Daftar Isi

Monday, November 25, 2013

Jilbab Hitam

Tulisan itu detail. Lengkap dengan nama-nama tercantum. Isinya soal mafia kasus di kalangan wartawan. Modusnya, harus ada imbalan tertentu, agar sebuah berita tidak dipublikasikan. Intinya, sang penulis yang menyebut diri “Jilbab Hitam” kecewa dengan kondisi di dalam Majalah Tempo, yang konon dikenal amat idealis dan tak kenal kompromi. Tapi kenyataannya berbeda. “Jilbab  Hitam” sendiri mengklaim sebagai mantan wartawan Tempo.

Sebagai salah satu pilar demokrasi, jika tulisan itu benar, tentu amat berbahaya. Informasi terbaru, identitas “Jilbab Hitam” sudah diketahui. Tapi entah kenapa, hingga kini tidak dilaporkan ke polisi sebagai bentuk pencemaran nama baik.Ini yang aneh. Apakah takut bakal menyeret nama-nama tenar pejabat negeri ini dengan kedudukan penting?Wallahua’lam bisawab.

Jika diam menjadi pilihan utama, informasi itu memang bisa jadi bom waktu. Ada sebagian kalangan pers yang bekerja secara idealis.Tidak main proyek. Tidak pakai deal. Semua bakal hilang, seperti susu sebelanga yang rusak gara-gara nila setitik. Padahal, selain KPK, institusi pers masih dianggap terpercaya, dibanding lembaga lain.

Mafia memang seperti (maaf) kentut. Baunya bisa dicium tapi rupanya susah dilihat. Hal yang jelas, ini jadi semacam isyarat jika mafia sudah menjerat berbagai  ranah. Kerisauan ini tak terbantahkan. Mafia anggaran telah membuat politisi-politisi muda negeri ini terjengkang dibekap kasus korupsi.

Mereka “mati” dini tanpa kebanggaan. Tanpa kehormatan. Bahkan mungkin bakal menghabiskan sisa hidup dibalik terali besi. Ini bukanlah takdir, laksana John F Kennedy (JFK) yang di tembak mati di Dallas oleh Lee Harvey Oswald -- pria yang dinyatakan Warren Commission sebagai penembak tunggal  JFK pada 1964. Jika JFK lima puluh tahun kemudian setelah kematiannya masih diperingati semangat dan pengorbanannya, kita tak tahu apa yang bakal dikenang dari Angelina Sondakh misalnya.

Ironi ini semakin membawa pesimisme publik pada perbaikan kehidupan berbangsa. Saat pemimpin tua memberi kepercayaan pada anak muda untuk menjabat, nyatanya tak imun dari godaan harta. Bagaimana anak muda idealis yang ingin mencerdaskan bangsa lewat profesi jurnalistik, kemudian membaca tulisan “Jilbab Hitam”, masih adakah idealisme itu tertanam di benaknya?

Mengenang ini, saya teringat seorang wartawan kawakan, yang menertawakan tekad seorang pengikut pelatihan menulis.“Cita-cita dia menjadi wartawan yang bisa mencerdaskan bangsa,”kata sang wartawan senior di akun jejaring sosialnya.”Saya tertawa saja. Saya bilang, cita-cita itu bakal luntur, ketika kamu sudah terjun langsung,”lanjutnya.

Saya sempat menyanggahnya. Apa tidak lebih baik diberi semangat untuk mewujudkan ambisinya?Mencerdaskan bangsa toh tidak harus jadi “robot” dari sistem yang dimasuki, misal sebuah kantor penerbitan pers. Bisa lewat tulisan lain. Entah bikin buku pengetahuan atau novel. Si wartawan senior terdiam.

Saya tidak tahu adakah korelasi signifikan perilaku korup dengan kecerdasan emosional yang kerap dilalaikan dalam perekrutan sumber daya manusia (SDM). Ada institusi bisnis lebih mementingkan ketrampilan teknis dan abai terhadap hal-hal remeh semisal kebutuhan rohani pekerja. Padahal perusahaan sebesar Astra pun amat gencar memberi bekal agama pada karyawannya.

Indikatornya sederhana. Lewat aspek spiritual, perilaku negatif itu bisa ditekan seminimal mungkin. Inilah yang belakangan dijadikan diskusi intens. Jika soft skill (ketrampilan berorganisasi, komunikasi dan kesalehan spiritual) ternyata 75 persen memegang kunci kesuksesan. Maksudnya tentu bukan sukses materi semata. Tapi sukses menjalani hidup sampai khusnul khotimah (berakhir dengan baik).

Dalam berbagai jenjang pendidikan, kita kerap terjebak pada nilai-nilai formal di atas kertas. Lulusan terbaik adalah mereka yang bisa mengerjakan soal dengan cepat dan tepat.Secara global, ini bukanlah keresahan yang terjadi di negara kita saja. Tengok bagaimana Erica Goldson (siswi SMA) pada acara wisuda di Coxsackie-Athens High School, New York, Amerika Serikat, tahun 2010.Erica Goldson adalah wisudawan yang lulus dengan nilai terbaik pada tahun itu. Saya kutip pidatonya.

“Di sini saya berdiri, dan seharusnya bangga bahwa saya telah selesai mengikuti periode indoktrinasi ini. Tetapi saya adalah seorang manusia, seorang pemikir, pencari pengalaman hidup – bukan pekerja. Pekerja adalah orang yang terjebak dalam pengulangan, seorang budak di dalam sistem yang mengurung dirinya. Sekarang, saya telah berhasil menunjukkan kalau saya adalah budak terpintar.

Saat anak-anak lain masuk ke kelas lupa mengerjakan PR mereka karena asyik membaca hobi-hobi mereka, saya sendiri tidak pernah lalai mengerjakan PR saya. Saat yang lain menciptakan musik dan lirik,dan menjadi seniman hebat, saya justru mengambil ekstra SKS, walaupun saya tidak membutuhkan itu. Jadi, saya penasaran, apakah benar saya ingin menjadi lulusan terbaik?.

Tentu, saya pantas menerimanya, saya telah bekerja keras untuk mendapatkannya, tetapi apa yang akan saya terima nantinya? Saat saya meninggalkan institusi pendidikan, akankah saya menjadi sukses atau saya akan tersesat dalam kehidupan saya?Sekarang hal itulah yang justru saya takutkan”.

Kegundahan Erica bisa dipahami.Berapa banyak akademisi yang pintar di negeri ini, yang semula idealis, kemudian jatuh karena masuk dalam sistem yang korup dan tak bisa mengelak dari permainan mafia. Mereka “tersesat”, karena jadi “robot”. Jadi alat industri. Tapi miskin nurani dan hati. Gersang dari nilai-nilai agama dan putihnya jiwa.  Kondisi ini,barangkali yang terjadi pada sosok-sosok jurnalis, yang digambarkan oleh “Jilbab Hitam” sebagai figur yang kelihatan idealis, tapi ternyata mafia juga. Jika benar, ini “sesuatu banget”.Semoga saja tuduhan itu salah.


No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas kunjungan anda!