Daftar Isi

Monday, October 14, 2013

Asketisme

Kata orang pintar, Asketisme adalah ajaran untuk bersikap hidup ekstrim sederhana. Bukan kere tentu saja. Penganut Asketis punya kuasa terhadap harta benda. Mampu membeli yang ia suka. Tapi kemegahan dunia dianggap bukan jalan mencapai bahagia. Mungkin aneh bagi sebagian kita. Saya sendiri sering bertanya-tanya, apa yang membuat seseorang ingin menggapai ketenangan jiwa, justru dengan bersikap asketis. Atau, apa prasyarat yang membuat orang memilih untuk hidup sederhana.

Dari amatan kecil-kecilan, sering saya beranggapan, orang-orang itu sudah mencapai level tertentu, terutama dalam pemahaman soal kerohanian. Ini tak lepas dari pengalaman batin pribadi. Dari kaca mata seorang anak SMP yang baru bisa melihat dunia lewat laporan majalah bekas, meninggalnya pemimpin tertinggi spiritual rakyat Iran, Ayatulloh Khomeini, benar-benar menggetarkan jiwa. Sang Imam wafat 3 Juni 1989, dan kematiannya disiarkan ke seluruh dunia.

Saya nukilkan laporan berita.Saat Khomeini hendak dimakamkan, sekitar 10 juta warga Teheran mengantarnya ke Behez El  Zahra (Taman Az Zahra). Jutaan perempuan dengan jilbab hitam, tangan menggapai-gapai ingin menyentuh kafan Khoeimini, menangis meratap-ratap membentuk barisan yang rapat. Puluhan orang tewas terinjak-injak, karena berebut ingin mendekat keranda. Helikopter bolak-balik meraung-raung, mengevakuasi yang meninggal atau pingsan akibat jepitan massa. Mereka diusung di atas kepala pelayat secara estafet, karena tak ada jalan tersisa. Semua terus mendesak, ingin mendekat, hingga beberapa kali jenasah terguling dari tempatnya. Dahsyat, dahsyat.

Pesan politisnya memang jelas. Begitulah cara rakyat Iran mencintai pemimpinnya. Tapi, ini yang bikin saya terheran-heran.Imam Khomeini wafat hanya mewariskan sebuah rumah petak kecil.Semua gajinya sebagai pemimpin tertinggi Iran di masukan ke baitul mal. Dalam rak buku di rumah itu, hanya terdapat kitab suci, beberapa buku kumpulan puisi karangannya, serta buku-buku agama. Kekayaan minyak Iran, yang membuat Amerika silau dan mendukung penuh rezim Shah Reza Pahlevi yang ditumbangkan Khomeini, sama sekali tak membuat imam tua itu tergoda.

Saya sebut Khomeini sudah mencapai maqom tertentu, karena Rosul Muhammad pun memilih untuk mulia di atas kesederhanaan. Ustaz saya pernah bercerita, bagaimana Muhammad tidur di atas tikar pelepah korma, hingga wajahnya yang bersih terdapat bilur-bilur bekas anyaman. Saat malaikat Jibril menawari bukit Uhud dijadikan emas, nabi agung itu menolaknya. Barangkali bukan tiba-tiba gundukan bukit itu langsung berubah emas –tapi bahwa Jibril bisa matur pada gusti Allah agar Muhammad dijadikan seperti Nabi Sulaiman yang tajir, itu bukan mustahil.

Benarkah hanya orang-orang dengan kualifikasi tertentu, yang sanggup menolak dunia, dan lebih suka berhikmat dalam kemuliaan hidup tanpa harta benda?Saya ternyata salah. Ini kisah dari Buya Syafi’i Maarif, mantan ketua umum Muhammadiyah, yang pernah saya baca tulisannya di sebuah harian nasional.  Ia diundang ke India oleh Dr. Achyuta Samanta. Buya bercerita, Dr. Samanta adalah bekas dosen yang mengelola universitas dengan mahasiswa berjumlah puluhan ribu orang.

Namun tak ada yang menduga, jika melihat penampilannya, Samanta adalah pemegang proyek ratusan milyar rupiah. Sehari-hari Samanta berbaju kemeja putih, celana jeans dan sandal lusuh. Kantornya dibawah pohon, dengan kursi-kursi plastik tempat ia menerima kunjungan menteri, gubernur, pemenang hadiah nobel dan presiden. Samanta dikenal sebagai “nabinya” orang-orang paling miskin di India. Seminggu dua kali ia puasa. Ia hidup membujang, dan waktu luangnya dipakai lebih banyak untuk semedi.

Puluhan ribu mahasiswa yang berkuliah di kampusnya berasal dari kaum miskin papa dan mereka digratiskan. Untuk menjalankan roda organisasi, bantuan datang dari mana-mana.  Filosofi hidup Samanta simpel saja, yaitu ingin membuat orang lain bahagia. Samanta sudah piatu sejak umur 3 tahun, dan kemiskinan membuatnya bekerja keras hingga bisa kuliah di universitas.Buya Syafi’i  sampai tergetar, dan merasa tidak pantas diundang oleh seorang humanis besar abad ini.

Sikap Askestis adalah pilihan, dan hidup bermewah-mewah juga pilihan. Tapi jika Nabi Muhammad, Khomeini, Samanta dan Bunda Teresa peroleh kemuliaan hidup dari kesederhanaan, dan bukan kilau emas dan berlian,agaknya kisah-kisah inspiratif seperti itu perlu terus didaur ulang, ditengah berita suap, korupsi, dan gaya hidup hedonisme pejabat dan artis kita. 

Saya tak yakin jika sikap kemaruk para pejabat  kita terhadap harta benda karena kutukan Tuhan, tersebab kita telah pernah salah pilih pemimpin yang gila wanita dan harta. Bahwa efek domino dari pilihan hidup petinggi negeri mampu mengubah mindset para penerusnya, ada kalanya benar begitu. Mantan Presiden Iran, Mahmoud Ahmadinejad, tak beda jauh dengan seniornya. Hidup amat sederhana, tapi kekuatan hati dan ketegarannya sanggup menakutkan Amerika. Pertanyaannya kemudian, bagaimana dengan mereka yang hidup sederhana karena benar-benar miskin, tak punya akses ekonomi yang memadai?

Mungkin cerita ini menarik untuk direnung. Alkisah, seorang wali besar Syekh Abdul Qodir Jaelani, saat masih muda, pernah dihadang perampok ketika sedang bertualang mencari ilmu. Sang perampok bertanya, dimana harta berharganya. AQJ (maksudnya Abdul Qodir Jaelani), memberitahu bekal emas dari orang tuanya, dan ini membuat perampok takjub karena kejujurannya. Si perampok akhirnya jadi muridnya.Belakangan saat ditanya, kenapa dulu berterus terang, Syekh AQJ mengaku, boleh saja harta yang dimilikinya lenyap, hingga ia jadi miskin, tapi tidak kejujurannya. Ya, kejujurannya!






No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas kunjungan anda!