Daftar Isi

Monday, November 25, 2013

Jilbab Hitam

Tulisan itu detail. Lengkap dengan nama-nama tercantum. Isinya soal mafia kasus di kalangan wartawan. Modusnya, harus ada imbalan tertentu, agar sebuah berita tidak dipublikasikan. Intinya, sang penulis yang menyebut diri “Jilbab Hitam” kecewa dengan kondisi di dalam Majalah Tempo, yang konon dikenal amat idealis dan tak kenal kompromi. Tapi kenyataannya berbeda. “Jilbab  Hitam” sendiri mengklaim sebagai mantan wartawan Tempo.

Sebagai salah satu pilar demokrasi, jika tulisan itu benar, tentu amat berbahaya. Informasi terbaru, identitas “Jilbab Hitam” sudah diketahui. Tapi entah kenapa, hingga kini tidak dilaporkan ke polisi sebagai bentuk pencemaran nama baik.Ini yang aneh. Apakah takut bakal menyeret nama-nama tenar pejabat negeri ini dengan kedudukan penting?Wallahua’lam bisawab.

Jika diam menjadi pilihan utama, informasi itu memang bisa jadi bom waktu. Ada sebagian kalangan pers yang bekerja secara idealis.Tidak main proyek. Tidak pakai deal. Semua bakal hilang, seperti susu sebelanga yang rusak gara-gara nila setitik. Padahal, selain KPK, institusi pers masih dianggap terpercaya, dibanding lembaga lain.

Mafia memang seperti (maaf) kentut. Baunya bisa dicium tapi rupanya susah dilihat. Hal yang jelas, ini jadi semacam isyarat jika mafia sudah menjerat berbagai  ranah. Kerisauan ini tak terbantahkan. Mafia anggaran telah membuat politisi-politisi muda negeri ini terjengkang dibekap kasus korupsi.

Mereka “mati” dini tanpa kebanggaan. Tanpa kehormatan. Bahkan mungkin bakal menghabiskan sisa hidup dibalik terali besi. Ini bukanlah takdir, laksana John F Kennedy (JFK) yang di tembak mati di Dallas oleh Lee Harvey Oswald -- pria yang dinyatakan Warren Commission sebagai penembak tunggal  JFK pada 1964. Jika JFK lima puluh tahun kemudian setelah kematiannya masih diperingati semangat dan pengorbanannya, kita tak tahu apa yang bakal dikenang dari Angelina Sondakh misalnya.

Ironi ini semakin membawa pesimisme publik pada perbaikan kehidupan berbangsa. Saat pemimpin tua memberi kepercayaan pada anak muda untuk menjabat, nyatanya tak imun dari godaan harta. Bagaimana anak muda idealis yang ingin mencerdaskan bangsa lewat profesi jurnalistik, kemudian membaca tulisan “Jilbab Hitam”, masih adakah idealisme itu tertanam di benaknya?

Mengenang ini, saya teringat seorang wartawan kawakan, yang menertawakan tekad seorang pengikut pelatihan menulis.“Cita-cita dia menjadi wartawan yang bisa mencerdaskan bangsa,”kata sang wartawan senior di akun jejaring sosialnya.”Saya tertawa saja. Saya bilang, cita-cita itu bakal luntur, ketika kamu sudah terjun langsung,”lanjutnya.

Saya sempat menyanggahnya. Apa tidak lebih baik diberi semangat untuk mewujudkan ambisinya?Mencerdaskan bangsa toh tidak harus jadi “robot” dari sistem yang dimasuki, misal sebuah kantor penerbitan pers. Bisa lewat tulisan lain. Entah bikin buku pengetahuan atau novel. Si wartawan senior terdiam.

Saya tidak tahu adakah korelasi signifikan perilaku korup dengan kecerdasan emosional yang kerap dilalaikan dalam perekrutan sumber daya manusia (SDM). Ada institusi bisnis lebih mementingkan ketrampilan teknis dan abai terhadap hal-hal remeh semisal kebutuhan rohani pekerja. Padahal perusahaan sebesar Astra pun amat gencar memberi bekal agama pada karyawannya.

