Goyang Caisar |
Kekuatan ekonomi kreatif, alhasil tak bisa dipandang sebelah
mata. Mungkin bisa disebut, inilah solusi ketika pemerintah kesulitan membuka
lapangan kerja baru. Pelaku ekonomi ini tak perlu punya ijasah Doktor. Modal
kreatifitas dipadu konsep yang bagus, cukup menghibur dan sokongan media,
mampu menjadi daya ledak untuk mengangkat nasib kaum yang memiliki skill akademik terbatas. Kenyataan ini
setidaknya sudah dibuktikan sendiri oleh negeri gingseng Korea Selatan.
Harus diakui, kita tertinggal melangkah dibanding Korsel.
Kementerian ekonomi kreatif juga baru dibentuk belakangan, setelah menyadari
dahsyatnya potensi dari sektor ini. Saat Korsel sudah mengekspor seni
pertunjukan lewat budaya K-popnya ke berbagai negara, kita baru terbangun. Hal
serupa terjadi, ketika drama-drama Korea aktif wara wiri di layar gelas, kita mulai berfikir membuat
sinetron. Di saat yang sama, jelajah film-film Hollywood dan Bollywood
sudah merangsek hingga ke bioskop-bioskop kecil di kota terpencil.
Memang apresiasi pantas disematkan, saat Pak Beye mendorong
kerjasama dengan Korsel, untuk mengembangkan ekonomi kreatif. Tapi melihat
tingkah polah para politisi di bawahnya, sejatinya kita memang negeri yang tak
punya etos untuk memikirkan ranah ini. Lihat saja Jokowi. Belum juga kelar
mewujudkan janjinya untuk membuat gedung pertunjukan yang representatif di
Jakarta, sudah ditarik-tarik untuk nyapres. Pelaku ekonomi kreatif seolah
dibutuhkan saat kampanye saja. Begitu terpilih, wadah dan media untuk
beraktifitas tak masuk agenda.
Ketika perfilman Indonesia mati suri,dulu sempat ada pikiran agar
sineas kita lebih banyak membuat film dokumenter. Ini wujud kreatifitas yang
relatif tak makan dana banyak. Ada banyak hal bisa jadi tema. Kata Garin, harus
ada semacam kiat agar para pekerja kreatif bisa eksis, tetap bersemangat dan
terasah skill-nya. Ibaratnya, harus
memakai “kacamata” baru untuk melihat “cuaca” baru. Tapi setelah Indonesia
pulih dari keterpurukan ekonomi, dan ketika era reformasi sudah berjalan sekian
tahun, perhatian pada ekonomi kreatif tetap tak memadai.
Saat
pihak swasta bersemangat dengan segala perangkat dan dana yang tersedia, itu
pun tak imun dari pihak-pihak yang menyoal, tanpa alasan jelas. Kasus Miss
World menjadi contoh terbaru. Kontes yang sejatinya tak ada urusan dengan dogma
agama, dengan segenap daya ditarik ke wilayah agama. Beruntung pentas Metallica
yang belum lama bertamu berlangsung aman. Mungkin jika ada ormas yang meminta
untuk tidak pentas, dengan alasan mereka mengusung musik syetan, karut marut
dunia kreatif Indonesia akan semakin jelas terlihat.
Kita
kerap tidak dewasa, dan tidak bisa memilah dan memilih mana hal yang terkait
dengan urusan akidah, mana yang masuk dalam ranah budaya. Kondisi ini terjadi
dalam banyak hal. Bahkan untuk busana saja, masih saja kita mau terkooptasi
dengan pakaian gaya Timur Tengah. Padahal Islam hanya mensyaratkan, agar
berpakaian tidak ketat dan transparan, serta modelnya bukan seperti pakaian
kebesaran agama lain. Soal bentuk, silahkan adu kreatifitas. Tak ada ganjaran
khusus bila bersorban, atau hanya memakai kopiah.
Butuh
pemahaman betapa dunia kreatif dan budaya bisa jadi penyokong roda ekonomi,
sekaligus alat diplomasi ampuh untuk menunjukkan wajah Indonesia. Dalam lingkup
yang lebih sempit, ia juga bisa menjadi alat dakwah, seperti yang dilakukan
Rhoma Irama. Pendekatan budaya dan olah kreatifitas bahkan lebih ampuh
dibanding dakwah yang berbuih-buih dari mulut para da’i. Jilbab Manohara dan
hijab Fathin yang sempat populer dan menginspirasi jutaan remaja putri
berbusana muslimah, menjadi bukti betapa mangkusnya syiar lewat dunia kreatif.
Di
benua lain, bertahun-tahun Amerika Serikat dikesankan sebagai negara yang kalah
perang di Vietnam. Mereka pulang dengan meninggalkan 58 ribu serdadunya yang
dibantai tentara Vietcong. Tapi serial Rambo mengubah segalanya. Amerika seolah
negara pemenang perang. Begitu pula kekumuhan India, menjadi tak ada artinya,
saat gelontoran film-film India menampilkan pemandangan sungai, padang hijau,
taman dan pohon rindang di sekujur balutan ceritanya. Tentu tak hanya
lewat media film sebagai produk budaya. Lewat dunia kreatif, kita bisa bicara
banyak dalam sebuah bahasa yang universal,tanpa takut dicap sebagai propaganda.
Caisar
sudah mulai, setelah Psy terkenal lewat joget Gangnam Style-nya. Meski terkesan
masih mengekor, beberapa tv lain mulai menampilkan joget cha-cha-cha dan
gaspol. Kita terus menantikan sesuatu yang baru, lebih menghibur, lebih
kreatif, syukur-syukur bisa mendunia seperti Gangnam Style. Jika
pun para pengambil kebijakan negeri ini lebih asyik dengan urusan politik,percayalah,
saat mereka hampir “stroke”, pasti larinya ke hiburan juga. Para pekerja
kreatif dan pelaku ekonomi kreatif itu orang-orang yang diberkahi Tuhan dengan
talenta khusus. Ditangannya, dunia menjadi begitu gembira. Bukankah hakikat
kemanusiaan kita sebenarnya adalah mencipta, dan tidak sekedar mengonsumsi?