Daftar Isi

Friday, January 31, 2014

Capres Muda

Dino Djalal
Portico Cafe, Kamis (30/1) malam, dalam balutan musik Mandarin. Beberapa resto dan cafe di sampingnya, di Mal Senayan City, Jakarta, kala itu ramai oleh pengunjung. Mayoritas mereka adalah perempuan muda bermata sipit. Maklumlah. Perayaan Imlek baru saja dimulai. Usai ngobrol dengan Dino Patti Djalal, mantan Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat, saya menikmati makan malam. Sekitar pukul 21.00, saya mohon diri, menyisakan beberapa catatan penting tentang keberanian Dino mengorbankan karirnya yang cemerlang sebagai duta besar RI, untuk mengejar mimpi sebagai presiden RI.

Rasa heran saya usai berbincang dengan Dino, rupanya tak berlangsung lama. Paginya, atau tepatnya Jum’at (31) siang, kabar mengagetkan itu saya baca di media. Kali ini Gita Wirjawan, Menteri Perdagangan, memilih mundur dari posisinya. Alasannya sama dengan Dino; ingin konsentrasi mengikuti konvensi capres Partai Demokrat (PD). Dus, juga mengejar mimpi jadi calon presiden RI. Gita juga meninggalkan posisi bergengsi, sebuah jabatan yang kerap jadi rebutan oleh para politisi.

Saya sempat menanyakan pada asisten pribadinya (aspri), Nancy Natalia. Ia membenarkan kabar itu. Dino dan Gita, tentu bakal bersaing ketat di arena konvensi. Saya merasa beruntung bisa mengenal dan bertemu secara pribadi, serta menarik pelajaran penting dari dua orang itu. Salah satunya,soal keyakinan dan rasa rendah hatinya. Kita tahu, diberbagai survei, nama Dino dan Gita belum begitu “berbunyi”. Tapi dua-duanya mengungkap, perebutan kursi RI 1 itu bukan soal kalah dan menang.

Sebelum bertemu Dino, kalau tidak salah, sekitar 2-3 bulan lalu, saya bertemu Gita. Ini setelah berhari-hari saya melobi, mencari waktu yang tepat, dan memastikan semua aman. Saya disuruh datang ke lapangan golf Senayan City,setelah sholat Jum’at. Sebuah bangunan merangkap kafe, menjadi tempat pertemuan kami. Saya sempat disuruh menunggu sambil menikmati secangkir lemon tea. Tak lama Nancy menyuruh saya masuk. Berselang kemudian, datang Astrid Haryati, asisten pribadi Gita yang lain.
 
Dari obrolan panjang lebar itu, saya menangkap kesan Gita sosok yang santai, senang bergurau dan rendah hati. Saat saya memastikan, ia pernah belajar di Harvard University misalnya, Gita cuma berucap pendek,”Alhamdulilah,”. Tapi mungkin yang membuat saya malu soal ini. Saya sempat menanyakan hobinya, selain bermusik. “Bertaman,”katanya pendek. Gita lantas menyuruh saya melihat lewat jendela kaca tempat kami berbincang.”Bagus nggak tanaman di lapangan golf ini,”sambungnya.

“Bagus,pak”kata saya. Rumput hijau, deretan palem, dan tanaman bunga memang didesain dengan elok dan artistik. Tapi sungguh, saya tak pernah menduga, kalau itu hasil karya Gita. Saya sempat menanyakan, apakah beliau praktik mengatur tanamanan di padang golf itu?Gita cuma tertawa,”Bagus khan?”tegasnya. Saya tak mengejar, karena Gita tak mau menjawab. Namun ketika saya pamit, dan mencoba meluncaskan rasa penasaran saya pada satpam lapangan golf, pak satpam menjawab yakin,”Lapangan golf ini memang milik Pak Gita,”Masya Allah.Saya benar-benar tengsin.

