Daftar Isi

Friday, October 18, 2013

PSK Remaja dari Sebuah SMK Slawi Tercinta

“Klung,”.Ponsel Blackberry saya tiba-tiba berbunyi, saat kepala saya sedang berkerut mengikuti rapat redaksi. Kala itu sekitar pukul 13.00 WIB waktu Jakarta. Ponsel segera saya buka. Ada invite masuk dari sebuah nama, yang tidak saya kenal. Karena saya biasa menerima undangan dari orang-orang baru, segera saja undangan itu saya terima. Tak lama, muncul profil picture seorang gadis remaja lumayan cantik. Satu hal yang segera menyedot perhatian saya, fotonya yang sangat seksi. Memakai celana pendek dan tank top hitam, ia sedang duduk di sebuah kursi.

“Siapa nih?”tanya saya.
“Saya kak. Dari Tegal”jawabnya.
“Kok tahu PIN BB saya dari mana?”saya coba korek.
“Ada teman yang ngasih?”
“Hmm...Teman?Saya memang pernah di SMA 1 Slawi?Ada yang kenal teman saya di Slawi?”saya masih penasaran.

Tapi perempuan remaja itu, saya sebut saja Mella, tidak mau membuka siapa yang memberi akses ke saya. Ia bahkan sempat bercanda, jika dirinya adalah seorang model majalah dewasa. Saya kembali tanya, model majalah apa?Soalnya saya sering sekali mendapat permintaan iseng dari anak-anak SMA, yang ingin menembus persaingan ketat dunia hiburan Jakarta. Entah jadi model atau pemain sinetron.

“Maksudmu, kamu ingin ke Jakarta?Jadi model majalah gitu,”cecar saya.
“Pantas nggak ya kak?Soalnya saya nggak pede,”
“Wah, kalau nggak pede ya jangan. Oh, ya kamu tinggal di Tegal apa Slawi?Masih kelas berapa?”

Mella lantas mengaku tinggal di Slawi. Ia masih sekolah di sebuah SMK, yang letaknya tak jauh dari SMA 1 Slawi. Saat Mella menyebut nama lokasi-lokasi itu, saya langsung paham ia memang berasal dari sana. Perbincangan di sela-sela rapat itu akhirnya berakhir, setelah saya mohon diri karena harus bergegas mengikuti satu acara. Foto Mella dengan busana seksinya, resmi bertengger di BB saya.
###
Saya kaget, ketika hari-hari berikutnya, Mella memasang status yang sering mengumbar kemarahan. Tak jarang, ia memaki ibunya, bahkan tak segan-segan mengusung kata anj#ng atau bab#. Tentu saja saya penasaran. Bagaimana mungkin seorang perempuan remaja, masih duduk di bangku SMK pula, sudah sedemikian benci pada orang tua. Awalnya, Mella tak mau berterus terang. Pelan-pelan, saya mencoba memposisikan diri sebagai teman. Bukan kakak apalagi orang tua yang sok menasehati. Saya tanya pakai bahasa gaul.

“Ngapain marah-marah lo?Pake ngata-ngatain ortu lagi,”
“Gw kesel kak. Gara-gara mama, hidup gw jadi berantakan,”jawabnya.

Ah!Barangkali ini problem biasa anak-anak bau kencur. Maksud saya, anak-anak yang masih labil seperti Mella. Serba nanggung. Dibilang sapu tangan kegedean, disebut taplak kekecilan. Tapi ini, Mella akhirnya cerita kondisi sebenarnya. Ia mengaku dipaksa melepas pacar satu kelasnya, dan dijodohkan dengan pria dewasa yang sudah mapan secara ekonomi.  Padahal ia sudah menyerahkan keperawanannya pada sang pacar. Semua dilakukan sang mama, yang menurut Mella, hanya karena faktor materi. Saat Mella menghubungi saya, rencana pernikahan bahkan sudah dibahas, yaitu akhir Juni 2013.

“Rasanya saya ingin mati saja. Saya nggak cinta sama laki-laki tua itu,”keluh Mella.

