Daftar Isi

Monday, November 11, 2013

My Hero


Laki-laki itu umurnya sudah kepala tujuh. Jalannya terhuyung-huyung. Matanya samar-samar putih, dengan keriput pipi membungkus rahang yang berisi gigi palsu. Saban hari pahlawan tiba, ingatan saya selalu tertuju padanya. Ada kerinduan yang membekap. Semacam rasa yang melecut-lecut, untuk mengetahui kabarnya. Kondisi yang membuat sekian tahun kami berpisah. Dulu saat masih ngenger (numpang hidup), saya sering takjub mendengar kisah-kisah heroiknya.

Sebagai perantau yang tak punya siapa-siapa di Jakarta, saya langsung menyambar tawarannya untuk ikut Pak Hasan –begitu ia biasa disapa. Sebagai kompensasi mendapat tumpangan, saya kebagian kerja menjaga kebersihan rumahnya. Pagi-pagi bangun. Ngepel, cuci piring, sapu halaman, betulin genteng, mencuci bajunya, juga menemani membeli nasi uduk. Kami dekat, saat istri dan anak-anaknya pindah ke kota lain untuk mencari peruntungan.

Saat masuk ke ruang tamunya, semua tahu siapa Pak Hasan sebenarnya. Ada baret merah dan lukisan pisau komando besar menempel di dinding. Ia sering bercerita, bagaimana membunuh musuh saat diterjunkan membebaskan Irian Barat. Atau ikut konfrontasi dengan Malaysia. Meski omongannya tak jelas karena giginya habis, tapi esensinya bisa ditangkap.  Saya akhirnya terpaksa meninggalkan rumahnya, karena satu sebab.

Melihat tanda penghargaan Pak Hasan, rasanya ia pantas disebut pahlawan. Tapi sekian bulan mendampinginya, saya merasa trenyuh melihat kondisi ekonominya. Kadang jika tak ada uang, ia pergi ke Tebet. “Mau minta duit sama purnawirawan jenderal teman saya,”katanya. Seturut semakin meleknya saya, semakin faham pula, tak hanya Pak Hasan yang memiliki nasib serupa. Ada puluhan, bahkan ratusan orang-orang yang berjasa besar pada negara, tapi hidup terperangkap kesunyian, kemiskinan, dan meninggal tanpa salam takzim dari ibu pertiwi.

Mereka mungkin bukan Omar Mukhtar, pahlawan nasional Lybia saat melawan penjajah Italia yang dihukum gantung oleh Benito Mussolini.Atau Den Xioping, Mahatma Gandhi, Bung Hatta, Pangeran Diponegoro dan nama-nama besar  lain, yang tindakannya ditulis dengan tinta emas halaman sejarah bangsanya. Jika pun meninggal, Pak Hasan dan nama-nama sunyi lain, mungkin hanya dianggap sebagai ‘tulang-tulang berserakan’ –mengutip sajak Krawang-Bekasi Chairil Anwar.”Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi,”ujar Chairil.

Sesungguhnya, sudah lama bangsa ini risau terhadap perlakuan tak adil ini. Banyak koruptor diusung jasadnya dengan tembakan salvo di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Mereka yang masih punya nurani, lantas beramai-ramai menolak di kebumikan di TMP Kalibata, dengan alasan tak mau jasadnya satu area dengan pengkhianat bangsa itu –saya sebut pengkhianat, karena korupsi sejatinya musuh utama bangsa. Kondisi ini bahkan terus berlanjut, dengan hak pensiun yang masih diterima para anggota DPR yang sudah terbukti korup dan mendekam di rumah tahanan.

Dagelan moral bahkan dipertontonkan terang-terangan di televisi. Seorang tersangka korupsi, masih saja digadang-gadang, dibela, dijadikan ketua umum ormas, seolah tak ada figur bersih lain yang bisa jadi anutan. Logika kita semakin jungkir balik, kala status tersangka yang disematkan KPK, kerap diidentikan sebagai rencana Allah, diluar kuasa dirinya.”Wa makaruu wa makarallaahu wallahu khairul maakiriin (QS. Ali Imran;54). Mereka membuat tipu daya, dan Allah sebaik-baik (pembalas) tipu daya,”katanya,enteng.

Siapa yang membuat rencana dengan dana negara untuk ambisi politiknya?Apa salah “Allah” hingga jadi “kambing hitam” gagalnya rencana itu?Bagaimana jika rencana setan yang diikutinya tak diendus oleh KPK? Semua serba di bolak-balik, persis seperti gambaran politisi yang diungkap filosof Immanuel Kant.Bahwa ada dua watak binatang terselip di setiap insan politik, yaitu merpati dan ular.

Jargon ‘bangsa yang besar adalah bangsa yang mau menghargai jasa para pahlawannya’ barangkali perlu direnung ulang. Bertahun-tahun kita terjebak dalam politisasi simbol.Pembangkrut Pertamina dimakamkan di TMP Kalibata. Penggerak semangat juang pertempuran Surabaya justru dinafikan. Momen hari pahlawan bisa menjadi refleksi, sejauh mana kita sesungguhnya mau bersusah payah mengungkap ‘tulang belulang’ yang berserakan antara Krawang-Bekasi, seperti yang ditekankan Chairil Anwar. Gugatan Chairil, tentu mewakili mereka yang jasadnya terbaring dimana-mana, diseluruh Indonesia.

Benar kata Bung Karno. Setelah merdeka, lawan kita bukanlah penjajah asing. Tapi bangsa sendiri.Jika Belanda mau menerapkan politik etis sebagai imbalan atas eksploitasi kekayaan Indonesia yang sudah dikeruknya, “musuh” kita sekarang adalah orang-orang munafik. Kelihatan teman, tapi sesungguhnya lawan.Terdengar bermoral, tapi sejatinya tuna moral. Berposisi sebagai penjaga benteng keadilan, tapi ternyata penjual keadilan. Mereka berjuang mati-matian, demi diri dan kelompoknya. Tak peduli nasib negara.

Pak Hasan, saya dengar, ketika wafat jasadnya dimakamkan laiknya orang biasa. Tapi nurani ini sering berontak, jika hari pahlawan tiba dan saya ingat segala penderitaannya di masa pensiun. Meski sebagai pasukan komando, ia begitu tangguh seperti visi hidupnya yang ia kutip dari seorang panglima perang China,”Hidup adalah bagaikan bendera perang. Kadang-kadang berkibar megah menantang.Kadang-kadang kotor, robek dan hampir jatuh ke tangan musuh. Tapi harus tetap dipertahankan dengan gagah berani –sampai ke tangan Tuhan”. Jujur, tanpa pengakuan negara, beliau sesungguhnya pahlawan sejati buat saya. He is my hero...


No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas kunjungan anda!