DI dan istri |
Melihat
Dahlan Iskan, seolah melihat runtuhnya jalur birokratis seorang menteri.
Jabatan politis yang kerap dipandang agker dan susah di sentuh, ditangan DI –begitu
Dahlan Iskan biasa disapa, seolah jadi barang usang. Maka saat beliau hadir di
Trans TV,Mampang, Jakarta Selatan, pertengahan Maret 2013 lalu, bertubi-tubi orang menyapanya. DI hadir dengan baju khasnya ; kemeja
putih, celana katun hitam dan sepatu kets bertuliskan “DI” di tumitnya. Sang
istri yang mengenakan jilbab, tak kalah ramai dan sumeleh.
Suasana
saat itu memang gayeng. DI hadir bersama teman-teman
senamnya. Kata seorang ibu yang ikut dengan kaos seragam, DI sering ikut senam
di monas. Karena habis senam, mereka disuruh ikut serta oleh DI yang
dijadwalkan akan melakukan konferensi pers. Belum lama, DI memang didaulat
menjadi bintang iklan sebuah produk jamu ternama.”Jadi kita sekalian ikut ke
sini mas. Itung-itung ngeramein,”kata si ibu keturunan Tionghoa itu.
Terbetik
di benak saya lantas ingin membuat profil keluarganya. Sepertinya DI dan
istrinya sangat harmonis.Mereka ramah, murah senyum dan menyapa siapa saja.
Usai konferensi pers, saya dekati istrinya. Saya bilang, mau minta waktu untuk
wawancara. Temanya soal profil keluarga. Sambutan si ibu mengejutkan.”Oh,
boleh...mau kapan?Ayo aja,”ujarnya."Tapi saya minta waktu khusus agak banyak bu.Soalnya untuk dua halaman,"saya menukas."Boleeeeeh...atur aja,"kata si ibu. Mantabs....
Saya
langsung berinisiatif untuk meminta nomor kontaknya. Tapi si ibu menunjuk
seorang pria berbaju safari, dengan tas selempang hitam khas seragam ajudan
menteri. Namanya Sahidin. “Ke dia saja. Nanti diatur jadwalnya,”kata istri
Dahlan. Saya langsung menyambangi. Menyapa Sahidin. Ia memberi nomor dan saya
mengutarakan maksud.”Bisa ya pak?Minta waktu pak menteri,”? Sahidin
mengangguk-angguk.
Di
lobi gedung Trans, saya kembali menegaskan. Sahidin kemudian menjanjikan, akan
mengaturnya.Saya ingat, SMS saya dibalas waktu saya sedang meluncur ke Cirebon,
Jawa Barat, di minggu berikutnya.”Besok pagi saja di Monas jam 4 pagi,”kata
Sahidin. Saya bilang waduh, tidak bisa pak. Karena saya sedang ada liputan di
Cirebon. Saya minta dijadwal ulang. Usai pulang dari Cirebon, saya kembali
minta waktu. Tapi Sahidin tidak menjanjikan.
Saya
memang ngeri juga membayangkan, harus keluar jam berapa dari rumah kalau
ditunggu di Monas jam 4 pagi. Minimal 2.30 sudah berangkat. Karena ingin
memastikan jerih payah saya tidak sia-sia, saya lantas meminta jaminan Sahidin.”Pak,
tapi pak menteri pasti mau ya kalau saya datang pagi-pagi?Takutnya begitu
nyampe di Monas, beliau nggak mau wawancara,”kata saya. Apa jawaban Sahidin?
“Lha,
ya nggak tahu?Situ datang saja nanti di sini nego lagi mau nggak pak menteri wawancara?”jawabnya enteng. Inilah yang membuat saya tak habis pikir. Saya minta baik-baik, apakah
bisa diatur waktunya supaya jangan ketemu di Monas jam 4 pagi, ditolak. Begitu
meminta jaminan, jika saya datang DI mau diwawancara, Sahidin ngomong begitu.
Jujur, saya mulai kesal.
“Bapak
ini bagaimana sih?Khan ibu sudah mau diwawancara dan memberi wewenang Pak
Sahidin untuk mengatur waktunya?Kok malah melempar ke saya untuk melobi
lagi?Kalau bapak mempersulit gini, nanti saya bilang ke pak DI, kalau bapak
nggak kooperatif,”ancam saya.
Kemarahan
saya itu rupanya membuat Sahidin tersinggung. Dia lantas mempertanyakan, apa
maksud saya hendak melaporkan ke boss-nya. Tapi saya tetap keukeuh, nih orang
harus dikasih pelajaran.”Bapak itu yang nggak sopan. Ketus gitu kalau ditanya
baik-baik. Saya yakin pak menteri nggak bakalan seperti itu, karena dia itu
bekas wartawan. Apa bapak nggak pernah ngurus wartawan ya?Kalau perlu saya
laporkan ke presiden, karena saya punya link ke SBY,”semprot saya lagi.
Sahidin
rupanya keder. Dia lantas menjawab,”Pak, maaf, saya bukan asisten pribadi pak
menteri. Saya cuma sopir. Jadi nggak ngerti apa namanya prosedur segala macam,termasuk
bagaimana meyakinkan pak menteri agar mau diwawancara”katanya. Saya bilang, oh,
pantas sikap bapak seenak udel. Diajak diskusi bagaimana biar sama-sama nyaman,
bawaannya nyolot mulu.”Bilang dari dulu kalau bapak bukan asisten pribadinya
kek. Jangan sok penting. Sudah saya nggak akan menghubungi sampeyan lagi.Saya
mau cari chanel lain,”kemarahan saya mencapai puncak.
No comments:
Post a Comment
Terima kasih atas kunjungan anda!