Lagu-lagu dalam Bahasa Arab, meski
bersyair tentang patah hati yang merintih-rintih, kerap dianggap sebagai lagu
shalawat oleh masyarakat kita. Saat Fairuz, diva legendaris dari Lebanon,
bersyair tentang romantisisme lewat nada-nada indah, kita kadang tak bisa
membedakannya, apakah itu lagu pujian pada Tuhan, atau tidak. Begitu pula
lagu-lagu dangdut, karena ada unsur gambusnya, kerap dianggap lagu Islami,
walau syairnya berbunyi,”Aduh,aduh, aduh…salome…satu lobang ramai-ramai,”.
Saat puluhan ribu massa demonstran
berteriak ‘Allahu Akbar’ di depan masjid Rabiah Al Adawiyah, ketika deru tank
tentara Mesir menggusur mereka, kita langsung menganggap ada kezaliman terhadap
umat Islam. Bentrok massa Ikhwanul Muslimin dan tentara Mesir itu lantas menuai
banyak simpati. Di jejaring sosial, di status-status blackberry, kerap
terpasang display picture dengan teriakan lantang,”Save Egypt” atau “Stop
Massacre”.
Pembantaian itu tentu saja memilukan
hati. Bertahun-tahun Mesir dikenal sebagai pusat studi Islam dengan Universitas
Al Azharnya yang termasyhur. Berpuluh tahun pula Mesir jadi kekaguman dunia
karena pusat peradaban kuno dengan situs fir’aunnya. Mungkin seperti
Amerika Serikat saat ini. Kala negeri Barat masih di selimuti takhayul dan
pemujaan pada roh halus, 3000 tahun sebelum Masehi Mesir sudah membuat piramida
yang maha rumit.
Citra sebagai negeri yang aman dan
beradab, sempat pula diangkat ke layar lebar lewat film Ketika Cinta Bertasbih.
Sebelumnya, setting film Ayat-ayat Cinta juga mengambil lokasi Mesir. Sayang,
hanya dalam hitungan hari, sejak Presiden Muhammad Mursi dikudeta militer
Mesir, citra positif itu luluh lantak. Mesir kini jadi wilayah yang menakutkan!
Negara-negara dari berbagai dunia, berlomba-lomba mengevakuasi warganya keluar
dari Mesir.
Masyarakat Indonesia
sendiri kadang kurang cermat melihat persoalan. Jika korbannya berteriak
‘Allahu Akbar’, selalu dipandang sebagai tragedi umat Islam. Padahal bisa jadi
itu hanya tragedi kemanusiaan, karena yang dibunuh dan yang membunuh sama-sama
satu keyakinan. Tragedi di depan masjid Rabia Al Adawiyah, tak beda jauh
dengan tragedi Tiananmen, saat ribuan mahasiswa di lapangan Tiananmen digilas
oleh tank-tank tentara China, karena menuntut reformasi dan demokratisasi
sistem yang korup dan tertutup.
Memang dalam banyak hal
masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang melodramatik. Mudah
kasihan dan jatuh iba. Apalagi jika berasal dari Timur Tengah, selalu
diidentikan dengan Islam, meski sejatinya itu bukan. Beruntung, sejauh ini aksi
simpati baru sebatas slogan. Dalam sudut pandang yang lebih subtil,tragedi
Mesir juga mencuatkan banyak hal yang bisa jadi renungan.Kita patut
berbangga, para penguasa yang pernah memerintah negeri ini, lebih mendengarkan
nurani ketika kehilangan kekuasaan.
Saya tak bisa
membayangkan jika Soekarno menggerakan barisan Soekarno untuk melawan
musuh-musuh politiknya. Seoharto bahkan punya kans untuk menggelar operasi
militer saat didesak mundur oleh mahasiswa. Tapi ia memilih lengser keprabon,
demi menjaga agar tidak terjadi pertumpahan darah sesama anak bangsa. Gus Dur
lebih elok lagi. Kata Gus Dur, tak ada jabatan yang perlu dipertahankan
mati-matian. Ia memilih balik ke Ciganjur, dan memerintahkan pendukungnya untuk
pulang ke Jawa Timur.
Karakter dan nilai-nilai
yang hidup dan membesarkan para pemimpin kita, menjadikan mereka sosok yang
legawa, kompromistis dan menghargai setiap nyawa pemberian Tuhan.Saya tidak
ingin menyebut secara khusus ini adalah budaya Jawa. Tapi jika merujuk pada
filosofi Jawa, banyak hal bisa diangkat dan menjadi bekal para pemimpin
Indonesia berikutnya.
Menang tanpo ngasorake (menang tanpa
merendahkan yang kalah), ngluruk tanpa bala (menyerang tanpa pasukan)
dan digdaya tanpa aji (kuat tanpa jimat), diantara filosofi yang
kental dianut para pemimpin kita. Namun apa pun namanya, dalam fatsun
politik,demokrasi tidak menganut zero sum game; yang menang mengambil semuanya
dan yang kalah kehilangan segalanya.
Ketika Mursi memenangkan
kursi presiden Mesir dan menendang habis oposisi dari jabatan
politis,benih-benih sakit hati mulai ditebar. Anjuran pihak militer untuk
rekonsiliasi juga tak didengar. Saat militer mengkudeta, ironisnya para
petinggi Ikhwanul Muslimin tak mau kalah. Mereka tetap memaksakan Mursi harus
dikembalikan ke posisi semula. Apapun taruhannya. Berapapun harganya.
Ada anekdot, karena
sikap keras dan non kompromi orang Timur Tengah, maka agama-agama Samawi di
turunkan di sana. Sebab, para nabi memang perlu melewati ujian berat dari
masyarakat yang berwatak keras, ngeyel, tak mau nurut dan sotoy. Mungkin dari
kawah candradimuka semacam itulah, kualitas nabi-nabi Allah itu terasah, hingga
menginspirasi para pendakwah sesudahnya, untuk memiliki syaraf baja.
Jika Mesir tersandung karena
urusan kekuasaan,untunglah Indonesia lolos dari tragedi mengerikan saat terjadi
pergantian pucuk pimpinan. Mesir jadi bahan pelajaran berikutnya, setelah Irak,
Libya dan Suriah bergolak karena penghambaan terhadap kekuasaan yang
berlebihan. Tabik pada Soekarno, Soeharto dan Gus Dur.Wallahualam bishowab.
No comments:
Post a Comment
Terima kasih atas kunjungan anda!