Daftar Isi

Monday, September 9, 2013

Joget Caisar


Goyang Caisar
Perlu waktu berapa lama bagi Caisar, dengan ijasah SMA yang digenggamnya untuk bisa memiliki mobil jika jadi karyawan formal? Taruh kata jadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Atau bekerja di kantor swasta, dengan gaji standar UMP Jakarta. Lepas dari soal rejeki,saat goyangannya ditiru di mana-mana dan digemari, nasib anak muda itu akhirnya berubah total. Belum lagi lagu dangdut yang dipilihnya untuk berjoget. Di berbagai pelosok, entah di rumah atau keramaian pasar, tembang Buka Sithik Joss kini selalu diputar, lengkap dengan suara serunai-nya yang mendengking-dengking.

Kekuatan  ekonomi kreatif, alhasil tak bisa dipandang sebelah mata. Mungkin bisa disebut, inilah solusi ketika pemerintah kesulitan membuka lapangan kerja baru. Pelaku ekonomi ini tak perlu punya ijasah Doktor. Modal kreatifitas dipadu konsep yang  bagus, cukup menghibur dan sokongan media, mampu menjadi daya ledak untuk mengangkat nasib kaum yang memiliki skill akademik terbatas. Kenyataan ini setidaknya sudah dibuktikan sendiri oleh negeri gingseng Korea Selatan.

Harus diakui, kita tertinggal melangkah dibanding Korsel. Kementerian ekonomi kreatif juga baru dibentuk belakangan, setelah menyadari dahsyatnya potensi dari sektor ini. Saat Korsel sudah mengekspor seni pertunjukan lewat budaya K-popnya ke berbagai negara, kita baru terbangun. Hal serupa terjadi, ketika drama-drama Korea aktif wara wiri di layar gelas, kita mulai berfikir membuat sinetron.  Di saat yang sama, jelajah film-film Hollywood dan Bollywood sudah merangsek hingga ke bioskop-bioskop kecil di kota terpencil.

Memang apresiasi pantas disematkan, saat Pak Beye mendorong kerjasama dengan Korsel, untuk mengembangkan ekonomi kreatif. Tapi melihat tingkah polah para politisi di bawahnya, sejatinya kita memang negeri yang tak punya etos untuk memikirkan ranah ini. Lihat saja Jokowi. Belum juga kelar mewujudkan janjinya untuk membuat gedung pertunjukan yang representatif di Jakarta, sudah ditarik-tarik untuk nyapres. Pelaku ekonomi kreatif seolah dibutuhkan saat kampanye saja. Begitu terpilih, wadah dan media untuk beraktifitas tak masuk agenda.

Ketika perfilman Indonesia mati suri,dulu sempat ada pikiran agar sineas kita lebih banyak membuat film dokumenter. Ini wujud kreatifitas yang relatif tak makan dana banyak. Ada banyak hal bisa jadi tema. Kata Garin, harus ada semacam kiat agar para pekerja kreatif bisa eksis, tetap bersemangat dan terasah skill-nya. Ibaratnya, harus memakai “kacamata” baru untuk melihat “cuaca” baru. Tapi setelah Indonesia pulih dari keterpurukan ekonomi, dan ketika era reformasi sudah berjalan sekian tahun, perhatian pada ekonomi kreatif tetap tak memadai.

Saat pihak swasta bersemangat dengan segala perangkat dan dana yang tersedia, itu pun tak imun dari pihak-pihak yang menyoal, tanpa alasan jelas. Kasus Miss World menjadi contoh terbaru. Kontes yang sejatinya tak ada urusan dengan dogma agama, dengan segenap daya ditarik ke wilayah agama. Beruntung pentas Metallica yang belum lama bertamu berlangsung aman. Mungkin jika ada ormas yang meminta untuk tidak pentas, dengan alasan mereka mengusung musik syetan, karut marut dunia kreatif Indonesia akan semakin jelas terlihat.

Kita kerap tidak dewasa, dan tidak bisa memilah dan memilih mana hal yang terkait dengan urusan akidah, mana yang masuk dalam ranah budaya. Kondisi ini terjadi dalam banyak hal. Bahkan untuk busana saja, masih saja kita mau terkooptasi dengan pakaian gaya Timur Tengah. Padahal Islam hanya mensyaratkan, agar berpakaian tidak ketat dan transparan, serta modelnya bukan seperti pakaian kebesaran agama lain. Soal bentuk, silahkan adu kreatifitas. Tak ada ganjaran khusus bila bersorban, atau hanya memakai kopiah.