Indikatornya sederhana. Lewat aspek spiritual, perilaku negatif itu bisa ditekan seminimal mungkin. Inilah yang belakangan dijadikan diskusi intens. Jika soft skill (ketrampilan berorganisasi, komunikasi dan kesalehan spiritual) ternyata 75 persen memegang kunci kesuksesan. Maksudnya tentu bukan sukses materi semata. Tapi sukses menjalani hidup sampai khusnul khotimah (berakhir dengan baik).

Dalam berbagai jenjang pendidikan, kita kerap terjebak pada nilai-nilai formal di atas kertas. Lulusan terbaik adalah mereka yang bisa mengerjakan soal dengan cepat dan tepat.Secara global, ini bukanlah keresahan yang terjadi di negara kita saja. Tengok bagaimana Erica Goldson (siswi SMA) pada acara wisuda di Coxsackie-Athens High School, New York, Amerika Serikat, tahun 2010.Erica Goldson adalah wisudawan yang lulus dengan nilai terbaik pada tahun itu. Saya kutip pidatonya.

“Di sini saya berdiri, dan seharusnya bangga bahwa saya telah selesai mengikuti periode indoktrinasi ini. Tetapi saya adalah seorang manusia, seorang pemikir, pencari pengalaman hidup – bukan pekerja. Pekerja adalah orang yang terjebak dalam pengulangan, seorang budak di dalam sistem yang mengurung dirinya. Sekarang, saya telah berhasil menunjukkan kalau saya adalah budak terpintar.

Saat anak-anak lain masuk ke kelas lupa mengerjakan PR mereka karena asyik membaca hobi-hobi mereka, saya sendiri tidak pernah lalai mengerjakan PR saya. Saat yang lain menciptakan musik dan lirik,dan menjadi seniman hebat, saya justru mengambil ekstra SKS, walaupun saya tidak membutuhkan itu. Jadi, saya penasaran, apakah benar saya ingin menjadi lulusan terbaik?.

Tentu, saya pantas menerimanya, saya telah bekerja keras untuk mendapatkannya, tetapi apa yang akan saya terima nantinya? Saat saya meninggalkan institusi pendidikan, akankah saya menjadi sukses atau saya akan tersesat dalam kehidupan saya?Sekarang hal itulah yang justru saya takutkan”.

Kegundahan Erica bisa dipahami.Berapa banyak akademisi yang pintar di negeri ini, yang semula idealis, kemudian jatuh karena masuk dalam sistem yang korup dan tak bisa mengelak dari permainan mafia. Mereka “tersesat”, karena jadi “robot”. Jadi alat industri. Tapi miskin nurani dan hati. Gersang dari nilai-nilai agama dan putihnya jiwa.  Kondisi ini,barangkali yang terjadi pada sosok-sosok jurnalis, yang digambarkan oleh “Jilbab Hitam” sebagai figur yang kelihatan idealis, tapi ternyata mafia juga. Jika benar, ini “sesuatu banget”.Semoga saja tuduhan itu salah.


Monday, November 18, 2013

RATU ADIL


Ada dua pesan penting sesaat setelah Marie Antoinette, Ratu Perancis, dipenggal kepalanya dengan pisau guillotine. Pertama, penguasa lalim akan mendapatkan momentum kapan saat rakyat marah dan menghukumnya. Kedua, hidup bermewah-mewah penguasa, pada dasarnya menjadi sinyal buruk ambruknya rasa hormat rakyat, seberapa pandainya pun penguasa menutup-nutupinya.

Revolusi Perancis (1789-1793) meninggalkan jejak sejarah penting, yang sayangnya selalu diulang oleh berbagai rezim di dunia. Hosni Mubarak (Mesir), Moamar Khadafi (Libya) dan Bashar Al-Assad (Suriah) adalah contohnya. Masih ingat berita tentang aksi first lady Suriah Asma al-Assad,yang membeli perabotan seharga Rp 3,98 miliar, ditengah-tengah pembantaian rakyat Suriah oleh rezim Bashar Al-Assad,suaminya?

