Daftar Isi

Monday, November 18, 2013

RATU ADIL


Ada dua pesan penting sesaat setelah Marie Antoinette, Ratu Perancis, dipenggal kepalanya dengan pisau guillotine. Pertama, penguasa lalim akan mendapatkan momentum kapan saat rakyat marah dan menghukumnya. Kedua, hidup bermewah-mewah penguasa, pada dasarnya menjadi sinyal buruk ambruknya rasa hormat rakyat, seberapa pandainya pun penguasa menutup-nutupinya.

Revolusi Perancis (1789-1793) meninggalkan jejak sejarah penting, yang sayangnya selalu diulang oleh berbagai rezim di dunia. Hosni Mubarak (Mesir), Moamar Khadafi (Libya) dan Bashar Al-Assad (Suriah) adalah contohnya. Masih ingat berita tentang aksi first lady Suriah Asma al-Assad,yang membeli perabotan seharga Rp 3,98 miliar, ditengah-tengah pembantaian rakyat Suriah oleh rezim Bashar Al-Assad,suaminya?

Saat kepala Marie Antoinette menggelinding, sesungguhnya itulah bentuk teatrikal paling absurd, tentang betapa berkuasanya rakyat. Seorang filsuf menggambarkannya dengan terang. Rakyat lebih cepat melupakan kematian keluarganya. Tapi tidak harta bendanya yang dicuri oleh para politisi. Ada ironi. Ini sebentuk kredo yang kerap didengungkan, jika suara rakyat adalah suara Tuhan.

Ingatan tentang Marie Antoinette, mungkin terlalu berlebihan jika melihat tingkah polah penguasa di Indonesia, yang tak beda jauh dengan tindakan si madame deficit itu. Bagaimana bentuk tas Hermes seharga Rp 500 juta yang konon dibeli Gubernur Banten, dan kini ramai diberitakan berbagai media?Lantas apa tafsir paling pas, ketika sang ibu gubernur menjawab enteng tentang hobinya itu dengan kalimat,”Sekali-kali boleh dong?”

Ketika tiap pagi anak-anak di Lebak, Banten, harus berjibaku meniti tali diatas derasnya aliran sungai sekedar untuk berangkat sekolah, rasa-rasanya ada yang salah dengan jawaban naïf itu,”Sekali-kali boleh dong?”.Belum lagi jika dikaitkan dengan fakta,kalau Provinsi Banten adalah propinsi dengan tingkat pengangguran tertinggi di Indonesia. Selain itu, dari tingkat kesejahteraan yang dibuat penilaiannya oleh Kemendagri untuk 7 provinsi hasil pemekaran (2013), ternyata Banten terburuk kedua, setelah Papua Barat.

Kemiskinan yang menjerat masyarakat Banten, serasa berbanding terbalik dengan gaya hidup pemimpinnya. Inilah yang oleh Ibnu Qayyam dalam Madarikus Salikin disebut sebagai sendi akhlak yang buruk –tidak bersikap adil.Sikap yang menurut Qayyam, membuatmu tidak berada di jalan tengah, meremeh-remehkan atau berlebih-lebihan. Jika uang yang dibelanjakan hasil usaha sendiri, secara etis hal itu masih bisa diperdebatkan. Apalagi konon yang mbayari adalah pihak-pihak tertentu.

Di tengah arus demokratisasi yang pesat bertumbuh, kita memang harus nyinyir. Bukan cuma gubernur Banten. Banyak pejabat publik yang taraf pengabdiannya masih sekedar “sadar jabatan”. Bukan “sadar tanggung jawab”. Inilah makna lain pembelaan sang ibu gubernur, yang mengaku harus berpakaian ketika bekerja. Ketika “sadar jabatan” membekap, enteng saja tas Hermes, sepatu boot Loubotin,dan jam tangan mahal dipakai, bahkan saat mengunjungi daerah-daerah miskin.

Pejabat publik tentu beda dengan artis tenar. “Sadar profesi” dikalangan artis terkenal, terkait dengan pencitraan yang menyasar ke dunia hiburan. Pejabat publik, apalagi seorang gubernur, urusannya dengan rakyat banyak.Ada semacam tuntutan untuk terus berempati. Ibaratnya, wulu kulit kena prasaja, waton jerohane kena kanggo nguripi –bulu dan kulit boleh saja sederhana,asal “isinya” dapat membuat hidup.

Bukti tertinggi pencapaian sebuah nilai adalah memiliki kekuasaan tak terbatas namun tanpa menyalahgunakannya. Saat kebobrokan kaum tua telah mendekati klimaks, kita berharap akan hadir sosok “Ratu Adil”  yang dalam kosmologi Jawa dikenal sebagai pemimpin yang mumpuni. Memang ada yang menganggap ini mitos. Atau sekedar utopia.Impian semu. Seperti lakon “Menunggu Godot”nya Samuel Beckett. Tapi tetap kita tak boleh hilang harapan, ditengah kehidupan yang kian sulit.

Setidaknya, inilah yang ditekankan Raden Ngabehi Ronggowarsito.Cakramanggilingane zaman edan. Wong agung saya edan. Kang beja marga eling lan waspada teka saka tukulan anyar -Rotasi zaman edan. Penggede semakin menggila. Namun yang beruntung akan datang dari anak muda yang terlibat spiritual. Mereka dengan ikhlas mencari Tuhan dengan berbagai laku, entah ma’rifat, meditasi sufistik dan sejenisnya. Saat generasi tua surut –entah karena revolusi rakyat atau hukum Cakramanggilingan, “Ratu Adil” dari kalangan muda itu akan muncul secara pelan-pelan.

Ia yang akan mengubah Indonesia. Dunia bakal butuh Indonesia, bukan sebaliknya. Kita akan mandiri karena makan dari hasil pertanian sendiri. Berbusana dari pabrik tekstil sendiri. Singapura pasti akan kelabakan, karena tak ada lagi orang Indonesia yang berobat dan berbelanja ke sana. Malaysia bakal segan, lantaran hutan hujan tropis di Kalimantan punya fungsi vital untuk keseimbangan iklim global.

Semuanya akan kembali seperti Zaman Majapahit, martabat tegak lantaran ada pemimpin sehebat Mahapatih Gajah Mada. Sang “Ratu Adil” akan babat alas, rawe rawe rantas malang malang putung (membabat semua yang merintangi), Sepi ing pamrih rame ing gawe (berkarya dengan penuh semangat tanpa pamrih), hingga terwujud negara yang gemah ripah loh jinawi. Namun, lagi-lagi kita tak boleh hilang harapan, harus sabar menunggu, sampai pemimpin-pemimpin tua penuh muslihat dan trik-trik culas itu tenggelam ditelan senjakalaning zaman. Semoga.

No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas kunjungan anda!