Dalam batin saya bertanya-tanya, berapa kekayaan Gita Wirjawan, jika lapangan golf seluas itu berada di kawasan elit dekat mal Senayan City, yang harga tanahnya satu meter sudah begitu menjulang tinggi, menjadi miliknya?Saya memang sempat browsing dan tahu Gita seorang pengusaha.Istrinya, tak kalah sukses sebagai eksekutif perusahaan multinasional.Tapi  tentu tak ada informasi satu persatu kekayaan yang ia miliki,termasuk lapangan golf itu. Jika melihat semua ini, posisi menteri mungkin lebih sebagai pengabdian. Bukan untuk mencari makan.
Gita Wirjawan

Ada yang ngomong pedas, Gita itu tinggal glanggang colong playu. Tak mau bertanggungjawab soal kisruh beras impor ilegal, ini itu dan lain-lain. Tapi yang berfikir rasional membela, Gita memang pantas mundur. Selama ini, sebagai peserta konvensi, ia kerap dicurigai memakai fasilitas negara untuk berkampanye. Gita tak mau ini. Namun apapun suara-suara yang timbul, sebagai orang yang lebih muda dan berpendidikan lebih rendah seperti saya, kesederhanaan dan kerendahatian Gita menjadi inspirasi yang patut ditiru.

Indonesia tentu butuh orang muda seperti Gita,Dino, Jokowi, Ahok, Anis Baswedan atau siapapun politisi yang berusia disekitaran 40-50 tahunan.Jangan lebih dari 60 tahun. Para politisi tua, sudah saatnya berbesar hati menyerahkan tongkat estafet kepemimpinan bangsa. Mungkin secara elektabilitas, keduanya tidak begitu tinggi, karena liputan media yang jarang menyentuh. Tidak seperti Jokowi misalnya. Tapi capres-capres yang sekarang masih ngebet, dan berusia 60 tahun ke atas, sesungguhnya jadi contoh konkrit, betapa sumbatan demokratisasi justru lebih banyak diperagakan oleh kaum tua.

Bung Karno dulu selalu teriak-teriak, tentang dahsyatnya kekuatan anak muda.”Berikan saya 10 pemuda revolusioner.Maka akan saya guncangkan dunia,”kata BK.Di sisa waktu, sebelum pilpres dimulai, Gita bertekad akan menaikan elektabilitas. Dino juga sedang berjuang keras menawarkan konsep nasionalisme unggul,sebagai bahan jualannya. Mereka berani maju, dengan tawaran visi dan misinya. Lengkap dengan segenap perangkat, baik SDM maupun sumber dana yang dimilikinya.

”Ini perjuangan mulia,”kata Gita, saat mengumumkan pengunduran dirinya sebagai mendag, terkait keikutsertaannya di ajang pilpres mendatang. Kegigihan dan totalitas semacam itu, bahkan sampai melepas jabatan bergengsi yang diidamkan banyak orang, selayaknya diapresiasi. Tugas politisi tua untuk memberi karpet merah, apalagi mereka yang sudah pernah mencicipi jabatan puncak dan ingin maju lagi. Soal siapa nanti yang akhirnya terpilih menduduki kursi RI 1, itu wilayah Tuhan untuk menentukan. Bukankah tugas manusia hanyalah bekerja dan berikhtiar?



Friday, January 24, 2014

Bermimpi Jadi Presiden

Baiklah, mungkin diantara kita sudah mulai menimbang-nimbang, siapa calon presiden yang akan dipilih. Atau jika belum punya pilihan,barangkali mulai memelototi wajah-wajah yang berseliweran, mengaku-ngaku siap jadi presiden, atau masih malu-malu, meski gelagatnya akan maju juga. Tahun 2014,tahun dimana suksesi kepemimpinan nasional bakal terjadi, membuat kita jadi harap-harap cemas.

Presiden tentu jabatan prestisius. Pak Beye jauh-jauh hari sudah memastikan, sang istri tidak akan maju. Tidak baik bagi pendidikan demokrasi,kata Pak Beye. Maka, ketika ia merilis buku tulisannya berjudul “Selalu ada pilihan”, menjadi menarik, karena di situlah kita bisa belajar untuk siap-siap menjadi presiden. Atau setidaknya, bermimpi jadi presiden. Kita tentu tak mungkin meminta waktu khusus, agar Pak Beye bercerita soal kiat suksesnya dua kali dalam pemilihan langsung.

Buku ini menjadi jembatan. Bak pepatah China,’jika engkau mau melewati sebuah jalan, bertanyalah pada orang yang pernah lewat lebih dulu’,buku setebal 808 halaman ini menyimpan banyak “mutiara”. Tak cuma share pengalaman bagaimana merebut hati rakyat, di dalamnya juga bertebaran kisah-kisah inspiratif, sekaligus “menakutkan”, dipandang dari sisi psikologis seorang RI 1. Mungkin selama ini kita melihatnya kursi RI 1 itu enak belaka.