Butuh pemahaman betapa dunia kreatif dan budaya bisa jadi penyokong roda ekonomi, sekaligus alat diplomasi ampuh untuk menunjukkan wajah Indonesia. Dalam lingkup yang lebih sempit, ia juga bisa menjadi alat dakwah, seperti yang dilakukan Rhoma Irama. Pendekatan budaya dan olah kreatifitas bahkan lebih ampuh dibanding dakwah yang berbuih-buih dari mulut para da’i. Jilbab Manohara dan hijab Fathin yang sempat populer dan menginspirasi jutaan remaja putri berbusana muslimah, menjadi bukti betapa mangkusnya syiar lewat dunia kreatif.

Di benua lain, bertahun-tahun Amerika Serikat dikesankan sebagai negara yang kalah perang di Vietnam. Mereka pulang dengan meninggalkan 58 ribu serdadunya yang dibantai tentara Vietcong. Tapi serial Rambo mengubah segalanya. Amerika seolah negara pemenang perang. Begitu pula kekumuhan India, menjadi tak ada artinya, saat gelontoran film-film India menampilkan pemandangan sungai, padang hijau, taman dan  pohon rindang di sekujur balutan ceritanya. Tentu tak hanya lewat media film sebagai produk budaya. Lewat dunia kreatif, kita bisa bicara banyak dalam sebuah bahasa yang universal,tanpa takut dicap sebagai propaganda.

Caisar sudah mulai, setelah Psy terkenal lewat joget Gangnam Style-nya. Meski terkesan masih mengekor, beberapa tv lain mulai menampilkan joget cha-cha-cha dan gaspol. Kita terus menantikan sesuatu yang baru, lebih menghibur, lebih kreatif, syukur-syukur bisa mendunia seperti Gangnam Style. Jika pun para pengambil kebijakan negeri ini lebih asyik dengan urusan politik,percayalah, saat mereka hampir “stroke”, pasti larinya ke hiburan juga. Para pekerja kreatif dan pelaku ekonomi kreatif itu orang-orang yang diberkahi Tuhan dengan talenta khusus. Ditangannya, dunia menjadi begitu gembira. Bukankah hakikat kemanusiaan kita sebenarnya adalah mencipta, dan tidak sekedar mengonsumsi?



Monday, September 2, 2013

Miss World

Memasuki Bulan September,sebuah perhelatan akbar Miss World 2013 akan diadakan di Indonesia. Ini sebuah ajang kontes kecantikan, yang diikuti oleh ratusan peserta dari berbagai negara. Ajang Miss World diklaim oleh panitia pelaksana bisa menaikan potensi pariwisata Indonesia. Sementara di sisi lain, penolakan juga tak kalah kencang, seperti yang dilakukan Front Pembela Islam (FPI), Hizbut Tahrir Indonesia dan Majelis Ulama Indonesia (MUI).Alasannya sederhana, kegiatan Miss World tak ada guna buat kemaslahatan bangsa, bahkan dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam, yang dianut mayoritas masyarakat Indonesia.

Isu sentralnya selalu soal adab berpakaian.Panitia Miss World sendiri sudah meyakinkan publik, jika sesi peserta berbikini akan diganti dengan sarung Bali. Ada semacam kompromi maksimal terhadap budaya lokal, agar resistensi penyelenggaraan Miss World tidak berujung seperti di Nigeria misalnya. Miss World bisa tampil lebih sopan, dengan tak meninggalkan ciri khas kompetisinya sebagai ajang adu kecanggihan brain, beauty dan behaviour. Tentu juga tak kalah pentingnya, aspek ekonomi dari terangkatnya nama Indonesia di kancah internasional, karena sorotan kamera dari seluruh dunia akan memberitakannya.

Tak bisa dimungkiri, “perang” sesungguhnya antara panitia pelaksana dan penentang Miss World memang lebih ke perdebatan paradigma. Panitia Miss World berdalih, negara kita bukanlah negara agama. Sementara FPI dan MUI berlandaskan dalil-dalil agama, yang dengan alasan apapun tidak akan membenarkan penyelenggaraan Miss World. Menampilkan lekuk-lekuk tubuh perempuan, walau masih dibalut sarung Bali, tetap dilarang dengan alasan syar’i. Kecantikan perempuan, dalam perspektif yang lebih luas, juga tidak harus dinilai dalam sebuah kompetisi fisik, karena ada hal-hal lain yang bisa menunjukan seorang perempuan terlihat cantik dan cerdas.

