Saban
kali bulan puasa tiba, kerinduan terhadap jejak Ramadan masa kecil selalu
bergelinjang datang. Masa yang indah, dan penuh kekhusyukan, saya lewatkan di
desa terpencil di pelosok Kabupaten Tegal, Jawa Tengah. Ramadan menjadi
istimewa, karena ada beberapa kebiasaan kampung, yang kini telah lenyap tak
berbekas. Ada memang beberapa yang dipertahankan. Tapi suasananya tak terasa
seperti masa-masa dulu, karena masuknya modernisasi, yang telah menyerap hampir
seluruh energi anak-anak kampung.
Sehari
sebelum puasa, beduk di masjid ditabuh bertalu-talu.Sebelumnya, semua masjid
dan mushola dicuci bersih. Gotong royong, dengan membawa ember dan pelepah
pisang untuk menggaruk genangan air. Saat semua tempat peribadatan telah bersih,
shalat tarawih riuh rendah karena banyaknya jamaah yang datang. Belum lagi ketika
selesai tarawih. Panganan berupa kue-kue kecil digelar, disantap, sambil
ngobrol ngalor ngidul penuh keakraban. Suasananya benar-benar guyub dan rukun.
Selama
sebulan penuh, tiap sore bacaan ayat-ayat suci Al Qur’an saling bersahutan
mengisi ruang langit lewat pengeras suara yang dipancang tegak. Tiap grup yang
terdiri dari 2-4 orang saling menyimak, dan mencantumkan target untuk
mengkhatamkan 30 juz Al Qur’an selama satu bulan. Pagi hari, setelah selesai
sahur dan kelar shalat subuh berjamaah, suara para da’i dari berbagai penjuru
terdengar mengisi kuliah subuh. Penduduk kampung sebelumnya dibangunkan oleh
rombongan remaja, yang dengan alat seadanya berkeliling sambil memainkan ritme
musik yang rancak, penuh kegembiraan disertai teriakan “Sahuuuuur,sahuuuuur,
sahuuuuur…!”
Momen
paling menggairahkan barangkali saat menunggu buka puasa. Warga berkumpul di
mushola usai shalat Ashar. Bermain catur, mengkaji kitab kuning, berbagi kisah
tentang pekerjaan pagi hari, sebelum semuanya pulang ketika bunyi kentong dan
bedug terdengar menyusup lubang-lubang angin. Mushola dan masjid, seolah
menjadi pusat kosmis kegiatan, yang merekatkan batin dan rasa senasib sepenanggungan. Kondisi ini tertolong, karena
kala itu hanya ada RRI dan TVRI, sebagai media hiburan yang kadang menyajikan
acara yang tidak menarik minat. Bulan Ramadan selalu dinanti-nanti, karena
setiap saat cerita terus berganti, penuh kesan dan menancap di hati.
Deregulasi
yang mengakhiri dominasi TVRI dan RRI serta membuka kran munculnya stasiun teve
baru membuat segalanya jadi serba terkapitalisasi. Kemajuan teknologi juga
memutus mata rantai aktivitas temu muka, menjadi cuitan di dunia maya. Keriuhan
kini berpindah. Kotak televisi dan layar smartphone jadi sarana pengganti
bertegur sapa dan cerita. Komunikasi seolah telah kehilangan “kesejatiannya”. Praktis,
selama bulan puasa, tradisi ngumpul bareng itu pelan-pelan lenyap. Apalagi di
Jakarta, ketika sebagian besar waktu telah tersita oleh kesibukan kerja.
Saya
mungkin terlalu lebay menganggap
bulan puasa kini telah kehilangan “ruh”nya. Boleh pula dituduh ini
pikiran orang ndeso. Tapi cobalah
cermati fakta-fakta yang berseliweran di sekitar kita. Di mushola dekat tempat
tinggal saya di Depok, tiap malam selalu penuh oleh ibu-ibu. Mereka antusias
mengikuti tarawih, karena hanya wajah-wajah yang dikenal sering ikut tarawih
nanti yang bakal mendapat bingkisan kue, baju lebaran dan sejumlah uang dari si
pemilik mushola. Ada niat lain yang mungkin tujuannya bagus, tapi secara tidak
langsung mengingkari nilai-nilai keikhlasan sebagai sebuah syarat ibadah.
Di
layar teve lebih kronis lagi. Berbagai program yang berbau Ramadan dirancang,
dengan menonjolkan simbol-simbol Islam tanpa substansi pesan dakwah yang jelas.
Kerudung, baju gamis, kopiah, kutipan ayat-ayat suci Al Qur’an laris manis
disajikan, bertebaran disepanjang durasi, dicampur lawakan gaya slapstick.
Waktu ngabuburit sambil mengkaji
kitab atau aktifitas keliling membangunkan warga, lenyap karena kalah oleh
acara teve, dengan sisipan iklan-iklan yang membentuk pemirsa jadi semakin
konsumtif. Jangan tanya bagaimana jungkir baliknya para pelaku dunia hiburan, para
bintang terkenal. Pontang panting ke sana ke mari, seolah harta dunia akan
dibawa mati.
Bulan
Ramadan, dengan begitu, telah dikomodifikasi sedemikian massif dan terstruktur.
Main catur, mengaji, dan membangunkan sahur memang masih ada. Tapi itu kita
jumpai dalam adegan sinetron bertema puasa. Kuliah subuh di mushola berganti
dakwah ustaz-ustaz terkenal di layar kaca. Bahkan tarawih pun, kadang lebih
suka menonton siaran langsung dari Masjidil Haram di televisi, daripada
beranjak ke masjid sebelah. Pembeda bulan puasa bagi orang sibuk kini hanya
tinggal aktifitas buka puasa dan sahur, atau sesekali muncul buka bersama
dengan para kolega.
Gempuran
program Ramadan di teve telah membuat kearifan lokal bulan puasa semakin
terpinggirkan. Padahal dari situlah pemahaman Islam sebagai rahmatanlilalamin dimulai dan semangat
puasa sebagai pembentuk kesalehan sosial dipupuk .Mungkin kabar baiknya, seperti
yang dikatakan para ustaz, Bulan Ramadan adalah bulan Maghfiroh –bulan penuh
ampunan. Semua ibadah di bulan ini, pahalanya dilipatgandakan puluhan kali.
Apalagi saat malam Lailatul Qadar.
Ini
kegiatan personal, bersifat vertikal, yang semakin menebal kala Ramadan tiba.
Semacam niat kuat untuk sejenak menjauh dari dunia. Membuktikan apa kata ustaz,
jika harta dunia itu seperti air laut. Semakin kita banyak meminumnya, akan
semakin haus. Dari sebelas bulan bergelut dengan urusan dunia, tak ada salahnya
sebulan untuk enjoy mengisi relung
rohani, yang selama ini kerontang oleh sifat cinta pada dunia. Siapa tahu dari
sinilah “ruh” bulan puasa bisa kita dapat lagi. Ya, siapa tahu?Wallahua’lam bishowab.
No comments:
Post a Comment
Terima kasih atas kunjungan anda!