Kata Pak Beye,menjadi presiden harus siap selalu difitnah, dihina, dihujat dan direndahkan. Bahkan untuk orang-orang yang pernah diberinya jabatan tinggi, kemudian karena sistem menghendaki ia diganti,komentar-komentar miring kerap datang. Tak ketinggalan,aroma mistis juga sering “mengunjunginya”. Pak Beye bercerita, pernah gulungan asap hitam berputar-putar memasuki rumahnya. Setelah dibacakan surat Al Fatihah, asap itu segera ngacir.

Seorang temannya bekas menko di kabinet Gus Dur bahkan terang-terangan minta jabatan menteri, saat ia terpilih di 2009. Ketika kemudian tidak diberi, orang itu hingga kini konsisten menyuarakan gerakan anti SBY. Ada cerita menarik juga, seorang ulama-politisi, pemimpin sebuah ormas Islam besar, melamar jadi cawapres saat pilpres 2004. Tapi setelah JK yang dipilih, sang ulama-politisi itu hingga kini terus galak.

Pak Beye juga membuka sedikit rahasia,tentang seorang anak muda yang sempat memimpin partainya.Awalnya, banyak informasi masuk, bagaimana anak muda itu menghalalkan segala cara untuk menggapai jabatan yang diinginkannya.”Jangan terkecoh dengan penampilan santun dan sikapnya yang lembut,”kata pak Beye mengutip pemberi informasinya. Tapi karena ia tak suka berburuk sangka, informasi itu ditepisnya.

Belakangan, kata-kata orang itu benar adanya. Pak Beye bahkan terang-terangan menulis, anak muda yang sedang bermasalah dengan hukum itu justru sekarang yang tambah galak. “Dia menghembus-hembuskan wacana, agar saya maju sebagai wakil presiden di pilpres 2014. Itu sengaja untuk mempermalukan saya,karena saya sudah berjanji untuk mengakhiri masa bakti secara baik,”ujar Pak Beye.

Jika di jaman orde baru orang dekat presiden berlimpah harta,justru saat Pak Beye menjabat, ia banyak kehilangan teman. Begitu juga anak-anaknya, yang curhat jika teman-temannya jadi ikut “susah”. Bukan apa-apa. Di tengah kebebasan pers yang kerap kebablasan,orang-orang dekat presiden itu selalu dicurigai tindak tanduknya. Mau bisnis secara benar sering mendapat sorotan. Apalagi kongkalikong, jauh panggang dari api.

Padahal untuk masalah bisnis, Pak Beye dikenal “kaku”. Ia bahkan tak mau menolong teman dekatnya,untuk sekedar mendapat rekomendasi proyek.”Semua harus lewat prosedur,”kata Pak Beye. Dengan prinsip seperti ini saja, selalu ada saja pihak yang ingin menyeret-nyeretnya dalam kasus yang sedang menimpanya. Pak Beye misalnya menyebut sikap LHI, yang menuduhnya tanpa dasar.

Secara terang dan jelas, Pak Beye juga membantah tahu kasus Century. Juga kasus-kasus lain, seperti Hambalang,Bunda Putri, aliran dana ke Ibas, dan tuduhan Anas jika ia intervensi terhadap KPK untuk menjadikan Anas sebagai tersangka. Sanggahan ini tentu saja menjadi pertaruhan besar bagi Pak Beye, karena bantahan tertulis sudah tersebar di seluruh Indonesia dan dipajang di toko-toko buku Gramedia, sebagai penerbit buku ini.

Di luar dari berbagai informasi menarik yang dikemas dengan bahasa lugas dan mudah difahami,ada satu pesan yang rasanya menarik untuk digarisbawahi. Persaingan pilpres 2014 akan sangat ketat. Belajar dari pilpres 2004 dan 2009, cara-cara keji dan tak beradab masih muncul, sebagai upaya  untuk membunuh karakter lawan. Pak Beye, disini menegaskan, politik yang bersih dan berkeadaban pun, jika dijalankan dengan strategi yang jitu, akan memberi hasil maksimal.

Di atas dari semuanya adalah ridho Allah. Saat pilpres 2004 dan 2009 misalnya, banyak sekali orang pintar yang mendekati Pak Beye untuk memberi semacam “pegangan”. Tapi semua ditolak dengan halus. Begitu juga saat seorang paranormal kondang meramal ia akan kalah, Pak Beye menenangkan tim suksesnya dan menyuruh bertawakal pada Allah. “Karena bukan suara paranormal, pengamat politik, atau pemuka agama yang menentukan. Mereka, pengamat politik dan pemuka agama penting. Tapi lebih dari segalanya, rakyat yang memiliki suara dan ridho Allah,”kata Pak Beye.

