Daftar Isi

Friday, June 28, 2013

Memburu CR7 hingga ke Bali

CR7 dan Irina,model jelek asal Rusia
Telepon genggam saya berdering Minggu (23/6) siang, dan seorang perempuan mengeja nama saya dengan takzim.”Mas Ariful Hakim?”ucapnya. Saya mengiyakan. Si perempuan, yang belakangan saya panggil Ibu Fika Kansil, mencocokkan nama saya untuk tiket ke Bali, sesuai pemberitahuan dua hari sebelumnya. Kata Bu Fika, nanti berangkatnya Selasa (25/6) pagi. Mega bintang sepak bola asal Portugal, Cristiano Ronaldo, akan datang ke Bali dan menanam pohon bakau bersama Pak Beye. Walau saya lebih ngefans Lionel Messi, tapi demi tugas okelah perjalanan itu saya lakoni.

Ada dua hal yang membuat pengalaman liputan pemain Real Madrid yang biasa disapa CR7 ini meninggalkan kesan tak enak. Pertama, kerja panitia yang acakadut. Kedua, sikap CR7 yang suka mengubah-ubah jadwal yang sudah diberikan panitia pada wartawan. Sehari sebelum berangkat, saya mesti dateline naskah hingga pagi. Selasa (25/6) pukul 02.00 WIB, setelah naskah kelar, saya ngebut pulang ke rumah. Tiba di rumah pukul 03.00 WIB, ambil tas, langsung  balik lagi ke kantor. Dari kantor, sekitar pukul 04.15 naik taksi ke bandara Soekarno-Hatta, Jakarta.

Saya memang lumayan kesal, karena semua serba mendadak. Bayangkan, pemberangkatan pesawat ke Bali  Selasa pukul 07.00 WIB baru saya terima Senin pukul 23.00 WIB. Mungkin dikiranya saya sudah leyeh-leyeh di rumah. Kelon sama bini. Padahal sejak Senin pagi, saya jaga gawang sampai malam di kantor. Dalam kondisi tidak tidur semalaman, tiba di bandara Soekarno-Hatta pun tak ada satu panitia dari Artha Graha Peduli (pihak pengundang), yang menunggu. Saat saya BBM, Ibu Fika bilang, ketemu di Bali saja ya?Di Hotel Discovery Kartika Plaza. Beuh...aya-aya wae.

Sebagai jurnalis yang biasanya tinggal terima beres, terpaksa saya bayar airport tax sendiri. Berangkat sendirian kayak orang hilang. Bahkan sampai di Bandara Ngurah Rai, sekitar pukul 09.00 WITA, lagi-lagi tak ada panitia yang bisa ditemui. Saya BBM lagi, kali ini saya disuruh naik taksi sendirian lagi ke  hotel. Untunglah saya cukup hati-hati, meski akhirnya harus bayar Rp 50 ribu untuk jarak yang begitu dekat. Ini taksi borongan. Tak ada argonya. Mobilnya saja merk Honda City. Tapi sudahlah, yang penting selamat sampai hotel.

Lagi-lagi ujian kesabaran harus saya lalui, usai registrasi di media centre. Saya di suruh chek in. Tapi begitu ke resepsionis, kamar jatah saya baru bisa dibuka pukul 14.00 WITA. Eh, busyet deh. Saya sempat ngomong ke panitia. Tapi alasan mereka, katanya nama saya baru masuk.”Lha, saya sudah ditelepon sejak minggu je...,”kata saya. Tapi tetap saja, kunci kamar tertahan. Terpaksa saya tidur di kursi lobi. Saat perut lapar, saya coba keluar hotel. Dalam bayangan saya, siapa tahu ada warteg yang bisa dimasuki.

Tapi saya lupa.  Ini Bali bung. Apalagi hotel yang saya tempati berada tepat di depan pantai Kuta. Semuanya restoran mahal. Ah, males buat makan harus buang-buang duit. Untung saja ada pedagang keliling. Orangnya naik sepeda motor. Ia menjajakan nasi, lauk, dan makanan camilan. Gaya pakaiannya lumayan membuat saya terhibur. Sandal ungu, kaos kaki, helm, baju, dan celana  semua serba ungu. Wow, rupanya si mpok ini penggemar band Ungu ya? Saya beli dua bungkus kacang rebus.”Harganya dua ribu,”ujarnya.Lumayan buat mengganjal perut.

Ubah-ubah Jadwal
Pukul 13.00 saya bilang terus terang sudah lapar pada panitia. Saya disuruh menuju restoran Pond, yang berada dilantai bawah hotel. Usai menyantap nasi, daging, udang dan buah, saya sambangi lagi resepsionis. Alhamdulilah, akhirnya kunci kamar diberikan. Sore itu, saya masuk ditemani seorang kameramen tayangan C&R. Dalam rundown acara, CR7 akan datang pukul 23.00 dan kita diagendakan untuk meliput di Bandara Ngurah Rai. Tapi sekitar pukul 21.00, saya ditelepon panitia. Peliputan Ronaldo dibatalkan. “Manajemennya bilang, biar Ronaldo bisa fit,”kata si mbak panitia. Ya, sudah, mending tidur saja.

