Daftar Isi

Thursday, July 11, 2013

Mencari "Ruh" Ramadan yang Hilang

Saban kali bulan puasa tiba, kerinduan terhadap jejak Ramadan masa kecil selalu bergelinjang datang. Masa yang indah, dan penuh kekhusyukan, saya lewatkan di desa terpencil di pelosok Kabupaten Tegal, Jawa Tengah. Ramadan menjadi istimewa, karena ada beberapa kebiasaan kampung, yang kini telah lenyap tak berbekas. Ada memang beberapa yang dipertahankan. Tapi suasananya tak terasa seperti masa-masa dulu, karena masuknya modernisasi, yang telah menyerap hampir seluruh energi anak-anak kampung.

Sehari sebelum puasa, beduk di masjid ditabuh bertalu-talu.Sebelumnya, semua masjid dan mushola dicuci bersih. Gotong royong, dengan membawa ember dan pelepah pisang untuk menggaruk genangan air. Saat semua tempat peribadatan telah bersih, shalat tarawih riuh rendah karena banyaknya jamaah yang datang. Belum lagi ketika selesai tarawih. Panganan berupa kue-kue kecil digelar, disantap, sambil ngobrol ngalor ngidul penuh keakraban. Suasananya benar-benar guyub dan rukun.

Selama sebulan penuh, tiap sore bacaan ayat-ayat suci Al Qur’an saling bersahutan mengisi ruang langit lewat pengeras suara yang dipancang tegak. Tiap grup yang terdiri dari 2-4 orang saling menyimak, dan mencantumkan target untuk mengkhatamkan 30 juz Al Qur’an selama satu bulan. Pagi hari, setelah selesai sahur dan kelar shalat subuh berjamaah, suara para da’i dari berbagai penjuru terdengar mengisi kuliah subuh. Penduduk kampung sebelumnya dibangunkan oleh rombongan remaja, yang dengan alat seadanya berkeliling sambil memainkan ritme musik yang rancak, penuh kegembiraan disertai teriakan “Sahuuuuur,sahuuuuur, sahuuuuur…!”

Momen paling menggairahkan barangkali saat menunggu buka puasa. Warga berkumpul di mushola usai shalat Ashar. Bermain catur, mengkaji kitab kuning, berbagi kisah tentang pekerjaan pagi hari, sebelum semuanya pulang ketika bunyi kentong dan bedug terdengar menyusup lubang-lubang angin. Mushola dan masjid, seolah menjadi pusat kosmis kegiatan, yang merekatkan batin dan rasa senasib  sepenanggungan. Kondisi ini tertolong, karena kala itu hanya ada RRI dan TVRI, sebagai media hiburan yang kadang menyajikan acara yang tidak menarik minat. Bulan Ramadan selalu dinanti-nanti, karena setiap saat cerita terus berganti, penuh kesan dan menancap di hati.

Deregulasi yang mengakhiri dominasi TVRI dan RRI serta membuka kran munculnya stasiun teve baru membuat segalanya jadi serba terkapitalisasi. Kemajuan teknologi juga memutus mata rantai aktivitas temu muka, menjadi cuitan di dunia maya. Keriuhan kini berpindah. Kotak televisi dan layar smartphone jadi sarana pengganti bertegur sapa dan cerita. Komunikasi seolah telah kehilangan “kesejatiannya”. Praktis, selama bulan puasa, tradisi ngumpul bareng itu pelan-pelan lenyap. Apalagi di Jakarta, ketika sebagian besar waktu telah tersita oleh kesibukan kerja.

Saya mungkin terlalu lebay menganggap bulan puasa kini telah kehilangan “ruh”nya.  Boleh pula dituduh ini pikiran orang ndeso. Tapi cobalah cermati fakta-fakta yang berseliweran di sekitar kita. Di mushola dekat tempat tinggal saya di Depok, tiap malam selalu penuh oleh ibu-ibu. Mereka antusias mengikuti tarawih, karena hanya wajah-wajah yang dikenal sering ikut tarawih nanti yang bakal mendapat bingkisan kue, baju lebaran dan sejumlah uang dari si pemilik mushola. Ada niat lain yang mungkin tujuannya bagus, tapi secara tidak langsung mengingkari nilai-nilai keikhlasan sebagai sebuah syarat ibadah.

Di layar teve lebih kronis lagi. Berbagai program yang berbau Ramadan dirancang, dengan menonjolkan simbol-simbol Islam tanpa substansi pesan dakwah yang jelas. Kerudung, baju gamis, kopiah, kutipan ayat-ayat suci Al Qur’an laris manis disajikan, bertebaran disepanjang durasi, dicampur lawakan gaya slapstick. Waktu ngabuburit sambil mengkaji kitab atau aktifitas keliling membangunkan warga, lenyap karena kalah oleh acara teve, dengan sisipan iklan-iklan yang membentuk pemirsa jadi semakin konsumtif. Jangan tanya bagaimana jungkir baliknya para pelaku dunia hiburan, para bintang terkenal. Pontang panting ke sana ke mari, seolah harta dunia akan dibawa mati.

Bulan Ramadan, dengan begitu, telah dikomodifikasi sedemikian massif dan terstruktur. Main catur, mengaji, dan membangunkan sahur memang masih ada. Tapi itu kita jumpai dalam adegan sinetron bertema puasa. Kuliah subuh di mushola berganti dakwah ustaz-ustaz terkenal di layar kaca. Bahkan tarawih pun, kadang lebih suka menonton siaran langsung dari Masjidil Haram di televisi, daripada beranjak ke masjid sebelah. Pembeda bulan puasa bagi orang sibuk kini hanya tinggal aktifitas buka puasa dan sahur, atau sesekali muncul buka bersama dengan para kolega.

Gempuran program Ramadan di teve telah membuat kearifan lokal bulan puasa semakin terpinggirkan. Padahal dari situlah pemahaman Islam sebagai rahmatanlilalamin dimulai dan semangat puasa sebagai pembentuk kesalehan sosial dipupuk .Mungkin kabar baiknya, seperti yang dikatakan para ustaz, Bulan Ramadan adalah bulan Maghfiroh –bulan penuh ampunan. Semua ibadah di bulan ini, pahalanya dilipatgandakan puluhan kali. Apalagi saat malam Lailatul Qadar.

Ini kegiatan personal, bersifat vertikal, yang semakin menebal kala Ramadan tiba. Semacam niat kuat untuk sejenak menjauh dari dunia. Membuktikan apa kata ustaz, jika harta dunia itu seperti air laut. Semakin kita banyak meminumnya, akan semakin haus. Dari sebelas bulan bergelut dengan urusan dunia, tak ada salahnya sebulan untuk enjoy mengisi relung rohani, yang selama ini kerontang oleh sifat cinta pada dunia. Siapa tahu dari sinilah “ruh” bulan puasa bisa kita dapat lagi. Ya, siapa tahu?Wallahua’lam bishowab.

No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas kunjungan anda!