Daftar Isi

Sunday, November 9, 2014

TK A,TK B dan TKW kita


“Ciaaaaaaaat!!!”.Seperti pendekar sakti Sungai Kuning, Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri melompati pagar sebuah penampungan Tenaga Kerja Wanita (TKW) di daerah Tebet, Jakarta Selatan. Konon pak menteri memilih melompat,lantaran tidak segera dibukakan pintu oleh sang empunya Penyalur Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI). Saat melihat fotonya di media masa, spontan saya ingat aksi pendekar di cerita silat karangan Asmaraman S. Kho Ping Ho, yang sering saya baca waktu SMP. Sang pendekar,eh pak menteri seperti memiliki ilmu  gin kang alias ilmu meringankan tubuh.Wusss....

Mungkin saya lebay ya?Tapi pak menteri memang pantas gusar. Apalagi belum lama dua TKW kita meninggal secara  mengenaskan di Hongkong. Sumarti Ningsih dan Seneng Mujiasih terbunuh dengan luka tusukan yang diduga dilakukan seorang bankir asal Inggris. Saya tak mau membahas apa profesi keduanya. Namanya orang sudah meninggal, yang baik-baik sajalah yang kita ungkit. Ora ilok,kata orang Tegal. Walau saat melihat foto-foto Ningsih di akun jejaring sosialnya, sungguh terlihat ‘ngeri-ngeri sedap’.

Sebelum kedua jenasah TKW kita itu dipulangkan dan dikebumikan,rasa-rasanya bibir kita semua sudah dower, untuk mengingatkan betapa acakadutnya proses rekrutmen dan pengiriman TKW kita. Dari umur yang dituakan,pembinaan yang asal-asalan,sampai penyelundupan TKW, yang kalau apes malah kejebur di laut jadi makanan ikan teri. Dari proses itu, hasilnya TKW kita kalau tidak membunuh ya terbunuh. Derita paling umum adalah dihamili, atau kalau beruntung seperti Darsem. Dapat pembebasan hukuman pancung karena bayar denda, sekaligus menerima duit 1 milyar sumbangan pemirsa Tvone. Hassyiiik....

Memang tak semua TKW bercitra negatif. Saya pernah kenalan dengan seorang perempuan muda, yang  sedang liputan Agnes Monica (sekarang disingkat jadi Agnes MO,gara-gara lagi ngetrend singkat-singkatan). Ngobrol punya ngobrol, ternyata dia mengelola sebuah tabloid khusus TKI di Hongkong dan Taiwan. Belum lama berselang, ketika main di sebuah toko buku, saya juga lihat ada buku yang ditulis seorang  TKW yang kemudian beralih profesi  menjadi motivator sukses. Luar biasa.

Pekerjaan mereka awalnya sama;ngosek WC. Tapi lantaran ingin maju, mereka belajar, dan berhasil. Masih ingat kasus Soleh Mahmud alias Solmed, yang berseteru dengan jamaah pengajian di Hongkong, gara-gara pasang tarif selangit. Nah,itu juga jadi bukti, diluar mereka bekerja sebagai asisten rumah tangga, sesekali juga mereka  menyantap hidangan rohani, walau mungkin tidak sering. Tapi paling tidak,itu menggambarkan, mereka adalah TKW yang baik dan tidak sombong,eh, maksud saya ingin memperbaiki akhlak.

Soal TKW yang nyambi melayani pria, tentu  tak ada bukti yang valid. Paling gosip-gosip, yang jika digosok makin sip. Mungkin dari melihat penampilan mereka di Victoria Park,sebuah taman di pusat Kota Hongkong tempat para TKW pada kongkow saat weekend, lantas muncul cerita itu. Soalnya di situ dandanan mereka aduhai sekali. Prilly Latuconsina atau Bunga Citra Lestari pasti lewat. Lihat saja, dari celana super  pendek hingga bokongnya kelihatan, sampai berani mentato tubuh dengan gambar aneka rupa. Kadang-kadang juga terlihat para TKW itu ditenteng bule (rantang kali ditenteng,hehehe). Tapi semua hanya kabar burung, sebelum akhirnya kejadian tragis itu muncul.

Saya pribadi ingin, sudahlah, hentikan saja pengiriman TKW,apalagi yang muda dan montok (hmmm...).  Namun jika ini sulit, ya minimal ada pembinaan intensif dan terukur, jangan cuma sekedar dilatih membuat ceplok telor dan memotong lontong. Sebab saya fikir, para TKW itu juga tak jauh beda dengan anak-anak TK A dan TK B. Jangan marah dulu. Maksud saya, jika anda memiliki anak yang masih duduk di bangku TK A dan TK B, pasti merasa repot untuk menjelaskan segala sesuatu yang baru di luar rumah.