Acara hari Rabu (26/6), pagi-pagi sekitar pukul 06.30 harus sudah siap-siap di lobby hotel. Semua jurnalis akan di bawa ke Tanjung Benoa, tempat CR7 dikukuhkan sebagai duta mangrove bersama Pak Beye. Untunglah saya tidak terlambat bangun. Dengan bus kecil, kami berangkat ke Tanjung Benoa. Sampai di sana sekitar pukul 08.00. Ratusan tamu undangan sudah datang. Begitu juga anak-anak SD yang disuruh menyambut  Pak Beye.

Kita standby bukan dalam hitungan menit. Tapi hampir dua jam lebih, baru CR7 datang. Sepuluh menit kemudian Pak Beye dan Bu Ani tiba. Repotnya, karena ada R1, semua jurnalis tidak boleh moving untuk mengambil gambar. Kalau sudah ambil posisi di satu tempat, ya harus disitu terus. Akhirnya saya pilih di sisi panggung tempat penanaman pohon bakau. Konsekwensinya, saya tak bisa memotret acara seremonial.
nanam bakau
CR7 nampak tersenyum-senyum di sisi Pak Beye, saat acara penanaman dimulai. Ia mengenakan kaos biru dan celana jins, dengan sepatu putih. Tak butuh lama, CR7 dan Pak Beye segera meninggalkan tempat acara. Jika Pak Beye langsung ke hotel, CR7 masuk ke dalam tenda untuk rehat. Tak ayal, banyak orang-orang yang menunggunya keluar. Ada yang bawa kaos dan sepatu untuk ditandatangani.
                                        
Penjagaan ketat polisi, tentara dan pecalang, membuat semua upaya penggemar CR7 meminta tanda tangan gagal total. CR7 langsung masuk mobil Alphard, dan bahkan tidak membuka kaca. Panitia hanya menjanjikan pada peliput, konperensi pers akan diadakan pukul 14.00 WITA. Dengan kondisi lemas dan panas, akhirnya saya mencari bus untuk kembali ke hotel.

Usai rehat sejenak di kasur hotel yang empuk dengan AC sedingin salju, ada pemberitahuan, jumpa pers diundur pukul 17.00. Ya sudahlah, saya pakai untuk molor lebih lama. Pukul 17.00 saya bergegas ke restoran Pond, lokasi jumpa pers. Saya berfikir sudah terlambat. Tapi, sampai di sana, acara jumpa pers ternyata kembali diundur pukul 19.00. Hadeuh, slompret.”Pihak manajemen CR7 yang minta mas,”ujar cewek cantik yang jaga buku registrasi. Ampun.

Akhirnya saya  pakai untuk makan,sembari menunggu pukul 19.00. Ada pengalaman menggelikan, saat saya sedang menyendok nasi. Seorang bule perempuan tiba-tiba membungkuk melihat jam tangan saya.”Time o’clock,”katanya cepat. Karena kepala saya lagi kesal, saya sodorkan saja arloji dekat kepalanya dan ia menyambar dengan cepat,”Five o’clock?”.”Yes...”ujarku sok nginggris.

Tapi sepeninggal bule itu, saya jadi tertawa terpingkal-pingkal. Soalnya jam tangan saya masih menunjukkan Waktu Indonesia Bagian Barat (WIB) alias terlambat satu jam. Jadi mestinya di Bali sudah pukul 18.00 alias jam enam. Untung saja bule itu lantas menghilang. Saya nggak tahu bagaimana caranya ngobrol, kalau dia komplain atau ngomel-ngomel. Maklumlah, wong ndeso ora bisa basa Inggris!Ngok...

Rebutan Foto
Ada permintaan aneh bin nyleneh, sebelum Ronaldo memasuki ruangan jumpa pers. Pertama, tidak boleh memotret memakai blits. Kedua, kalau mau motret, jangan kedengaran bunyi “klik”. Syarat terakhir ini diprotes teman-teman. Bagaimana mau memotret tanpa kedengaran “krek”?Sudah dari sononya kamera model profesional yang ada suaranya “ceklik” kalau nembak sasaran. Apa mesti suaranya di ubah jadi “brot”. Protes ini akhirnya diterima.

Saat muncul, Ronaldo pakai baju putih dan celana jins, cengengesan di depan, menjawab pertanyaan moderator, tapi tidak membuka sesi tanya jawab dengan jurnalis. Rupanya panitia takut, ada wartawan yang tanya kenapa pacarnya, Irina Shayk ngumpet mulu?Ada juga yang mau minta komentar soal pelatih baru Madrid, Charlo Ancelloti. Malam itu, CR7 khusus bicara mangrove. Tidak yang lain. Apalagi soal persaingannya dengan Messi,hahaha..
 
pak presiden foto bareng CR7
Nah, ada kejadian kocak, saat puluhan jurnalis meminta diadakan sesi foto bareng. Karena tak mau melayani satu persatu, Aviani Malik, penyiar Metro TV yang juga jadi moderator, menyuruh CR7 memunggungi  kumpulan wartawan. Dalam hitungan detik, semua wartawan berlari mendekat, sampai menabrak-nabrak kursi. Saya yang bertubuh pendek, cuma bisa cengar-cengir tak dapat tempat, saking banyaknya yang mau foto bareng. Nasib....

