Daftar Isi

Sunday, November 3, 2013

Membaca


Seorang teman, dosen dan aktifis sebuah lembaga swadaya masyarakat terkenal, belum lama pulang dari ibadah haji. Banyak hal ia ceritakan. Meski ini ibadah haji yang kedua, ia masih menemukan hal-hal baru, yang membuatnya selalu kangen dengan tanah suci. Kebetulan, sebelum berangkat, saya sempat bercanda agar diberi kelebihan rejeki, supaya bisa bertandang ke rumah Allah.”Insyaallah sudah saya doakan,”katanya. Amin.

Namun, menarik dicatat pengalaman batinnya saat naik ke Gunung Nur atau Jabal Nur.Maksudnya, bukan untuk sok gagah-gagahan, jika ia sedikit mengulas bagaimana kondisi saat hendak masuk ke Gua Hira, tempat Nabi Muhammad pertama kali menerima wahyu dari Tuhan lewat malaikat Jibril. Surat Al-Alaq yang disampaikan Jibril, sebagai “perkenalan” sebelum beliau diangkat sebagai rosul, kebetulan menyuruh Muhammad untuk “membaca” –Iqra (bacalah)!

Perintah Iqra ini, kita mafhum, menjadi rujukan tentang betapa pentingnya kegiatan membaca. Sang ustaz, yang wajahnya kerap juga nongol di televisi, lantas menyoal prosesnya. Betapa ketika ia naik ke atas Jabal Nur, perjuangan yang cukup berat harus dilalui. Panas, gersang, dengan kecuraman yang cukup menguras energi, yang jika tak hati-hati bisa celaka. Padahal sudah dibuat undak-undakan oleh pemerintah Arab Saudi yang lumayan membantu. “Di zaman Rosul, kondisinya pastilah lebih  berat. Apalagi beliau turun naik gunung itu dalam usia yang tidak muda lagi. Empat puluh tahun,”kata sang ustaz.

Saya tertegun. Cerita sederhana, tapi sebetulnya mengandung jutaan makna. Intinya, betapa perintah “membaca” itu melalui proses yang tidak ringan. Mungkin karena tekad baja Muhammad saja yang ingin mendapat pencerahan, yang membuat semua rintangan itu seolah jadi baling-baling energi untuk terus mendapat jawab atas kebodohan kaumnya. Dalam perjalanan panjang sejarah peradaban manusia, membaca  akhirnya memang menjadi kunci kemajuan. Silih berganti; dari dunia Barat hingga zaman kejayaan ilmuwan muslim.

Ketiadaan waktu membaca, kerap membuat kita seperti katak dalam tempurung.Di kalangan selebritis, saat mereka tak up date dengan pengetahuan baru, biasanya karena tak punya waktu untuk membaca. “Sibuk syuting, pentas, pontang panting ke luar kota,”begitu alasan mereka. Tak heran,kata pakar manajemen Rhenald Kasali, segala polah mereka murni karena ketidakmampuannya secara akademik atau ogah membaca. Bukan dalam kerangka  mencari perhatian media.

Seorang artis terkenal yang selalu sengak jika ditodong wawancara, menjadi contoh “korban” dari ketiadaan waktu baca. Saat dikritik ia memiliki bad attitude,spontan langsung ngamuk-ngamuk. “Memangnya saya nyari duit sambil ngangkang apa?Kalau dibilang sombong nggak apa-apa. Tapi disebut bad attitude, saya nggak terima,”katanya. Rupanya dia tak mengerti, bersikap ketus dan tak ramah dengan jurnalis juga termasuk bad attitude. Ia berfikir, bad attitude adalah mereka yang suka ngangkang saat cari uang.

Kasus terbaru menimpa seorang penyanyi, yang dengan alasan berasal dari Suku Sunda, lantas kesalahannya berbahasa Inggris merasa perlu untuk dimaafkan. Tak cuma salah ucap, tapi juga salah tulis. Tentu saja membaca tak hanya teks literer. Ketika video mesum anak SMP Jakarta beredar secara berantai, itu bahan “bacaan” juga. Para pakar “membaca”, begitulah cermin remaja kita. Begitu pula dampak dari kemajuan teknologi gadget, internet, sinetron, iklan-iklan yang lebay hingga film-film porno yang  mudah diakses.

Dari sisi transendental,ada yang “membaca” dunia sudah uzur. Kiamat sudah dekat. Tandanya, orang melakukan maksiat sudah tak malu-malu lagi. Dalam pandangan pujangga Raden Ngabehi Ranggawarsito, inilah zaman edan yang pernah dinubuatkan sejak 1845 lalu. Kata Ronggowarsito, zaman edan ditandai dengan fenomena wong wadon ilang tapihe (busana perempuan yang makin membuka aurat), wong wadon ilang wirange (perempuan sudah kehilangan rasa malu) dan pasar ilang kumandange (pasar tradisional lenyap berganti mal dan supermarket).

Hidup kita pun, sesungguhnya tak luput dari “bacaan”. Jika mau telaten “membaca” tuduhan menerima suap yang sempat menimpanya sebelum dicokok KPK, Akil Mochtar mungkin bisa selamat. Sayang, sifat rahman Tuhan tak membuat Akil sadar,hingga mesti “digebuk” agar kapok. Belum lama ada penyanyi top yang hampir meninggal karena kecelakaan mobil di Kebon Nanas, Jakarta. Di duga ia habis fly di diskotik. Tapi setelah sehat, ia tak mau “membaca” musibah yang menimpanya, sampai kemudian ia benar-benar meninggal karena over dosis narkoba.

Ditengah zaman kalabendu (kegelapan) seperti sekarang,memang kita dituntut untuk tanggap ing sasmita, lantip ing panggraita (pandai dalam membaca isyarat, cerdas dalam memaknai gelagat).Semua merasa paling benar sendiri. Sudah menjadi tersangka pun, masih juga sempat ber tiki taka – mengoper bola ke sana sini, membantah dengan berbagai cara.

Dalam tradisi masyarakat Jawa, untuk menghilangkan pagebluk (bencana sosial) harus diruwat. Tapi bagaimana jika pageblug yang menyerang sudah dalam skala luas, hingga seorang ketua Mahkamah Konstitusi pun masih sempat-sempatnya menghisap ganja?Mungkin sudah saatnya kita “membaca” lagi –segala dalih dan sangkalan sudah saatnya disimpan rapi, karena itulah sesungguhnya sumber pagebluk yang melanda.

“Membaca” apa yang sudah terjadi, syukur-syukur saat aib itu terbuka lebih dini, akan menyadarkan kemanusiaan kita sebagai makhluk yang penuh salah dan khilaf. Boleh saja kita “membaca” kasus kelam itu sebagai kegagalan. Tidak apa-apa. Itulah warna hidup, dinamika yang harus dihadapi dengan tabah. Karena, andai kegagalan adalah hujan,dan kesuksesan adalah matahari, kita butuh keduanya untuk bisa melihat pelangi.






No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas kunjungan anda!