Saat kepala Marie Antoinette menggelinding, sesungguhnya itulah bentuk teatrikal paling absurd, tentang betapa berkuasanya rakyat. Seorang filsuf menggambarkannya dengan terang. Rakyat lebih cepat melupakan kematian keluarganya. Tapi tidak harta bendanya yang dicuri oleh para politisi. Ada ironi. Ini sebentuk kredo yang kerap didengungkan, jika suara rakyat adalah suara Tuhan.

Ingatan tentang Marie Antoinette, mungkin terlalu berlebihan jika melihat tingkah polah penguasa di Indonesia, yang tak beda jauh dengan tindakan si madame deficit itu. Bagaimana bentuk tas Hermes seharga Rp 500 juta yang konon dibeli Gubernur Banten, dan kini ramai diberitakan berbagai media?Lantas apa tafsir paling pas, ketika sang ibu gubernur menjawab enteng tentang hobinya itu dengan kalimat,”Sekali-kali boleh dong?”

Ketika tiap pagi anak-anak di Lebak, Banten, harus berjibaku meniti tali diatas derasnya aliran sungai sekedar untuk berangkat sekolah, rasa-rasanya ada yang salah dengan jawaban naïf itu,”Sekali-kali boleh dong?”.Belum lagi jika dikaitkan dengan fakta,kalau Provinsi Banten adalah propinsi dengan tingkat pengangguran tertinggi di Indonesia. Selain itu, dari tingkat kesejahteraan yang dibuat penilaiannya oleh Kemendagri untuk 7 provinsi hasil pemekaran (2013), ternyata Banten terburuk kedua, setelah Papua Barat.

Kemiskinan yang menjerat masyarakat Banten, serasa berbanding terbalik dengan gaya hidup pemimpinnya. Inilah yang oleh Ibnu Qayyam dalam Madarikus Salikin disebut sebagai sendi akhlak yang buruk –tidak bersikap adil.Sikap yang menurut Qayyam, membuatmu tidak berada di jalan tengah, meremeh-remehkan atau berlebih-lebihan. Jika uang yang dibelanjakan hasil usaha sendiri, secara etis hal itu masih bisa diperdebatkan. Apalagi konon yang mbayari adalah pihak-pihak tertentu.

Di tengah arus demokratisasi yang pesat bertumbuh, kita memang harus nyinyir. Bukan cuma gubernur Banten. Banyak pejabat publik yang taraf pengabdiannya masih sekedar “sadar jabatan”. Bukan “sadar tanggung jawab”. Inilah makna lain pembelaan sang ibu gubernur, yang mengaku harus berpakaian ketika bekerja. Ketika “sadar jabatan” membekap, enteng saja tas Hermes, sepatu boot Loubotin,dan jam tangan mahal dipakai, bahkan saat mengunjungi daerah-daerah miskin.

Pejabat publik tentu beda dengan artis tenar. “Sadar profesi” dikalangan artis terkenal, terkait dengan pencitraan yang menyasar ke dunia hiburan. Pejabat publik, apalagi seorang gubernur, urusannya dengan rakyat banyak.Ada semacam tuntutan untuk terus berempati. Ibaratnya, wulu kulit kena prasaja, waton jerohane kena kanggo nguripi –bulu dan kulit boleh saja sederhana,asal “isinya” dapat membuat hidup.

Bukti tertinggi pencapaian sebuah nilai adalah memiliki kekuasaan tak terbatas namun tanpa menyalahgunakannya. Saat kebobrokan kaum tua telah mendekati klimaks, kita berharap akan hadir sosok “Ratu Adil”  yang dalam kosmologi Jawa dikenal sebagai pemimpin yang mumpuni. Memang ada yang menganggap ini mitos. Atau sekedar utopia.Impian semu. Seperti lakon “Menunggu Godot”nya Samuel Beckett. Tapi tetap kita tak boleh hilang harapan, ditengah kehidupan yang kian sulit.