Usai foto, CR7 langsung ditarik keluar ruangan. Agenda berikutnya adalah gala dinner, yang tertutup bagi para kuli tinta. Malam itu, saya pilih tidur di kamar, daripada mikir acara gala dinner, yang konon CR7 ditemani Irina. Soalnya, pukul 06.30 harus sudah keluar kamar untuk balik ke Jakarta. Puas tidak puas, ya harus dipuas-puasin. Yang penting semua acara sudah saya ikuti, meski tidak maksimal karena berbagai kendala.

Pagi-pagi, naik dua kijang Innova, sekitar sepuluh wartawan Jakarta dianter ke bandara. Tak ada panitia yang melepas. Semua masih tidur. Tapi kami sudah sampai pada tahap muak.”Sudah, nggak usah dipikir, biarpun kita seperti habis manis sepah dibuang. Ini mobil anteran juga kita ngotot. Tadinya disuruh naik taksi sendiri ke bandara,”kata seorang teman yang nampak geram dengan perlakuan panitia.

Pesawat lion air tiba di Jakarta pukul 09.00. Ada jemputan mobil dari kantor. Beberapa teman menagih oleh-oleh, seperti kaos joger. Saya bilang oleh-oleh dari Hongkong?Ini liputan paling amburadul dari sisi manajemen. Mungkin pihak artha graha merasa, nama besar CR7 sudah cukup jadi jaminan kita senang meliput. Anggapan yang ternyata tidak sejalan dengan alur berfikir para peliput.

Lha, buat apa lihat Ronaldo tapi hasilnya cuma capai?Emang gue penggemar dia?Kalau bisa foto bareng Messi, mungkin bisa terobati. Intinya,hasil yang didapat, tak sebanding dengan rasa kangen 4 hari berpisah dengan anak. Belum lagi jika berfikir, yang mengundang adalah pengusaha  sekelas Tomy Winata (TW). Sekali lagi, TW getoo lho...Nggak tahu TW ngerti atau tidak. Saya menduga, anak buahnya bilang, semua beres, termasuk perlakuan terhadap wartawan. Ah, andai saja Pak TW baca blog saya ini.Biar anak buahnya semua ditendang bokongnya satu-satu...buk,buk!





Saturday, June 22, 2013

Saya Sopir,Bukan Asisten Menteri...

DI dan istri
Melihat Dahlan Iskan, seolah melihat runtuhnya jalur birokratis seorang menteri. Jabatan politis yang kerap dipandang agker dan susah di sentuh, ditangan DI –begitu Dahlan Iskan biasa disapa, seolah jadi barang usang. Maka saat beliau hadir di Trans TV,Mampang, Jakarta Selatan, pertengahan Maret 2013 lalu, bertubi-tubi orang menyapanya. DI hadir dengan baju khasnya ; kemeja putih, celana katun hitam dan sepatu kets bertuliskan “DI” di tumitnya. Sang istri yang mengenakan jilbab, tak kalah ramai dan sumeleh.

Suasana saat itu memang gayeng. DI hadir bersama teman-teman senamnya. Kata seorang ibu yang ikut dengan kaos seragam, DI sering ikut senam di monas. Karena habis senam, mereka disuruh ikut serta oleh DI yang dijadwalkan akan melakukan konferensi pers. Belum lama, DI memang didaulat menjadi bintang iklan sebuah produk jamu ternama.”Jadi kita sekalian ikut ke sini mas. Itung-itung ngeramein,”kata si ibu keturunan Tionghoa itu.

Terbetik di benak saya lantas ingin membuat profil keluarganya. Sepertinya DI dan istrinya sangat harmonis.Mereka ramah, murah senyum dan menyapa siapa saja. Usai konferensi pers, saya dekati istrinya. Saya bilang, mau minta waktu untuk wawancara. Temanya soal profil keluarga. Sambutan si ibu mengejutkan.”Oh, boleh...mau kapan?Ayo aja,”ujarnya."Tapi saya minta waktu khusus agak banyak bu.Soalnya untuk dua halaman,"saya menukas."Boleeeeeh...atur aja,"kata si ibu. Mantabs....

Saya langsung berinisiatif untuk meminta nomor kontaknya. Tapi si ibu menunjuk seorang pria berbaju safari, dengan tas selempang hitam khas seragam ajudan menteri. Namanya Sahidin. “Ke dia saja. Nanti diatur jadwalnya,”kata istri Dahlan. Saya langsung menyambangi. Menyapa Sahidin. Ia memberi nomor dan saya mengutarakan maksud.”Bisa ya pak?Minta waktu pak menteri,”? Sahidin mengangguk-angguk.

Di lobi gedung Trans, saya kembali menegaskan. Sahidin kemudian menjanjikan, akan mengaturnya.Saya ingat, SMS saya dibalas waktu saya sedang meluncur ke Cirebon, Jawa Barat, di minggu berikutnya.”Besok pagi saja di Monas jam 4 pagi,”kata Sahidin. Saya bilang waduh, tidak bisa pak. Karena saya sedang ada liputan di Cirebon. Saya minta dijadwal ulang. Usai pulang dari Cirebon, saya kembali minta waktu. Tapi Sahidin tidak menjanjikan.