Anak saya misalnya, paling rewel bertanya ini itu. Sebagai orang tua, saya harus menjelaskan. Ini biar anak saya tidak kecemplung “got”, yang terjadi karena ketidaktahuannya. Dalam kasus para TKW, mereka itu mayoritas berasal dari desa dan berpendidikan paling banter SMA.  Kadang ada yang berasal dari pucuk gunung, dimana capung saja tak kuat naik saking jauh dan terpencil tempatnya. Berani taruhan, dunia mereka ya sekitar kasur,sumur dan dapur. Boro-boro pernah ke Taiwan atau Hongkong. Di lepas ke Senayan City saja mungkin sudah linglung.

Dari habitat wong ndeso, laiknya anak TK A atau TKB kita yang belum tahu situasi luar rumah, tentu berisiko, ketika akhirnya harus dilepas ke kota metropolitan seperti Hongkong. Apalagi dengan gaji gede,melebihi gaji sarjana di Indonesia. Hakul yakin, mereka akan mengalami gegar budaya. Bergaul dengan teman-teman dari berbagai lintas negara, melihat orang-orang baru bertampang seperti Shaheer Sheikh yang jadi Arjuna di Mahabbarata  atau Jet Lee (bukan Jet pump lho ya?). Siapa yang kuat iman?Sudah begitu,jauh pula dari ustaz dan orang tua.

Kondisi ini diperparah dengan sifat orang kita yang snob –suka pamer. Bukan dengan mencantumkan stiker happy family di kaca belakang mobil, agar seluruh dunia tahu itu mobil kita.Bukan. Tapi para TKW ketika berangkat sudah mendapat beban psikologis harus kaya. Harus kirim uang buat bangun rumah, sumbang mushola, sembelih wedus saat Idul Adha atau beli sawah dan pekarangan yang luas. Ya mungkin itu bisa terwujud kalau dapat majikan baik. Kalau tidak?

Mereka yang masih ingat ajaran di madrasah bakal bertahan dengan idealisme,dan berpegang teguh pada nilai-nilai agama. Namun saat tawaran untuk nyambi melayani bule dengan harga menggiurkan datang, sementara tekanan untuk terlihat kaya kerap menghimpit,jangan salahkan jika pertahanan iman mereka ambrol.  Di sinilah,maksud saya, peranan para psikolog,agamawan, atau kaum moralis, untuk memberi “bekal” pada mereka sebelum  bekerja di negeri tetangga, laiknya kita memberi “bekal” anak balita kita sebelum  ke TKA atau TKB.

Kasus Hongkong menjadi “warning” serius, jangan sampai TKW  negeri kita di identikan dengan kemesuman belaka.  Coba kalau anda lihat perempuan Uzbek yang bekerja di  Jakarta. Atau maaf, perempuan-perempuan muda yang berasal dari Indramayu yang bekerja di warem (warung reman-remang) sepanjang Parung,Bogor.  Pasti konotasinya negatif. Padahal saya yakin, banyak perempuan Uzbek dan Indramayu yang baik-baik, yang stay di Jakarta. Tapi karena nila setitik, rusak susu sebelanga.

Hak para TKW untuk mencari nafkah di mana suka. Cuma mbok ya jangan sektor pembantu rumah tangga terus yang diperbesar “ kuotanya”.  Ini tugas pemerintah barulah. Antara lain, ya dengan lompatan gin kang pak menteri  tadi. Para TKW juga mesti sadar, bahwa  bekerja diluar negeri itu untuk memuliakan kehidupan. Yang masih cantik dan bohay, harus mikir satu saat akan menikah dengan baik-baik. Yang sudah janda dan punya anak,ingat, anak itu harus sekolah tinggi dan butuh biaya.

Sementara bagi yang terpaksa meninggalkan suami, buat apa bermain api dengan orang Arab, India, Hongkong atau bule, jika akhirnya harus di mutilasi atau pancung? Bersyukur  kalau jasad kita masih utuh. Jika dimasak,terus ditiriskan dan dikasihkan kucing, sudah kita kehilangan nyawa, keluarga juga malu. Bekerja saja yang benar. Jika dipersulit atau kesulitan, ya, segera kabur ke KBRI. Atau seperti tetangga saya,yang berpegang prinsip, seenak-enaknya hujan emas di negeri orang, lebih enak lagi di negeri sendiri meskipun hujan batu. Pendek kata, rejeki toh Allah yang atur. Jadi ngapain dikhawatirkan, sampai maksain diri jadi TKW. Setuju monggo,nggak setuju barbel melayang,hehehe...