Calon suaminya sebetulnya tidak tua-tua banget. Karena kata Mella, usianya baru 36 tahun. Ia bekerja di sebuah show room mobil sekaligus jadi debt collector. Tapi sikapnya yang keras dan pencemburulah, yang membuat Mella tertekan. Ia pernah cerita, satu ketika pernah mencoba bertemu dengan sang mantan pacar. Rupanya, kencan itu ketahuan si calon suami. Tanpa ampun, mantan pacar Mella dihadiahi bogem mentah, sampai harus di rawat di rumah sakit.

“Kenapa kamu nggak lapor ke polisi?”kata saya.
“Nggak kak. Saya takut. Nanti dibunuh,”alasan Mella.
“Terus, kenapa calon suamimu posesif begitu?Emang sejauh mana dia udah tahu hubunganmu dengan mantan pacarmu?”
“Dia tahu saya sudah nggak perawan,”jujur Mella.”Soalnya kami sudah sering berhubungan badan,”lanjutnya.

Ah!Aneh juga nih,pikir saya. Merasa nggak cinta, tapi mau saja dia melayani calon suaminya. Karena penasaran, saya coba korek latar belakang keluarganya. Mella mengaku orang tuanya menikah beda agama.Beda etnis juga. Di rumah, semua berjalan sesuai keyakinan masing-masing. Ia sendiri jadi bingung. Ujung-ujungnya, nilai-nilai agama tak pernah dikenalnya sejak kecil. 

Merokok dan minum minuman keras mulai disentuhnya bahkan ketika duduk dibangku SMP. Inilah dua benda yang kerap menemaninya, ketika tekanan batin mulai muncul. Stres melanda. Bisa ditebak, untuk memenuhi gaya hidup seperti ini, Mella butuh banyak biaya. Ia lantas kerap mengunjungi tempat-tempat hiburan malam. Saya sendiri tak tahu, di mana tempat hiburan malam di Slawi. Maklumlah. Dulu saya mainnya paling banter di Pasar Trayeman.
###
“Kak, saya lagi di Yogya nih?Kakak punya teman nggak yang bisa ngeboking saya. Mau pulang nggak ada biaya,”satu ketika, ia mengirim BBM itu ke saya.

Aduh, aneh-aneh saja Mella. Dia pikir saya berteman dengan kaum begajulan kali ya?Tapi saya mafhum. Orang kalau lagi kepepet, siapa saja akan dihubungi. Saya terangkan, jika saya tak bisa membantu.Ia bisa mengerti. Ini terjadi beberapa bulan, sebelum hari H pernikahan tiba. Tapi minggu-minggu sebelumnya, Mella memang bercerita apa adanya, soal aktifitas seksualnya.

Semua bermula saat saya bertanya, bagaimana ia menopang semua kebutuhan hidup, ketika harus menenggak Jack Daniel atau rokok yang diisapnya. Tahu sendiri harga miras merk-merk terkenal,kebetulan saya pernah melongoknya di hotel kala berkunjung ke Nusa Tenggara Timur, bisa ratusan ribu bahkan jutaan.

“Saya dapat dari om-om,”katanya.

Cerita ini awalnya mengejutkan saya. Tapi beruntung, saya mengadopsi ilmunya mantan Presiden Soeharto; ojo kagetan,ojo gumunan, lan ojo dumeh (jiaaaah,hahaha). Jadi, saya tekan dalam-dalam rasa kaget saya. Naluri wartawan saya lantas bergerak. Apakah dia menjual diri?Bagaimana caranya?Apa di Slawi ada om-om yang mau memelihara anak SMK, seperti halnya di Jakarta?