Tak mau kehilangan buruan, minggu berikutnya saya kembali tagih janji Sahidin. Tapi lagi-lagi oleh Sahidin saya di suruh datang ke Monas jam 4 pagi. Sahidin tidak menjelaskan, di sebelah mana saya akan bertemu DI. Padahal Monas khan amat luas? “Pokoknya datang saja.Khan yang butuh abang?”balas Sahidin, ketus. Saya mencoba bersabar. Pengalaman dengan berbagai tingkah ajudan orang penting yang menjengkelkan, membuat persediaan sabar saya harus ekstra banyak.

Saya memang ngeri juga membayangkan, harus keluar jam berapa dari rumah kalau ditunggu di Monas jam 4 pagi. Minimal 2.30 sudah berangkat. Karena ingin memastikan jerih payah saya tidak sia-sia, saya lantas meminta jaminan Sahidin.”Pak, tapi pak menteri pasti mau ya kalau saya datang pagi-pagi?Takutnya begitu nyampe di Monas, beliau nggak mau wawancara,”kata saya. Apa jawaban Sahidin?

“Lha, ya nggak tahu?Situ datang saja nanti di sini nego lagi mau nggak pak menteri wawancara?”jawabnya enteng. Inilah yang membuat saya tak habis pikir. Saya minta baik-baik, apakah bisa diatur waktunya supaya jangan ketemu di Monas jam 4 pagi, ditolak. Begitu meminta jaminan, jika saya datang DI mau diwawancara, Sahidin ngomong begitu. Jujur, saya mulai kesal.

“Bapak ini bagaimana sih?Khan ibu sudah mau diwawancara dan memberi wewenang Pak Sahidin untuk mengatur waktunya?Kok malah melempar ke saya untuk melobi lagi?Kalau bapak mempersulit gini, nanti saya bilang ke pak DI, kalau bapak nggak kooperatif,”ancam saya.

Kemarahan saya itu rupanya membuat Sahidin tersinggung. Dia lantas mempertanyakan, apa maksud saya hendak melaporkan ke boss-nya. Tapi saya tetap keukeuh, nih orang harus dikasih pelajaran.”Bapak itu yang nggak sopan. Ketus gitu kalau ditanya baik-baik. Saya yakin pak menteri nggak bakalan seperti itu, karena dia itu bekas wartawan. Apa bapak nggak pernah ngurus wartawan ya?Kalau perlu saya laporkan ke presiden, karena saya punya link ke SBY,”semprot saya lagi.

Sahidin rupanya keder. Dia lantas menjawab,”Pak, maaf, saya bukan asisten pribadi pak menteri. Saya cuma sopir. Jadi nggak ngerti apa namanya prosedur segala macam,termasuk bagaimana meyakinkan pak menteri agar mau diwawancara”katanya. Saya bilang, oh, pantas sikap bapak seenak udel. Diajak diskusi bagaimana biar sama-sama nyaman, bawaannya nyolot mulu.”Bilang dari dulu kalau bapak bukan asisten pribadinya kek. Jangan sok penting. Sudah saya nggak akan menghubungi sampeyan lagi.Saya mau cari chanel lain,”kemarahan saya mencapai puncak.

Rupanya Sahidin masih takut dengan ancaman saya. Dia terus mendesak, apa dasar saya hendak melaporkan dia ke DI atau SBY. Tapi dalam hati saya tertawa saja.Bukan apa-apa. Kalau misalnya tidak bisa mengatur jadwal pertemuan, buat apa dari awal capai-capai meladeni saya?Belakangan saya memang tidak berminat untuk mewawancarai DI lagi. Berdasar informasi dari berbagai sumber, DI tidak memenuhi syarat yang saya inginkan. Benar tidaknya isu itu, sampai sekarang saya tak berminat untuk menelisiknya?Biar waktu nanti yang akan menjawabnya.

Beberapa Budaya Betawi

Saban ulang tahun kota Jakarta, beberapa kesenian khas Betawi biasanya ikut unjuk gigi.Momentum ini seolah menjadi penanda untuk terus melestarikan peninggalan nenek  moyang, ditengah gerusan budaya modern yang semakin menggila. Ada beberapa tradisi Betawi yang tetap eksis, disamping beberapa yang sudah jarang dimainkan. Berikut diantaranya;

Ondel-ondel
Boneka raksasa yang sering diarak keliling kampung oleh warga Betawi ternyata awalnya disebut Barongan.Tak ada yang tahu pasti arti kata tersebut. Mungkin berasal dari kata “barengan” yang berarti bareng-bareng atau sama-sama. Sebutan itu datang dari kalimat ajakan dalam logat Betawi “Yok, kita ngarak bareng-bareng”. Sejak kapan kemunculannya?Yang jelas boneka raksasa ini sudah ada sejak VOC mulai masuk ke Indonesia.

Pedagang dari Inggris, W. Scot, mencatat dalam bukunya jenis boneka seperti ondel-ondel sudah ada pada tahun 1605. E.R. Scidmore, wisman asal Amerika Serikat yang datang ke Jawa dan tinggal cukup lama di Batavia, pada pnghujung abad ke-19, melaporkan dalam Java, The Garden of The East, adanya pertunjukan seni jalanan di Batavia berupa tarian. Schidmore tidak menyebut secara jelas apa jenis tarian itu. Namun dapat diperkirakan bahwa kesenian itu adalah ondel-ondel, mengingat tarian itu bermain di jalanan.

