Daftar Isi

Friday, January 31, 2014

Capres Muda

Dino Djalal
Portico Cafe, Kamis (30/1) malam, dalam balutan musik Mandarin. Beberapa resto dan cafe di sampingnya, di Mal Senayan City, Jakarta, kala itu ramai oleh pengunjung. Mayoritas mereka adalah perempuan muda bermata sipit. Maklumlah. Perayaan Imlek baru saja dimulai. Usai ngobrol dengan Dino Patti Djalal, mantan Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat, saya menikmati makan malam. Sekitar pukul 21.00, saya mohon diri, menyisakan beberapa catatan penting tentang keberanian Dino mengorbankan karirnya yang cemerlang sebagai duta besar RI, untuk mengejar mimpi sebagai presiden RI.

Rasa heran saya usai berbincang dengan Dino, rupanya tak berlangsung lama. Paginya, atau tepatnya Jum’at (31) siang, kabar mengagetkan itu saya baca di media. Kali ini Gita Wirjawan, Menteri Perdagangan, memilih mundur dari posisinya. Alasannya sama dengan Dino; ingin konsentrasi mengikuti konvensi capres Partai Demokrat (PD). Dus, juga mengejar mimpi jadi calon presiden RI. Gita juga meninggalkan posisi bergengsi, sebuah jabatan yang kerap jadi rebutan oleh para politisi.

Saya sempat menanyakan pada asisten pribadinya (aspri), Nancy Natalia. Ia membenarkan kabar itu. Dino dan Gita, tentu bakal bersaing ketat di arena konvensi. Saya merasa beruntung bisa mengenal dan bertemu secara pribadi, serta menarik pelajaran penting dari dua orang itu. Salah satunya,soal keyakinan dan rasa rendah hatinya. Kita tahu, diberbagai survei, nama Dino dan Gita belum begitu “berbunyi”. Tapi dua-duanya mengungkap, perebutan kursi RI 1 itu bukan soal kalah dan menang.

Sebelum bertemu Dino, kalau tidak salah, sekitar 2-3 bulan lalu, saya bertemu Gita. Ini setelah berhari-hari saya melobi, mencari waktu yang tepat, dan memastikan semua aman. Saya disuruh datang ke lapangan golf Senayan City,setelah sholat Jum’at. Sebuah bangunan merangkap kafe, menjadi tempat pertemuan kami. Saya sempat disuruh menunggu sambil menikmati secangkir lemon tea. Tak lama Nancy menyuruh saya masuk. Berselang kemudian, datang Astrid Haryati, asisten pribadi Gita yang lain.
 
Dari obrolan panjang lebar itu, saya menangkap kesan Gita sosok yang santai, senang bergurau dan rendah hati. Saat saya memastikan, ia pernah belajar di Harvard University misalnya, Gita cuma berucap pendek,”Alhamdulilah,”. Tapi mungkin yang membuat saya malu soal ini. Saya sempat menanyakan hobinya, selain bermusik. “Bertaman,”katanya pendek. Gita lantas menyuruh saya melihat lewat jendela kaca tempat kami berbincang.”Bagus nggak tanaman di lapangan golf ini,”sambungnya.

“Bagus,pak”kata saya. Rumput hijau, deretan palem, dan tanaman bunga memang didesain dengan elok dan artistik. Tapi sungguh, saya tak pernah menduga, kalau itu hasil karya Gita. Saya sempat menanyakan, apakah beliau praktik mengatur tanamanan di padang golf itu?Gita cuma tertawa,”Bagus khan?”tegasnya. Saya tak mengejar, karena Gita tak mau menjawab. Namun ketika saya pamit, dan mencoba meluncaskan rasa penasaran saya pada satpam lapangan golf, pak satpam menjawab yakin,”Lapangan golf ini memang milik Pak Gita,”Masya Allah.Saya benar-benar tengsin.

Dalam batin saya bertanya-tanya, berapa kekayaan Gita Wirjawan, jika lapangan golf seluas itu berada di kawasan elit dekat mal Senayan City, yang harga tanahnya satu meter sudah begitu menjulang tinggi, menjadi miliknya?Saya memang sempat browsing dan tahu Gita seorang pengusaha.Istrinya, tak kalah sukses sebagai eksekutif perusahaan multinasional.Tapi  tentu tak ada informasi satu persatu kekayaan yang ia miliki,termasuk lapangan golf itu. Jika melihat semua ini, posisi menteri mungkin lebih sebagai pengabdian. Bukan untuk mencari makan.
Gita Wirjawan

Ada yang ngomong pedas, Gita itu tinggal glanggang colong playu. Tak mau bertanggungjawab soal kisruh beras impor ilegal, ini itu dan lain-lain. Tapi yang berfikir rasional membela, Gita memang pantas mundur. Selama ini, sebagai peserta konvensi, ia kerap dicurigai memakai fasilitas negara untuk berkampanye. Gita tak mau ini. Namun apapun suara-suara yang timbul, sebagai orang yang lebih muda dan berpendidikan lebih rendah seperti saya, kesederhanaan dan kerendahatian Gita menjadi inspirasi yang patut ditiru.

Indonesia tentu butuh orang muda seperti Gita,Dino, Jokowi, Ahok, Anis Baswedan atau siapapun politisi yang berusia disekitaran 40-50 tahunan.Jangan lebih dari 60 tahun. Para politisi tua, sudah saatnya berbesar hati menyerahkan tongkat estafet kepemimpinan bangsa. Mungkin secara elektabilitas, keduanya tidak begitu tinggi, karena liputan media yang jarang menyentuh. Tidak seperti Jokowi misalnya. Tapi capres-capres yang sekarang masih ngebet, dan berusia 60 tahun ke atas, sesungguhnya jadi contoh konkrit, betapa sumbatan demokratisasi justru lebih banyak diperagakan oleh kaum tua.

Bung Karno dulu selalu teriak-teriak, tentang dahsyatnya kekuatan anak muda.”Berikan saya 10 pemuda revolusioner.Maka akan saya guncangkan dunia,”kata BK.Di sisa waktu, sebelum pilpres dimulai, Gita bertekad akan menaikan elektabilitas. Dino juga sedang berjuang keras menawarkan konsep nasionalisme unggul,sebagai bahan jualannya. Mereka berani maju, dengan tawaran visi dan misinya. Lengkap dengan segenap perangkat, baik SDM maupun sumber dana yang dimilikinya.

”Ini perjuangan mulia,”kata Gita, saat mengumumkan pengunduran dirinya sebagai mendag, terkait keikutsertaannya di ajang pilpres mendatang. Kegigihan dan totalitas semacam itu, bahkan sampai melepas jabatan bergengsi yang diidamkan banyak orang, selayaknya diapresiasi. Tugas politisi tua untuk memberi karpet merah, apalagi mereka yang sudah pernah mencicipi jabatan puncak dan ingin maju lagi. Soal siapa nanti yang akhirnya terpilih menduduki kursi RI 1, itu wilayah Tuhan untuk menentukan. Bukankah tugas manusia hanyalah bekerja dan berikhtiar?



No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas kunjungan anda!