“Saya pernah dikontrak selama 6 bulan oleh dua om,kak. Sebulan dikasih 1,5 juta. Jadi sebulan dapat 3 juta. Mereka mengaku puas dengan layanan saya,”kata Mella.
“Lantas pacar atau calon suamimu tahu?”
“Ya, enggaklah....”
“Wah, bagaimana kamu bisa tidak hamil?”
“Pakai tisu. Karena kalau pakai sarung, si om nggak mau,”

Tisu apa, saya kurang mengerti. Di sisi lain, duit tiga juta, di Slawi pula, tentu sangat besar. Apakah faktor ekonomi semata yang jadi pertimbangan Mella menjadi PSK?Atau sebutlah pekcun, tlembuk atau apalah?Mella menjawab polos, begitulah cara dia melepas penat problem keluarga. Tapi ia juga mengakui, ingin mencicipi punya iPhone, BB, dan laptop. Juga baju-baju bagus. Sesuatu yang tidak bisa didapat dari orang tuanya. Saat kontraknya dengan om-om itu berakhir, dia memilih freelance. Tarifnya Rp 300 ribu short time. Kalau ingin diajak pergi lebih lama, bisa dibicarakan. Mendengar ini, miris rasanya hati saya.
###
Rencana itu akhirnya gagal. Awalnya, Mella ingin kisah hidupnya saya tulis. Menarik tentu saja. Saya sudah memberi solusi, semua catatan hariannya kirim saja ke email saya. Siapa tahu ada penerbit yang tertarik. Kalau dapat royalti, bisa dibagi dua. Mella tak perlu lagi melacur, untuk mendapatkan uang. Tapi ia mengaku laptopnya sedang rusak. Ia sedang menulis ulang semua yang dilakukannya di atas kertas. Waduh, saya sempat bingung. Berapa lama dia bakal menulis catatan yang sudah dikumpulkannya berbulan-bulan. Ia sempat memberi rincian sedikit lewat BBM. Tapi itu tak cukup.

“Kakak ambil saja nanti, kalau misalnya pulang ke Tegal. Saya lagi nulis di buku,”

Nah, inilah masalahnya. Saya tak pernah punya waktu untuk pulang. Bukan sok sibuk. Sebagai kuli panggul, hidup saya tidak bebas. Selalu saja disuruh ini itu sama majikan. Padahal Mella sudah begitu semangat. Ia bahkan sudah menentukan sebuah resto di Slawi Wetan.

Sebulan sebelum menikah, ia sempat menonaktifkan BB-nya. Ia menulis status, agar siapapun jangan menghubunginya dulu. Calon suaminya tahu dan marah-marah. Semakin mendekati hari pernikahan, BB-nya tetap tak aktif. Saya ping cuma ada tanda silang. Pernah ia aktifkan kembali. Rupanya saat itu ia hanya ingin mengeluh. Ia bilang lebih mencintai sang ayah, diantara saudara-saudaranya yang tidak mau mengerti perasaannya. Setelah itu, kontak saya di delcon. 

Saya telusur di recent update. Tak ada nama Mella lagi. Tak pernah muncul. Tak terlihat lagi ia memasang profil picture berganti-ganti, dengan pakaian seksi, dan kadang-kadang seronok. Saya juga tak tahu persis alamat rumahnya, karena memang tak coba bertanya. Tapi, saya berharap, suaminya bisa membuatnya bahagia. Tentu dengan caranya sendiri.Semoga...

Wednesday, October 16, 2013

Bad Attitude

Namanya sih berbau ndeso begitu. Dulu saya pernah melihatnya jadi sinden, di sebuah program reguler ANTV. Belakangan karirnya menanjak, muncul jadi bintang tamu di mana-mana, dibooking jadi bintang iklan, lantas dibikinkan program sendiri oleh sebuah stasiun teve lain. Karena penasaran, saya akhirnya minta waktu untuk wawancara. Temanya soal profil keluarga. Kebetulan  ia sudah punya anak dan suami.

Awal-awal saya melobi, selalu saja bilang belum ada waktu. Lain kali ngomong sedang di kampung halaman. Maklum saja. Bintang yang satu ini rumahnya di daerah. Jadi dia bolak-balik Jakarta-rumah. Kalau syuting, datang ke Jakarta. Kelar pekerjaan, terbang kembali ke rumah. Namun sebetulnya bukan soal kesibukan dia, yang membuat saya mau menunggu hingga 3-4 bulan untuk wawancara. Dia sudah janji mau ngasih waktu. Dan itu tak pernah dibatalkan.

