Daftar Isi

Saturday, June 22, 2013

Saya Sopir,Bukan Asisten Menteri...

DI dan istri
Melihat Dahlan Iskan, seolah melihat runtuhnya jalur birokratis seorang menteri. Jabatan politis yang kerap dipandang agker dan susah di sentuh, ditangan DI –begitu Dahlan Iskan biasa disapa, seolah jadi barang usang. Maka saat beliau hadir di Trans TV,Mampang, Jakarta Selatan, pertengahan Maret 2013 lalu, bertubi-tubi orang menyapanya. DI hadir dengan baju khasnya ; kemeja putih, celana katun hitam dan sepatu kets bertuliskan “DI” di tumitnya. Sang istri yang mengenakan jilbab, tak kalah ramai dan sumeleh.

Suasana saat itu memang gayeng. DI hadir bersama teman-teman senamnya. Kata seorang ibu yang ikut dengan kaos seragam, DI sering ikut senam di monas. Karena habis senam, mereka disuruh ikut serta oleh DI yang dijadwalkan akan melakukan konferensi pers. Belum lama, DI memang didaulat menjadi bintang iklan sebuah produk jamu ternama.”Jadi kita sekalian ikut ke sini mas. Itung-itung ngeramein,”kata si ibu keturunan Tionghoa itu.

Terbetik di benak saya lantas ingin membuat profil keluarganya. Sepertinya DI dan istrinya sangat harmonis.Mereka ramah, murah senyum dan menyapa siapa saja. Usai konferensi pers, saya dekati istrinya. Saya bilang, mau minta waktu untuk wawancara. Temanya soal profil keluarga. Sambutan si ibu mengejutkan.”Oh, boleh...mau kapan?Ayo aja,”ujarnya."Tapi saya minta waktu khusus agak banyak bu.Soalnya untuk dua halaman,"saya menukas."Boleeeeeh...atur aja,"kata si ibu. Mantabs....

Saya langsung berinisiatif untuk meminta nomor kontaknya. Tapi si ibu menunjuk seorang pria berbaju safari, dengan tas selempang hitam khas seragam ajudan menteri. Namanya Sahidin. “Ke dia saja. Nanti diatur jadwalnya,”kata istri Dahlan. Saya langsung menyambangi. Menyapa Sahidin. Ia memberi nomor dan saya mengutarakan maksud.”Bisa ya pak?Minta waktu pak menteri,”? Sahidin mengangguk-angguk.

Di lobi gedung Trans, saya kembali menegaskan. Sahidin kemudian menjanjikan, akan mengaturnya.Saya ingat, SMS saya dibalas waktu saya sedang meluncur ke Cirebon, Jawa Barat, di minggu berikutnya.”Besok pagi saja di Monas jam 4 pagi,”kata Sahidin. Saya bilang waduh, tidak bisa pak. Karena saya sedang ada liputan di Cirebon. Saya minta dijadwal ulang. Usai pulang dari Cirebon, saya kembali minta waktu. Tapi Sahidin tidak menjanjikan.

Tak mau kehilangan buruan, minggu berikutnya saya kembali tagih janji Sahidin. Tapi lagi-lagi oleh Sahidin saya di suruh datang ke Monas jam 4 pagi. Sahidin tidak menjelaskan, di sebelah mana saya akan bertemu DI. Padahal Monas khan amat luas? “Pokoknya datang saja.Khan yang butuh abang?”balas Sahidin, ketus. Saya mencoba bersabar. Pengalaman dengan berbagai tingkah ajudan orang penting yang menjengkelkan, membuat persediaan sabar saya harus ekstra banyak.

Saya memang ngeri juga membayangkan, harus keluar jam berapa dari rumah kalau ditunggu di Monas jam 4 pagi. Minimal 2.30 sudah berangkat. Karena ingin memastikan jerih payah saya tidak sia-sia, saya lantas meminta jaminan Sahidin.”Pak, tapi pak menteri pasti mau ya kalau saya datang pagi-pagi?Takutnya begitu nyampe di Monas, beliau nggak mau wawancara,”kata saya. Apa jawaban Sahidin?

“Lha, ya nggak tahu?Situ datang saja nanti di sini nego lagi mau nggak pak menteri wawancara?”jawabnya enteng. Inilah yang membuat saya tak habis pikir. Saya minta baik-baik, apakah bisa diatur waktunya supaya jangan ketemu di Monas jam 4 pagi, ditolak. Begitu meminta jaminan, jika saya datang DI mau diwawancara, Sahidin ngomong begitu. Jujur, saya mulai kesal.

“Bapak ini bagaimana sih?Khan ibu sudah mau diwawancara dan memberi wewenang Pak Sahidin untuk mengatur waktunya?Kok malah melempar ke saya untuk melobi lagi?Kalau bapak mempersulit gini, nanti saya bilang ke pak DI, kalau bapak nggak kooperatif,”ancam saya.

Kemarahan saya itu rupanya membuat Sahidin tersinggung. Dia lantas mempertanyakan, apa maksud saya hendak melaporkan ke boss-nya. Tapi saya tetap keukeuh, nih orang harus dikasih pelajaran.”Bapak itu yang nggak sopan. Ketus gitu kalau ditanya baik-baik. Saya yakin pak menteri nggak bakalan seperti itu, karena dia itu bekas wartawan. Apa bapak nggak pernah ngurus wartawan ya?Kalau perlu saya laporkan ke presiden, karena saya punya link ke SBY,”semprot saya lagi.

Sahidin rupanya keder. Dia lantas menjawab,”Pak, maaf, saya bukan asisten pribadi pak menteri. Saya cuma sopir. Jadi nggak ngerti apa namanya prosedur segala macam,termasuk bagaimana meyakinkan pak menteri agar mau diwawancara”katanya. Saya bilang, oh, pantas sikap bapak seenak udel. Diajak diskusi bagaimana biar sama-sama nyaman, bawaannya nyolot mulu.”Bilang dari dulu kalau bapak bukan asisten pribadinya kek. Jangan sok penting. Sudah saya nggak akan menghubungi sampeyan lagi.Saya mau cari chanel lain,”kemarahan saya mencapai puncak.

Rupanya Sahidin masih takut dengan ancaman saya. Dia terus mendesak, apa dasar saya hendak melaporkan dia ke DI atau SBY. Tapi dalam hati saya tertawa saja.Bukan apa-apa. Kalau misalnya tidak bisa mengatur jadwal pertemuan, buat apa dari awal capai-capai meladeni saya?Belakangan saya memang tidak berminat untuk mewawancarai DI lagi. Berdasar informasi dari berbagai sumber, DI tidak memenuhi syarat yang saya inginkan. Benar tidaknya isu itu, sampai sekarang saya tak berminat untuk menelisiknya?Biar waktu nanti yang akan menjawabnya.

No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas kunjungan anda!