Buku ini menarik dibaca, karena antar bab bercerita kisah-kisah berbeda. Kita bisa membacanya mulai dari bab mana saja, hingga ketebalan buku bukan menjadi sesuatu yang menakutkan. Mungkin bagi kalangan anti SBY, buku ini tak lebih dari curhat tak berguna. Tapi dengan memasang kejernihan hati, membuang syak wasangka, meredesain pola pikir dan mencoba berendah hati “mendengarkan” buah pikir Pak Beye,insyaallah banyak hikmah yang bisa dipetik.

Kita jadi tahu, mana tokoh politik haus jabatan, mana ‘Sengkuni’ yang selalu menyebar kebencian, mana musang berbulu monyet, dan mana tokoh politik atau pebisnis yang tulus menjalani tugasnya. Tentu dengan catatan, kita rajin mengikuti isu-isu politik, karena Pak Beye tidak menyebut nama. Ada simbol dan kita harus menebak sendiri. Soal harga buku, saya tidak tahu karena ini saya dapatkan secara cuma-cuma saat liputan. Tapi untuk mereka yang bermimpi jadi presiden,bahkan sudah pada taraf ngebet buangeet,harga berapapun bukanlah masalah,hehehe. Tabik...



Friday, January 10, 2014

Anas dan Penjara

Foto;kompas.com
Saban kali melihat orang dengan rompi orange,keluar tergopoh-gopoh dari gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dirubung para kuli tinta dan dibawa cepat menggunakan mobil berterali, tiap itu pula dendang ‘Hidup dibui’ milik D’lloyd segera terngiang. Imajinasi saya segera melesat cepat.Orang-orang itu,dengan tubuh gempal bergizi baik,beberapa bahkan berperut gendut, bagaimanakah bisa merasakan saat segalanya dibatasi?Tidur, bangun, makan, tidur lagi –kata D’lloyd badan hidup terasa mati.

Bui, atau hotel prodeo alias penjara, saya mafhum bukanlah tempat yang menyenangkan. D’lloyd, yang menggambarkan tahanan harus sarapan pakai nasi jagung,memang agak mendramatisir keadaan. Nasi jagung sekarang sudah susah didapat. Tapi pesan jelas dari D’lloyd, penjara, kalau bisa, janganlah disentuh. Meski untuk kasus-kasus tertentu, misal karena perjuangan ideologi, penjara bisa jadi sebuah kehormatan. Tapi dari sisi kemanusiaan yang paling dalam,   hidup di bui bukanlah sebuah pilihan menarik.

Penjara memang terkadang  memunculkan cerita-cerita inspiratif. Ada teladan mengagumkan. Banyak pelajaran dipetik,dan biasanya itu datang dari tokoh-tokoh besar, yang kerap ditulis dengan tinta emas para sejarawan. Almarhum Nelson Mandela, yang jasadnya baru saja dikebumikan dengan penghormatan penuh beberapa waktu lalu, jadi contoh bagaimana penjara berhasil mematangkan sisi mulia kesabaran dan sikap pemaafnya. Selama 27 tahun meringkuk, Mandela kerap dikencingi kepalanya oleh sipir penjara. Tapi ketika ia terpilih jadi presiden Afrika Selatan, Mandela memaafkan sang sipir.

Buya Hamka, justru melihat ketika raganya dipenjara, hikmah itu datang dan menjadi fase yang sama berharganya dengan saat hidupnya masih bebas. Hamka awalnya merasa amat berat. Tanpa pengadilan, tiada jelas tuduhan, ia diseret dan mendekam selama dua tahun dengan perlakuan tak manusiawi. Tapi dari penjara Hamka menyelesaikan buku Tafsir Al Azhar yang monumental. Saat Bung Karno (BK) meninggal dunia, ia singkirkan rasa sakit hatinya karena pernah ditahan BK tanpa alasan jelas, dan Buya memenuhi wasiat BK untuk menjadi imam menyolati jenasahnya.