    

Tuesday, August 12, 2014

Revolusi Mental Ala Aa Gym



Saat mendengar Aa Gym akan memberikan tausyah, Selasa (12/8) lalu, saya sebetulnya agak aras-arasen (Bahasa Indonesia; malas) untuk ikut jiping alias ngaji kuping. Bukan apa-apa. Saya masih teringat,bagaimana beliau menjalani kehidupan rumah tangganya yang penuh kontroversial. Kebetulan saya bukan penganut “ideologi” poligami. Seperti banyak ibu-ibu jamaah Aa Gym yang lain, saya sangat kecewa, ketika pengasuh pesantren Daruut Tauhid ini memutuskan untuk berpoligami.

Namun lantaran ini moment langka, pagi itu saya beranikan diri untuk datang. Saya memang melihat Aa Gym agak lebih sepuh. Kulitnya tidak seputih dulu. Tapi ia tetap ramah, dan tampil apa adanya. Satu hal yang membuat saya memberanikan diri menulis ini adalah soal fokus dakwahnya yang kini sudah berubah haluan. Sesuai pesan gurunya, Aa Gym lebih menekankan soal hakekat ketauhidan.

Ini sebetulnya kajian yang berat. Saya teringat seorang kyai di desa saya, yang sering mengusung tema ini. Hasilnya, jamaah kyai tersebut jadi eksklusif. Dalam batas-batas tertentu, bahkan menganggap, yang bukan kelompok mereka adalah orang yang “sesat”. Tapi di tangan Aa Gym, kajian ini menjadi sangat ringan, mengena dan “nendang” hingga ke ulu hati.

Aa Gym mengaku tujuh tahun untuk bertransformasi menjadi seperti sekarang. Ia diajari gurunya untuk mengamalkan ilmu kelapa. Seperti kelapa, kita tidak akan mendapat minyaknya, sebelum dijatuhkan, disayat, dibelah, dan diparut. Aa Gym mengakui, saat berpoligami, hinaan,hujatan, cacian dan cercaan mendatanginya setiap hari. Sakit hatikah?”Tidak.Karena dengan cara seperti itulah, saya melepas Illah yang lain, selain Allah SWT,”katanya.

Ia mencoba flashback. Ketika sedang berada dipuncak kepopuleran, perusahaan puluhan, dihormati dan dikagumi, hidupnya justru tidak tenang. Anak-anaknya tak terurus. Ia merasa selalu lelah. Risau. Aa Gym hanya merasa tenang, saat memberi tausyah. Tapi setelah itu hanya capai yang didapat.”Saya sering mengeluh, kok hidup begini banget ya? Akhirnya oleh guru saya, saya dianjurkan untuk menapak bumi. Seperti kelapa, saya harus dijatuhkan dulu,”kata Aa Gym.

Semua Illah selain Allah perlahan-lahan dilepas. Kepopuleran, nama besar, harta benda, rasa ingin dihormati, takut dicaci, ingin dipuji dan segenap hal yang berujung pada penilaian manusia semua dilepas. Revolusi mental itu membuat Aa Gym mengasingkan diri. Baru setelah dinilai sudah mantap oleh sang guru, beliau diijinkan kembali untuk berdakwah. “Tapi kajiannya hanya soal bagaimana cara mengenal Allah. Ini yang saya sebut ketauhidan dalam versi yang ringan,”katanya.

Ah, selama satu jam lebih kami semua bahkan terus ingin nambah dan nambah pengajian Aa Gym. Tidak ada keangkeran seperti citra yang dipancarkan kyai di desa saya. Justru lewat ngaji tauhid inilah, menurut Aa Gym, kunci menuju bahagia. Jika kita berharap pujian dari orang lain, hidup kita tidak akan tenang. Lagi pula, pujian dan hinaan hanyalah versi manusia. “Kalau kita nggak bisa bayar cicilan mobil lantaran kita memaksa kredit agar dipuji,apa mereka yang memuji mau membayarkannya,”kata Aa Gym.