Sebagai jurnalis profesional, sekecil apapun peluang, akan saya tangkap, sepanjang si nara sumber belum bilang tidak mau diwawancara. Hingga kemudian, suatu hari, dia janji lagi. Pas hari “H”, janji itu saya tagih. Tapi betapa kecewanya saya, ketika urusan bertemu kembali diundur. Sampai akhirnya,entah karena kesal karena saya kejar terus atau bagaimana, suami si artis yang juga jadi manajernya minta saya menghubungi PR stasiun televisi tempat di bernaung.

“Coba mas lewat PR. Biar dikasih ijin,”katanya.

Maka di sinilah mulai timbul masalah. Si PR ternyata punya kesan buruk soal bintang andalan tempatnya kerja. Mbak PR bilang, Si Wulan (sebut saja begitu) adalah artis yang punya Bad Attitude. Tak mau diwawancara dadakan, dengan alasan ini itu. Cara menolak wartawanpun sangat menyakitkan. Intinya, sejak terkenal, Wulan jadi amat sombong. Jangan harap dia ngasih waktu wawancara. “Tunggu saja tanggal kejatuhannya,”kata Mbak PR.

Saya sempat tanya sama Mbak PR. Apa bisa penilaian dia saya sampaikan ke Wulan?Ini biar bisa jadi pelajaran. Katanya boleh. Maka saat nego jadwal kembali berlangsung, saya bilang saja tidak jadi wawancara. Saya sampaikan juga kritik mbak PR soal Bad Attitude. Rupanya, suami si Wulan tidak terima. Dia marah besar dibilang istrinya punya kelakukan jelek.

Saya berusaha menenangkan, dan bilang kalau itu kritik membangun.Dia  pun komit tidak akan melaporkan kritikan itu ke istrinya. Belakangan  komintmen suami Wulan sebatas lips service. Dia lapor istrinya. Berikutnya, sang istri ngamuk pada produser. Akibatnya, saya yang “dihajar” oleh Mbak PR. Bolak-balik saya datangi stasiun teve tempat Wulan syuting, untuk menyelesaikan kemelut.

Wulan bilang, saya tidak salah. Ia hanya menyalahkan Mbak PR, kenapa sampai ngomong begitu. "Padahal saya nggak pernah kenal dan ketemu saya orangnya. Kurang ajar dia ngata-ngatain begitu,"keluh Wulan. Saya katakan, semua tanggung jawab saya. Info itu juga bukan datang dari satu orang. Tapi, Wulan mengaku masih dendam sama Mbak PR.  Di depan saya, Wulan juga mengaku sudah memarahi Mbak PR habis-habisan.

“Nggak usah jadi artis saya sudah kaya raya di kampung. Kalau mau, hari ini juga saya bisa berhenti. Saya mau dicap sombong, tapi nggak mau dianggap punya bad attitude.Emangnya saya cari duit sambil ngangkang?”lanjut Wulan.

Saat saya ngobrol sama Mbak PR, kami berdua bingung. Rupanya, Bad Attitude yang kami tuduhkan, ditanggapi lebay oleh Wulan. Bad Attitude diasosiasikan jelek sebagai “perempuan nakal” hingga pakai “ngangkang” segala untuk cari duit. Padahal menolak wartawan dengan kasar, ogah-ogahan waktu dimintai untuk wawancara, atau kerap bad mood saat bekerja, itu maksud kami ia punya Bad Attitude. Ah, jadi susah kalau kebintangan tidak dibarengi dengan pendidikan cukup.

Lain hari, saya penuhi permintaan untuk ketemu produsernya. Kesempatan itu saya pakai sebaik-baiknya. Saya bilang, tolong dinasehati tuh orang. Produser jangan cuma mikir rating program, tapi kelakuan bintangnya dibiarkan jelek.”Jangan sampai ada wartawan lain yang dapat pengalaman jelek seperti saya,”kataku.  Tapi saya juga janji, informasi soal Bad Attitude tidak akan dibocorkan ke mana-mana. Apalagi ini menyangkut nasib teman Mbak PR saya yang terancam di pecat, jika ada wartawan lain yang bertanya soal Bad Attitude.

