Daftar Isi

Friday, January 10, 2014

Kawin Cerai

Tahun 2014, kata pengamat politik, adalah tahun Vivere Pericoloso alias tahun berbahaya. Tentu bukan seperti di zaman Orde Lama, saat Bung Karno mengungkap istilah itu, karena kondisi politik yang carut marut. Pemilihan anggota legislatif dan presiden Republik Indonesia, di tahun ini, barangkali berpotensi menjadi bahaya, walau ada yang menandaskan semua akan aman-aman saja. Mungkin ini alasan yang membuat tahun ini menjadi tahun yang mesti dicermati.

Resolusi, atau target hidup, lantas menjadi mafhum. Sasaran yang sering ditanya soal ini adalah kaum selebritas yang kerap wara wiri di layar kaca. Biar lebih seru, tak jarang pula kelompok paranormal ditanya ini - itu. Siapa bakal mati, menikah atau bercerai. Siapa sukses, tenggelam atau sedang-sedang saja karirnya. Ada yang percaya, beberapa mengaku tak ambil pusing. Terlebih seleb yang memasang target jauh-jauh hari untuk bercerai, semisal Ayu Ting ting.

Topik perceraian dan perkawinan memang seperti jadi makanan tahunan para cenayang, saban pergantian tahun.  Sejatinya ini bukan hal mengejutkan. Tapi bulan-bulan belakangan, trend perceraian dan perkawinan menjadi semakin ekstrim dan mengundang banyak teka-teki. Bukan soal gaya hidup ini hasil impor dari budaya Hollywood, hingga menjadi janggal ketika ditiru. Bukan itu. Aspek menarik yang butuh kajian terutama soal begitu cepat lunturnya akar keluhuran budi Bangsa Indonesia dalam memandang kesakralan lembaga perkawinan.

Baru mengandung beberapa bulan anak pertama, sudah bertekad cerai. Nikah sebulan belum ada, langsung minta pembatalan kawin. Saat resepsi pernikahan memuja muji sang suami yang puluhan tahun lebih tua, setelah benci berbalik bertekad untuk pisah. Menikah  dan bercerai seperti mencoba gaun saja. Jika sudah bosan, langsung dicampakkan.  Kalau perlu dibarengi saling buka aib. Dalam kasus-kasus tertentu, bahkan saling jegal dalam karir, seolah-olah mereka melupakan jika pernah tidur satu ranjang.

Tentu ada kawin cerai seleb yang bisa dimengerti dari alasan syar’i. Tapi banyak yang memandang jika pernikahan itu sebuah “kecelakaan”. Rasa cinta yang semula diagung-agungkan, hilang tak berbekas dalam sekejap. Padahal saat mereka fitting baju pengantin misalnya, betapa mereka seperti menjadi penganut setia “ajaran” Gibran Khalil Gibran.” Kalau cinta memanggilmu, ikutilah ia walaupun jalannya terjal berliku-liku. Jika sayapnya merangkummu, pasrah serta menyerahlah meski pedang di sela sayap itu melukaimu. Jika ia bicara padamu, percayalah, walau ucapannya membuyarkan impianmu”.

Coba kita runut pelan-pelan. Berapa banyak pesohor kita yang nekad menikah demi cinta, walau tak mendapat restu orang tua, akhirnya bercerai juga. Mari kita urai memori publik, siapa yang menikah dengan perjuangan berat sampai di pengadilan atas nama cinta, ujung-ujungnya kandas juga.  Ada pula yang sampai ganti keyakinan, demi cinta, walau akhirnya pisah pula.  Mungkin benar kata para ahli kimia, cinta, sejatinya hanyalah reaksi biokimia belaka. Rasa senang muncul karena  otak dibanjiri hormon dopamin.

Saya tidak hendak menafikan jika cinta itu tak penting dalam sebuah hubungan rumah tangga.  Tapi benar adanya, sikap menerima perbedaan lebih awal adalah pondasi kuat untuk menjalin hubungan. Ibaratnya,kata orang pintar, pacaran dan menikah itu seperti permainan gradasi warna. Awal-awal terlihat putih semua. Setelah sah dan satu rumah, mulai terlihat warna abu-abu, merah bahkan hitam. Rasanya pun semakin ‘nano-nano’ –ramai  dan beragam. Tidak manis melulu. Tapi semua itu,  seperti keyakinan failasof Bertrand Russel,tidak mengurangi citra rumah tangga sebagai pusat kesenangan.

Buya Hamka pernah mencoba menguliti penyebab rumah tangga yang mengalami “kecelakaan”.Selain dari kondisi ekonomi, faktor pergaulan sehari hari dan attitude diri juga memegang peran penting. Perempuan yang sibuk berkarir, membuat rumah seperti hotel saja. Sekedar tempat singgah dan tidur. Begitu pula demokratisasi dan emansipasi, memicu konflik karena istri tak lagi taat pada suami, atau anak pada ayah. Sebaliknya, ayah tidak tahu kewajiban. Tak punya azzam untuk memegang teguh janji suci. Ini memang klise. Tapi sungguh betapa susahnya implementasi  ujaran Buya Hamka ini.

Azzam atau niat yang kuat menjaga nilai akad nikah, terbukti efektif meski  kesulitan ekonomi kerap menghadang. Saya punya teman yang memilih hidup di kampung setelah menikah, setelah bertahun-tahun mencicipi manisnya kehidupan Kota Jakarta. Suami istri sama-sama berjibaku mencari  barang rongsokan sebagai mata pencaharian,membuahkan enam anak,boro-boro terbersit ingin bercerai.

Tentu tak cukup kata prihatin, saat perceraian menjadi pilihan utama,  begitu merasa tak cocok.  Ini bukan lantaran cerai adalah perbuatan halal yang diridoi Tuhan. Dari sisi nalar sehat, siapa yang bisa mencari pasangan yang cocok, ketika Tuhan sudah memastikan tiap orang punya kelebihan dan kekurangan masing-masing? Ini diluar persoalan “teknis”, hingga perceraian harus terjadi.Misal karena tercederainya buhul perkawinan lantaran perselingkuhan.

Pada akhirnya, sikap sederhana dalam mencintai atau membenci sesuatu, semakin meneguhkan ketidakpantasan rasa cinta sebagai alasan untuk menikah atau bercerai. Kata Allah,“Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu” - (Surat Al Baqarah 216). Jika mengingat ini,kita sesungguhnya sedang dituntun ke dalam lorong yang bertabur akal sehat, hingga tak terjerembab dalam “cinta buta”, yang berakibat terjadi putusan fatal di tahun 2014, dan tahun-tahun berikutnya*

No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas kunjungan anda!