Yang unik, kata Aa Gym, tidak semua orang yang mati dan mengaku syahid, para dai, ahli ibadah dan dermawan akan masuk surga. Karena saat dihisab, ketika ditanya syahid dan ibadahnya diakui untuk Allah, tapi setelah ditelisik ternyata hanya karena berharap pujian manusia,maka orang itu akan dianggap berdusta. Alhasil, ia bakal terjungkal di neraka. “Jadi kunci bahagia itu bersihkan hati. Jauhkan dari sifat ingin dipuji, gagah-gagahan, kikir, dengki, suka pamer dan penyakit hati yang lain,”kata Aa Gym.

Dan lain-lain,mungkin terlalu sempit jika saya tulis semua. Tapi Allah memang maha membolak-balikan hati manusia. Jujur saja, rasa jengkel yang selama ini bersemayam karena keputusan Aa Gym berpoligami, mendadak sirna, seperti kabut diterpa sinar matahari. Sengaja pengalaman batin ini saya bagi,karena sesungguhnya kita tak tahu hati Aa Gym, saat ia rela meski harus dihujat. Maafkan Aa, saya telah berburuk sangka. Kepada Allah pula, saya berdoa, semoga penyakit ingin dilihat wah dan suka pamer dijauhkan dari hati saya. Amin ya robbalalamin.

Sunday, June 22, 2014

Alasan Banyak Ulama Merapat ke Prabowo-Hatta



Subahanallah. Hampir dua tahun tak bertemu,pria berbaju gamis dengan jenggot menjulur panjang itu, tiba-tiba ia berada di depanku, Kamis (19/6) sore, di rumah Polonia, Jakarta Timur. Kebetulan saya sedang bertandang. Saya sapa segera,”Hai, ustaz...wah, mampir ke sini juga ya?”kata saya. Obrolan lantas terjadi, meski sebentar, karena beliau buru-buru mau pulang.

Dulu dia pendukung berat Jokowi-Ahok,kala proses kampanye pilgub Jakarta. Dua kali saya diundangnya untuk deklarasi Jokowi-Ahok. Saya sempat tak percaya, jika akhirnya dia ‘berlabuh’ ke markas pemenangan Prabowo-Hatta. Soalnya dia orang Makassar. Tapi setelah mendengar penjelasannya sekilas, saya mafhum, hingga membuat saya tergelitik untuk menulis ini.

Pilpres memang kerap membuat seseorang seperti memakai kaca mata kuda. Teman akrab saya harus mencaci maki Kyai Mustofa Bisri, lantaran menerima broadcast message dukungan Kyai Mustofa pada capres tertentu. Ustaz dan kyai seperti Aa Gym,Anwar Sanusi, Arifin Ilham dan Noer Iskandar SQ dianggap sepi, beberapa bahkan dihujatnya dengan berapi-api,hanya karena mereka ‘menganjurkan’ untuk memilih nomor hiji.

Kyai-kyai khos NU tak luput dari ejekan dibodoh-bodohi, karena mereka menunjukkan ijtihad politiknya untuk pasangan nomor siji. Prihatin sudah pasti. Coba bayangkan, mereka seperti sudah jadi hakim, kalau pilihan merekalah yang paling oke. Pihak lain, meski itu sekelas Habib Lutfhi, dianggap “bodoh” dan menggadaikan harga diri ketika menerima Hatta Rajasa. Padahal saya yakin, dukungan deras para ulama ke Prabowo-Hatta, tanpa dilandasi transaksi jual beli, seperti yang terjadi pada para politisi.

“Yang paling sedikit kerugiannya,”alasan ustaz yang saya temui di rumah Polonia tadi, saat ditanya kenapa mendukung Prabowo-Hatta. Saya mencoba mengkalkulasi, apa plus minus dari kedua pasangan capres-cawapres itu. Secara agama,mereka sama-sama Islam. Prestasi, ada tapi tak bisa dibandingkan karena mereka berbeda profesi. Ahai, mungkin ini.

Dari pasangan Jokowi-JK,ada isu akan melarang perda Syariah berlaku di daerah-daerah selain di Aceh. Juga wacana penghapusan kolom agama di KTP, yang buru-buru ditolak Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Ada juga dukungan ulama Syiah lewat Jalaludin Rahmat. Terakhir, Wimar Witoelar mengunggah gambar Prabowo bersama para pendukungnya, termasuk Aa Gym dan simbol Muhammadiyah, dengan disertai kalimat Gallery of Rogues, Kebangkitan Bad Guys (galeri para bajingan, kebangkitan orang jahat).