Kata Mbak PR, dia bakal dipanggil dirut. Soalnya, ini pelanggaran berat. Ngomong jelek bintang yang masih jadi andalan tevenya. Saya memang menyesalkan, kenapa dia ngaku yang ngasih bocoran ke saya. Dia bilang karena takut. “Padahal saya sudah ngomong, diancam pistol pun, saya nggak akan buka sumber informasinya,”kata saya. Tapi sudahlah. Nasi sudah jadi bubur.

Si Bad Attitude kini masih wara wiri di televisi. Saya sempat tanya ke Mbak PR, apakah proses ini berlanjut?Dalam artian ia kena surat peringatan atau gimana?Si Mbak bilang masih adem. Saya bersyukur. Tapi seperti saya, dia pun masih menyimpan sakit hati karena diomel-omelin si Bad Attitude di ruang rias. Waktu itu, si Mbak PR diam saja.

Apakah keinginan saya untuk wawancara si Bad Attitude masih berlanjut?Enggaklah. Sudah cukup. Secara psikologis sudah ada ganjalan. Memang ini bukan kali pertama saya dapat pengalaman buruk seperti ini. Tapi mengherankan juga, seorang bintang daerah, yang dididik dalam lingkungan masyarakat desa,akhirnya “kalah” oleh ketenaran dan uang. Entahlah, setelah peristiwa ontran-ontran itu, apakah si Bad Attitude mau berubah atau tidak.

“Kalau masih punya kelakukan jelek, setelah dikritik, itu kebangeten namanya,”kata si Mbak PR, yang dengan alasan demi keselamatan karirnya, saya tak akan sebut namanya juga. 

Monday, October 14, 2013

Asketisme

Kata orang pintar, Asketisme adalah ajaran untuk bersikap hidup ekstrim sederhana. Bukan kere tentu saja. Penganut Asketis punya kuasa terhadap harta benda. Mampu membeli yang ia suka. Tapi kemegahan dunia dianggap bukan jalan mencapai bahagia. Mungkin aneh bagi sebagian kita. Saya sendiri sering bertanya-tanya, apa yang membuat seseorang ingin menggapai ketenangan jiwa, justru dengan bersikap asketis. Atau, apa prasyarat yang membuat orang memilih untuk hidup sederhana.

Dari amatan kecil-kecilan, sering saya beranggapan, orang-orang itu sudah mencapai level tertentu, terutama dalam pemahaman soal kerohanian. Ini tak lepas dari pengalaman batin pribadi. Dari kaca mata seorang anak SMP yang baru bisa melihat dunia lewat laporan majalah bekas, meninggalnya pemimpin tertinggi spiritual rakyat Iran, Ayatulloh Khomeini, benar-benar menggetarkan jiwa. Sang Imam wafat 3 Juni 1989, dan kematiannya disiarkan ke seluruh dunia.

Saya nukilkan laporan berita.Saat Khomeini hendak dimakamkan, sekitar 10 juta warga Teheran mengantarnya ke Behez El  Zahra (Taman Az Zahra). Jutaan perempuan dengan jilbab hitam, tangan menggapai-gapai ingin menyentuh kafan Khoeimini, menangis meratap-ratap membentuk barisan yang rapat. Puluhan orang tewas terinjak-injak, karena berebut ingin mendekat keranda. Helikopter bolak-balik meraung-raung, mengevakuasi yang meninggal atau pingsan akibat jepitan massa. Mereka diusung di atas kepala pelayat secara estafet, karena tak ada jalan tersisa. Semua terus mendesak, ingin mendekat, hingga beberapa kali jenasah terguling dari tempatnya. Dahsyat, dahsyat.

