Foto;kompas.com |
Bui, atau
hotel prodeo alias penjara, saya mafhum bukanlah tempat yang menyenangkan. D’lloyd,
yang menggambarkan tahanan harus sarapan pakai nasi jagung,memang agak
mendramatisir keadaan. Nasi jagung sekarang sudah susah didapat. Tapi pesan
jelas dari D’lloyd, penjara, kalau bisa, janganlah disentuh. Meski untuk
kasus-kasus tertentu, misal karena perjuangan ideologi, penjara bisa jadi
sebuah kehormatan. Tapi dari sisi kemanusiaan yang paling dalam, hidup
di bui bukanlah sebuah pilihan menarik.
Penjara
memang terkadang memunculkan
cerita-cerita inspiratif. Ada teladan mengagumkan. Banyak pelajaran dipetik,dan
biasanya itu datang dari tokoh-tokoh besar, yang kerap ditulis dengan tinta
emas para sejarawan. Almarhum Nelson Mandela, yang jasadnya baru saja
dikebumikan dengan penghormatan penuh beberapa waktu lalu, jadi contoh
bagaimana penjara berhasil mematangkan sisi mulia kesabaran dan sikap
pemaafnya. Selama 27 tahun meringkuk, Mandela kerap dikencingi kepalanya oleh
sipir penjara. Tapi ketika ia terpilih jadi presiden Afrika Selatan, Mandela memaafkan sang
sipir.
Buya Hamka,
justru melihat ketika raganya dipenjara, hikmah itu datang dan menjadi fase
yang sama berharganya dengan saat hidupnya masih bebas. Hamka awalnya merasa
amat berat. Tanpa pengadilan, tiada jelas tuduhan, ia diseret dan mendekam
selama dua tahun dengan perlakuan tak manusiawi. Tapi dari penjara Hamka
menyelesaikan buku Tafsir Al Azhar yang monumental. Saat Bung Karno (BK)
meninggal dunia, ia singkirkan rasa sakit hatinya karena pernah ditahan BK
tanpa alasan jelas, dan Buya memenuhi wasiat BK untuk menjadi imam menyolati
jenasahnya.
Sejatinya,
jika bertekad mau memaknai fase hidup penjara,gambaran yang didendangkan D’lloyd
tidaklah sepenuhnya benar. Berapa banyak orang yang pernah dipenjara kini
menjadi lebih baik setelah mampu melewati ujian itu. Tak terhitung tokoh-tokoh
besar yang lahir dan matang lantaran raganya kenyang hidup dari satu penjara ke
penjara yang lain. Mungkin dititik ini,
calon narapidana, atau si narapidana perlu berterima kasih pada Tuhan. Bukan
pada SBY atau Abraham Samad,misalnya.
Sebab ada blessing in disguise
–hikmah terselubung. Banyak “mata kuliah” yang bisa didapat saat di dalam
penjara.
Inilah hal
pertama yang terbetik, kala melihat Anas Urbaningrum akhirnya harus memakai rompi
orange.Bukan lantaran saya sempat mengenalnya secara pribadi. Bukan. Tapi
melihat gerak dan riak yang dilakukannya, juga polah beberapa loyalisnya,
seolah mengerucutkan simpul jika sesungguhnya Anas tak pantas dipenjara.
Terlebih lagi, problem yang mestinya berjalan di koridor hukum, sekuat tenaga
ditarik ke wilayah politik, dengan berbagai manuver yang terlihat naif dan
konyol.
Mungkin Anas
tak sadar, banyak pendukungnya yang memanfaatkan momen ini untuk mencari
panggung. Atau Anas sengaja membuat setting itu, sebagai kampanye pembalikan
opini jika ia sesungguhnya hanyalah korban. Jika pun kita ingin nyinyir, bisa
pula kita menuding, begitulah cara ormas Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI)
mendongkrak “merk dagang”. Setali tiga uang dengan adagium lama,jika anda ingin
terkenal di sebuah pasar, maka tonjoklah preman penguasa pasar itu.
Gangguan
batin juga muncul, terkait bagaimana
sesungguhnya pertanggungjawaban moral
Anas, sebagai calon pemimpin yang sempat digadang-gadang sebagai the rising star. Publik mafhum, ia
berteman baik dengan Nazaruddin. Bahkan atas rekomendasinya, Nazar naik jadi
bendahara Partai Demokrat (PD), kala Anas terpilih sebagai ketua umum. Ketika
Nazar akhirnya terbukti sebagai epicentrum gempa yang memporakporandakan PD, Anas
bergeming menjabat, hingga ia turun karena status tersangka. Tak secuilpun ada
permintaan maaf, apalagi mundur sejak dini tepat ketika Nazar digeladang KPK,
sebagai pembuktian kebesaran jiwanya.
Anas,
mungkin politisi tulen, yang dalam kondisi terpojok bagaimanapun, tetap ingin terlihat bersih dan layak jadi pemberitaan
media. Dalam batas-batas tertentu,
sikapnya ini kadang memunculkan sentimen negatif. Kita masih ingat, bagaimana
Gede Pasek Suardika menjanjikan Anas akan membuka isu yang menghebohkan, jelang
keberangkatannya ke gedung KPK, Jum’at (10/1) lalu. Tapi ditunggu hingga bokong
panas, tak ada secuilpun informasi baru yang layak jadi bahan perdebatan. Sikap
ini, seolah mengulang kejadian sebelumnya,dengan iming-iming akan ada “bab”
berikutnya dari “buku” Anas. Bab yang ternyata kosong tak bermakna.
Saya tak
ingin menafikan bagaimana “seksinya” Anas sebagai sebuah pemberitaan. Tapi
kekonyolan demi kekonyolan yang dilakukan dia dan para loyalisnya, membuat sosok
Anas terdegradasi dalam aras yang paling gombal. Semua yang dibikin, seolah
merujuk hanya demi sensasi. Termasuk pernyataan keluarganya, jika Anas bakal
terus dipasok makanan, agar tak diracun karena mengonsumsi makanan jatah dari
KPK. Sebuah sikap lebay yang bahkan
tak pernah dilakukan oleh keluarga Buya Hamka dan Nelson Mandela.
Salut sama kebesaran hati Buya Hamka. Kita memang tidak tahu apa yang akan terjadi di depan, dan seorang Buya Hamka yang pernah ditahan oleh Bung Karno tanpa alasan jelas tapi ternyata Buya Hamka pula yang menjadi imam sholat jenazahnya Bung Karno. Itu baru namanya sosok yang pantas diteladani.
ReplyDeletebenar mas Reo...dua ribu persen benar...!
Deleteimam Ahmad bin Hambal Rahimahulloh jg dipenjara krn mempertahankan aqidah ahlussunnah bhw ALQUR'AN adl kalamulloh bkn makhluk..........
ReplyDeletebenarkah?luar biasa ustaz Jon,hehehe
Delete