Saya pikir,okelah, itu jadi salah satu alasan, kenapa mayoritas ulama dan pondok pesantren terkenal berbondong-bondong mendukung Prabowo. Namun sesungguhnya tak banyak yang ngeh, jika di Jakarta elektabilitas Jokowi menurun, lantaran warga Jakarta ogah dipimpin Ahok. Ini memang SARA, tapi fakta ini sejujurnya yang jadi pertimbangan utama, kenapa para kyai itu memilih yang lebih sedikit kerugiannya.

Jadi murni pertimbangannya bukan karena Prabowo lebih religius dibanding Jokowi. Bukan. Sekarang timbul kekhawatiran, Jakarta akan dipimpin gubernur non muslim,jika Jokowi jadi RI 1. Ini menyusul Solo, yang setelah ditinggal Jokowi dipimpin bukan orang Islam. Kadang jika saya ngomong begini, saya justru dihujat ngapain bawa-bawa agama ke pilpres. Lha, kencing saja ada tuntunanya kok. Apalagi memilih pemimpin.

Sedih juga, jika teman yang Islam tak tahu,kalau kita tidak boleh ikut andil menaikan orang non muslim menjadi pemimpin mayoritas muslim. Alasannya, negara kita berdasar Pancasila. Ada Bhinekka Tunggal Ika. Lha, mereka tak sadar, pluralisme juga harus menimbang asas keberimbangan (proporsionalisme). Kalau saya orang Hindu, saya tak rela Bali dipimpin gubernur muslim. Begitu juga Papua, NTT, dan Sulawesi Utara. Pasti masyarakatnya ingin gubernur satu keyakinan dengan agama mayoritas, yaitu Kristen.

Sekarang umat Islam Jakarta sedang terancam tersakiti,menyusul Solo. Ada ladang jihad di depan kita, dan itu yang membuat mereka yang mau sedikit berempati terhadap sesama saudara muslimnya, berbondong-bondong sekuat daya tetap mendudukan Jokowi yang muslim sebagai gubernur Jakarta. Tidak ada yang salah bukan? Ingat, mayoritas penduduk Jakarta adalah muslim.

Kasus korupsi yang membekap para politisi Islam, kerap membuat teman-teman menggampangkan masalah ini.”Pilih wong Islam akhirnya korupsi,”kata mereka. Saya selalu kutip hadis nabi, Al-Islamu ya’lu wala yu’la’alaih---Islam itu tinggi nilainya, dan tidak ada sesuatupun yang dapat menyaingi ketinggian nilai Islam. Seluruh umat Islam korupsi, tidak akan mengurangi sedikitpun keagungan Islam. Jadi jangan salahkan agamanya,kalau ada yang korupsi.

Saat Bill Clinton (mantan Presiden Amerika Serikat) selingkuh dengan Monica Lewinsky, apa iya kita salahkan kepercayaannya? Ketika Silvio Berlusconi (mantan perdana menteri Italia) menyewa PSK, nggak nyambung khan kalau keyakinannya di seret-seret juga? Oknum adalah oknum. Ajaran agama bukan cerminan dari perbuatan sang oknum.
Sekarang sudah jelas, kenapa ijtihad politik para ulama itu condong ke Prabowo-Hatta. Ada pilihan di balik bilik suara.Jadi bukan soal kalah dan menang.

Selamatkan umat Islam Jakarta, kalau kita mengaku care dengan agama kita. Buka hati dengan kejernihan jiwa. Saya katakan, dua-duanya sama-sama orang baik. Tapi jika kita bukan para politisi yang akan dapat kursi jika jadi timses, minimal kita bisa membantu kekecewaan saudara-saudara seiman kita, jika Jakarta benar-benar dilepas Jokowi, dengan memilih Prabowo sebagai RI 1. Save umat Islam Jakarta, Save Indonesia!


Tuhan yang selalu tersenyum


Malam itu beradalah saya di sebuah negeri yang terkenal  gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja. Sebuah negeri yang kaya sumber daya alam, yang memiliki iklim tropis nan bagus, dan penduduk yang ramah. Tapi malam itu, beberapa hari sebelum Bulan Ramadhan tiba, suasana seluruh negeri mulai tegang. Tak ada lagi senyum ramah, sapa bersahabat dan tawa kecil yang menjadi penanda keluhuran jiwa. Usai debat capres ke sekian, malam itu yang berseliweran adalah kalimat olok-olok, debat kusir, kampanye hitam dan upaya saling jatuh menjatuhkan antar sesama anak negeri.

