Daftar Isi

Saturday, June 22, 2013

Beberapa Budaya Betawi

Saban ulang tahun kota Jakarta, beberapa kesenian khas Betawi biasanya ikut unjuk gigi.Momentum ini seolah menjadi penanda untuk terus melestarikan peninggalan nenek  moyang, ditengah gerusan budaya modern yang semakin menggila. Ada beberapa tradisi Betawi yang tetap eksis, disamping beberapa yang sudah jarang dimainkan. Berikut diantaranya;

Ondel-ondel
Boneka raksasa yang sering diarak keliling kampung oleh warga Betawi ternyata awalnya disebut Barongan.Tak ada yang tahu pasti arti kata tersebut. Mungkin berasal dari kata “barengan” yang berarti bareng-bareng atau sama-sama. Sebutan itu datang dari kalimat ajakan dalam logat Betawi “Yok, kita ngarak bareng-bareng”. Sejak kapan kemunculannya?Yang jelas boneka raksasa ini sudah ada sejak VOC mulai masuk ke Indonesia.

Pedagang dari Inggris, W. Scot, mencatat dalam bukunya jenis boneka seperti ondel-ondel sudah ada pada tahun 1605. E.R. Scidmore, wisman asal Amerika Serikat yang datang ke Jawa dan tinggal cukup lama di Batavia, pada pnghujung abad ke-19, melaporkan dalam Java, The Garden of The East, adanya pertunjukan seni jalanan di Batavia berupa tarian. Schidmore tidak menyebut secara jelas apa jenis tarian itu. Namun dapat diperkirakan bahwa kesenian itu adalah ondel-ondel, mengingat tarian itu bermain di jalanan.

Dahulu konon ondel-ondel biasanya minta madat. Namun karena madat atau ganja dilarang, sebagai gantinya Ondel-ondel dikasih rokok lisong,  dengan cara ditempelkan di mulutnya. Ondel-ondel juga bisa digunakan untuk menolak bala atau roh jahat. Konon wabah cacar habis, setelah orang mengarak Ondel-ondel keliling kampung.

Walaupun pertunjuukan semacam ini juga dikenal ditempat lain, seperti Badawang di Priangan dan Barongan Buncis di Cirebon, tapi ondel-ondel memiliki karakteristik yang khas. Ondel-ondel tergolong salah satu bentuk teater tanpa tutur, karena pada mulanya dijadikan personifikasi leluhur atau nenek moyang, pelindung keselamatan kampung dan seisinya. Dengan demikian dapat dianggap sebagai pembawa lakon atau cerita.

Ondel-ondel berbentuk boneka besar dengan rangka anyaman bambu dengan ukuran tinggi 2,5 meter dan garis tengah 80 cm. Dibuat sedemikian rupa agar pemikulnya yang berada di dalamnya dapat bergerak leluasa. Rambutnya dibuat dari ijuk,”duk” kata orang Betawi.Matanya berbentuk topeng atau kedok, dengan mata bundar melotot.

Disamping untuk memeriahkan arak-arakan, pada masa lalu bisa pula untuk pertunjukan keliling. Teurtama pada perayaan Tahun Baru, baik masehi atau imlek. Pendukung utama kesenian Ondel-ondel adalah  petani yang termasuk “abangan”, khususnya yang terdapat di pinggiran Kota Jakarta dan sekitarnya. Sebelum dikeluarkan dari tempat penyimpanan, bila akan berangkat main, senantiasa diadakan sesajen. Pembakaran kemenyan dilakukan oleh pimpinan rombongan, atau salah seorang yang dituakan. Menurut istilah setempat, upacara seperti ini disebut “ukup” atau “ngukup”.

Tanjidor
Terlepas dari sejarah asal-usul yang panjang, kesenian Tanjidor tetap diakui sebagai representasi kesenian Jakarta yang unik dan antik. Dulu, kesenian ini merupakan iringan wajib dalam setiap kegiatan seremonial keagamaan serta musik penghibur di tiap perhelatan masyarakat Betawi.

Kini, Tanjidor secara perlahan mulai tergusur dari kancah hiburan rakyat di Jakarta. Keberadaan musik adaptasi dari genre jazz ini terjepit di antara organ tunggal, dangdut dan jaipong, serta band pop, yang lebih populer di kalangan masyarakat Ibu Kota.

Tanjidor sebagai satu jenis kesenian musik asli Betawi, dimainkan secara berkelompok. Ada beberapa pendapat soal asal usul dan sejarah munculnya kesenian ini. Musik Tanjidor diduga berasal dari bangsa Portugis yang datang ke Betawi pada abad ke-14 sampai 16. Menurut sejarawan, dalam bahasa Portugis terdapat kata Tanger yang berarti "memainkan alat musik". 