Sejatinya, jika bertekad mau memaknai fase hidup penjara,gambaran yang didendangkan D’lloyd tidaklah sepenuhnya benar. Berapa banyak orang yang pernah dipenjara kini menjadi lebih baik setelah mampu melewati ujian itu. Tak terhitung tokoh-tokoh besar yang lahir dan matang lantaran raganya kenyang hidup dari satu penjara ke penjara  yang lain. Mungkin dititik ini, calon narapidana, atau si narapidana perlu berterima kasih pada Tuhan. Bukan pada SBY atau Abraham Samad,misalnya.  Sebab ada blessing in disguise –hikmah terselubung. Banyak “mata kuliah” yang bisa didapat saat di dalam penjara.

Inilah hal pertama yang terbetik, kala melihat Anas Urbaningrum akhirnya harus memakai rompi orange.Bukan lantaran saya sempat mengenalnya secara pribadi. Bukan. Tapi melihat gerak dan riak yang dilakukannya, juga polah beberapa loyalisnya, seolah mengerucutkan simpul jika sesungguhnya Anas tak pantas dipenjara. Terlebih lagi, problem yang mestinya berjalan di koridor hukum, sekuat tenaga ditarik ke wilayah politik, dengan berbagai manuver yang terlihat naif dan konyol.

Mungkin Anas tak sadar, banyak pendukungnya yang memanfaatkan momen ini untuk mencari panggung. Atau Anas sengaja membuat setting itu, sebagai kampanye pembalikan opini jika ia sesungguhnya hanyalah korban. Jika pun kita ingin nyinyir, bisa pula kita menuding, begitulah cara ormas Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI) mendongkrak “merk dagang”. Setali tiga uang dengan adagium lama,jika anda ingin terkenal di sebuah pasar, maka tonjoklah preman penguasa pasar itu.

Gangguan batin juga muncul, terkait  bagaimana sesungguhnya pertanggungjawaban  moral  Anas, sebagai calon pemimpin yang sempat digadang-gadang sebagai the rising star. Publik mafhum, ia berteman baik dengan Nazaruddin. Bahkan atas rekomendasinya, Nazar naik jadi bendahara Partai Demokrat (PD), kala Anas terpilih sebagai ketua umum. Ketika Nazar akhirnya terbukti sebagai epicentrum gempa yang memporakporandakan PD, Anas bergeming menjabat, hingga ia turun karena status tersangka. Tak secuilpun ada permintaan maaf, apalagi mundur sejak dini tepat ketika Nazar digeladang KPK, sebagai pembuktian kebesaran jiwanya.

Anas, mungkin politisi tulen, yang dalam kondisi terpojok bagaimanapun, tetap  ingin terlihat bersih dan layak jadi pemberitaan media.  Dalam batas-batas tertentu, sikapnya ini kadang memunculkan sentimen negatif. Kita masih ingat, bagaimana Gede Pasek Suardika menjanjikan Anas akan membuka isu yang menghebohkan, jelang keberangkatannya ke gedung KPK, Jum’at (10/1) lalu. Tapi ditunggu hingga bokong panas, tak ada secuilpun informasi baru yang layak jadi bahan perdebatan. Sikap ini, seolah mengulang kejadian sebelumnya,dengan iming-iming akan ada “bab” berikutnya dari “buku” Anas. Bab yang ternyata kosong tak bermakna.

Saya tak ingin menafikan bagaimana “seksinya” Anas sebagai sebuah pemberitaan. Tapi kekonyolan demi kekonyolan yang dilakukan dia dan para loyalisnya, membuat sosok Anas terdegradasi dalam aras yang paling gombal. Semua yang dibikin, seolah merujuk hanya demi sensasi. Termasuk pernyataan keluarganya, jika Anas bakal terus dipasok makanan, agar tak diracun karena mengonsumsi makanan jatah dari KPK. Sebuah sikap lebay yang bahkan tak pernah dilakukan oleh keluarga Buya Hamka dan Nelson Mandela.

Tentu saya sedih, pertemuan terakhir di lobi  hotel mewah di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, lima tahun lalu, kini harus melihatnya terhuyung-huyung di lobi gedung KPK dan dilempar telur busuk. Tapi satu pelajaran penting rasanya bisa diambil, seperti kata pepatah Arab,jika engkau bergaul dengan penjual minyak wangi, maka engkau akan ikut wangi.Begitu sebaliknya. Anas dan Nazar adalah satu paket. Jika pun ingin bangkit, berhentilah menyalahkan pihak lain,dan belajarlah pada kerendahatian Hamka dan Mandela selama di penjara.Tabik

Kawin Cerai

Tahun 2014, kata pengamat politik, adalah tahun Vivere Pericoloso alias tahun berbahaya. Tentu bukan seperti di zaman Orde Lama, saat Bung Karno mengungkap istilah itu, karena kondisi politik yang carut marut. Pemilihan anggota legislatif dan presiden Republik Indonesia, di tahun ini, barangkali berpotensi menjadi bahaya, walau ada yang menandaskan semua akan aman-aman saja. Mungkin ini alasan yang membuat tahun ini menjadi tahun yang mesti dicermati.