Memang sempat muncul sikap saling memaafkan, atau minimal meminta maaf, ketika menyadari jiwa-jiwa yang kotor akan memasuki bulan suci. Beberapa tulus terucap. Beberapa hanya meneruskan broadcast message, tanpa semangat dan kebesaran jiwa. Mungkin hanya basa basi belaka. Tapi setelah itu, kita kembali mengasah kata-kata setajam mungkin. Menunggu pertempuran dahsyat di 9 Juli, lantaran suasana panas tak kunjung mereda akibat polah para elit politik kita. Hampir dua minggu berselang, Tuhan pun tak pernah tersenyum –karena saling kutuk dan bongkar aib begitu massif terjadi di negeri ini.

Para jenderal seperti anak SMA. Pendidikan Lemhanas dan Sekolah Staf dan Komando yang pernah mereka jalani,tinggal sebatas formalitas untuk naik pangkat belaka. Politisi sipil tak jauh beda. Kita seperti berada di pusaran permusuhan, terperangkap dalam sikap pro dan kontra, dikipas terus menerus oleh tayangan-tayangan berita. Kita beropini sesuai imajinasi. Kadang tanpa bukti, demi menegaskan dan memaksakan apa yang kita pikirkan. Tak ada lagi ruang dialog terbuka. Hilang pula rasa toleransi.

Memang sejenak kenaikan tensi itu mereda, saat piala dunia tiba. Bisa dibilang, ini hikmah terselubung.  Tuhan mungkin mengaturnya secara arif, lantaran semua tak pernah tahu jika para capres dan cawapres yang bertarung ternyata hanya ada dua kubu. Laksana sebuah perjalanan panjang di gurun pasir yang gersang, masih ada oase tempat kita meletakan penat. Tempat sejenak menyeruput kesegaran mata air dan mengalihkan perhatian. Semua berharap ini menjadi langkah awal kita mulai mensucikan jiwa di bulan puasa.

Jika pusat pelacuran Dolly di Surabaya di tutup sebagai makna pemberangusan nafsu hina memasuki bulan puasa, elit-elit politik Jakarta mestinya belajar untuk menutup mulut, demi kesucian bulan agung itu. Sebab, puasa adalah ibadah istimewa. Ia hanya perlu iman dan tak butuh kata-kata. Tidak juga perlu pengakuan orang lain, karena pahala puasa itu urusannya dengan Allah. Jangan pula berfikir, jika moment itu bisa dijadikan ajang pencitraan, kalau kita tak mau kemarahan Tuhan datang lebih cepat.

Cukuplah sudah bencana demi bencana menjadi pengingat kita, betapa kita begitu keras kepala memperjuangkan kepentingan pribadi dan partai. Kita seperti menjadi hamba partai. Bukan hamba Tuhan. Hakekat manusia yang diciptakan oleh Tuhan untuk beribadah, seolah dinafikan begitu saja. Dalam batas-batas tertentu, kita bahkan secara sadar menjadikan prosesi ritual untuk keuntungan dunia. Kita menjadi manusia yang tak tahu diri, lancang dan penuh kamuflase. Cukuplah sudah.

Puasa tentu bukan sekedar menahan haus dan lapar. Pengendalian diri yang menjadi inti dari ibadah ini, menjadi soko guru dari keagungan perilaku, lebih-lebih disaat hujan fitnah deras melanda di pekan-pekan politik ini. Segala hal yang membatalkan puasa, sesungguhnya telah di desain Tuhan untuk direnung dalam-dalam, agar kita menjadi pribadi yang mawas diri. Misal, mulut adalah sumber kebajikan,sekaligus keangkaramurkaan. Puasa menjadi sarana kita membersihkan jiwa, agar yang keluar dari mulut adalah kalimat-kalimat manis dan bermanfaat, laksana teko yang di dalamnya berisi madu.

Beberapa hari ke depan, dan ketika kita memasuki bulan puasa, ada baiknya kita rehat sejenak membuka kejelekan sesama. Bukan atas nama korsa, bukan pula berharap pujian dunia. Takutlah kita tentang peringatan Tuhan, yang menyamakan manusia sebagai pemakan bangkai , lantaran suka membuka aib  saudaranya. Atas nama apa saja. Dengan motif apa saja. Termasuk motif untuk mendegradasi elektabilitas lawan politiknya.

