundik sebagai pihak yang tak punya power.Baik ekonomi
maupun politik. Perempuan simpanan bangsawan Inggris Edward William ini konon
diangkat dari kisah nyata gadis dusun Kahuripan, tak jauh dari Ciseeng,Bogor.
Begitu pula Hikayat Siti Mariah, satu-satunya karya sastra Pra-Indonesia yang
muncul di saat tanam paksa 1830-1890 dan membahas pergundikan.
Kita
masih berkutat pada cerita panjang penindasan para pemodal terhadap
gundik-gundik yang dimilikinya. Termasuk cengkeraman stigma jelek gundik,yang
membuat cap ini sebisa mungkin dihindari. Dikasih mobil Alphard,mengaku teman
biasa. Diberi apartemen, berdalih rekanan bisnis. Kalau bisa,sebelum dipanggil
KPK, ramai-ramai mengaku tidak kenal. Atau berulang-ulang bilang dibayar secara
profesional, karena jasanya didunia seni.
Di
negara komunis seperti Republik Rakyat China, hati nurani para gundik masih
berbicara,saat ada kepentingan bangsa yang dirugikan. Mungkin ini sebagai
penebus dosa,karena masuk dalam perangkap para pengumbar hawa nafsu. Tentu saja
penegak hukum tak hanya mengejar pengakuan,sebagai satu-satunya bukti. Tapi
petunjuk lebih awal lekas tertangkap,ketika niat berjujur ria itu muncul,walau
karena motif sakit hati misalnya.
China
lekas bangkit sebagai kekuatan ekonomi dunia,karena penegakan hukumnya yang tak
pandang bulu dan maksimal. Tak ada salahnya kita belajar,seperti hadis nabi
Muhammad,”Tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri China,”. Perlu ada gebrakan
keras KPK,untuk membuat efek jera para koruptor.
Jika
para gundiknya enggan berkompromi,sekali-kali undang-undang tindak pidana
pencucian uang (TPPU) diseriusi untuk menjerat mereka.Bukankah selama ini
mereka hanya terlihat berlenggak lenggok di gedung KPK, tanpa sanksi hukum yang
terang untuk menjebloskan mereka ke dalam penjara, meski nyata-nyata sudah
menikmati aliran uang dari hasil merampok negara?