Resolusi, atau target hidup, lantas menjadi mafhum. Sasaran yang sering ditanya soal ini adalah kaum selebritas yang kerap wara wiri di layar kaca. Biar lebih seru, tak jarang pula kelompok paranormal ditanya ini - itu. Siapa bakal mati, menikah atau bercerai. Siapa sukses, tenggelam atau sedang-sedang saja karirnya. Ada yang percaya, beberapa mengaku tak ambil pusing. Terlebih seleb yang memasang target jauh-jauh hari untuk bercerai, semisal Ayu Ting ting.

Topik perceraian dan perkawinan memang seperti jadi makanan tahunan para cenayang, saban pergantian tahun.  Sejatinya ini bukan hal mengejutkan. Tapi bulan-bulan belakangan, trend perceraian dan perkawinan menjadi semakin ekstrim dan mengundang banyak teka-teki. Bukan soal gaya hidup ini hasil impor dari budaya Hollywood, hingga menjadi janggal ketika ditiru. Bukan itu. Aspek menarik yang butuh kajian terutama soal begitu cepat lunturnya akar keluhuran budi Bangsa Indonesia dalam memandang kesakralan lembaga perkawinan.

Baru mengandung beberapa bulan anak pertama, sudah bertekad cerai. Nikah sebulan belum ada, langsung minta pembatalan kawin. Saat resepsi pernikahan memuja muji sang suami yang puluhan tahun lebih tua, setelah benci berbalik bertekad untuk pisah. Menikah  dan bercerai seperti mencoba gaun saja. Jika sudah bosan, langsung dicampakkan.  Kalau perlu dibarengi saling buka aib. Dalam kasus-kasus tertentu, bahkan saling jegal dalam karir, seolah-olah mereka melupakan jika pernah tidur satu ranjang.

Tentu ada kawin cerai seleb yang bisa dimengerti dari alasan syar’i. Tapi banyak yang memandang jika pernikahan itu sebuah “kecelakaan”. Rasa cinta yang semula diagung-agungkan, hilang tak berbekas dalam sekejap. Padahal saat mereka fitting baju pengantin misalnya, betapa mereka seperti menjadi penganut setia “ajaran” Gibran Khalil Gibran.” Kalau cinta memanggilmu, ikutilah ia walaupun jalannya terjal berliku-liku. Jika sayapnya merangkummu, pasrah serta menyerahlah meski pedang di sela sayap itu melukaimu. Jika ia bicara padamu, percayalah, walau ucapannya membuyarkan impianmu”.

Coba kita runut pelan-pelan. Berapa banyak pesohor kita yang nekad menikah demi cinta, walau tak mendapat restu orang tua, akhirnya bercerai juga. Mari kita urai memori publik, siapa yang menikah dengan perjuangan berat sampai di pengadilan atas nama cinta, ujung-ujungnya kandas juga.  Ada pula yang sampai ganti keyakinan, demi cinta, walau akhirnya pisah pula.  Mungkin benar kata para ahli kimia, cinta, sejatinya hanyalah reaksi biokimia belaka. Rasa senang muncul karena  otak dibanjiri hormon dopamin.

Saya tidak hendak menafikan jika cinta itu tak penting dalam sebuah hubungan rumah tangga.  Tapi benar adanya, sikap menerima perbedaan lebih awal adalah pondasi kuat untuk menjalin hubungan. Ibaratnya,kata orang pintar, pacaran dan menikah itu seperti permainan gradasi warna. Awal-awal terlihat putih semua. Setelah sah dan satu rumah, mulai terlihat warna abu-abu, merah bahkan hitam. Rasanya pun semakin ‘nano-nano’ –ramai  dan beragam. Tidak manis melulu. Tapi semua itu,  seperti keyakinan failasof Bertrand Russel,tidak mengurangi citra rumah tangga sebagai pusat kesenangan.

