Cerita ini saya dapatkan dari almarhum Romo Mangun Wijaya, saat menempuh
studi teologi di Jerman (dulu Jerman Barat). Dari flat sederhana yang
ditempatinya, sastrawan besar pengarang novel “Burung-burung Manyar” itu
melihat pola pendidikan sebuah taman kanak-kanak di dekatnya. Di situ,
anak-anak dibiarkan bermain seenak sinyo semau noni.Tak ada bentakan untuk
tertib atau aturan yang mengekang. Konon alasannya karena anak-anak bukanlah
orang dewasa yang terperangkap dalam tubuh kecil.Mereka, calon generasi penerus
bangsa itu hanya diajari secara intensif pentingnya tiga kata; maaf, silahkan
dan terima kasih.
Hal serupa terjadi di Jepang. Namun, berbeda dengan di Jerman, Jepang lebih
agak tertib. Penghormatan terhadap budaya leluhur, juga menjadi perhatian
serius lain. Pola didik dan kemerdekaan berfikir semacam di Jerman
inilah yang konon menghasilkan tokoh-tokoh besar seperti ; Friedrich
Nietzsce,Max Weber,Karl Marx, Friedrich Engels hingga megalomaniak paling brutal
Adolf Hitler. Sementara Jepang, melesat menjadi negara maju, dengan tetap tak
kehilangan pijakan unggah ungguhwarisan nenek moyang.
Sesungguhnya, sebagai sebuah tatanan masyarakat yang masuk kategori
beradab, negeri kita dikenal sebagai negara yang ramah. Orang-orang bule yang
pernah berkunjung pasti memberi kesaksian seperti itu. Masyarakat Indonesia
suka tersenyum. Tak pernah memasang muka masam kala melihat tamu asing. Toleran
dan suka menolong. Kita tak kalah dengan bangsa Jepang, bahkan di daerah-daerah
tertentu, nilai-nilai itu masih terus dihidupkan, ditengah gerusan modernisasi
di segala lini.
Pernah melihat orang tergelincir dari sepeda motor di dekat warung
angkringan di Yogyakarta?Dijamin secara spontan para penikmat nasi kucing
akan segera berdatangan. Tanpa pamrih, mereka menolong. Sekian tahun hidup di
kota budaya itu, membuat gambaran ideal itu seperti mencuat kembali, menyadari
nilai-nilai serupa mulai terkikis di tengah-tengah masyarakat kita. Artinya,
bisa saya pastikan,kita sebenarnya memiliki nilai-nilai unik dan bagus, yang
hanya butuh penyegaran kembali agar kebiasaan baik itu tidak terkubur begitu
saja.
Susahnya, karakter bangsa yang bagus itu, kadang tenggelam oleh
pranata-pranata sosial yang entah berasal dari mana. Contohnya, kasur, dapur,
sumur dikesankan sebagai wilayah perempuan. Begitu juga tugas menyusui. Dalam
lingkup yang lebih luas, strata sosial buatan penjajah Belanda, hingga kini
bahkan masih terpatri kuat. Memang orang Eropa, Indo atau China tidak lagi
dipandang lebih tinggi dibanding pribumi. Tapi pengkotak-kotakan pribumi dari
segi pekerjaan dari “kasta” paling mulia hingga paling rendah masih terus
dirasakan.
Tanyalah pada mereka yang berburu posisi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Apa
motivasinya ingin jadi abdi negara? Bekerja sebagai PNS masih jadi incaran,
karena dinilai lebih tinggi status sosialnya. Minimal dibandingkan dengan
profesi lain, walau di zaman Belanda sama-sama disebut Inlander. Alam pikiran
bawah sadar ini menjadi semacam impian massif,hingga menjadi pejabat pemerintah
dari tingkat tukang sapu sampai presiden menjadi dambaan banyak orang.
Dulu di zaman sahabat Nabi Muhammad SAW, ketika para sahabat diberi amanah
sebagai khalifah, mereka akan mengucap istighfar. Bukan karena merasa tidak
mampu. Tapi mereka membayangkan, betapa beratnya pertanggungjawaban tidak hanya
didunia, tapi juga di akhirat. Sekarang, kalah suara di pilkada pun bisa
menjadi pelecut aksi massa yang berujung pada bentrok dan pembakaran. Kita
menjadi tuna susila ditengah krisis identitas diri. Merasa diri paling pinter
dan menganggap yang lain dibawah, dan tidak mampu. Pejabat kita menjadi arogan
dan tak pandai mengukur baju sendiri, karena nafsu berkuasa lebih besar
dibanding bayangan pertanggungjawaban yang bakal diminta nanti.
Kasus pemukulan pramugari Sriwijaya Air oleh Zakaria Umar Hadi dan
pemukulan yang dilakukan Bupati Seram Timur terhadap petugas Lion Air baru-baru
ini, semakin meyakinkan kita, selain tuna etika, mental pangrehpraja zaman
Belanda diam-diam masih hidup di dalam sanubari sebagian pejabat kita. Jika
kita negatif thingking, barangkali banyak pula peraturan-peraturan
di lembaganya yang membuat mereka tak nyaman diinjak-injak. Ini mungkin, karena
taat asas dan norma, sesungguhnya menjadi barang wajib yang secara an
sich sudah melekat pada seorang pejabat setingkat mereka.
Memang mental pangrehpraja tak hanya menyusup diantara para aparatur
pemerintah. Lingkungan pergaulan dan pola didik yang salah, juga membuat
segelintir orang kaya dan beberapa artis tenar terkena sindrom Fir’aun. Karena
merasa memiliki segalanya, dan menjadi penentu hidup matinya seseorang, Fir’aun
akhirnya mengklaim diri sebagai Tuhan. Tentu beberapa artis itu tak sampai
mengaku sebagai Tuhan. Tapi sikap intoleran terhadap aturan, bahkan untuk hal kecil
seperti tak boleh merokok di ruangan ber-AC, semakin meneguhkan ada yang perlu
diperbaiki dalam level keluarga.
Butuh waktu untuk membongkar pranata sosial yang keliru dalam
masyarakat. Banyak kendala menghadang, dari sistem masyarakat patriakhi, hingga
bahasa daerah yang membuat kita terkotak-kotak dan jauh dari sikap
egaliter.Namun begitu, energi kita tidak boleh habis, untuk mengenalkan betapa
keluhuran budi dan jiwa menjadi lebih penting, dibanding jabatan setinggi
apapun, karena “kursi” yang kita duduki pasti akan purna. Ya,minimal
kenalkanlah dengan tiga kata tadi; maaf, silahkan dan terima kasih. Karena
itulah pondasi yang bakal menegakkan menara kerendahatian, setinggi dan sebesar
apapun amanah jabatan dan kekayaan yang kita emban.
No comments:
Post a Comment
Terima kasih atas kunjungan anda!