Setidaknya, inilah yang ditekankan Raden Ngabehi Ronggowarsito.Cakramanggilingane zaman edan. Wong agung saya edan. Kang beja marga eling lan waspada teka saka tukulan anyar -Rotasi zaman edan. Penggede semakin menggila. Namun yang beruntung akan datang dari anak muda yang terlibat spiritual. Mereka dengan ikhlas mencari Tuhan dengan berbagai laku, entah ma’rifat, meditasi sufistik dan sejenisnya. Saat generasi tua surut –entah karena revolusi rakyat atau hukum Cakramanggilingan, “Ratu Adil” dari kalangan muda itu akan muncul secara pelan-pelan.

Ia yang akan mengubah Indonesia. Dunia bakal butuh Indonesia, bukan sebaliknya. Kita akan mandiri karena makan dari hasil pertanian sendiri. Berbusana dari pabrik tekstil sendiri. Singapura pasti akan kelabakan, karena tak ada lagi orang Indonesia yang berobat dan berbelanja ke sana. Malaysia bakal segan, lantaran hutan hujan tropis di Kalimantan punya fungsi vital untuk keseimbangan iklim global.

Semuanya akan kembali seperti Zaman Majapahit, martabat tegak lantaran ada pemimpin sehebat Mahapatih Gajah Mada. Sang “Ratu Adil” akan babat alas, rawe rawe rantas malang malang putung (membabat semua yang merintangi), Sepi ing pamrih rame ing gawe (berkarya dengan penuh semangat tanpa pamrih), hingga terwujud negara yang gemah ripah loh jinawi. Namun, lagi-lagi kita tak boleh hilang harapan, harus sabar menunggu, sampai pemimpin-pemimpin tua penuh muslihat dan trik-trik culas itu tenggelam ditelan senjakalaning zaman. Semoga.

Monday, November 11, 2013

My Hero


Laki-laki itu umurnya sudah kepala tujuh. Jalannya terhuyung-huyung. Matanya samar-samar putih, dengan keriput pipi membungkus rahang yang berisi gigi palsu. Saban hari pahlawan tiba, ingatan saya selalu tertuju padanya. Ada kerinduan yang membekap. Semacam rasa yang melecut-lecut, untuk mengetahui kabarnya. Kondisi yang membuat sekian tahun kami berpisah. Dulu saat masih ngenger (numpang hidup), saya sering takjub mendengar kisah-kisah heroiknya.

Sebagai perantau yang tak punya siapa-siapa di Jakarta, saya langsung menyambar tawarannya untuk ikut Pak Hasan –begitu ia biasa disapa. Sebagai kompensasi mendapat tumpangan, saya kebagian kerja menjaga kebersihan rumahnya. Pagi-pagi bangun. Ngepel, cuci piring, sapu halaman, betulin genteng, mencuci bajunya, juga menemani membeli nasi uduk. Kami dekat, saat istri dan anak-anaknya pindah ke kota lain untuk mencari peruntungan.

Saat masuk ke ruang tamunya, semua tahu siapa Pak Hasan sebenarnya. Ada baret merah dan lukisan pisau komando besar menempel di dinding. Ia sering bercerita, bagaimana membunuh musuh saat diterjunkan membebaskan Irian Barat. Atau ikut konfrontasi dengan Malaysia. Meski omongannya tak jelas karena giginya habis, tapi esensinya bisa ditangkap.  Saya akhirnya terpaksa meninggalkan rumahnya, karena satu sebab.