Buya Hamka pernah mencoba menguliti penyebab rumah tangga yang mengalami “kecelakaan”.Selain dari kondisi ekonomi, faktor pergaulan sehari hari dan attitude diri juga memegang peran penting. Perempuan yang sibuk berkarir, membuat rumah seperti hotel saja. Sekedar tempat singgah dan tidur. Begitu pula demokratisasi dan emansipasi, memicu konflik karena istri tak lagi taat pada suami, atau anak pada ayah. Sebaliknya, ayah tidak tahu kewajiban. Tak punya azzam untuk memegang teguh janji suci. Ini memang klise. Tapi sungguh betapa susahnya implementasi  ujaran Buya Hamka ini.

Azzam atau niat yang kuat menjaga nilai akad nikah, terbukti efektif meski  kesulitan ekonomi kerap menghadang. Saya punya teman yang memilih hidup di kampung setelah menikah, setelah bertahun-tahun mencicipi manisnya kehidupan Kota Jakarta. Suami istri sama-sama berjibaku mencari  barang rongsokan sebagai mata pencaharian,membuahkan enam anak,boro-boro terbersit ingin bercerai.

Tentu tak cukup kata prihatin, saat perceraian menjadi pilihan utama,  begitu merasa tak cocok.  Ini bukan lantaran cerai adalah perbuatan halal yang diridoi Tuhan. Dari sisi nalar sehat, siapa yang bisa mencari pasangan yang cocok, ketika Tuhan sudah memastikan tiap orang punya kelebihan dan kekurangan masing-masing? Ini diluar persoalan “teknis”, hingga perceraian harus terjadi.Misal karena tercederainya buhul perkawinan lantaran perselingkuhan.

Pada akhirnya, sikap sederhana dalam mencintai atau membenci sesuatu, semakin meneguhkan ketidakpantasan rasa cinta sebagai alasan untuk menikah atau bercerai. Kata Allah,“Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu” - (Surat Al Baqarah 216). Jika mengingat ini,kita sesungguhnya sedang dituntun ke dalam lorong yang bertabur akal sehat, hingga tak terjerembab dalam “cinta buta”, yang berakibat terjadi putusan fatal di tahun 2014, dan tahun-tahun berikutnya*

Wednesday, January 1, 2014

Polisi Moral

Senja di padang Kurusetra,bau anyir darah menguar ke mana-mana. Hari ke-18 pertempuran Baratayuda masih berlangsung. Inilah puncak  penyelesaian dari sebuah dendam yang membuncah bertahun-tahun. Sebuah penentuan sejarah; gengsi siapa yang lebih tinggi. Pandawa atau Korawa. Begawan Sengkuni, pemimpin para Korawa akan berhadapan dengan Sadewa,  salah seorang Pandawa nan sakti mandraguna. Lewat pertempuran sengit, dengan berbagai trik dan adu kesaktian tingkat tinggi, Sengkuni akhirnya mati dipenggal kepalanya oleh Sadewa.

Kematian Sengkuni, menjadi akhir kisah petualangan sang angkara murka. Ini seolah jadi pertanda, kebenaran akan selalu menang melawan kebatilan. Maklumlah. Dalam dunia pewayangan, Sengkuni digambarkan sebagai sosok yang suka menjelekan pihak lain, demi keberhasilan tujuan pribadinya. Bertahun-tahun ia mengobarkan kebencian dan memelihara kesumat dikalangan Korawa, agar melindas habis Bala Pandawa. Sengkuni adalah penasihat utama Duryudana, pemimpin para Korawa. Ia setali tiga uang dengan Begawan Durno, yang juga suka mengadu domba dan memutarbalikan fakta.

Dalam diri Sengkuni, atau Durno, memang seperti sebuah ironi. Mereka sudah mencapai maqam Begawan. Sebuah “gelar” yang menumpuk di pundaknya segenap sifat-sifat agung. Mungkin seperti sekarang kita sebut budayawan, golongan pemikir, polisi moral, penganjur kebajikan, ustaz, penasihat presiden, dan lain-lain. Tapi, sifat Sengkuni bertolak belakang. Jadi semacam antitesa dari perilaku luhur –sebuah paradoksal yang bisa jadi memberi pengajaran, jika gelar dan jabatan bukanlah bungkus ideal untuk menilai hati manusia.