Beberapa hari ke depan, dan ketika kita memasuki bulan puasa, ada baiknya kita rehat sejenak memuji diri sendiri .Entah atas nama harga diri, atau biar dianggap punya nyali dan peroleh simpati. Takutlah kita akan peringatan orang-orang alim, jika kesombongan adalah pintu menuju kesesatan. Seperti Fir’aun yang mengaku Tuhan, dan akhirnya musnah dibenamkan ke dalam laut merah tanpa daya. Puasa adalah momentum untuk belajar berendah hati, setinggi dan sebesar apapun prestasi yang pernah kita lewati.

Pada akhirnya puasa adalah bulan tempat kita bercermin. Sebagai khalifah Tuhan dimuka bumi, apakah kita telah menepati janji-janji? Mengingat segala jejak yang berbekas, benarkah kita telah memanggul amanah dengan bijak ? Mengurai umur yang telah sirna, yakinkah kita telah bermanfaat bagi sesama ? Cermin itu terpasang kukuh di dada, dan puasa menjadi ajang pembersihan sang cermin, agar kita menjadi pribadi yang peka, selain bertakwa.

Malam itu beradalah saya di negeri yang penuh dilingkupi senyum ramah. Dunia maya dipenuhi kalimat-kalimat bermanfaat. Koran dijejali berita-berita berimbang. Televisi menjadi sarana yang mencerdaskan. Para elit berangkulan, dan bahu-membahu berjuang mensejahterakan rakyat. Lantunan ayat-ayat suci Al Qur’an terus berkumandang dari masjid-masjid. Sebuah negeri yang Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur (Negeri yang subur,makmur, adil dan aman). Negeri yang akan membuat Tuhan selalu tersenyum gembira#

Monday, June 16, 2014

Allah Kok di Ajak Kampanye


Teman saya, seorang Islam Abangan, sungguh amat berminat mengikuti kontestasi pemilihan kepala desa. Tim sukses sudah ia bentuk. Dana disiapkan. Sebelum pendaftaran dimulai, ia sempat berdiskusi dengan seorang kyai kampung, yang ikut jadi penasihat spiritualnya . Si bakal calon (balon) kepala desa ini rupanya masih bimbang dengan masih kuatnya politik aliran di desanya. Terutama yang terkait dengan isu-isu agama.

“Sampeyan khan tahu kyai? Saya tidak ingin terlihat bodoh dan mendapat cap buruk sebagai tidak Islami. Saya ingin mulai besok, bakal membiasakan diri pakai baju koko dan peci. Kalau disuruh berpidato, saya akan mengawali dengan mengucap salam secara takzim,”kata sang balon.

Pak kyai sempat termenung lama. Ini memang ide lumrah. Trik biasa yang sudah kerap dianut para politisi,termasuk balon-balon lain. Tapi rupanya pak kyai masih punya pertimbangan lain. Ada rona ketidaksukaan dengan usulan si balon.Pak kyai lantas menarik nafas panjang,sebelum ia mengeluarkan suara.

“Sudah saya duga hal itu bakal sampeyan lakukan. Mungkin sampeyan ingin juga menyebar foto sholat, mengumbar bacaan-bacaan Al Qur’an,menyuruh istri memakai jilbab, bilang bakal pergi haji dalam waktu dekat, dan lain-lain. Pertanyaan saya,apakah itu penting?”ujar pak kyai.

“Lho, sampeyan ini bagaimana toh kyai?”tukas si balon cepat.”Sudah jelas itu sangat menentukan elektabilitas saya nanti, karena mereka menganggap saya sebagai bagian dari mereka. Saya bukan orang lain. Minimal jarak yang tadinya lebar jadi sempit. Ingat kyai, isu ini sangat sensitif. Kalau tidak kita antisipasi sejak awal, saya bisa dianggap kafir, nggak jelas agamanya atau setidaknya dipandang tidak relijius,”sambung si balon.

“Lha, itu yang saya khawatirkan. Kenapa harus mengajak-ajak Tuhan untuk kampanye? Apa urusan Tuhan dengan ambisi sampeyan? Kalau mau salam, atau mengutip sholawat saat pidato, ucapkan saja tanpa pamrih. Saya tak mau Tuhan menganggap sampeyan kurang ajar, gara-gara membawa Dia dalam kampanye. Menjual kebesaran-Nya untuk membesarkan sampeyan sendiri. Atau menjual ayat-ayat-Nya dengan harga murah,”ujar pak kyai.