Melihat tanda penghargaan Pak Hasan, rasanya ia pantas disebut pahlawan. Tapi sekian bulan mendampinginya, saya merasa trenyuh melihat kondisi ekonominya. Kadang jika tak ada uang, ia pergi ke Tebet. “Mau minta duit sama purnawirawan jenderal teman saya,”katanya. Seturut semakin meleknya saya, semakin faham pula, tak hanya Pak Hasan yang memiliki nasib serupa. Ada puluhan, bahkan ratusan orang-orang yang berjasa besar pada negara, tapi hidup terperangkap kesunyian, kemiskinan, dan meninggal tanpa salam takzim dari ibu pertiwi.

Mereka mungkin bukan Omar Mukhtar, pahlawan nasional Lybia saat melawan penjajah Italia yang dihukum gantung oleh Benito Mussolini.Atau Den Xioping, Mahatma Gandhi, Bung Hatta, Pangeran Diponegoro dan nama-nama besar  lain, yang tindakannya ditulis dengan tinta emas halaman sejarah bangsanya. Jika pun meninggal, Pak Hasan dan nama-nama sunyi lain, mungkin hanya dianggap sebagai ‘tulang-tulang berserakan’ –mengutip sajak Krawang-Bekasi Chairil Anwar.”Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi,”ujar Chairil.

Sesungguhnya, sudah lama bangsa ini risau terhadap perlakuan tak adil ini. Banyak koruptor diusung jasadnya dengan tembakan salvo di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Mereka yang masih punya nurani, lantas beramai-ramai menolak di kebumikan di TMP Kalibata, dengan alasan tak mau jasadnya satu area dengan pengkhianat bangsa itu –saya sebut pengkhianat, karena korupsi sejatinya musuh utama bangsa. Kondisi ini bahkan terus berlanjut, dengan hak pensiun yang masih diterima para anggota DPR yang sudah terbukti korup dan mendekam di rumah tahanan.

Dagelan moral bahkan dipertontonkan terang-terangan di televisi. Seorang tersangka korupsi, masih saja digadang-gadang, dibela, dijadikan ketua umum ormas, seolah tak ada figur bersih lain yang bisa jadi anutan. Logika kita semakin jungkir balik, kala status tersangka yang disematkan KPK, kerap diidentikan sebagai rencana Allah, diluar kuasa dirinya.”Wa makaruu wa makarallaahu wallahu khairul maakiriin (QS. Ali Imran;54). Mereka membuat tipu daya, dan Allah sebaik-baik (pembalas) tipu daya,”katanya,enteng.

Siapa yang membuat rencana dengan dana negara untuk ambisi politiknya?Apa salah “Allah” hingga jadi “kambing hitam” gagalnya rencana itu?Bagaimana jika rencana setan yang diikutinya tak diendus oleh KPK? Semua serba di bolak-balik, persis seperti gambaran politisi yang diungkap filosof Immanuel Kant.Bahwa ada dua watak binatang terselip di setiap insan politik, yaitu merpati dan ular.

Jargon ‘bangsa yang besar adalah bangsa yang mau menghargai jasa para pahlawannya’ barangkali perlu direnung ulang. Bertahun-tahun kita terjebak dalam politisasi simbol.Pembangkrut Pertamina dimakamkan di TMP Kalibata. Penggerak semangat juang pertempuran Surabaya justru dinafikan. Momen hari pahlawan bisa menjadi refleksi, sejauh mana kita sesungguhnya mau bersusah payah mengungkap ‘tulang belulang’ yang berserakan antara Krawang-Bekasi, seperti yang ditekankan Chairil Anwar. Gugatan Chairil, tentu mewakili mereka yang jasadnya terbaring dimana-mana, diseluruh Indonesia.

Benar kata Bung Karno. Setelah merdeka, lawan kita bukanlah penjajah asing. Tapi bangsa sendiri.Jika Belanda mau menerapkan politik etis sebagai imbalan atas eksploitasi kekayaan Indonesia yang sudah dikeruknya, “musuh” kita sekarang adalah orang-orang munafik. Kelihatan teman, tapi sesungguhnya lawan.Terdengar bermoral, tapi sejatinya tuna moral. Berposisi sebagai penjaga benteng keadilan, tapi ternyata penjual keadilan. Mereka berjuang mati-matian, demi diri dan kelompoknya. Tak peduli nasib negara.

