“Ciaaaaaaaat!!!”.Seperti
pendekar sakti Sungai Kuning, Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri melompati pagar sebuah penampungan Tenaga Kerja Wanita (TKW) di
daerah Tebet, Jakarta Selatan. Konon pak menteri memilih melompat,lantaran
tidak segera dibukakan pintu oleh sang empunya Penyalur Jasa Tenaga Kerja
Indonesia (PJTKI). Saat melihat fotonya di media masa, spontan saya ingat aksi
pendekar di cerita silat karangan Asmaraman S. Kho Ping Ho, yang sering saya
baca waktu SMP. Sang pendekar,eh pak menteri seperti memiliki ilmu gin kang alias ilmu meringankan tubuh.Wusss....
Mungkin saya lebay ya?Tapi pak menteri memang pantas gusar.
Apalagi belum lama dua TKW kita meninggal secara mengenaskan di Hongkong. Sumarti Ningsih dan Seneng
Mujiasih terbunuh dengan luka tusukan yang diduga dilakukan seorang bankir asal
Inggris. Saya tak mau membahas apa profesi keduanya. Namanya orang sudah
meninggal, yang baik-baik sajalah yang kita ungkit. Ora ilok,kata orang Tegal.
Walau saat melihat foto-foto Ningsih di akun jejaring sosialnya, sungguh
terlihat ‘ngeri-ngeri sedap’.
Sebelum kedua jenasah TKW kita itu dipulangkan dan
dikebumikan,rasa-rasanya bibir kita semua sudah dower, untuk mengingatkan betapa
acakadutnya proses rekrutmen dan pengiriman TKW kita. Dari umur yang
dituakan,pembinaan yang asal-asalan,sampai penyelundupan TKW, yang kalau apes
malah kejebur di laut jadi makanan ikan teri. Dari proses itu, hasilnya TKW
kita kalau tidak membunuh ya terbunuh. Derita paling umum adalah dihamili, atau
kalau beruntung seperti Darsem. Dapat pembebasan hukuman pancung karena bayar
denda, sekaligus menerima duit 1 milyar sumbangan pemirsa Tvone. Hassyiiik....
Memang tak semua TKW bercitra negatif. Saya pernah kenalan
dengan seorang perempuan muda, yang
sedang liputan Agnes Monica (sekarang disingkat jadi Agnes MO,gara-gara
lagi ngetrend singkat-singkatan). Ngobrol punya ngobrol, ternyata dia mengelola
sebuah tabloid khusus TKI di Hongkong dan Taiwan. Belum lama berselang, ketika
main di sebuah toko buku, saya juga lihat ada buku yang ditulis seorang TKW yang kemudian beralih profesi menjadi motivator sukses. Luar biasa.
Pekerjaan mereka awalnya sama;ngosek WC. Tapi lantaran ingin
maju, mereka belajar, dan berhasil. Masih ingat kasus Soleh Mahmud alias Solmed,
yang berseteru dengan jamaah pengajian di Hongkong, gara-gara pasang tarif
selangit. Nah,itu juga jadi bukti, diluar mereka bekerja sebagai asisten rumah
tangga, sesekali juga mereka menyantap
hidangan rohani, walau mungkin tidak sering. Tapi paling tidak,itu
menggambarkan, mereka adalah TKW yang baik dan tidak sombong,eh, maksud saya ingin
memperbaiki akhlak.
Soal TKW yang nyambi melayani pria, tentu tak ada bukti yang valid. Paling gosip-gosip,
yang jika digosok makin sip. Mungkin dari melihat penampilan mereka di Victoria
Park,sebuah taman di pusat Kota Hongkong tempat para TKW pada kongkow saat
weekend, lantas muncul cerita itu. Soalnya di situ dandanan mereka aduhai
sekali. Prilly Latuconsina atau Bunga Citra Lestari pasti lewat. Lihat saja, dari
celana super pendek hingga bokongnya
kelihatan, sampai berani mentato tubuh dengan gambar aneka rupa. Kadang-kadang
juga terlihat para TKW itu ditenteng bule (rantang kali ditenteng,hehehe). Tapi
semua hanya kabar burung, sebelum akhirnya kejadian tragis itu muncul.
Saya pribadi ingin, sudahlah, hentikan saja pengiriman
TKW,apalagi yang muda dan montok (hmmm...).
Namun jika ini sulit, ya minimal ada pembinaan intensif dan terukur,
jangan cuma sekedar dilatih membuat ceplok telor dan memotong lontong. Sebab
saya fikir, para TKW itu juga tak jauh beda dengan anak-anak TK A dan TK B.
Jangan marah dulu. Maksud saya, jika anda memiliki anak yang masih duduk di
bangku TK A dan TK B, pasti merasa repot untuk menjelaskan segala sesuatu yang
baru di luar rumah.