Dahulu konon ondel-ondel biasanya minta madat. Namun karena madat atau ganja dilarang, sebagai gantinya Ondel-ondel dikasih rokok lisong,  dengan cara ditempelkan di mulutnya. Ondel-ondel juga bisa digunakan untuk menolak bala atau roh jahat. Konon wabah cacar habis, setelah orang mengarak Ondel-ondel keliling kampung.

Walaupun pertunjuukan semacam ini juga dikenal ditempat lain, seperti Badawang di Priangan dan Barongan Buncis di Cirebon, tapi ondel-ondel memiliki karakteristik yang khas. Ondel-ondel tergolong salah satu bentuk teater tanpa tutur, karena pada mulanya dijadikan personifikasi leluhur atau nenek moyang, pelindung keselamatan kampung dan seisinya. Dengan demikian dapat dianggap sebagai pembawa lakon atau cerita.

Ondel-ondel berbentuk boneka besar dengan rangka anyaman bambu dengan ukuran tinggi 2,5 meter dan garis tengah 80 cm. Dibuat sedemikian rupa agar pemikulnya yang berada di dalamnya dapat bergerak leluasa. Rambutnya dibuat dari ijuk,”duk” kata orang Betawi.Matanya berbentuk topeng atau kedok, dengan mata bundar melotot.

Disamping untuk memeriahkan arak-arakan, pada masa lalu bisa pula untuk pertunjukan keliling. Teurtama pada perayaan Tahun Baru, baik masehi atau imlek. Pendukung utama kesenian Ondel-ondel adalah  petani yang termasuk “abangan”, khususnya yang terdapat di pinggiran Kota Jakarta dan sekitarnya. Sebelum dikeluarkan dari tempat penyimpanan, bila akan berangkat main, senantiasa diadakan sesajen. Pembakaran kemenyan dilakukan oleh pimpinan rombongan, atau salah seorang yang dituakan. Menurut istilah setempat, upacara seperti ini disebut “ukup” atau “ngukup”.

Tanjidor
Terlepas dari sejarah asal-usul yang panjang, kesenian Tanjidor tetap diakui sebagai representasi kesenian Jakarta yang unik dan antik. Dulu, kesenian ini merupakan iringan wajib dalam setiap kegiatan seremonial keagamaan serta musik penghibur di tiap perhelatan masyarakat Betawi.

Kini, Tanjidor secara perlahan mulai tergusur dari kancah hiburan rakyat di Jakarta. Keberadaan musik adaptasi dari genre jazz ini terjepit di antara organ tunggal, dangdut dan jaipong, serta band pop, yang lebih populer di kalangan masyarakat Ibu Kota.

Tanjidor sebagai satu jenis kesenian musik asli Betawi, dimainkan secara berkelompok. Ada beberapa pendapat soal asal usul dan sejarah munculnya kesenian ini. Musik Tanjidor diduga berasal dari bangsa Portugis yang datang ke Betawi pada abad ke-14 sampai 16. Menurut sejarawan, dalam bahasa Portugis terdapat kata Tanger yang berarti "memainkan alat musik". 

Kata "Tanjidor" berasal dari kata dalam bahasa Portugis “Tangedor”, yang berarti "alat-alat musik berdawai". Tetapi dalam kenyataannya, nama Tanjidor tidak sesuai lagi dengan istilah asli dari Portugis itu. Yang masih sama adalah sistem musik dari Tangedor, yakni sistem diatonik atau duabelas nada berjarak sama rata. Ensambel Tanjidor terdiri dari alat-alat musik seperti; klarinet (tiup), piston (tiup), trombon (tiup), saksofon tenor (tiup), saksofon bas (tiup), drum (membranofon), simbal (perkusi), dan side drums (tambur).

Di Portugal, Tangedores mengiringi pawai-pawai keagamaan pada pesta penghormatan pelindung masyarakat, misal pesta Santo Gregorius, pelindung Kota Lissabon, tanggal 24 Juni. Alat-alat yang dipakai adalah tambur Turki, tambur sedang, seruling dan aneka macam terompet.  Biasanya pawai itu diikuti boneka-boneka besar yang selalu berjalan berpasangan. Satu berupa laki-laki, yang lain perempuan, dibawa oleh dua orang, yang satu duduk di atas bahu orang yang berjalan. Boneka-boneka itu mirip dengan Ondel-ondel Betawi yang mengiringi rombongan Tanjidor. 

Di lain pihak, sejarawan Belanda bernama Dr. F. De Haan berpendapat orkes Tanjidor berasal dari orkes budak pada zaman Kompeni. Pada abad ke-18 kota Batavia dikelilingi benteng tinggi. Tidak banyak tanah lapang. Para pejabat tinggi Kompeni membangun villa di luar kota Batavia. Villa-villa itu terletak di Cililitan Besar, Pondok Gede, Tanjung Timur, Ciseeng, dan Cimanggis. Di villa-villa inilah terdapat budak-budak yang memiliki keahlian memainkan alat musik seperti: klarinet, piston, trombon, tenor, bas trompet, bass drum, tambur, simbal, dan lain-lain. Para budak pemain musik bertugas menghibur tuannya saat pesta dan jamuan makan. 