Pak Hasan, saya dengar, ketika wafat jasadnya dimakamkan laiknya orang biasa. Tapi nurani ini sering berontak, jika hari pahlawan tiba dan saya ingat segala penderitaannya di masa pensiun. Meski sebagai pasukan komando, ia begitu tangguh seperti visi hidupnya yang ia kutip dari seorang panglima perang China,”Hidup adalah bagaikan bendera perang. Kadang-kadang berkibar megah menantang.Kadang-kadang kotor, robek dan hampir jatuh ke tangan musuh. Tapi harus tetap dipertahankan dengan gagah berani –sampai ke tangan Tuhan”. Jujur, tanpa pengakuan negara, beliau sesungguhnya pahlawan sejati buat saya. He is my hero...


Sunday, November 3, 2013

Membaca


Seorang teman, dosen dan aktifis sebuah lembaga swadaya masyarakat terkenal, belum lama pulang dari ibadah haji. Banyak hal ia ceritakan. Meski ini ibadah haji yang kedua, ia masih menemukan hal-hal baru, yang membuatnya selalu kangen dengan tanah suci. Kebetulan, sebelum berangkat, saya sempat bercanda agar diberi kelebihan rejeki, supaya bisa bertandang ke rumah Allah.”Insyaallah sudah saya doakan,”katanya. Amin.

Namun, menarik dicatat pengalaman batinnya saat naik ke Gunung Nur atau Jabal Nur.Maksudnya, bukan untuk sok gagah-gagahan, jika ia sedikit mengulas bagaimana kondisi saat hendak masuk ke Gua Hira, tempat Nabi Muhammad pertama kali menerima wahyu dari Tuhan lewat malaikat Jibril. Surat Al-Alaq yang disampaikan Jibril, sebagai “perkenalan” sebelum beliau diangkat sebagai rosul, kebetulan menyuruh Muhammad untuk “membaca” –Iqra (bacalah)!

Perintah Iqra ini, kita mafhum, menjadi rujukan tentang betapa pentingnya kegiatan membaca. Sang ustaz, yang wajahnya kerap juga nongol di televisi, lantas menyoal prosesnya. Betapa ketika ia naik ke atas Jabal Nur, perjuangan yang cukup berat harus dilalui. Panas, gersang, dengan kecuraman yang cukup menguras energi, yang jika tak hati-hati bisa celaka. Padahal sudah dibuat undak-undakan oleh pemerintah Arab Saudi yang lumayan membantu. “Di zaman Rosul, kondisinya pastilah lebih  berat. Apalagi beliau turun naik gunung itu dalam usia yang tidak muda lagi. Empat puluh tahun,”kata sang ustaz.

Saya tertegun. Cerita sederhana, tapi sebetulnya mengandung jutaan makna. Intinya, betapa perintah “membaca” itu melalui proses yang tidak ringan. Mungkin karena tekad baja Muhammad saja yang ingin mendapat pencerahan, yang membuat semua rintangan itu seolah jadi baling-baling energi untuk terus mendapat jawab atas kebodohan kaumnya. Dalam perjalanan panjang sejarah peradaban manusia, membaca  akhirnya memang menjadi kunci kemajuan. Silih berganti; dari dunia Barat hingga zaman kejayaan ilmuwan muslim.

Ketiadaan waktu membaca, kerap membuat kita seperti katak dalam tempurung.Di kalangan selebritis, saat mereka tak up date dengan pengetahuan baru, biasanya karena tak punya waktu untuk membaca. “Sibuk syuting, pentas, pontang panting ke luar kota,”begitu alasan mereka. Tak heran,kata pakar manajemen Rhenald Kasali, segala polah mereka murni karena ketidakmampuannya secara akademik atau ogah membaca. Bukan dalam kerangka  mencari perhatian media.