Pesan politisnya memang jelas. Begitulah cara rakyat Iran mencintai pemimpinnya. Tapi, ini yang bikin saya terheran-heran.Imam Khomeini wafat hanya mewariskan sebuah rumah petak kecil.Semua gajinya sebagai pemimpin tertinggi Iran di masukan ke baitul mal. Dalam rak buku di rumah itu, hanya terdapat kitab suci, beberapa buku kumpulan puisi karangannya, serta buku-buku agama. Kekayaan minyak Iran, yang membuat Amerika silau dan mendukung penuh rezim Shah Reza Pahlevi yang ditumbangkan Khomeini, sama sekali tak membuat imam tua itu tergoda.

Saya sebut Khomeini sudah mencapai maqom tertentu, karena Rosul Muhammad pun memilih untuk mulia di atas kesederhanaan. Ustaz saya pernah bercerita, bagaimana Muhammad tidur di atas tikar pelepah korma, hingga wajahnya yang bersih terdapat bilur-bilur bekas anyaman. Saat malaikat Jibril menawari bukit Uhud dijadikan emas, nabi agung itu menolaknya. Barangkali bukan tiba-tiba gundukan bukit itu langsung berubah emas –tapi bahwa Jibril bisa matur pada gusti Allah agar Muhammad dijadikan seperti Nabi Sulaiman yang tajir, itu bukan mustahil.

Benarkah hanya orang-orang dengan kualifikasi tertentu, yang sanggup menolak dunia, dan lebih suka berhikmat dalam kemuliaan hidup tanpa harta benda?Saya ternyata salah. Ini kisah dari Buya Syafi’i Maarif, mantan ketua umum Muhammadiyah, yang pernah saya baca tulisannya di sebuah harian nasional.  Ia diundang ke India oleh Dr. Achyuta Samanta. Buya bercerita, Dr. Samanta adalah bekas dosen yang mengelola universitas dengan mahasiswa berjumlah puluhan ribu orang.

Namun tak ada yang menduga, jika melihat penampilannya, Samanta adalah pemegang proyek ratusan milyar rupiah. Sehari-hari Samanta berbaju kemeja putih, celana jeans dan sandal lusuh. Kantornya dibawah pohon, dengan kursi-kursi plastik tempat ia menerima kunjungan menteri, gubernur, pemenang hadiah nobel dan presiden. Samanta dikenal sebagai “nabinya” orang-orang paling miskin di India. Seminggu dua kali ia puasa. Ia hidup membujang, dan waktu luangnya dipakai lebih banyak untuk semedi.

Puluhan ribu mahasiswa yang berkuliah di kampusnya berasal dari kaum miskin papa dan mereka digratiskan. Untuk menjalankan roda organisasi, bantuan datang dari mana-mana.  Filosofi hidup Samanta simpel saja, yaitu ingin membuat orang lain bahagia. Samanta sudah piatu sejak umur 3 tahun, dan kemiskinan membuatnya bekerja keras hingga bisa kuliah di universitas.Buya Syafi’i  sampai tergetar, dan merasa tidak pantas diundang oleh seorang humanis besar abad ini.

Sikap Askestis adalah pilihan, dan hidup bermewah-mewah juga pilihan. Tapi jika Nabi Muhammad, Khomeini, Samanta dan Bunda Teresa peroleh kemuliaan hidup dari kesederhanaan, dan bukan kilau emas dan berlian,agaknya kisah-kisah inspiratif seperti itu perlu terus didaur ulang, ditengah berita suap, korupsi, dan gaya hidup hedonisme pejabat dan artis kita. 

Saya tak yakin jika sikap kemaruk para pejabat  kita terhadap harta benda karena kutukan Tuhan, tersebab kita telah pernah salah pilih pemimpin yang gila wanita dan harta. Bahwa efek domino dari pilihan hidup petinggi negeri mampu mengubah mindset para penerusnya, ada kalanya benar begitu. Mantan Presiden Iran, Mahmoud Ahmadinejad, tak beda jauh dengan seniornya. Hidup amat sederhana, tapi kekuatan hati dan ketegarannya sanggup menakutkan Amerika. Pertanyaannya kemudian, bagaimana dengan mereka yang hidup sederhana karena benar-benar miskin, tak punya akses ekonomi yang memadai?