Kata "Tanjidor" berasal dari kata dalam bahasa Portugis “Tangedor”, yang berarti "alat-alat musik berdawai". Tetapi dalam kenyataannya, nama Tanjidor tidak sesuai lagi dengan istilah asli dari Portugis itu. Yang masih sama adalah sistem musik dari Tangedor, yakni sistem diatonik atau duabelas nada berjarak sama rata. Ensambel Tanjidor terdiri dari alat-alat musik seperti; klarinet (tiup), piston (tiup), trombon (tiup), saksofon tenor (tiup), saksofon bas (tiup), drum (membranofon), simbal (perkusi), dan side drums (tambur).

Di Portugal, Tangedores mengiringi pawai-pawai keagamaan pada pesta penghormatan pelindung masyarakat, misal pesta Santo Gregorius, pelindung Kota Lissabon, tanggal 24 Juni. Alat-alat yang dipakai adalah tambur Turki, tambur sedang, seruling dan aneka macam terompet.  Biasanya pawai itu diikuti boneka-boneka besar yang selalu berjalan berpasangan. Satu berupa laki-laki, yang lain perempuan, dibawa oleh dua orang, yang satu duduk di atas bahu orang yang berjalan. Boneka-boneka itu mirip dengan Ondel-ondel Betawi yang mengiringi rombongan Tanjidor. 

Di lain pihak, sejarawan Belanda bernama Dr. F. De Haan berpendapat orkes Tanjidor berasal dari orkes budak pada zaman Kompeni. Pada abad ke-18 kota Batavia dikelilingi benteng tinggi. Tidak banyak tanah lapang. Para pejabat tinggi Kompeni membangun villa di luar kota Batavia. Villa-villa itu terletak di Cililitan Besar, Pondok Gede, Tanjung Timur, Ciseeng, dan Cimanggis. Di villa-villa inilah terdapat budak-budak yang memiliki keahlian memainkan alat musik seperti: klarinet, piston, trombon, tenor, bas trompet, bass drum, tambur, simbal, dan lain-lain. Para budak pemain musik bertugas menghibur tuannya saat pesta dan jamuan makan. 

Repertoar Tanjidor merupakan hasil perkawinan antara lagu Betawi asli (kromongan), laras Mandalungan, lagu zaman Belanda yang merupakan lagu mars (mares Merin, dari kata Marine, mares Duelmus, dari kata Wilhelmus) dan walsa (lagu musik dansa) serta lagu Melayu modern yang dikenal sebagai irama dangdut. 

Hingga akhirnya perbudakan dihapuskan pada tahun 1860. Pemain musik yang semula budak menjadi orang yang merdeka. Karena keahlian bekas budak itu bermain musik, mereka membentuk perkumpulan musik yang akhirnya dinamakan Tanjidor. 

Gambang kromong
Sebuah orkes tradisional Betawi yang merupakan orkes perpaduan antara gamelan dan musik Barat dengan nada dasar pentatonis bercorak Cina. Orkes ini memang erat hubungannya dengan masyarakat Cina Betawi, terutama Cina peranakan dan populer di tahun 1930-an. Instrumen gamelan pada gambang kromong terdiri dari gambang kayu, seperangkat bonang lima nada yang disebut kromong, dua buah alat gesek seperti rebab, dan resonator terbuat dari tempurung kelapa mini yang disebut ohyan dan gihyan,suling laras diatonik yang ditiup melintang, kenong dan gendang. Sedangkan instrumen musik dari Barat meliputi terompet, gitar, biola, dan saksofon.

Sekitar tahun 1937 orkes-orkes gambang kromong mencapai puncak popularitasnya. Salah satu yang terkenal Gambang Kromong Ngo Hong Lao, dengan pemainnya terdiri dari orang-orang Cina semua. Alat-alat musik dalam orkestra tersebut dianggap paling lengkap, terdiri dari alat-alat seperti; gambang kayu; seperangkat kromong; empat buah rebab Cina yang berbeda-beda ukurannya; alat petik berdawai disebut Sam Hian; sebuah bangsing bambu; dua buah alat jenis cengceng disebut ningnong; sepasang Pan, yakni dua potong kayu yang saling dilagakan untuk memberi maat (tempo). Tangga nada yang dipergunakan, bukanlah slendro seperti laras gamelan Jawa, Sunda atau Bali, melainkan modus khas Cina, yang di negeri asalnya dahulu bernama tangga nada Tshi Che; seperti yang di dengar pada gambang.

Pada waktu pertama kali muncul di Betawi, orkes ini hanya bernama gambang. Sejak awal abad ke-20, mulai menggunakan instrumen tambahan, yaitu bonang atau kromong, sehingga orkes ini dinamakan Gambang Kromong. Pada masa itu hampir setiap daerah di Betawi memiliki orkes Gambang Kromong, bahkan tersebar sampai daerah Jatinegara, Karawang, Bekasi, Cibinong, Bogor, Sukabumi, Tangerang, dan Serang.