Sengkuni adalah layar lebar kehidupan. Mungkin ada yang masih bertanya-tanya,”Ah,masa?”. Tapi begitulah yang terjadi. Siapa yang percaya ketika desas desus menimpa budayawan dan penyair terkenal Sitok Srengenge menghamili seorang dara menyebar diam-diam dikalangan penghayat seni? Ketika sang dara melaporkan Sitok ke polisi, kemudian istri dan anak Sitok membenarkan kelakukan suami dan ayahnya, rasa terperanjat itu seperti menemukan jawabnya. Laksana Sengkuni, yang berlindung dibalik kebegawanannya, gelar budayawan Sitok tak menjamin ia imun dari perilaku rendah.

Kita kerap mengidentifikasi pola laku berdasar deretan gelar dan profesi, sekaligus menjadi petanda status sosial. Tapi toh masih ada, seorang pengacara dengan pendidikan cukup, mau bertengkar dengan anak remaja, bahkan rela meladeni tantangan tinjunya. Tidak tanggung-tanggung, sang pengacara juga mengaku sebagai “polisi moral”, walau rekam jejak moralnya masih perlu dipertanyakan. Semua serba jungkir balik. Yang ada ditutup-tutupi, yang tidak ada diwacanakan, hembus-hembuskan,menjadi sebuah ghibah yang dalam tingkat tertentu sudah mengganggu dan menginjak akal sehat.

Kata Marcus Cicero (106-43 SM), senator Roma, sejarah sejatinya adalah guru kehidupan. Hanya banyak yang tak sadar, atau sengaja mengingkari sejarah, sampai ia sendiri menjadi korban dari sejarah yang getir. Di mana-mana, kebenaran akan mencari jalannya sendiri, meski ia datang belakangan. Seberapapun kuatnya kita berlindung pada kemegahan gelar dan profesi, tapi di saat yang sama perilaku kita tak menggambarkan kemegahan itu, nasib tragis seperti yang dialami Sengkuni akan menghampiri. Semua tinggal menunggu waktu.

Gelar “polisi moral” yang disandang Amerika Serikat, membuahkan tragedi World Trade Centre, karena sikap standar gandanya terhadap nasib Palestina. Dalam lingkup yang lebih kecil, “tetangga” kita, seorang da’i yang sempat dipuja-puji jutaan ibu, harus tersungkur dalam lembah cacian, ketika ia menikah lagi diam-diam, berbeda dengan tausyah-nya yang menggembar-gemborkan pentingnya kesetiaan. Surat Ash Shaff ayat 2 telah menegur dengan jelas,”Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat?”.

Sengkuni dan Durno modern, entah di ranah politik maupun dunia hiburan, sudah menjadi problem yang meluluhlantakan sendi-sendi kebenaran. Semua berlangsung sempurna, sampai-sampai tayangan televisi ikut menari dari tabuhan gendangnya. Tiap hari. Bergiliran.Saling sahut-sahutan. Semua jadi ikut “sakit”. Kita disuguhi “orang bodoh” yang berbicara karena mereka ingin mengatakan sesuatu. Bukan “orang bijak”  yang berbicara karena mereka mempunyai sesuatu untuk dikatakan. Orang yang rumongso iso alias merasa bisa. Bukan orang yang iso rumongso atau bisa merasa.

Dalam kondisi seperti ini, ada kerinduan muncul sosok  “Sadewa” yang bisa memenggal kepala “Sengkuni”. Memberi pengajaran betapa cupeting donga gede paedahe ketimbang dawaning sumpah –pendeknya do’a lebih bermakna daripada panjangnya sumpah serapah. Menanamkan bahaya sifat Tahawwur (berani buta). Karena dari sifat Tahawwur, akan muncul ranting-ranting sifat buruk (mazmumah) yang lain seperti; munafik, kotor mulut, pengumpat, lekas marah, tidak mengakui kebenaran orang lain, takabur, angkuh, suka merendahkan pihak lain dan hobi memerintah tapi tak senang mengerjakan.

Polisi moral adalah sosok yang agung tapi bersikap sederhana. Baik sederhana hidup, cita-cita, popularitas, kata-kata, maupun tingkah laku.Maka ketika seorang budayawan, atau pengacara, berbuat tak sesuai etika, ia sesungguhnya sudah kehilangan otoritas untuk bicara moral. Jika sudah masuk ke titik ini, sejatinya ia telah jatuh “miskin”. Seperti Durno dan Sengkuni, yang menganut faham “gajah di pelupuk mata tiada kelihatan, tapi semut di seberang lautan jelas kelihatan”,label kebegawanannya menjadi muksa  –hilang tak berbekas. Ia hanya seonggok daging hidup, yang sedang bersiap menjemput karma.*