Laki-laki itu umurnya sudah kepala
tujuh. Jalannya terhuyung-huyung. Matanya samar-samar putih, dengan keriput
pipi membungkus rahang yang berisi gigi palsu. Saban hari pahlawan tiba,
ingatan saya selalu tertuju padanya. Ada kerinduan yang membekap. Semacam rasa
yang melecut-lecut, untuk mengetahui kabarnya. Kondisi yang membuat sekian
tahun kami berpisah. Dulu saat masih ngenger (numpang hidup), saya
sering takjub mendengar kisah-kisah heroiknya.
Sebagai perantau yang tak punya
siapa-siapa di Jakarta, saya langsung menyambar tawarannya untuk ikut Pak Hasan
–begitu ia biasa disapa. Sebagai kompensasi mendapat tumpangan, saya kebagian
kerja menjaga kebersihan rumahnya. Pagi-pagi bangun. Ngepel, cuci piring, sapu
halaman, betulin genteng, mencuci bajunya, juga menemani membeli nasi uduk.
Kami dekat, saat istri dan anak-anaknya pindah ke kota lain untuk mencari
peruntungan.
Saat masuk ke ruang tamunya, semua
tahu siapa Pak Hasan sebenarnya. Ada baret merah dan lukisan pisau komando
besar menempel di dinding. Ia sering bercerita, bagaimana membunuh musuh saat
diterjunkan membebaskan Irian Barat. Atau ikut konfrontasi dengan Malaysia.
Meski omongannya tak jelas karena giginya habis, tapi esensinya bisa
ditangkap. Saya akhirnya terpaksa meninggalkan rumahnya, karena satu
sebab.
Melihat tanda penghargaan Pak Hasan,
rasanya ia pantas disebut pahlawan. Tapi sekian bulan mendampinginya, saya
merasa trenyuh melihat kondisi ekonominya. Kadang jika tak ada uang, ia pergi
ke Tebet. “Mau minta duit sama purnawirawan jenderal teman saya,”katanya.
Seturut semakin meleknya saya, semakin faham pula, tak hanya Pak Hasan yang
memiliki nasib serupa. Ada puluhan, bahkan ratusan orang-orang yang berjasa
besar pada negara, tapi hidup terperangkap kesunyian, kemiskinan, dan meninggal
tanpa salam takzim dari ibu pertiwi.
Mereka mungkin bukan
Omar Mukhtar, pahlawan nasional Lybia saat melawan penjajah Italia yang dihukum
gantung oleh Benito Mussolini.Atau Den Xioping, Mahatma Gandhi, Bung Hatta,
Pangeran Diponegoro dan nama-nama besar lain, yang tindakannya ditulis
dengan tinta emas halaman sejarah bangsanya. Jika pun meninggal, Pak Hasan dan
nama-nama sunyi lain, mungkin hanya dianggap sebagai ‘tulang-tulang berserakan’
–mengutip sajak Krawang-Bekasi Chairil Anwar.”Kami bicara padamu dalam hening
di malam sepi,”ujar Chairil.
Sesungguhnya, sudah lama bangsa ini
risau terhadap perlakuan tak adil ini. Banyak koruptor diusung jasadnya dengan
tembakan salvo di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Mereka yang masih
punya nurani, lantas beramai-ramai menolak di kebumikan di TMP Kalibata, dengan
alasan tak mau jasadnya satu area dengan pengkhianat bangsa itu –saya sebut
pengkhianat, karena korupsi sejatinya musuh utama bangsa. Kondisi ini bahkan
terus berlanjut, dengan hak pensiun yang masih diterima para anggota DPR yang
sudah terbukti korup dan mendekam di rumah tahanan.
Dagelan moral bahkan dipertontonkan
terang-terangan di televisi. Seorang tersangka korupsi, masih saja
digadang-gadang, dibela, dijadikan ketua umum ormas, seolah tak ada figur
bersih lain yang bisa jadi anutan. Logika kita semakin jungkir balik, kala
status tersangka yang disematkan KPK, kerap diidentikan sebagai rencana Allah,
diluar kuasa dirinya.”Wa makaruu wa makarallaahu wallahu khairul maakiriin
(QS. Ali Imran;54). Mereka membuat tipu daya, dan Allah sebaik-baik
(pembalas) tipu daya,”katanya,enteng.
Siapa yang membuat rencana dengan
dana negara untuk ambisi politiknya?Apa salah “Allah” hingga jadi “kambing
hitam” gagalnya rencana itu?Bagaimana jika rencana setan yang diikutinya tak
diendus oleh KPK? Semua serba di bolak-balik, persis seperti gambaran politisi
yang diungkap filosof Immanuel Kant.Bahwa ada dua watak binatang terselip di
setiap insan politik, yaitu merpati dan ular.
Jargon ‘bangsa yang besar adalah
bangsa yang mau menghargai jasa para pahlawannya’ barangkali perlu direnung
ulang. Bertahun-tahun kita terjebak dalam politisasi simbol.Pembangkrut
Pertamina dimakamkan di TMP Kalibata. Penggerak semangat juang pertempuran
Surabaya justru dinafikan. Momen hari pahlawan bisa menjadi refleksi, sejauh
mana kita sesungguhnya mau bersusah payah mengungkap ‘tulang belulang’ yang
berserakan antara Krawang-Bekasi, seperti yang ditekankan Chairil Anwar.
Gugatan Chairil, tentu mewakili mereka yang jasadnya terbaring dimana-mana,
diseluruh Indonesia.
Benar kata Bung Karno.
Setelah merdeka, lawan kita bukanlah penjajah asing. Tapi bangsa sendiri.Jika
Belanda mau menerapkan politik etis sebagai imbalan atas eksploitasi kekayaan
Indonesia yang sudah dikeruknya, “musuh” kita sekarang adalah orang-orang
munafik. Kelihatan teman, tapi sesungguhnya lawan.Terdengar bermoral, tapi
sejatinya tuna moral. Berposisi sebagai penjaga benteng keadilan, tapi ternyata
penjual keadilan. Mereka berjuang mati-matian, demi diri dan kelompoknya. Tak
peduli nasib negara.
Pak Hasan, saya dengar,
ketika wafat jasadnya dimakamkan laiknya orang biasa. Tapi nurani ini sering
berontak, jika hari pahlawan tiba dan saya ingat segala penderitaannya di masa
pensiun. Meski sebagai pasukan komando, ia begitu tangguh seperti visi hidupnya
yang ia kutip dari seorang panglima perang China,”Hidup adalah bagaikan
bendera perang. Kadang-kadang berkibar megah menantang.Kadang-kadang kotor,
robek dan hampir jatuh ke tangan musuh. Tapi harus tetap dipertahankan dengan
gagah berani –sampai ke tangan Tuhan”. Jujur, tanpa pengakuan negara,
beliau sesungguhnya pahlawan sejati buat saya. He is my hero...
No comments:
Post a Comment
Terima kasih atas kunjungan anda!