Repertoar Tanjidor merupakan hasil perkawinan antara lagu Betawi asli (kromongan), laras Mandalungan, lagu zaman Belanda yang merupakan lagu mars (mares Merin, dari kata Marine, mares Duelmus, dari kata Wilhelmus) dan walsa (lagu musik dansa) serta lagu Melayu modern yang dikenal sebagai irama dangdut. 

Hingga akhirnya perbudakan dihapuskan pada tahun 1860. Pemain musik yang semula budak menjadi orang yang merdeka. Karena keahlian bekas budak itu bermain musik, mereka membentuk perkumpulan musik yang akhirnya dinamakan Tanjidor. 

Gambang kromong
Sebuah orkes tradisional Betawi yang merupakan orkes perpaduan antara gamelan dan musik Barat dengan nada dasar pentatonis bercorak Cina. Orkes ini memang erat hubungannya dengan masyarakat Cina Betawi, terutama Cina peranakan dan populer di tahun 1930-an. Instrumen gamelan pada gambang kromong terdiri dari gambang kayu, seperangkat bonang lima nada yang disebut kromong, dua buah alat gesek seperti rebab, dan resonator terbuat dari tempurung kelapa mini yang disebut ohyan dan gihyan,suling laras diatonik yang ditiup melintang, kenong dan gendang. Sedangkan instrumen musik dari Barat meliputi terompet, gitar, biola, dan saksofon.

Sekitar tahun 1937 orkes-orkes gambang kromong mencapai puncak popularitasnya. Salah satu yang terkenal Gambang Kromong Ngo Hong Lao, dengan pemainnya terdiri dari orang-orang Cina semua. Alat-alat musik dalam orkestra tersebut dianggap paling lengkap, terdiri dari alat-alat seperti; gambang kayu; seperangkat kromong; empat buah rebab Cina yang berbeda-beda ukurannya; alat petik berdawai disebut Sam Hian; sebuah bangsing bambu; dua buah alat jenis cengceng disebut ningnong; sepasang Pan, yakni dua potong kayu yang saling dilagakan untuk memberi maat (tempo). Tangga nada yang dipergunakan, bukanlah slendro seperti laras gamelan Jawa, Sunda atau Bali, melainkan modus khas Cina, yang di negeri asalnya dahulu bernama tangga nada Tshi Che; seperti yang di dengar pada gambang.

Pada waktu pertama kali muncul di Betawi, orkes ini hanya bernama gambang. Sejak awal abad ke-20, mulai menggunakan instrumen tambahan, yaitu bonang atau kromong, sehingga orkes ini dinamakan Gambang Kromong. Pada masa itu hampir setiap daerah di Betawi memiliki orkes Gambang Kromong, bahkan tersebar sampai daerah Jatinegara, Karawang, Bekasi, Cibinong, Bogor, Sukabumi, Tangerang, dan Serang.

Orkes Gambang Kromong tidak lepas dari jasa Nie Hoe Kong, seorang pemusik dan pemimpin golongan Cina pada pertengahan abad XVIII di Jakarta. Atas prakarsanya, penggabungan alat-alat musik yang biasa terdapat dalam gamelan (pelog dan selendro) digabungkan dengan alat-alat musik yang berasal dari Tiongkok.

Pada masa lalu, orkes Gambang Kromong hanya dimiliki oleh babah-babah peranakan yang tinggal di sekitar Tangerang, Bekasi, dan Jakarta. Di samping untuk mengiringi lagu, Gambang Kromong biasa dipergunakan untuk pengiring tari pergaulan yakni tari Cokek, tari pertunjukan kreasi baru dan teater Lenong.

Lenong Betawi
Lenong adalah teater tradisional Betawi. Biasanya diiringi musik Gambang Kromong. Skenario Lenong umumnya mengandung pesan moral, yaitu mencegah keserakahan dan perbuatan tercela lain. Bahasa yang digunakan dalam Lenong adalah Bahasa Melayu (atau sekarang bahasa Indonesia) dialek Betawi.

Lenong berkembang sejak akhir abad 19 atau awal abad 20. Seni teater mungkin merupakan adaptasi oleh masyarakat Betawi dari pertunjukan seni yang sama seperti "komedi bangsawan" dan "teater opera" yang sudah ada pada saat itu. Menurut Firman Muntaco, seniman Betawi, kolaborasi teater Lenong dan musik Gambang Kromong sudah jadi tontonan sejak 1920-an.

Para pemain Lenong berevolusi dari lelucon-lelucon tanpa plot menjadi pertunjukan dengan skenario ketat hingga bisa bermain sepanjang malam dan utuh. Awalnya, pertunjukan ini diadakan dari desa ke desa. Di akhir pertunjukan, penonton diminta sumbangan secara suka rela. Selanjutnya, Lenong mulai dipentaskan atas permintaan pelanggan dalam acara-acara di panggung hajatan seperti resepsi pernikahan. Baru pada awal kemerdekaan, teater rakyat ini murni menjadi tontonan panggung.