“Waduh,pak kyai sepertinya tidak ngerti politik. Ini cara paling mudah untuk memberi citra baik. Tuhan pasti memaafkan. Lagi pula pihak lawan juga pasti melakukan ini. Jika mereka ogah memakai cara ini, kita bisa serang mereka dengan menghembuskan isu ini secara akurat. Biar mereka dianggap tidak jelas keyakinannya,”jawab si balon.

“Justru saya punya ide, urusan keyakinan, ya untuk diri sendiri saja. Memang kalau kita tidak bisa bismilah, itu masalah buat mereka? Dari situ, jika kita cermati, kita bisa belajar kejujuran. Kalau istri sampeyan belum siap berjilbab, buat apa dipaksakan? Islam itu gampang. Tidak mempersulit. Dengan kita tampil adanya,tanpa harus bertentangan dengan hati nurani, orang akan melihat karakter kita. Hidayah tidak bisa dipaksakan,”ucap pak kyai.

“Saya tertarik dengan argumentasi pak kyai. Tapi politik tetaplah politik. Kata Machiavelli, untuk merebut kekuasaan, segala cara bisa kita tempuh. Termasuk dengan sedikit tipu-tipu.  Atau dalam bahasa pak kyai, dengan mengajak Tuhan berkampanye. Kalau tidak, kita bakal kena knock out lawan,”ujar si balon.

“Ini yang sering kita lupakan. Tujuan baik mestinya harus dicapai dengan jalan baik. Islam melarang kita menipu diri. Karena dari situ bisa muncul sikap merasa diri paling baik. Ujung-ujungnya,kita bisa tergoda untuk menyudutkan orang lain. Itu akan menyakiti mereka. Lagi-lagi, Islam melarang kita menyakiti orang lain,”ceramah pak kyai.

Lantaran dialog tak kunjung menemukan simpul, saya segera angkat bicara,“Begini,saya punya usul,”
“Pasti kamu sependapat dengan ide saya khan bung?Kita rebut suara umat Islam dengan tampilan artifisial. Bila perlu,kamu ajak lawan kita untuk bertanding baca Al Qur’an. Saya tidak takut. Karena itu pasti tidak akan terjadi, lantaran  undang-undang tidak mengatur. Ya, semacam psy war-lah,perang psikologis,sekaligus menyampaikan pesan jika kita lebih alim dibanding lawan”sambar teman saya.

Saya tercekat. Tapi tanpa pikir panjang saya sampaikan usul, yang sedari tadi mengganjal di kepala.
“Saya minta kamu mundur saja dari pencalonan kades. Biar pak kyai saja yang maju. Dukung dia. Kasih dana. Saya yakin perdebatan semacam ini tidak akan terjadi. Bagaimana? Setuju dengan usul saya?”

Teman saya nampak terperanjat. Tapi saya tak peduli. Pak kyai lebih kaget lagi. Tapi saya yakin ini solusi terbaik. Saya tak ingin biaya dan waktu terbuang mubazir, hanya untuk memoles seseorang yang mengaku Islam abangan, agar terlihat lebih “hijau”. Pikiran saya simpel. Kalau ada yang lebih genuine,kenapa pilih yang “KW” dua? Satu-satunya yang pas, yang berada di hadapan saya saat itu,ya pak kyai.

“Pikiranmu sangat radikal bro. Jangan menjerumuskan orang jujur seperti pak kyai ke dunia politik yang penuh tipu daya. Berbahaya. Dia bisa disetir orang lain, yang lebih tega. Justru saya menawarkan diri, karena saya sadar, politik ya seperti itu. Kita harus banyak janji dan nampak bersungguh-sungguh dengan janji itu. Nanti meskipun saya terpilih dan kemudian disumpah jadi kepala desa untuk satu periode, kalau ada kesempatan nyalon bupati, tinggal diserahkan ke pak carik. Gampang toh?Politik gitu lho,”cuap si balon.

“Saya juga tidak mau,”potong pak kyai tegas. “Saya lebih nikmat mengurus masjid dan umat. Wong sudah jadi karyawan Allah,kok masih mau memburu jabatan dunia. Setua saya, ketika semua hal berbau dunia sudah saya rasakan, sudah waktunya untuk mengabdikan diri pada Allah. Jadi jangan tarik-tarik saya untuk berpolitik,”

“Hush, pak kyai jangan terlalu tinggi omongan politiknya.Ingat,sekarang lagi musim pilpres,”kata saya.

“Lho, dari tadi yang kita omongkan bukannya itu?”.