Daftar Isi

Sunday, July 28, 2013

Mudik

Seorang teman bertanya kabar dan rencana mudik lebaran besok. Saya jawab lebaran ini tidak bisa mudik. Saya belum mengatakan apa sebabnya, ketika dia tiba-tiba seperti merasa aneh dengan rencana saya. Dengar apa katanya,”Kerja tuh jangan ngoyo.Sekali setahun masa nggak bisa pulang?Kalau nyari duit terus mah nggak bakal puas,”. Saya terperangah. Diskusi berlanjut. Saya coba memancing,”Terus kalau tidak punya uang, lantas nggak bisa mudik,itu salah?”.

“Bukan begitu. Jauh-jauh merantau tunjukin dong hasil kerjamu di kampung. Kalau nggak bisa, mending jadi kyai kampung. Waktu banyak, dapat sedekah beras berlimpah-limpah,”. Saya kembali tertegun. Tapi dengan nada bercanda, saya komentari “ceramah” teman,”Oh, jadi itu ya makna lebaran?”. Stop. Dia berhenti menjawab. Entah membenarkan kelakar saya, atau dia bingung mau kasih nasihat apa lagi.

Tentu saja saya bukan golongan orang anti mudik. Masih ada orang tua di kampung. Barangkali akan lebih afdol bila sungkem saat lebaran. Meminta maaf. Merayakan bersama hari kemenangan. Meski ongkos sosial dan ekonomi yang mesti dibayar begitu menggiriskan. Ongkos sosial dan ekonomi tak melulu tarif yang naik gila-gilaan. Tapi juga tindakan-tindakan super gila, yang rasanya tidak akan sanggup dilakukan dalam keadaan normal.

Coba bayangkan. Ratusan kilometer bersepeda motor membawa anak kecil. Berdiri berhimpitan di bus hampir 24 jam. Terjebak macet berjam-jam tanpa kejelasan kapan jalan. Kecopetan. Dibius di terminal bus. Bahkan risiko kehilangan nyawa karena kecelakaan akibat keletihan luar biasa. Jika ditanya kenapa semua itu ditempuh, jawabannya simpel, seperti kata teman saya,”Yah, setahun sekali nggak apa-apa,”.

Para pakar tak henti-henti mengulas fenomena ini. Ada yang bilang, ini wujud dari filosofi Jawa Mangan Ora Mangan Ngumpul (makan tidak makan kumpul). Saat ada yang merantau karena desakan ekonomi, lebaranlah waktu yang asyik untuk santai sejenak. Berbagi uang Tunjangan Hari Raya (THR) dari kantor, atau rejeki dari berdagang. Pokoknya ada yang disedekahkan, sebagai simbol sukses, sebagai tanda keberhasilan di tanah rantau.

Penghayat  kepercayaan memandang, mudik sebagai kesadaran sangkan paraning dumadi. Ini filosofi yang membedah dari mana kita berasal dan hendak kembali ke mana kita nanti. Wilayah transendental,yang coba di otak atik gatuk dengan gejala sosial. Gatuk-nya dimana, saya juga masih meraba-raba. Tapi secara pragmatis,dan ini yang sudah jadi faham umum, mudik sebagai wujud dari keinginan untuk terus menjalin tali silaturahmi. Sesuatu yang, kata mereka, diajarkan oleh agama.

Tentu saja tidak salah argumentasi itu. Namun jika ditelisik lebih jauh, angka statistik menjelang lebaran dari berbagai barang kebutuhan sekunder yang naik, mencuatkan tanya berikutnya. Apa sebab rental mobil naik pesat sebelum mudik berlangsung?Motor, jam tangan, pakaian, telepon seluler, sepatu bahkan sarung dan sajadah baru mengalami kenaikan penjualan berkali-kali lipat. Penawaran kredit mobil baru juga bertubi-tubi datang, dengan segala kemudahan fasilitas. Promosinya menarik, “Bisa dipakai bergaya di kampung halaman”.

Lebaran, pada akhirnya menjadi ajang show tahunan paling akbar, yang tanpa disadari telah melemahkan nilai-nilai puasa yang sudah dilakukan. Saya jadi ingat kata-kata ustaz saat khotbah Idul Fitri. Ketika barisan iblis gagal menggoda manusia kala Ramadan,kata ustaz, mereka punya kesempatan di Hari Raya Idul Fitri.

Bukankah iblis, seperti tekadnya saat ia diusir dari surga oleh Allah, akan dengan segala cara mengajak manusia untuk mengikuti jalannya?Saat potensi sikap ujub, sombong, riya dan pamer bertebaran, ketika itulah momen bagus bagi Iblis untuk beraksi –masuk ke dalam aliran darah manusia dan membujuknya untuk memunculkan kelakuan minus itu.“Sifat sombong itu, sekecil apapun ia bersemayam, akan mengurangi pahala puasa kita,”demikian khotbah ustaz.

Mungkinkah tradisi mudik ini terhapus, seturut perjalanan waktu?Pemerintah nampaknya berfikir ke arah itu. Sebab tidak mudah melayani puluhan juta orang “hijrah” dalam satu waktu, dengan segala kompleksitas masalahnya. Namun himbauan untuk tidak memakai sepeda motor, atau meminta peran swasta menyediakan bus sebagai bentuk corporat social responsibility (CSR), juga tak banyak mengubah situasi, tanpa reformasi mindset calon pemudik. Ini hanya soal cara memandang makna lebaran.

Silaturahmi bisa dilakukan kapan saja. Begitu juga distribusi ekonomi ke wilayah pedesaan.Tidak mesti menunggu lebaran. Perkembangan teknologi memungkinkan setiap orang, bahkan orang tua di desa terpencil, sudah bisa mengoperasikan telepon seluler. Kemajuan teknologi informasi membuat kita bisa berbicara sambil melihat wajah lawan bicara secara real time. Dan, last but not least, mudik hanyalah tradisi, bukan kewajiban yang jika tak dilakukan kita terkena dosa.

Di Arab Saudi, usai shalat Idul Fitri, suasana justru sepi. Bangladesh dan Malaysia mungkin masih terjangkit virus mudik. Di Indonesia, lembaga semacam Majelis Ulama Indonesia (MUI), barangkali bisa ditarik untuk lebih aktif mencegah kengototan mudik, yang justru banyak membawa kesengsaraan. Pikirkan jika saya nekad mudik, dengan membawa dua anak balita dan beberapa tas dan kardus besar. Jakarta-Tegal, atau Jakarta-Kediri bukanlah jarak yang pendek. Untunglah saya tidak mudik.

Hari berikutnya, teman saya rupanya masih penasaran. Dia kembali menyapa saya dan menyampaikan berita mengejutkan.

“Saya juga nggak mudik lebaran,”katanya.

”Lho, kenapa?”tanya saya heran.

“Duitnya mau saya pakai buat kredit motor saja. Biar tiap hari nggak naik angkot kalau kerja. Jika harus mudik juga, uang dari mana?”

Ah, saya jadi malu sendiri. Rupanya dia lebih jujur dari saya.






















































































































































































































































No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas kunjungan anda!