Setelah mengalami masa sulit, seni Lenong yang dimodifikasi tahun 1970-an mulai rutin pentas di panggung Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Selain menggunakan unsur teater modern, Lenong juga direvitalisasi ke dalam pertunjukan selama dua atau tiga jam,tidak lagi sepanjang malam.Lenong juga menjadi populer lewat pertunjukan di televisi, yang ditayangkan oleh Televisi Republik Indonesia mulai tahun 1970-an. Beberapa seniman lenong yang menjadi terkenal sejak saat itu misalnya Bokir dan Nasir.

Ada dua jenis lenong yaitu Lenong Denes dan Lenong Preman. Lenong Denes aktor dan aktrisnya biasanya memakai pakaian formal dan kisahnya tentang kerajaan atau lingkungan kaum bangsawan. Sedangkan Lenong preman alias sipil, jalan ceritanya tidak ditentukan sutradara dan berkisah soal kehidupan sehari-hari. Lenong Denes umumnya menggunakan bahasa halus (tinggi Melayu), sementara Lenong Preman menggunakan bahasa percakapan sehari-hari.

Tari Topeng
Tari Topeng Betawi adalah tarian tradisional khas masyarakat Betawi.  Tarian ini biasanya dipentaskan sambil diiringi musik Gambang Kromong. Penarinya menggunakan topeng kayu. Pada zaman dulu, Tari Topeng Betawi merupakan bagian dari pertunjukan Topeng Betawi. Topeng Betawi adalah pertunjukan gabungan antara seni drama, tarian, dan nyanyian. Mirip seperti pertunjukan teater.

Seiring perkembangan zaman, Tari Topeng Betawi sudah jadi sebuah pertunjukan tersendiri. Hingga tarian ini masih sering dipentaskan. Beraneka ragam Tari Topeng Betawi yang dikenal, antara lain : Tari Lipet Gandes, Tari Topeng Tunggal, Tari Enjot-enjotan, Tari Gegot, Tari Topeng Cantik, Tari Topeng Putri, Tari Topeng Ekspresi, dan Tari Kang Aji.

Ada beberapa syarat untuk menarikannya.Pertama, si penari harus gandes. Gandes artinya luwes atau gemulai. Yang kedua, si penari harus ajar. Ajar artinya ceria atau riang.Ketiga, penari harus menari dengan lincah tanpa beban. Istimewanya lagi, tarian ini dibawakan dengan menggunakan topeng kayu. Agar topeng itu menempel di wajah penari, penari harus menggigit bagian belakang topeng.(berbagai sumber)




Thursday, June 13, 2013

Bertemu Kepala Kerbau di Laut Jawa

rombongan perahu
Buncahan air laut segera membumbung tinggi, saat tubuh legam itu terjun bebas dari lunas perahu. Beberapa orang menjerit ketika terkena percikan air. Sejenak laju perahu melambat. Sejumlah remaja tanggung menyusul terjun, lantas bergelantungan di seutas tali. Kapal kembali melaju. Seperti bermain ski, anak-anak muda Dukuh Karang Bulu, Cirebon, Jawa Barat itu meluncur deras di tengah serpihan ombak dan dinginnya air Laut Jawa. Suasana ceria, penuh canda, bahkan sedikit membersitkan kengerian mewarnai pesta laut Minggu (9/6) siang, ketika saya berkunjung bersama sejumlah kader Partai Amanat Nasional (PAN), Jakarta.

Saat saya datang, sekitar pukul 09.00 WIB, bau amis ikan segera menyerbu hidung. Suasana sudah mulai ramai. Di tiap pos kamling, yang berjajar dengan jarak 50 meter, berkumandang lagu tarling khas Cirebon. Ratusan warga setempat, yang didominasi muda-mudi dengan baju yang paling bagus, mulai keluar dan masuk ke dalam perahu yang berjejer di sungai Ciberes. Saya sempat ragu untuk menaiki satu perahu. Tapi keinginan kuat untuk menjajal pengalaman seru ini tak terbendung.
berenang di laut


“Ayo, mang.Melu bae...ora bayar kok”kata anak-anak kecil yang saya temui. Beberapa remaja putri dengan dandanan khasnya tak kalah agresif mengajak. Mereka bahkan senang, saat saya tanya-tanya tradisi Nadran alias pesta laut yang diadakan tiap sebelum lebaran. Tanpa pikir panjang, saya akhirnya menaiki salah satu perahu bersama sekitar 20 orang.

Perahu bertenaga mesin diesel itu melaju ke tengah. Puluhan, bahkan mungkin ratusan perahu berkonvoi menuju satu titik. Saya tidak hafal di mana titik yang dituju. Namun setengah jam setelah perjalanan penuh goyangan ombak itu, tiba-tiba semua perahu melaju ke arah yang sama. Saat jarak antar perahu sudah semakin rapat, mesin-mesin dimatikan. Bodi perahu saling bersenggolan. Lantas mulailah seperti yang saya ceritakan tadi. Laut Jawa yang dingin menjadi arena pemandian. Luar biasa.
 
damainya laut Jawa
Perahu beranjak sedikit, nampak keranjang bekas tempat kepala kerbau sudah mengapung-apung. Pelarungan kepala kerbau inilah rupanya, yang mengundang ratusan perahu berkumpul di satu titik. Berikutnya, tiap perahu yang ikut mengiringi pelarungan dibasuh dengan air laut. Bekal-bekal nasi kuning dan minuman dari daratan dibuka. Dalam kondisi mesin mati, tiap orang makan-makan di tengah laut. Minum dan menutup hidangan dengan buah jeruk. Semua berpesta. Beberapa mengabadikan dengan kamera ponsel yang dibawa, setelah makanan tandas tak bersisa.
 
