Daftar Isi

Monday, August 19, 2013

Tragedi Mesir


Lagu-lagu dalam Bahasa Arab, meski bersyair tentang patah hati yang merintih-rintih, kerap dianggap sebagai lagu shalawat oleh masyarakat kita. Saat Fairuz, diva legendaris dari Lebanon, bersyair tentang romantisisme lewat nada-nada indah, kita kadang tak bisa membedakannya, apakah itu lagu pujian pada Tuhan, atau tidak. Begitu pula lagu-lagu dangdut, karena ada unsur gambusnya, kerap dianggap lagu Islami, walau syairnya berbunyi,”Aduh,aduh, aduh…salome…satu lobang ramai-ramai,”.

Saat puluhan ribu massa demonstran berteriak ‘Allahu Akbar’ di depan masjid Rabiah Al Adawiyah, ketika deru tank tentara Mesir menggusur mereka, kita langsung menganggap ada kezaliman terhadap umat Islam. Bentrok massa Ikhwanul Muslimin dan tentara Mesir itu lantas menuai banyak simpati. Di jejaring sosial, di status-status blackberry, kerap terpasang display picture dengan teriakan lantang,”Save Egypt” atau “Stop Massacre”.

Pembantaian itu tentu saja memilukan hati. Bertahun-tahun Mesir dikenal sebagai pusat studi Islam dengan Universitas Al Azharnya yang termasyhur. Berpuluh tahun pula Mesir jadi kekaguman dunia karena pusat peradaban  kuno dengan situs fir’aunnya. Mungkin seperti Amerika Serikat saat ini. Kala negeri Barat masih di selimuti takhayul dan pemujaan pada roh halus, 3000 tahun sebelum Masehi Mesir sudah membuat piramida yang maha rumit.

Citra sebagai negeri yang aman dan beradab, sempat pula diangkat ke layar lebar lewat film Ketika Cinta Bertasbih. Sebelumnya, setting film Ayat-ayat Cinta juga mengambil lokasi Mesir. Sayang, hanya dalam hitungan hari, sejak Presiden Muhammad Mursi dikudeta militer Mesir, citra positif itu luluh lantak. Mesir kini jadi wilayah yang menakutkan! Negara-negara dari berbagai dunia, berlomba-lomba mengevakuasi warganya keluar dari Mesir.

Masyarakat Indonesia sendiri kadang kurang cermat melihat persoalan. Jika korbannya berteriak ‘Allahu Akbar’, selalu dipandang sebagai tragedi umat Islam. Padahal bisa jadi itu hanya tragedi kemanusiaan, karena yang dibunuh dan yang membunuh sama-sama satu keyakinan. Tragedi di depan masjid  Rabia Al Adawiyah, tak beda jauh dengan tragedi Tiananmen, saat ribuan mahasiswa di lapangan Tiananmen digilas oleh tank-tank tentara China, karena menuntut reformasi dan demokratisasi sistem yang korup dan tertutup.

Memang dalam banyak hal masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang melodramatik. Mudah kasihan dan jatuh iba. Apalagi jika berasal dari Timur Tengah, selalu diidentikan dengan Islam, meski sejatinya itu bukan. Beruntung, sejauh ini aksi simpati baru sebatas slogan. Dalam sudut pandang yang lebih subtil,tragedi  Mesir juga mencuatkan banyak hal yang bisa jadi renungan.Kita patut berbangga, para penguasa yang pernah memerintah negeri ini, lebih mendengarkan nurani ketika kehilangan kekuasaan.

Saya tak bisa membayangkan jika Soekarno  menggerakan barisan Soekarno untuk melawan musuh-musuh politiknya. Seoharto bahkan punya kans untuk menggelar operasi militer saat didesak mundur oleh mahasiswa. Tapi ia memilih lengser keprabon, demi menjaga agar tidak terjadi pertumpahan darah sesama anak bangsa. Gus Dur lebih elok lagi. Kata Gus Dur, tak ada jabatan yang perlu dipertahankan mati-matian. Ia memilih balik ke Ciganjur, dan memerintahkan pendukungnya untuk pulang ke Jawa Timur.

Karakter dan nilai-nilai yang hidup dan membesarkan para pemimpin kita, menjadikan mereka sosok yang legawa, kompromistis dan menghargai setiap nyawa pemberian Tuhan.Saya tidak ingin menyebut secara khusus ini adalah budaya Jawa. Tapi jika merujuk pada filosofi Jawa, banyak hal bisa diangkat dan menjadi bekal para pemimpin Indonesia berikutnya.

Menang tanpo ngasorake (menang tanpa merendahkan yang kalah), ngluruk tanpa bala (menyerang tanpa pasukan) dan digdaya tanpa aji (kuat tanpa jimat), diantara filosofi yang kental dianut para pemimpin kita. Namun apa pun namanya, dalam fatsun politik,demokrasi tidak menganut zero sum game; yang menang mengambil semuanya dan yang kalah kehilangan segalanya.

Ketika Mursi memenangkan kursi presiden Mesir dan menendang habis oposisi dari jabatan politis,benih-benih sakit hati mulai ditebar. Anjuran pihak militer untuk rekonsiliasi juga tak didengar. Saat militer mengkudeta, ironisnya para petinggi Ikhwanul Muslimin tak mau kalah. Mereka tetap memaksakan Mursi harus dikembalikan ke posisi semula. Apapun taruhannya. Berapapun harganya.

Ada anekdot, karena sikap keras dan non kompromi orang Timur Tengah, maka agama-agama Samawi di turunkan di sana. Sebab, para nabi memang perlu melewati ujian berat dari masyarakat yang berwatak keras, ngeyel, tak mau nurut dan sotoy. Mungkin dari kawah candradimuka semacam itulah, kualitas nabi-nabi Allah itu terasah, hingga menginspirasi para pendakwah sesudahnya, untuk memiliki syaraf baja.

Jika Mesir tersandung karena urusan kekuasaan,untunglah Indonesia lolos dari tragedi mengerikan saat terjadi pergantian pucuk pimpinan. Mesir jadi bahan pelajaran berikutnya, setelah Irak, Libya dan Suriah bergolak karena penghambaan terhadap kekuasaan yang berlebihan. Tabik pada Soekarno, Soeharto dan Gus Dur.Wallahualam bishowab.