Orkes Gambang Kromong tidak lepas dari jasa Nie Hoe Kong, seorang pemusik dan pemimpin golongan Cina pada pertengahan abad XVIII di Jakarta. Atas prakarsanya, penggabungan alat-alat musik yang biasa terdapat dalam gamelan (pelog dan selendro) digabungkan dengan alat-alat musik yang berasal dari Tiongkok.

Pada masa lalu, orkes Gambang Kromong hanya dimiliki oleh babah-babah peranakan yang tinggal di sekitar Tangerang, Bekasi, dan Jakarta. Di samping untuk mengiringi lagu, Gambang Kromong biasa dipergunakan untuk pengiring tari pergaulan yakni tari Cokek, tari pertunjukan kreasi baru dan teater Lenong.

Lenong Betawi
Lenong adalah teater tradisional Betawi. Biasanya diiringi musik Gambang Kromong. Skenario Lenong umumnya mengandung pesan moral, yaitu mencegah keserakahan dan perbuatan tercela lain. Bahasa yang digunakan dalam Lenong adalah Bahasa Melayu (atau sekarang bahasa Indonesia) dialek Betawi.

Lenong berkembang sejak akhir abad 19 atau awal abad 20. Seni teater mungkin merupakan adaptasi oleh masyarakat Betawi dari pertunjukan seni yang sama seperti "komedi bangsawan" dan "teater opera" yang sudah ada pada saat itu. Menurut Firman Muntaco, seniman Betawi, kolaborasi teater Lenong dan musik Gambang Kromong sudah jadi tontonan sejak 1920-an.

Para pemain Lenong berevolusi dari lelucon-lelucon tanpa plot menjadi pertunjukan dengan skenario ketat hingga bisa bermain sepanjang malam dan utuh. Awalnya, pertunjukan ini diadakan dari desa ke desa. Di akhir pertunjukan, penonton diminta sumbangan secara suka rela. Selanjutnya, Lenong mulai dipentaskan atas permintaan pelanggan dalam acara-acara di panggung hajatan seperti resepsi pernikahan. Baru pada awal kemerdekaan, teater rakyat ini murni menjadi tontonan panggung.

Setelah mengalami masa sulit, seni Lenong yang dimodifikasi tahun 1970-an mulai rutin pentas di panggung Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Selain menggunakan unsur teater modern, Lenong juga direvitalisasi ke dalam pertunjukan selama dua atau tiga jam,tidak lagi sepanjang malam.Lenong juga menjadi populer lewat pertunjukan di televisi, yang ditayangkan oleh Televisi Republik Indonesia mulai tahun 1970-an. Beberapa seniman lenong yang menjadi terkenal sejak saat itu misalnya Bokir dan Nasir.

Ada dua jenis lenong yaitu Lenong Denes dan Lenong Preman. Lenong Denes aktor dan aktrisnya biasanya memakai pakaian formal dan kisahnya tentang kerajaan atau lingkungan kaum bangsawan. Sedangkan Lenong preman alias sipil, jalan ceritanya tidak ditentukan sutradara dan berkisah soal kehidupan sehari-hari. Lenong Denes umumnya menggunakan bahasa halus (tinggi Melayu), sementara Lenong Preman menggunakan bahasa percakapan sehari-hari.

Tari Topeng
Tari Topeng Betawi adalah tarian tradisional khas masyarakat Betawi.  Tarian ini biasanya dipentaskan sambil diiringi musik Gambang Kromong. Penarinya menggunakan topeng kayu. Pada zaman dulu, Tari Topeng Betawi merupakan bagian dari pertunjukan Topeng Betawi. Topeng Betawi adalah pertunjukan gabungan antara seni drama, tarian, dan nyanyian. Mirip seperti pertunjukan teater.

Seiring perkembangan zaman, Tari Topeng Betawi sudah jadi sebuah pertunjukan tersendiri. Hingga tarian ini masih sering dipentaskan. Beraneka ragam Tari Topeng Betawi yang dikenal, antara lain : Tari Lipet Gandes, Tari Topeng Tunggal, Tari Enjot-enjotan, Tari Gegot, Tari Topeng Cantik, Tari Topeng Putri, Tari Topeng Ekspresi, dan Tari Kang Aji.

Ada beberapa syarat untuk menarikannya.Pertama, si penari harus gandes. Gandes artinya luwes atau gemulai. Yang kedua, si penari harus ajar. Ajar artinya ceria atau riang.Ketiga, penari harus menari dengan lincah tanpa beban. Istimewanya lagi, tarian ini dibawakan dengan menggunakan topeng kayu. Agar topeng itu menempel di wajah penari, penari harus menggigit bagian belakang topeng.(berbagai sumber)




No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas kunjungan anda!