Daftar Isi

Thursday, June 13, 2013

Bertemu Kepala Kerbau di Laut Jawa

rombongan perahu
Buncahan air laut segera membumbung tinggi, saat tubuh legam itu terjun bebas dari lunas perahu. Beberapa orang menjerit ketika terkena percikan air. Sejenak laju perahu melambat. Sejumlah remaja tanggung menyusul terjun, lantas bergelantungan di seutas tali. Kapal kembali melaju. Seperti bermain ski, anak-anak muda Dukuh Karang Bulu, Cirebon, Jawa Barat itu meluncur deras di tengah serpihan ombak dan dinginnya air Laut Jawa. Suasana ceria, penuh canda, bahkan sedikit membersitkan kengerian mewarnai pesta laut Minggu (9/6) siang, ketika saya berkunjung bersama sejumlah kader Partai Amanat Nasional (PAN), Jakarta.

Saat saya datang, sekitar pukul 09.00 WIB, bau amis ikan segera menyerbu hidung. Suasana sudah mulai ramai. Di tiap pos kamling, yang berjajar dengan jarak 50 meter, berkumandang lagu tarling khas Cirebon. Ratusan warga setempat, yang didominasi muda-mudi dengan baju yang paling bagus, mulai keluar dan masuk ke dalam perahu yang berjejer di sungai Ciberes. Saya sempat ragu untuk menaiki satu perahu. Tapi keinginan kuat untuk menjajal pengalaman seru ini tak terbendung.
berenang di laut


“Ayo, mang.Melu bae...ora bayar kok”kata anak-anak kecil yang saya temui. Beberapa remaja putri dengan dandanan khasnya tak kalah agresif mengajak. Mereka bahkan senang, saat saya tanya-tanya tradisi Nadran alias pesta laut yang diadakan tiap sebelum lebaran. Tanpa pikir panjang, saya akhirnya menaiki salah satu perahu bersama sekitar 20 orang.

Perahu bertenaga mesin diesel itu melaju ke tengah. Puluhan, bahkan mungkin ratusan perahu berkonvoi menuju satu titik. Saya tidak hafal di mana titik yang dituju. Namun setengah jam setelah perjalanan penuh goyangan ombak itu, tiba-tiba semua perahu melaju ke arah yang sama. Saat jarak antar perahu sudah semakin rapat, mesin-mesin dimatikan. Bodi perahu saling bersenggolan. Lantas mulailah seperti yang saya ceritakan tadi. Laut Jawa yang dingin menjadi arena pemandian. Luar biasa.
 
damainya laut Jawa
Perahu beranjak sedikit, nampak keranjang bekas tempat kepala kerbau sudah mengapung-apung. Pelarungan kepala kerbau inilah rupanya, yang mengundang ratusan perahu berkumpul di satu titik. Berikutnya, tiap perahu yang ikut mengiringi pelarungan dibasuh dengan air laut. Bekal-bekal nasi kuning dan minuman dari daratan dibuka. Dalam kondisi mesin mati, tiap orang makan-makan di tengah laut. Minum dan menutup hidangan dengan buah jeruk. Semua berpesta. Beberapa mengabadikan dengan kamera ponsel yang dibawa, setelah makanan tandas tak bersisa.
 
markonah
Rangkaian acara Nadran berupa pelarungan kepala kerbau memang yang paling ditunggu-tunggu. Kata Markonah, ibu satu anak yang ikut bersama saya satu perahu, acara ini menjadi hiburan tersendiri. Semuanya gratis. Memang sebelumnya ada iuran warga. Tiap kepala keluarga ditarik Rp 20 ribu. Hal ini untuk membiayai semua urutan kegiatan. “Soale ora mung ngelarung endas kebo. Ana pentas sandiwara,wayang kulit karo pengajian juga,”kata Markonah.

Grup sandiwara Candra Kirana didatangkan dari Majalengka. Sementara grup wayang kulit Swara Muda cukup dari Cirebon. Sebuah panggung besar yang berdiri di sisi Kali Ciberes, menjadi pusat kegiatan. Berapa biaya untuk mengadakan tradisi Nadran saban tahun?”Sekitar 50 juta habis,”kata Casmun, anak muda yang mengemudikan perahu yang saya tumpangi. Saat saya datang, semua biaya Nadran dan bantuan perlengkapan nelayan sekitar Rp 300 juta di sumbang oleh PAN.
 
berkumpul di satu titik
Ketika matahari sudah di ubun-ubun kepala, semua perahu membubarkan diri. Perut-perut sudah kenyang. Beberapa ABG memang masih terlihat asyik berenang di laut. Mereka lantas dengan sigap menangkap ban di sisi perahu, dan naik tanpa kesulitan. Yang lain terus berselancar menggunakan dadanya,sambil berteriak-teriak kegirangan. Asap hitam sesekali mengepul dari mesin diesel yang menderu-deru, mendorong tubuh perahu menuju daratan.
 
memandikan perahu
Jujur, saya kagum dengan kemampuan berenang mereka. Tapi belakangan saya tidak heran, karena saat perahu mulai masuk ke sungai Ciberes, puluhan anak kecil dengan stereofoam mengambang berenang di sisi perahu, timbul tenggelam. Mereka enak saja bermain-main di sungai yang dalam, tanpa takut tertabrak perahu. Kata Markonah, laut sudah jadi sahabat mereka. “Dadi wis biasa. Ora heran maning,”ujarnya.

Dengan kepala cenut-cenut karena kepanasan, saya tinggalkan perahu dan ingar-bingar musik dangdut kampung nelayan Dusun Karang Bulu. Siang itu perut sudah mulai melilit. AC bus yang saya tumpangi bersama puluhan wartawan lain, tak mampu mengusir kliyengan di kepala, karena hempasan ombak yang menggoyang kapal yang baru saja saya naiki. Tapi melihat anak-anak muda berenang, remaja-remaja putri Dusun Karang Bulu berdandan,dan kepolosan Markonah, membuat keruwetan hidup di Jakarta seperti mencair.
 
bekal makanan

“Mang, aja kelalen inyong di foto ya?Ben mlebu koran,”canda Markonah sebelum berpisah. Jepret,jepret. Saya ambil beberapa foto. Gambar-gambar itulah yang seolah mengingatkan saya; ada dunia indah di dekat kita. Tempat di mana tidak ada kepentingan politik, persaingan kantor, trik kotor, dan tetek bengek problem hidup yang ruwet dan menjengkelkan di tiap jengkal Jakarta. Hidup ini sebenarnya indah, jika kita bisa menikmatinya dengan ceria, sebahagia Markonah dan anak-anak nelayan itu.Idilah, loken?

No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas kunjungan anda!