Anak saya misalnya, paling rewel bertanya ini itu. Sebagai
orang tua, saya harus menjelaskan. Ini biar anak saya tidak kecemplung “got”,
yang terjadi karena ketidaktahuannya. Dalam kasus para TKW, mereka itu
mayoritas berasal dari desa dan berpendidikan paling banter SMA. Kadang ada yang berasal dari pucuk gunung,
dimana capung saja tak kuat naik saking jauh dan terpencil tempatnya. Berani
taruhan, dunia mereka ya sekitar kasur,sumur dan dapur. Boro-boro pernah ke
Taiwan atau Hongkong. Di lepas ke Senayan City saja mungkin sudah linglung.
Dari habitat wong ndeso, laiknya anak TK A atau TKB kita
yang belum tahu situasi luar rumah, tentu berisiko, ketika akhirnya harus
dilepas ke kota metropolitan seperti Hongkong. Apalagi dengan gaji
gede,melebihi gaji sarjana di Indonesia. Hakul yakin, mereka akan mengalami
gegar budaya. Bergaul dengan teman-teman dari berbagai lintas negara, melihat
orang-orang baru bertampang seperti Shaheer Sheikh yang jadi Arjuna di
Mahabbarata atau Jet Lee (bukan Jet pump
lho ya?). Siapa yang kuat iman?Sudah begitu,jauh pula dari ustaz dan orang tua.
Kondisi ini diperparah dengan sifat orang kita yang snob
–suka pamer. Bukan dengan mencantumkan stiker happy family di kaca belakang
mobil, agar seluruh dunia tahu itu mobil kita.Bukan. Tapi para TKW ketika
berangkat sudah mendapat beban psikologis harus kaya. Harus kirim uang buat bangun
rumah, sumbang mushola, sembelih wedus saat Idul Adha atau beli sawah dan
pekarangan yang luas. Ya mungkin itu bisa terwujud kalau dapat majikan baik.
Kalau tidak?
Mereka yang masih ingat ajaran di madrasah bakal bertahan
dengan idealisme,dan berpegang teguh pada nilai-nilai agama. Namun saat tawaran
untuk nyambi melayani bule dengan harga menggiurkan datang, sementara tekanan
untuk terlihat kaya kerap menghimpit,jangan salahkan jika pertahanan iman
mereka ambrol. Di sinilah,maksud saya,
peranan para psikolog,agamawan, atau kaum moralis, untuk memberi “bekal” pada
mereka sebelum bekerja di negeri
tetangga, laiknya kita memberi “bekal” anak balita kita sebelum ke TKA atau TKB.
Kasus Hongkong menjadi “warning” serius, jangan sampai
TKW negeri kita di identikan dengan
kemesuman belaka. Coba kalau anda lihat
perempuan Uzbek yang bekerja di Jakarta.
Atau maaf, perempuan-perempuan muda yang berasal dari Indramayu yang bekerja di
warem (warung reman-remang) sepanjang Parung,Bogor. Pasti konotasinya negatif. Padahal saya
yakin, banyak perempuan Uzbek dan Indramayu yang baik-baik, yang stay di
Jakarta. Tapi karena nila setitik, rusak susu sebelanga.
Hak para TKW untuk mencari nafkah di mana suka. Cuma mbok ya
jangan sektor pembantu rumah tangga terus yang diperbesar “ kuotanya”. Ini tugas pemerintah barulah. Antara lain, ya
dengan lompatan gin kang pak menteri
tadi. Para TKW juga mesti sadar, bahwa bekerja diluar negeri itu untuk memuliakan
kehidupan. Yang masih cantik dan bohay, harus mikir satu saat akan menikah
dengan baik-baik. Yang sudah janda dan punya anak,ingat, anak itu harus sekolah
tinggi dan butuh biaya.
Sementara bagi yang terpaksa meninggalkan suami, buat apa
bermain api dengan orang Arab, India, Hongkong atau bule, jika akhirnya harus
di mutilasi atau pancung? Bersyukur kalau jasad kita masih utuh. Jika dimasak,terus
ditiriskan dan dikasihkan kucing, sudah kita kehilangan nyawa, keluarga juga
malu. Bekerja saja yang benar. Jika dipersulit atau kesulitan, ya, segera kabur
ke KBRI. Atau seperti tetangga saya,yang berpegang prinsip, seenak-enaknya
hujan emas di negeri orang, lebih enak lagi di negeri sendiri meskipun hujan
batu. Pendek kata, rejeki toh Allah yang atur. Jadi ngapain dikhawatirkan,
sampai maksain diri jadi TKW. Setuju monggo,nggak setuju barbel
melayang,hehehe...