Seminggu
belakangan sarapan apa saja enak ditelan, bila dibarengi nonton berita
infotainment di televisi. Bukan karena tingkah polah para selebritis kita
semakin mencerahkan hati dan mencuatkan inspirasi.Bukan. Tapi andrenalin dan
emosi sebagai pemirsa, kini seperti jadi
pertimbangan utama para pengolah berita, untuk menyajikan “masakannya” agar
tetap dinanti. Mungkin mirip serial sinetron. Ada drama,tragedi, ironi bahkan
komedi. Menyusul tenggelamnya era Arya Wiguna (mantan murid Eyang Subur) misalnya,
kini kita kembali tertawa geli jika mengingat gaya bahasa Vicky Prasetyo alias
Hendrianto.
Di sisi
lain, dramatisasi sebuah kasus, tak urung membuat ibu-ibu kalangan menengah ke
bawah penikmat infotainment, semakin kepincut untuk memelototi aneka ragam
konflik yang terjadi. Lumayanlah, minimal sebagai katup pelepas himpitan hidup.
Kapan lagi bisa melihat uang Rp 200 juta di gendong dalam karung, kalau bukan
saat tim kuasa hukum Rachmawati Soekarno Putri ingin mengembalikan uang yang
diterimanya dari Raam Punjabi, karena merasa tersinggung atas ucapan sutradara
film Soekarno, Hanung Bramantyo?Mungkin batin mereka bergumam,oh, uang Rp 200
juta cuma segitu ya kalau dipecah dalam sepuluh ribuan.
Atau jika
ada yang iri dengan kesuksesan Zaskia Gotik, bisalah mengidentifikasikan diri
sebagai Nikita Mirzani, yang tega menghina si Eneng sebagai lulusan sekolah
dasar. Belum lagi berita penolakan Roy Marten sebagai Humas FFI 2013 oleh
sekelompok orang. Jika ingin agak serius, tapi masih menyangkut tokoh yang juga
pesinetron, penolakan Ruhut Sitompul sebagai ketua Komisi Hukum DPR RI, lengkap
dengan bumbu sebutan badut, melengkapi
khazanah ingar bingar demokrasi kita. Jika mau jujur, inilah hasil
perjuangan para mahasiswa tahun 1998, yang mau tak mau hadir di tengah kita.
Tenang saja.
Itu belum seberapa. Tapi pertanyaan mendasar berikutnya, apa yang hendak kita
gapai dengan kebebasan tanpa batas, jika darinya kemanusiaan seseorang sering
tercabik-cabik atas nama demokrasi?Taruhlah Zaskia memang lulusan SD.Ketika
kemudian kondisi itu dieksploitasi tanpa sedikitpun rasa empati,kita sebenarnya
telah gagal mewujudkan demokrasi yang beradab.Kita juga perlu bertanya-tanya,
apa motif Rahmawati mengembalikan uang Rp 200 juta dalam bentuk recehan, yang
jika diserahkan dalam bentuk cheque
barangkali lebih elegan. Apakah biar unsur dramatisnya lebih terasa atau
bagaimana. Entahlah.
Jika rakyat
kecil ngamuk saat jagoannya kalah di pilkada, penghakiman segera melayang
mereka tak berpendidikan. Tapi kita melihat, orang berpendidikan pun kerap
bersikap kekanak-kanakan, ketika menanggapi persoalan sepele. Dalam kasus
Hanung misalnya. Sebagai produk budaya, film adalah karya seni yang bersumber
dari tafsir yang tidak tunggal. Soekarno memang tokoh bangsa. Tapi sebagai
pemimpin, ia juga manusia biasa. Ada sisi muram, dibalik kesuksesan yang
diraihnya. Ini wajar dan manusiawi. Menjadi tidak wajar, ketika tafsir itu di
respon dengan pendekatan kekuasaan.
Ultimatum
pokoknya jangan diedarkan, ketika hampir Rp 25 milyar dana sudah tersedot untuk
membuat film Soekarno, membuat kita teringat akan otoritarianisme Orde Baru.
Memang sejauh ini tak ada alasan jelas apa yang membuat film itu mau dijegal.
Konon karena pihak yang memiliki hubungan darah dengan Soekarno merasa tidak
pas dengan pemeran Soekarno. Tapi mestinya, produk budaya harus dilawan dengan
produk budaya pula. Masyarakat sudah cerdas dan bisa menilai mana cerita yang
pas, mana sekedar propaganda. Mana yang punya misi, mana yang hanya sekedar
–meminjam istilah Vicky- mencari “statusisasi kemakmuran” semata.
Diakui,
demokrasi kita memang belum matang. Amerika Serikat butuh ratusan tahun untuk
mencari flatform demokrasi yang indah. Di sini, semua terlihat waton suloyo (asal beda). Tidak setuju
sebuah film mendapat penghargaan piala Citra, mereka ramai-ramai mengembalikan
piala Citra yang didapat, karena menuduh dewan juri tidak becus. Padahal
dimana-mana, dewan juri punya subyektifitas. Di Amerika, peraih penghargaan
Golden Globe Awards, kadang bisa menang di ajang Piala Oscar, kadang tidak.
Tapi itu tak jadi polemik. Di sini, Roy Marten belum bekerja, sudah main tolak
saja.
Perang urat
syaraf dan tayangan penuh konflik di televisi,alhasil sudah mencapai ambang
batas yang bisa ditolerir. Saya tak yakin ini bermanfaat,
jika alasan utamanya demi rating semata.Mungkin di titik ini pula, pemirsa
perlu diberi edukasi. Saat seorang narapidana menolak dikunjungi ibu
kandungnya, siapa bisa menjamin itu bukan rekayasa, untuk menimbulkan ledakan
dramatis yang lebih besar?Ada banyak pihak berkepentingan dengan tayangan
infotainment. Dari yang sekedar ingin ngeksis,
sampai pada tahap gila popularitas, tak peduli ia memainkan sosok protagonis
atau antagonis.
Saya sering
bertanya-tanya, benarkah jalan demokrasi yang kita pilih sudah sesuai dengan
genitas masyarakat kita. Gugatan ini pula yang kerap muncul, minimal dalam
bentuk gambar Soeharto di bak truk sambil berucap,”Enakan jamanku tho?”. Sudah tentu tak ada langkah surut. Tapi
demokratisasi yang serampangan, kerap memunculkan orang-orang “sakit”, yang
bicara seenaknya atas nama kebebasan berpendapat. Tak terkecuali di layar kaca,
tak peduli anak-anak balita ikut menonton karena sang ibu yang sudah kecanduan
tayangan konflik, utamanya di kalangan selebritis.
Di Italia,
selama 30 tahun dibawah kekuasaan Borgia, mereka mendapatkan perang, teror, dan
pertumpahan darah. Tapi mereka menghasilkan Michelangelo, Leonardo Da Vinci dan
Renaissance. Di Swiss, mereka memiliki persaudaraan, mengalami 500 tahun
demokrasi dan perdamaian. Tapi mereka hanya menghasilkan ‘jam’. Kita tentu tak
ingin kebebasan berkreasi dan bersuara kembali dibatasi,tapi kita juga berharap
muncul “Michelangelo” dan “Leonardo Da Vinci” lain di Indonesia. Demokrasi pada
akhirnya tergantung pada cara memaknai. Bukan sekedar gede-gedean suara dan waton suloyo hingga terjebak jadi democrazy.
No comments:
Post a Comment
Terima kasih atas kunjungan anda!