Jika merujuk ini, saya jadi teringat kata-kata seorang bijak, yang mengumpakan kehormatan perempuan seperti sebuah permen. Sepotong kembang gula yang sudah terbuka, tentu akan berbeda nilainya jika permen itu masih terbungkus rapi. Meski begitu, ini yang kerap jadi bahan kritikan, ada ketidakkonsistenan para penentang Miss World terhadap kenyataan yang ada. Coba lihat dan cermati, berapa banyak film dan sinetron yang memperlihatkan adegan tak senonoh dan terbuka, yang beredar luas di masyarakat, tanpa ada upaya pencegahan. Bukankah perempuan berbikini sudah menjadi “jualan” para produser film esek-esek sejak lama dan sejauh ini aman-aman saja?

Di era ketika dunia hiburan sudah menjadi industri yang melintas batas  negara,jika pun Miss World diadakan di negara lain, kita bisa mengaksesnya dengan  mudah lewat internet. Mungkin upaya paling realistis adalah memberi penyadaran generasi muda, untuk menimbang dengan cermat saat hendak mengikuti kontes-kontesan; entah Miss Indonesia atau Puteri Indonesia. Jujur diakui,kontes ratu-ratuan kadang dianggap sebagai jalan paling lempang untuk meraih popularitas dan uang lewat dunia hiburan. Sikap serba instan dan enggan mengikuti proses inilah yang membuat jiwa kita menjadi tidak tahan banting.

Bagaimanapun, dunia hiburan penuh dengan intrik dan kamuflase. Seorang teman menyebut, meski diliputi glamouritas, di dalamnya penuh dengan jiwa-jiwa yang sunyi. “Banyak jebakan betmen didalamnya, yang jika kita tak pandai meniti, bisa jatuh terjerembab,”kata sang teman, yang juga mantan presenter di sebuah stasiun televisi swasta terkenal itu. Sore itu, teman saya ini rupanya ingin berbagi informasi, soal rencana lamaran seorang penyanyi dangdut dengan goyang khasnya oleh  seorang laki-laki yang mengaku pengusaha.

Si lelaki, kata sang teman, punya rekam jejak yang buruk sebagai penipu. Teman si mantan presenter sempat akan jadi korban, sebelum semuanya terbongkar. Dengan alasan akan dinikahi, harta bendanya dihisap tanpa mampu dicegah,karena seperti dihipnotis. “Sepertinya si penyanyi dangdut itu sudah mulai terpedaya. Kasihan ya,”katanya. Kisah-kisah seperti ini, sebetulnya sudah jadi makanan pewarta infotainment tiap hari,walau tetap saja ada yang jadi korban karena kewaspadaan yang rendah. Dus, masuk ke dunia hiburan, laksana masuk ke hutan belantara, dengan “binatang” buas dan kejam berkeliaran, yang tiap saat siap menerkam.

Tentu tak semua jebolan Miss World atau kontes-kontes kecantikan lain, sukses berkarir di dunia  hiburan. Dalam banyak kasus, event seperti itu bahkan menjadi bukti penting cengkeraman kapitalisme global, dengan “bungkus” pencarian perempuan-perempuan berbakat.  Lagi-lagi, walau untuk mengikuti kontes seperti itu adalah pilihan pribadi, diperlukan pemikiran panjang agar kita tak jatuh hanya jadi sekedar komoditas. Tak hanya jadi sekedar obyek, dari pemodal kuat yang bermain di belakangnya. Jika kesadaran semacam ini sudah tumbuh, tanpa perlu dilarang pun, kontes-kontes seperti itu akan lenyap dengan sendirinya.

Akhirnya, Miss World di satu sisi, dan penentangnya di sisi lain, walau saling berhadapan secara diametral, semoga bisa menjadi mosaik keindahan berdemokrasi. Ibaratnya, anda boleh saja tidak setuju dengan pendapat saya. Tapi hak anda untuk berbicara akan saya bela mati-matian. Soal apakah nanti perhelatan Miss World akan menuai maslahat atau mudharat, waktu nanti yang akan membuktikan.  Kedewasaan berbeda pendapat, akan meneguhkan kita sebagai negara demokrasi terbesar di dunia. Bukankah esensi demokrasi adalah sepakat untuk tidak sepakat?