Ada dua pesan penting sesaat setelah
Marie Antoinette, Ratu Perancis, dipenggal kepalanya dengan pisau guillotine.
Pertama, penguasa lalim akan mendapatkan momentum kapan saat rakyat
marah dan menghukumnya. Kedua, hidup bermewah-mewah penguasa, pada
dasarnya menjadi sinyal buruk ambruknya rasa hormat rakyat, seberapa pandainya
pun penguasa menutup-nutupinya.
Revolusi Perancis (1789-1793)
meninggalkan jejak sejarah penting, yang sayangnya selalu diulang oleh berbagai
rezim di dunia. Hosni Mubarak (Mesir), Moamar Khadafi (Libya) dan Bashar
Al-Assad (Suriah) adalah contohnya. Masih ingat berita tentang aksi first
lady Suriah Asma al-Assad,yang membeli perabotan seharga Rp 3,98 miliar,
ditengah-tengah pembantaian rakyat Suriah oleh rezim Bashar Al-Assad,suaminya?
Saat kepala Marie
Antoinette menggelinding, sesungguhnya itulah bentuk teatrikal paling absurd,
tentang betapa berkuasanya rakyat. Seorang filsuf menggambarkannya dengan
terang. Rakyat lebih cepat melupakan kematian keluarganya. Tapi tidak harta
bendanya yang dicuri oleh para politisi. Ada ironi. Ini sebentuk kredo yang
kerap didengungkan, jika suara rakyat adalah suara Tuhan.
Ingatan tentang Marie
Antoinette, mungkin terlalu berlebihan jika melihat tingkah polah penguasa di
Indonesia, yang tak beda jauh dengan tindakan si madame deficit itu.
Bagaimana bentuk tas Hermes seharga Rp 500 juta yang konon dibeli Gubernur
Banten, dan kini ramai diberitakan berbagai media?Lantas apa tafsir paling pas,
ketika sang ibu gubernur menjawab enteng tentang hobinya itu dengan
kalimat,”Sekali-kali boleh dong?”
Ketika tiap pagi
anak-anak di Lebak, Banten, harus berjibaku meniti tali diatas derasnya aliran
sungai sekedar untuk berangkat sekolah, rasa-rasanya ada yang salah dengan jawaban
naïf itu,”Sekali-kali boleh dong?”.Belum lagi jika dikaitkan dengan fakta,kalau
Provinsi Banten adalah propinsi dengan tingkat pengangguran tertinggi di
Indonesia. Selain itu, dari tingkat kesejahteraan yang dibuat penilaiannya oleh
Kemendagri untuk 7 provinsi hasil pemekaran (2013), ternyata Banten terburuk
kedua, setelah Papua Barat.
Kemiskinan yang menjerat
masyarakat Banten, serasa berbanding terbalik dengan gaya hidup pemimpinnya.
Inilah yang oleh Ibnu Qayyam dalam Madarikus Salikin disebut sebagai sendi
akhlak yang buruk –tidak bersikap adil.Sikap yang menurut Qayyam, membuatmu
tidak berada di jalan tengah, meremeh-remehkan atau berlebih-lebihan. Jika uang
yang dibelanjakan hasil usaha sendiri, secara etis hal itu masih bisa
diperdebatkan. Apalagi konon yang mbayari adalah pihak-pihak tertentu.
Di tengah arus
demokratisasi yang pesat bertumbuh, kita memang harus nyinyir. Bukan
cuma gubernur Banten. Banyak pejabat publik yang taraf pengabdiannya masih
sekedar “sadar jabatan”. Bukan “sadar tanggung jawab”. Inilah makna lain
pembelaan sang ibu gubernur, yang mengaku harus berpakaian ketika bekerja.
Ketika “sadar jabatan” membekap, enteng saja tas Hermes, sepatu boot
Loubotin,dan jam tangan mahal dipakai, bahkan saat mengunjungi daerah-daerah miskin.
Pejabat publik tentu
beda dengan artis tenar. “Sadar profesi” dikalangan artis terkenal, terkait
dengan pencitraan yang menyasar ke dunia hiburan. Pejabat publik, apalagi
seorang gubernur, urusannya dengan rakyat banyak.Ada semacam tuntutan untuk terus
berempati. Ibaratnya, wulu kulit kena prasaja, waton jerohane kena kanggo
nguripi –bulu dan kulit boleh saja sederhana,asal “isinya” dapat membuat
hidup.
Bukti tertinggi
pencapaian sebuah nilai adalah memiliki kekuasaan tak terbatas namun tanpa
menyalahgunakannya. Saat kebobrokan kaum tua telah mendekati klimaks, kita
berharap akan hadir sosok “Ratu Adil” yang dalam kosmologi Jawa dikenal
sebagai pemimpin yang mumpuni. Memang ada yang menganggap ini mitos. Atau
sekedar utopia.Impian semu. Seperti lakon “Menunggu Godot”nya Samuel Beckett.
Tapi tetap kita tak boleh hilang harapan, ditengah kehidupan yang kian sulit.
Setidaknya, inilah yang
ditekankan Raden Ngabehi Ronggowarsito.Cakramanggilingane zaman edan. Wong
agung saya edan. Kang beja marga eling lan waspada teka saka tukulan anyar
-Rotasi zaman edan. Penggede semakin menggila. Namun yang beruntung akan datang
dari anak muda yang terlibat spiritual. Mereka dengan ikhlas mencari Tuhan
dengan berbagai laku, entah ma’rifat, meditasi sufistik dan sejenisnya. Saat
generasi tua surut –entah karena revolusi rakyat atau hukum Cakramanggilingan,
“Ratu Adil” dari kalangan muda itu akan muncul secara pelan-pelan.
Ia yang akan mengubah
Indonesia. Dunia bakal butuh Indonesia, bukan sebaliknya. Kita akan mandiri
karena makan dari hasil pertanian sendiri. Berbusana dari pabrik tekstil
sendiri. Singapura pasti akan kelabakan, karena tak ada lagi orang Indonesia
yang berobat dan berbelanja ke sana. Malaysia bakal segan, lantaran hutan hujan
tropis di Kalimantan punya fungsi vital untuk keseimbangan iklim global.
Semuanya akan kembali
seperti Zaman Majapahit, martabat tegak lantaran ada pemimpin sehebat Mahapatih
Gajah Mada. Sang “Ratu Adil” akan babat alas, rawe rawe rantas malang malang
putung (membabat semua yang merintangi), Sepi ing pamrih rame ing gawe (berkarya dengan penuh semangat tanpa pamrih),
hingga terwujud negara yang gemah ripah loh jinawi. Namun, lagi-lagi
kita tak boleh hilang harapan, harus sabar menunggu, sampai pemimpin-pemimpin
tua penuh muslihat dan trik-trik culas itu tenggelam ditelan senjakalaning
zaman. Semoga.
No comments:
Post a Comment
Terima kasih atas kunjungan anda!