Daftar Isi

Tuesday, July 2, 2013

Maaf,Silahkan, Terima kasih

Cerita ini saya dapatkan dari almarhum Romo Mangun Wijaya, saat menempuh studi teologi di Jerman (dulu Jerman Barat). Dari flat sederhana yang ditempatinya, sastrawan besar pengarang novel “Burung-burung Manyar” itu melihat pola pendidikan sebuah taman kanak-kanak di dekatnya. Di situ, anak-anak dibiarkan bermain seenak sinyo semau noni.Tak ada bentakan untuk tertib atau aturan yang mengekang. Konon alasannya karena anak-anak bukanlah orang dewasa yang terperangkap dalam tubuh kecil.Mereka, calon generasi penerus bangsa itu hanya diajari secara intensif pentingnya tiga kata; maaf, silahkan dan terima kasih.

Hal serupa terjadi di Jepang. Namun, berbeda dengan di Jerman, Jepang lebih agak tertib. Penghormatan terhadap budaya leluhur, juga menjadi perhatian serius lain. Pola didik dan kemerdekaan berfikir semacam  di Jerman inilah yang konon menghasilkan tokoh-tokoh besar seperti ; Friedrich Nietzsce,Max Weber,Karl Marx, Friedrich Engels hingga megalomaniak paling brutal Adolf Hitler. Sementara Jepang, melesat menjadi negara maju, dengan tetap tak kehilangan pijakan unggah ungguhwarisan nenek moyang.

Sesungguhnya, sebagai sebuah tatanan masyarakat yang masuk kategori beradab, negeri kita dikenal sebagai negara yang ramah. Orang-orang bule yang pernah berkunjung pasti memberi kesaksian seperti itu. Masyarakat Indonesia suka tersenyum. Tak pernah memasang muka masam kala melihat tamu asing. Toleran dan suka menolong. Kita tak kalah dengan bangsa Jepang, bahkan di daerah-daerah tertentu, nilai-nilai itu masih terus dihidupkan, ditengah gerusan modernisasi di segala lini.

Pernah melihat orang tergelincir dari sepeda motor di dekat warung angkringan di  Yogyakarta?Dijamin secara spontan para penikmat nasi kucing akan segera berdatangan. Tanpa pamrih, mereka menolong. Sekian tahun hidup di kota budaya itu, membuat gambaran ideal itu seperti mencuat kembali, menyadari nilai-nilai serupa mulai terkikis di tengah-tengah masyarakat kita. Artinya, bisa saya pastikan,kita sebenarnya memiliki nilai-nilai unik dan bagus, yang hanya butuh penyegaran kembali agar kebiasaan baik itu tidak terkubur begitu saja.

Susahnya, karakter bangsa yang bagus itu, kadang tenggelam oleh pranata-pranata sosial yang entah berasal dari mana. Contohnya, kasur, dapur, sumur dikesankan sebagai wilayah perempuan. Begitu juga tugas menyusui. Dalam lingkup yang lebih luas, strata sosial buatan penjajah Belanda, hingga kini bahkan masih terpatri kuat. Memang orang Eropa, Indo atau China tidak lagi dipandang lebih tinggi dibanding pribumi. Tapi pengkotak-kotakan pribumi dari segi pekerjaan dari “kasta” paling mulia hingga paling rendah masih terus dirasakan.

Tanyalah pada mereka yang berburu posisi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Apa motivasinya ingin jadi abdi negara? Bekerja sebagai PNS masih jadi incaran, karena dinilai lebih tinggi status sosialnya. Minimal dibandingkan dengan profesi lain, walau di zaman Belanda sama-sama disebut Inlander. Alam pikiran bawah sadar ini menjadi semacam impian massif,hingga menjadi pejabat pemerintah dari tingkat tukang sapu sampai presiden menjadi dambaan banyak orang.

Dulu di zaman sahabat Nabi Muhammad SAW, ketika para sahabat diberi amanah sebagai khalifah, mereka akan mengucap istighfar. Bukan karena merasa tidak mampu. Tapi mereka membayangkan, betapa beratnya pertanggungjawaban tidak hanya didunia, tapi juga di akhirat. Sekarang, kalah suara di pilkada pun bisa menjadi pelecut aksi massa yang berujung pada bentrok dan pembakaran. Kita menjadi tuna susila ditengah krisis identitas diri. Merasa diri paling pinter dan menganggap yang lain dibawah, dan tidak mampu. Pejabat kita menjadi arogan dan tak pandai mengukur baju sendiri, karena nafsu berkuasa lebih besar dibanding bayangan pertanggungjawaban yang bakal diminta nanti.

Kasus pemukulan pramugari Sriwijaya Air oleh Zakaria Umar Hadi dan pemukulan yang dilakukan Bupati Seram Timur terhadap petugas Lion Air baru-baru ini, semakin meyakinkan kita, selain tuna etika, mental pangrehpraja zaman Belanda diam-diam masih hidup di dalam sanubari sebagian pejabat kita. Jika kita negatif thingking, barangkali banyak pula peraturan-peraturan di lembaganya yang membuat mereka tak nyaman diinjak-injak. Ini mungkin, karena taat asas dan norma, sesungguhnya menjadi barang wajib yang secara an sich sudah melekat pada seorang pejabat setingkat mereka.

Memang mental pangrehpraja tak hanya menyusup diantara para aparatur pemerintah. Lingkungan pergaulan dan pola didik yang salah, juga membuat segelintir orang kaya dan beberapa artis tenar terkena sindrom Fir’aun. Karena merasa memiliki segalanya, dan menjadi penentu hidup matinya seseorang, Fir’aun akhirnya mengklaim diri sebagai Tuhan. Tentu beberapa artis itu tak sampai mengaku sebagai Tuhan. Tapi sikap intoleran terhadap aturan, bahkan untuk hal kecil seperti tak boleh merokok di ruangan ber-AC, semakin meneguhkan ada yang perlu diperbaiki dalam level keluarga.

Butuh waktu untuk membongkar  pranata sosial yang keliru dalam masyarakat. Banyak kendala menghadang, dari sistem masyarakat patriakhi, hingga bahasa daerah yang membuat kita terkotak-kotak dan jauh dari sikap egaliter.Namun begitu, energi kita tidak boleh habis, untuk mengenalkan betapa keluhuran budi dan jiwa menjadi lebih penting, dibanding jabatan setinggi apapun, karena “kursi” yang kita duduki pasti akan purna. Ya,minimal kenalkanlah dengan tiga kata tadi; maaf, silahkan dan terima kasih. Karena itulah pondasi yang bakal menegakkan menara kerendahatian, setinggi dan sebesar apapun amanah jabatan dan kekayaan yang kita emban. 



No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas kunjungan anda!