Tulisan itu detail. Lengkap dengan
nama-nama tercantum. Isinya soal mafia kasus di kalangan wartawan. Modusnya,
harus ada imbalan tertentu, agar sebuah berita tidak dipublikasikan. Intinya,
sang penulis yang menyebut diri “Jilbab Hitam” kecewa dengan kondisi di dalam
Majalah Tempo, yang konon dikenal amat idealis dan tak kenal kompromi. Tapi
kenyataannya berbeda. “Jilbab Hitam” sendiri mengklaim sebagai mantan
wartawan Tempo.
Sebagai salah satu pilar demokrasi,
jika tulisan itu benar, tentu amat berbahaya. Informasi terbaru, identitas
“Jilbab Hitam” sudah diketahui. Tapi entah kenapa, hingga kini tidak dilaporkan
ke polisi sebagai bentuk pencemaran nama baik.Ini yang aneh. Apakah takut bakal
menyeret nama-nama tenar pejabat negeri ini dengan kedudukan
penting?Wallahua’lam bisawab.
Jika diam menjadi pilihan utama,
informasi itu memang bisa jadi bom waktu. Ada sebagian kalangan pers yang
bekerja secara idealis.Tidak main proyek. Tidak pakai deal. Semua bakal hilang,
seperti susu sebelanga yang rusak gara-gara nila setitik. Padahal, selain KPK,
institusi pers masih dianggap terpercaya, dibanding lembaga lain.
Mafia memang seperti (maaf) kentut.
Baunya bisa dicium tapi rupanya susah dilihat. Hal yang jelas, ini jadi semacam
isyarat jika mafia sudah menjerat berbagai ranah. Kerisauan ini tak
terbantahkan. Mafia anggaran telah membuat politisi-politisi muda negeri ini
terjengkang dibekap kasus korupsi.
Mereka “mati” dini tanpa kebanggaan.
Tanpa kehormatan. Bahkan mungkin bakal menghabiskan sisa hidup dibalik terali
besi. Ini bukanlah takdir, laksana John F Kennedy (JFK) yang di tembak mati di Dallas oleh Lee Harvey Oswald -- pria yang dinyatakan Warren Commission sebagai
penembak tunggal JFK pada 1964. Jika JFK lima puluh tahun kemudian setelah
kematiannya masih diperingati semangat dan pengorbanannya, kita tak tahu apa
yang bakal dikenang dari Angelina Sondakh misalnya.
Ironi ini semakin membawa pesimisme
publik pada perbaikan kehidupan berbangsa. Saat pemimpin tua memberi kepercayaan
pada anak muda untuk menjabat, nyatanya tak imun dari godaan harta. Bagaimana
anak muda idealis yang ingin mencerdaskan bangsa lewat profesi jurnalistik,
kemudian membaca tulisan “Jilbab Hitam”, masih adakah idealisme itu tertanam di
benaknya?
Mengenang ini, saya teringat seorang
wartawan kawakan, yang menertawakan tekad seorang pengikut pelatihan
menulis.“Cita-cita dia menjadi wartawan yang bisa mencerdaskan bangsa,”kata
sang wartawan senior di akun jejaring sosialnya.”Saya tertawa saja. Saya
bilang, cita-cita itu bakal luntur, ketika kamu sudah terjun
langsung,”lanjutnya.
Saya sempat menyanggahnya. Apa tidak
lebih baik diberi semangat untuk mewujudkan ambisinya?Mencerdaskan bangsa toh
tidak harus jadi “robot” dari sistem yang dimasuki, misal sebuah kantor
penerbitan pers. Bisa lewat tulisan lain. Entah bikin buku pengetahuan atau novel. Si
wartawan senior terdiam.
Saya tidak tahu adakah korelasi
signifikan perilaku korup dengan kecerdasan emosional yang kerap dilalaikan
dalam perekrutan sumber daya manusia (SDM). Ada institusi bisnis lebih mementingkan
ketrampilan teknis dan abai terhadap hal-hal remeh semisal kebutuhan rohani
pekerja. Padahal perusahaan sebesar Astra pun amat gencar memberi bekal agama
pada karyawannya.
Indikatornya sederhana. Lewat aspek
spiritual, perilaku negatif itu bisa ditekan seminimal mungkin. Inilah yang
belakangan dijadikan diskusi intens. Jika soft skill (ketrampilan
berorganisasi, komunikasi dan kesalehan spiritual) ternyata 75 persen memegang
kunci kesuksesan. Maksudnya tentu bukan sukses materi semata. Tapi sukses
menjalani hidup sampai khusnul khotimah (berakhir dengan baik).
Dalam berbagai jenjang pendidikan,
kita kerap terjebak pada nilai-nilai formal di atas kertas. Lulusan terbaik
adalah mereka yang bisa mengerjakan soal dengan cepat dan tepat.Secara global,
ini bukanlah keresahan yang terjadi di negara kita saja. Tengok bagaimana
Erica Goldson (siswi SMA) pada acara wisuda di Coxsackie-Athens High
School, New York, Amerika Serikat, tahun 2010.Erica Goldson adalah wisudawan yang lulus
dengan nilai terbaik pada tahun itu. Saya kutip pidatonya.
“Di sini saya berdiri, dan
seharusnya bangga bahwa saya telah selesai mengikuti periode
indoktrinasi ini. Tetapi saya adalah seorang manusia, seorang pemikir,
pencari pengalaman hidup – bukan pekerja. Pekerja adalah orang yang terjebak
dalam pengulangan, seorang budak di dalam sistem yang mengurung dirinya.
Sekarang, saya telah berhasil menunjukkan kalau saya adalah budak terpintar.
Saat anak-anak lain masuk ke kelas
lupa mengerjakan PR mereka karena asyik membaca hobi-hobi mereka, saya sendiri
tidak pernah lalai mengerjakan PR saya. Saat yang lain menciptakan musik dan
lirik,dan menjadi seniman hebat, saya justru mengambil ekstra SKS, walaupun
saya tidak membutuhkan itu. Jadi, saya penasaran, apakah benar saya ingin
menjadi lulusan terbaik?.
Tentu, saya pantas menerimanya, saya
telah bekerja keras untuk mendapatkannya, tetapi apa yang akan saya terima
nantinya? Saat saya meninggalkan institusi pendidikan, akankah saya menjadi
sukses atau saya akan tersesat dalam kehidupan saya?Sekarang hal itulah yang
justru saya takutkan”.
Kegundahan Erica bisa
dipahami.Berapa banyak akademisi yang pintar di negeri ini, yang semula
idealis, kemudian jatuh karena masuk dalam sistem yang korup dan tak bisa
mengelak dari permainan mafia. Mereka “tersesat”, karena jadi “robot”. Jadi alat
industri. Tapi miskin nurani dan hati. Gersang dari nilai-nilai agama dan putihnya jiwa. Kondisi ini,barangkali yang terjadi pada sosok-sosok jurnalis, yang digambarkan oleh “Jilbab Hitam” sebagai
figur yang kelihatan idealis, tapi ternyata mafia juga. Jika benar, ini
“sesuatu banget”.Semoga saja tuduhan itu salah.