Daftar Isi

Wednesday, October 16, 2013

Bad Attitude

Namanya sih berbau ndeso begitu. Dulu saya pernah melihatnya jadi sinden, di sebuah program reguler ANTV. Belakangan karirnya menanjak, muncul jadi bintang tamu di mana-mana, dibooking jadi bintang iklan, lantas dibikinkan program sendiri oleh sebuah stasiun teve lain. Karena penasaran, saya akhirnya minta waktu untuk wawancara. Temanya soal profil keluarga. Kebetulan  ia sudah punya anak dan suami.

Awal-awal saya melobi, selalu saja bilang belum ada waktu. Lain kali ngomong sedang di kampung halaman. Maklum saja. Bintang yang satu ini rumahnya di daerah. Jadi dia bolak-balik Jakarta-rumah. Kalau syuting, datang ke Jakarta. Kelar pekerjaan, terbang kembali ke rumah. Namun sebetulnya bukan soal kesibukan dia, yang membuat saya mau menunggu hingga 3-4 bulan untuk wawancara. Dia sudah janji mau ngasih waktu. Dan itu tak pernah dibatalkan.

Sebagai jurnalis profesional, sekecil apapun peluang, akan saya tangkap, sepanjang si nara sumber belum bilang tidak mau diwawancara. Hingga kemudian, suatu hari, dia janji lagi. Pas hari “H”, janji itu saya tagih. Tapi betapa kecewanya saya, ketika urusan bertemu kembali diundur. Sampai akhirnya,entah karena kesal karena saya kejar terus atau bagaimana, suami si artis yang juga jadi manajernya minta saya menghubungi PR stasiun televisi tempat di bernaung.

“Coba mas lewat PR. Biar dikasih ijin,”katanya.

Maka di sinilah mulai timbul masalah. Si PR ternyata punya kesan buruk soal bintang andalan tempatnya kerja. Mbak PR bilang, Si Wulan (sebut saja begitu) adalah artis yang punya Bad Attitude. Tak mau diwawancara dadakan, dengan alasan ini itu. Cara menolak wartawanpun sangat menyakitkan. Intinya, sejak terkenal, Wulan jadi amat sombong. Jangan harap dia ngasih waktu wawancara. “Tunggu saja tanggal kejatuhannya,”kata Mbak PR.

Saya sempat tanya sama Mbak PR. Apa bisa penilaian dia saya sampaikan ke Wulan?Ini biar bisa jadi pelajaran. Katanya boleh. Maka saat nego jadwal kembali berlangsung, saya bilang saja tidak jadi wawancara. Saya sampaikan juga kritik mbak PR soal Bad Attitude. Rupanya, suami si Wulan tidak terima. Dia marah besar dibilang istrinya punya kelakukan jelek.

Saya berusaha menenangkan, dan bilang kalau itu kritik membangun.Dia  pun komit tidak akan melaporkan kritikan itu ke istrinya. Belakangan  komintmen suami Wulan sebatas lips service. Dia lapor istrinya. Berikutnya, sang istri ngamuk pada produser. Akibatnya, saya yang “dihajar” oleh Mbak PR. Bolak-balik saya datangi stasiun teve tempat Wulan syuting, untuk menyelesaikan kemelut.

Wulan bilang, saya tidak salah. Ia hanya menyalahkan Mbak PR, kenapa sampai ngomong begitu. "Padahal saya nggak pernah kenal dan ketemu saya orangnya. Kurang ajar dia ngata-ngatain begitu,"keluh Wulan. Saya katakan, semua tanggung jawab saya. Info itu juga bukan datang dari satu orang. Tapi, Wulan mengaku masih dendam sama Mbak PR.  Di depan saya, Wulan juga mengaku sudah memarahi Mbak PR habis-habisan.

“Nggak usah jadi artis saya sudah kaya raya di kampung. Kalau mau, hari ini juga saya bisa berhenti. Saya mau dicap sombong, tapi nggak mau dianggap punya bad attitude.Emangnya saya cari duit sambil ngangkang?”lanjut Wulan.

Saat saya ngobrol sama Mbak PR, kami berdua bingung. Rupanya, Bad Attitude yang kami tuduhkan, ditanggapi lebay oleh Wulan. Bad Attitude diasosiasikan jelek sebagai “perempuan nakal” hingga pakai “ngangkang” segala untuk cari duit. Padahal menolak wartawan dengan kasar, ogah-ogahan waktu dimintai untuk wawancara, atau kerap bad mood saat bekerja, itu maksud kami ia punya Bad Attitude. Ah, jadi susah kalau kebintangan tidak dibarengi dengan pendidikan cukup.

Lain hari, saya penuhi permintaan untuk ketemu produsernya. Kesempatan itu saya pakai sebaik-baiknya. Saya bilang, tolong dinasehati tuh orang. Produser jangan cuma mikir rating program, tapi kelakuan bintangnya dibiarkan jelek.”Jangan sampai ada wartawan lain yang dapat pengalaman jelek seperti saya,”kataku.  Tapi saya juga janji, informasi soal Bad Attitude tidak akan dibocorkan ke mana-mana. Apalagi ini menyangkut nasib teman Mbak PR saya yang terancam di pecat, jika ada wartawan lain yang bertanya soal Bad Attitude.

Kata Mbak PR, dia bakal dipanggil dirut. Soalnya, ini pelanggaran berat. Ngomong jelek bintang yang masih jadi andalan tevenya. Saya memang menyesalkan, kenapa dia ngaku yang ngasih bocoran ke saya. Dia bilang karena takut. “Padahal saya sudah ngomong, diancam pistol pun, saya nggak akan buka sumber informasinya,”kata saya. Tapi sudahlah. Nasi sudah jadi bubur.

Si Bad Attitude kini masih wara wiri di televisi. Saya sempat tanya ke Mbak PR, apakah proses ini berlanjut?Dalam artian ia kena surat peringatan atau gimana?Si Mbak bilang masih adem. Saya bersyukur. Tapi seperti saya, dia pun masih menyimpan sakit hati karena diomel-omelin si Bad Attitude di ruang rias. Waktu itu, si Mbak PR diam saja.

Apakah keinginan saya untuk wawancara si Bad Attitude masih berlanjut?Enggaklah. Sudah cukup. Secara psikologis sudah ada ganjalan. Memang ini bukan kali pertama saya dapat pengalaman buruk seperti ini. Tapi mengherankan juga, seorang bintang daerah, yang dididik dalam lingkungan masyarakat desa,akhirnya “kalah” oleh ketenaran dan uang. Entahlah, setelah peristiwa ontran-ontran itu, apakah si Bad Attitude mau berubah atau tidak.

“Kalau masih punya kelakukan jelek, setelah dikritik, itu kebangeten namanya,”kata si Mbak PR, yang dengan alasan demi keselamatan karirnya, saya tak akan sebut namanya juga. 

No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas kunjungan anda!