Mungkin cerita ini menarik untuk direnung. Alkisah, seorang wali besar Syekh Abdul Qodir Jaelani, saat masih muda, pernah dihadang perampok ketika sedang bertualang mencari ilmu. Sang perampok bertanya, dimana harta berharganya. AQJ (maksudnya Abdul Qodir Jaelani), memberitahu bekal emas dari orang tuanya, dan ini membuat perampok takjub karena kejujurannya. Si perampok akhirnya jadi muridnya.Belakangan saat ditanya, kenapa dulu berterus terang, Syekh AQJ mengaku, boleh saja harta yang dimilikinya lenyap, hingga ia jadi miskin, tapi tidak kejujurannya. Ya, kejujurannya!






Saturday, October 12, 2013

Democrazy

Seminggu belakangan sarapan apa saja enak ditelan, bila dibarengi nonton berita infotainment di televisi. Bukan karena tingkah polah para selebritis kita semakin mencerahkan hati dan mencuatkan inspirasi.Bukan. Tapi andrenalin dan emosi  sebagai pemirsa, kini seperti jadi pertimbangan utama para pengolah berita, untuk menyajikan “masakannya” agar tetap dinanti. Mungkin mirip serial sinetron. Ada drama,tragedi, ironi bahkan komedi. Menyusul tenggelamnya era Arya Wiguna (mantan murid Eyang Subur) misalnya, kini kita kembali tertawa geli jika mengingat gaya bahasa Vicky Prasetyo alias Hendrianto.

Di sisi lain, dramatisasi sebuah kasus, tak urung membuat ibu-ibu kalangan menengah ke bawah penikmat infotainment, semakin kepincut untuk memelototi aneka ragam konflik yang terjadi. Lumayanlah, minimal sebagai katup pelepas himpitan hidup. Kapan lagi bisa melihat uang Rp 200 juta di gendong dalam karung, kalau bukan saat tim kuasa hukum Rachmawati Soekarno Putri ingin mengembalikan uang yang diterimanya dari Raam Punjabi, karena merasa tersinggung atas ucapan sutradara film Soekarno, Hanung Bramantyo?Mungkin batin mereka bergumam,oh, uang Rp 200 juta cuma segitu ya kalau dipecah dalam sepuluh ribuan.

Atau jika ada yang iri dengan kesuksesan Zaskia Gotik, bisalah mengidentifikasikan diri sebagai Nikita Mirzani, yang tega menghina si Eneng sebagai lulusan sekolah dasar. Belum lagi berita penolakan Roy Marten sebagai Humas FFI 2013 oleh sekelompok orang. Jika ingin agak serius, tapi masih menyangkut tokoh yang juga pesinetron, penolakan Ruhut Sitompul sebagai ketua Komisi Hukum DPR RI, lengkap dengan bumbu sebutan badut, melengkapi  khazanah ingar bingar demokrasi kita. Jika mau jujur, inilah hasil perjuangan para mahasiswa tahun 1998, yang mau tak mau hadir di tengah kita.

Tenang saja. Itu belum seberapa. Tapi pertanyaan mendasar berikutnya, apa yang hendak kita gapai dengan kebebasan tanpa batas, jika darinya kemanusiaan seseorang sering tercabik-cabik atas nama demokrasi?Taruhlah Zaskia memang lulusan SD.Ketika kemudian kondisi itu dieksploitasi tanpa sedikitpun rasa empati,kita sebenarnya telah gagal mewujudkan demokrasi yang beradab.Kita juga perlu bertanya-tanya, apa motif Rahmawati mengembalikan uang Rp 200 juta dalam bentuk recehan, yang jika diserahkan dalam bentuk cheque barangkali lebih elegan. Apakah biar unsur dramatisnya lebih terasa atau bagaimana. Entahlah.

