rombongan perahu |
Buncahan
air laut segera membumbung tinggi, saat tubuh legam itu terjun bebas dari lunas
perahu. Beberapa orang menjerit ketika terkena percikan air. Sejenak laju
perahu melambat. Sejumlah remaja tanggung menyusul terjun, lantas
bergelantungan di seutas tali. Kapal kembali melaju. Seperti bermain ski,
anak-anak muda Dukuh Karang Bulu, Cirebon, Jawa Barat itu meluncur deras di
tengah serpihan ombak dan dinginnya air Laut Jawa. Suasana ceria, penuh canda,
bahkan sedikit membersitkan kengerian mewarnai pesta laut Minggu (9/6) siang,
ketika saya berkunjung bersama sejumlah kader Partai Amanat Nasional (PAN),
Jakarta.
Saat
saya datang, sekitar pukul 09.00 WIB, bau amis ikan segera menyerbu hidung.
Suasana sudah mulai ramai. Di tiap pos kamling, yang berjajar dengan jarak 50
meter, berkumandang lagu tarling khas Cirebon. Ratusan warga setempat, yang didominasi
muda-mudi dengan baju yang paling bagus, mulai keluar dan masuk ke dalam perahu
yang berjejer di sungai Ciberes. Saya sempat ragu untuk menaiki satu perahu.
Tapi keinginan kuat untuk menjajal pengalaman seru ini tak terbendung.
berenang di laut |
“Ayo,
mang.Melu bae...ora bayar kok”kata anak-anak kecil yang saya temui. Beberapa remaja
putri dengan dandanan khasnya tak kalah agresif mengajak. Mereka bahkan senang,
saat saya tanya-tanya tradisi Nadran alias pesta laut yang diadakan tiap
sebelum lebaran. Tanpa pikir panjang, saya akhirnya menaiki salah satu perahu
bersama sekitar 20 orang.
Perahu
bertenaga mesin diesel itu melaju ke tengah. Puluhan, bahkan mungkin ratusan
perahu berkonvoi menuju satu titik. Saya tidak hafal di mana titik yang dituju.
Namun setengah jam setelah perjalanan penuh goyangan ombak itu, tiba-tiba semua
perahu melaju ke arah yang sama. Saat jarak antar perahu sudah semakin rapat,
mesin-mesin dimatikan. Bodi perahu saling bersenggolan. Lantas mulailah seperti
yang saya ceritakan tadi. Laut Jawa yang dingin menjadi arena pemandian. Luar
biasa.
Perahu
beranjak sedikit, nampak keranjang bekas tempat kepala kerbau sudah
mengapung-apung. Pelarungan kepala kerbau inilah rupanya, yang mengundang
ratusan perahu berkumpul di satu titik. Berikutnya, tiap perahu yang ikut
mengiringi pelarungan dibasuh dengan air laut. Bekal-bekal nasi kuning dan
minuman dari daratan dibuka. Dalam kondisi mesin mati, tiap orang makan-makan
di tengah laut. Minum dan menutup hidangan dengan buah jeruk. Semua berpesta.
Beberapa mengabadikan dengan kamera ponsel yang dibawa, setelah makanan tandas
tak bersisa.
Rangkaian
acara Nadran berupa pelarungan kepala kerbau memang yang paling
ditunggu-tunggu. Kata Markonah, ibu satu anak yang ikut bersama saya satu
perahu, acara ini menjadi hiburan tersendiri. Semuanya gratis. Memang sebelumnya
ada iuran warga. Tiap kepala keluarga ditarik Rp 20 ribu. Hal ini untuk
membiayai semua urutan kegiatan. “Soale ora mung ngelarung endas kebo. Ana
pentas sandiwara,wayang kulit karo pengajian juga,”kata Markonah.
Grup
sandiwara Candra Kirana didatangkan dari Majalengka. Sementara grup wayang
kulit Swara Muda cukup dari Cirebon. Sebuah panggung besar yang berdiri di sisi
Kali Ciberes, menjadi pusat kegiatan. Berapa biaya untuk mengadakan tradisi
Nadran saban tahun?”Sekitar 50 juta habis,”kata Casmun, anak muda yang mengemudikan
perahu yang saya tumpangi. Saat saya datang, semua biaya Nadran dan bantuan
perlengkapan nelayan sekitar Rp 300 juta di sumbang oleh PAN.
Ketika
matahari sudah di ubun-ubun kepala, semua perahu membubarkan diri. Perut-perut
sudah kenyang. Beberapa ABG memang masih terlihat asyik berenang di laut.
Mereka lantas dengan sigap menangkap ban di sisi perahu, dan naik tanpa
kesulitan. Yang lain terus berselancar menggunakan dadanya,sambil
berteriak-teriak kegirangan. Asap hitam sesekali mengepul dari mesin diesel
yang menderu-deru, mendorong tubuh perahu menuju daratan.
Jujur,
saya kagum dengan kemampuan berenang mereka. Tapi belakangan saya tidak heran,
karena saat perahu mulai masuk ke sungai Ciberes, puluhan anak kecil dengan
stereofoam mengambang berenang di sisi perahu, timbul tenggelam. Mereka enak
saja bermain-main di sungai yang dalam, tanpa takut tertabrak perahu. Kata
Markonah, laut sudah jadi sahabat mereka. “Dadi wis biasa. Ora heran maning,”ujarnya.
Dengan
kepala cenut-cenut karena kepanasan, saya tinggalkan perahu dan ingar-bingar
musik dangdut kampung nelayan Dusun Karang Bulu. Siang itu perut sudah mulai
melilit. AC bus yang saya tumpangi bersama puluhan wartawan lain, tak mampu
mengusir kliyengan di kepala, karena hempasan ombak yang menggoyang kapal yang
baru saja saya naiki. Tapi melihat anak-anak muda berenang, remaja-remaja putri
Dusun Karang Bulu berdandan,dan kepolosan Markonah, membuat keruwetan hidup di
Jakarta seperti mencair.
“Mang,
aja kelalen inyong di foto ya?Ben mlebu koran,”canda Markonah sebelum berpisah.
Jepret,jepret. Saya ambil beberapa foto. Gambar-gambar itulah yang seolah
mengingatkan saya; ada dunia indah di dekat kita. Tempat di mana tidak ada
kepentingan politik, persaingan kantor, trik kotor, dan tetek bengek problem
hidup yang ruwet dan menjengkelkan di tiap jengkal Jakarta. Hidup ini
sebenarnya indah, jika kita bisa menikmatinya dengan ceria, sebahagia Markonah
dan anak-anak nelayan itu.Idilah, loken?
No comments:
Post a Comment
Terima kasih atas kunjungan anda!