Seorang artis terkenal yang selalu sengak jika ditodong wawancara, menjadi contoh “korban” dari ketiadaan waktu baca. Saat dikritik ia memiliki bad attitude,spontan langsung ngamuk-ngamuk. “Memangnya saya nyari duit sambil ngangkang apa?Kalau dibilang sombong nggak apa-apa. Tapi disebut bad attitude, saya nggak terima,”katanya. Rupanya dia tak mengerti, bersikap ketus dan tak ramah dengan jurnalis juga termasuk bad attitude. Ia berfikir, bad attitude adalah mereka yang suka ngangkang saat cari uang.

Kasus terbaru menimpa seorang penyanyi, yang dengan alasan berasal dari Suku Sunda, lantas kesalahannya berbahasa Inggris merasa perlu untuk dimaafkan. Tak cuma salah ucap, tapi juga salah tulis. Tentu saja membaca tak hanya teks literer. Ketika video mesum anak SMP Jakarta beredar secara berantai, itu bahan “bacaan” juga. Para pakar “membaca”, begitulah cermin remaja kita. Begitu pula dampak dari kemajuan teknologi gadget, internet, sinetron, iklan-iklan yang lebay hingga film-film porno yang  mudah diakses.

Dari sisi transendental,ada yang “membaca” dunia sudah uzur. Kiamat sudah dekat. Tandanya, orang melakukan maksiat sudah tak malu-malu lagi. Dalam pandangan pujangga Raden Ngabehi Ranggawarsito, inilah zaman edan yang pernah dinubuatkan sejak 1845 lalu. Kata Ronggowarsito, zaman edan ditandai dengan fenomena wong wadon ilang tapihe (busana perempuan yang makin membuka aurat), wong wadon ilang wirange (perempuan sudah kehilangan rasa malu) dan pasar ilang kumandange (pasar tradisional lenyap berganti mal dan supermarket).

Hidup kita pun, sesungguhnya tak luput dari “bacaan”. Jika mau telaten “membaca” tuduhan menerima suap yang sempat menimpanya sebelum dicokok KPK, Akil Mochtar mungkin bisa selamat. Sayang, sifat rahman Tuhan tak membuat Akil sadar,hingga mesti “digebuk” agar kapok. Belum lama ada penyanyi top yang hampir meninggal karena kecelakaan mobil di Kebon Nanas, Jakarta. Di duga ia habis fly di diskotik. Tapi setelah sehat, ia tak mau “membaca” musibah yang menimpanya, sampai kemudian ia benar-benar meninggal karena over dosis narkoba.

Ditengah zaman kalabendu (kegelapan) seperti sekarang,memang kita dituntut untuk tanggap ing sasmita, lantip ing panggraita (pandai dalam membaca isyarat, cerdas dalam memaknai gelagat).Semua merasa paling benar sendiri. Sudah menjadi tersangka pun, masih juga sempat ber tiki taka – mengoper bola ke sana sini, membantah dengan berbagai cara.

Dalam tradisi masyarakat Jawa, untuk menghilangkan pagebluk (bencana sosial) harus diruwat. Tapi bagaimana jika pageblug yang menyerang sudah dalam skala luas, hingga seorang ketua Mahkamah Konstitusi pun masih sempat-sempatnya menghisap ganja?Mungkin sudah saatnya kita “membaca” lagi –segala dalih dan sangkalan sudah saatnya disimpan rapi, karena itulah sesungguhnya sumber pagebluk yang melanda.

“Membaca” apa yang sudah terjadi, syukur-syukur saat aib itu terbuka lebih dini, akan menyadarkan kemanusiaan kita sebagai makhluk yang penuh salah dan khilaf. Boleh saja kita “membaca” kasus kelam itu sebagai kegagalan. Tidak apa-apa. Itulah warna hidup, dinamika yang harus dihadapi dengan tabah. Karena, andai kegagalan adalah hujan,dan kesuksesan adalah matahari, kita butuh keduanya untuk bisa melihat pelangi.