Jika rakyat kecil ngamuk saat jagoannya kalah di pilkada, penghakiman segera melayang mereka tak berpendidikan. Tapi kita melihat, orang berpendidikan pun kerap bersikap kekanak-kanakan, ketika menanggapi persoalan sepele. Dalam kasus Hanung misalnya. Sebagai produk budaya, film adalah karya seni yang bersumber dari tafsir yang tidak tunggal. Soekarno memang tokoh bangsa. Tapi sebagai pemimpin, ia juga manusia biasa. Ada sisi muram, dibalik kesuksesan yang diraihnya. Ini wajar dan manusiawi. Menjadi tidak wajar, ketika tafsir itu di respon dengan pendekatan kekuasaan.

Ultimatum pokoknya jangan diedarkan, ketika hampir Rp 25 milyar dana sudah tersedot untuk membuat film Soekarno, membuat kita teringat akan otoritarianisme Orde Baru. Memang sejauh ini tak ada alasan jelas apa yang membuat film itu mau dijegal. Konon karena pihak yang memiliki hubungan darah dengan Soekarno merasa tidak pas dengan pemeran Soekarno. Tapi mestinya, produk budaya harus dilawan dengan produk budaya pula. Masyarakat sudah cerdas dan bisa menilai mana cerita yang pas, mana sekedar propaganda. Mana yang punya misi, mana yang hanya sekedar –meminjam istilah Vicky- mencari “statusisasi kemakmuran” semata.

Diakui, demokrasi kita memang belum matang. Amerika Serikat butuh ratusan tahun untuk mencari flatform demokrasi yang indah. Di sini, semua terlihat waton suloyo (asal beda). Tidak setuju sebuah film mendapat penghargaan piala Citra, mereka ramai-ramai mengembalikan piala Citra yang didapat, karena menuduh dewan juri tidak becus. Padahal dimana-mana, dewan juri punya subyektifitas. Di Amerika, peraih penghargaan Golden Globe Awards, kadang bisa menang di ajang Piala Oscar, kadang tidak. Tapi itu tak jadi polemik. Di sini, Roy Marten belum bekerja, sudah main tolak saja.

Perang urat syaraf dan tayangan penuh konflik di televisi,alhasil sudah mencapai ambang batas yang   bisa ditolerir. Saya tak yakin ini bermanfaat, jika alasan utamanya demi rating semata.Mungkin di titik ini pula, pemirsa perlu diberi edukasi. Saat seorang narapidana menolak dikunjungi ibu kandungnya, siapa bisa menjamin itu bukan rekayasa, untuk menimbulkan ledakan dramatis yang lebih besar?Ada banyak pihak berkepentingan dengan tayangan infotainment. Dari yang sekedar ingin ngeksis, sampai pada tahap gila popularitas, tak peduli ia memainkan sosok protagonis atau antagonis.

Saya sering bertanya-tanya, benarkah jalan demokrasi yang kita pilih sudah sesuai dengan genitas masyarakat kita. Gugatan ini pula yang kerap muncul, minimal dalam bentuk gambar Soeharto di bak truk sambil berucap,”Enakan jamanku tho?”. Sudah tentu tak ada langkah surut. Tapi demokratisasi yang serampangan, kerap memunculkan orang-orang “sakit”, yang bicara seenaknya atas nama kebebasan berpendapat. Tak terkecuali di layar kaca, tak peduli anak-anak balita ikut menonton karena sang ibu yang sudah kecanduan tayangan konflik, utamanya di kalangan selebritis.

Di Italia, selama 30 tahun dibawah kekuasaan Borgia, mereka mendapatkan perang, teror, dan pertumpahan darah. Tapi mereka menghasilkan Michelangelo, Leonardo Da Vinci dan Renaissance. Di Swiss, mereka memiliki persaudaraan, mengalami 500 tahun demokrasi dan perdamaian. Tapi mereka hanya menghasilkan ‘jam’. Kita tentu tak ingin kebebasan berkreasi dan bersuara kembali dibatasi,tapi kita juga berharap muncul “Michelangelo” dan “Leonardo Da Vinci” lain di Indonesia. Demokrasi pada akhirnya tergantung pada cara memaknai. Bukan sekedar gede-gedean suara dan waton suloyo hingga terjebak  jadi democrazy.