markonah
Rangkaian acara Nadran berupa pelarungan kepala kerbau memang yang paling ditunggu-tunggu. Kata Markonah, ibu satu anak yang ikut bersama saya satu perahu, acara ini menjadi hiburan tersendiri. Semuanya gratis. Memang sebelumnya ada iuran warga. Tiap kepala keluarga ditarik Rp 20 ribu. Hal ini untuk membiayai semua urutan kegiatan. “Soale ora mung ngelarung endas kebo. Ana pentas sandiwara,wayang kulit karo pengajian juga,”kata Markonah.

Grup sandiwara Candra Kirana didatangkan dari Majalengka. Sementara grup wayang kulit Swara Muda cukup dari Cirebon. Sebuah panggung besar yang berdiri di sisi Kali Ciberes, menjadi pusat kegiatan. Berapa biaya untuk mengadakan tradisi Nadran saban tahun?”Sekitar 50 juta habis,”kata Casmun, anak muda yang mengemudikan perahu yang saya tumpangi. Saat saya datang, semua biaya Nadran dan bantuan perlengkapan nelayan sekitar Rp 300 juta di sumbang oleh PAN.
 
berkumpul di satu titik
Ketika matahari sudah di ubun-ubun kepala, semua perahu membubarkan diri. Perut-perut sudah kenyang. Beberapa ABG memang masih terlihat asyik berenang di laut. Mereka lantas dengan sigap menangkap ban di sisi perahu, dan naik tanpa kesulitan. Yang lain terus berselancar menggunakan dadanya,sambil berteriak-teriak kegirangan. Asap hitam sesekali mengepul dari mesin diesel yang menderu-deru, mendorong tubuh perahu menuju daratan.
 
memandikan perahu
Jujur, saya kagum dengan kemampuan berenang mereka. Tapi belakangan saya tidak heran, karena saat perahu mulai masuk ke sungai Ciberes, puluhan anak kecil dengan stereofoam mengambang berenang di sisi perahu, timbul tenggelam. Mereka enak saja bermain-main di sungai yang dalam, tanpa takut tertabrak perahu. Kata Markonah, laut sudah jadi sahabat mereka. “Dadi wis biasa. Ora heran maning,”ujarnya.

Dengan kepala cenut-cenut karena kepanasan, saya tinggalkan perahu dan ingar-bingar musik dangdut kampung nelayan Dusun Karang Bulu. Siang itu perut sudah mulai melilit. AC bus yang saya tumpangi bersama puluhan wartawan lain, tak mampu mengusir kliyengan di kepala, karena hempasan ombak yang menggoyang kapal yang baru saja saya naiki. Tapi melihat anak-anak muda berenang, remaja-remaja putri Dusun Karang Bulu berdandan,dan kepolosan Markonah, membuat keruwetan hidup di Jakarta seperti mencair.
 
bekal makanan

“Mang, aja kelalen inyong di foto ya?Ben mlebu koran,”canda Markonah sebelum berpisah. Jepret,jepret. Saya ambil beberapa foto. Gambar-gambar itulah yang seolah mengingatkan saya; ada dunia indah di dekat kita. Tempat di mana tidak ada kepentingan politik, persaingan kantor, trik kotor, dan tetek bengek problem hidup yang ruwet dan menjengkelkan di tiap jengkal Jakarta. Hidup ini sebenarnya indah, jika kita bisa menikmatinya dengan ceria, sebahagia Markonah dan anak-anak nelayan itu.Idilah, loken?

Wednesday, June 12, 2013

Kuliner Khas Betawi

Jika dirunut satu persatu, cukup banyak kekayaan kuliner masyarakat Betawi yang bisa dinikmati. Dari sekedar makanan ringan, lauk pauk hingga minuman yang menyegarkan. Ada yang sudah terkenal, tapi banyak juga yang kini semakin langka, karena kalah oleh jajanan modern.  Berikut beberapa diantaranya.

Sayur Gabus Pucung
Sayur gabus pucung merupakan makanan khas Betawi yang diturunkan dari generasi ke generasi. Makanan ini bahkan jadi bagian dari salah satu tradisi masyarakat Betawi, yaitu “nyorog”.Ini adalah tradisi masyarakat Betawi yaitu kewajiban menghantarkan makanan pada orang tua dari anak, atau menantu pada mertua. Biasanya dilakukan setiap menjelang bulan puasa atau lebaran.

gabus pucung
Meskipun tradisi ini sudah banyak ditinggalkan masyarakat Betawi, tapi ikan gabus pucung masih bisa dinikmati sebagian masyarakat Betawi dan non Betawi. Di masa lalu, menu sayur ikan gabus pucung ini juga menjadi menu khusus pada perhelatan atau jamuan penting, dan menjadi penarik selera. Pada saat ini gabus pucung dihadirkan pada acara kumpul keluarga, atau menyambut tamu khusus yang tidak berjumlah besar.

Asinan
Makanan yang satu ini terbilang unik atau berbeda dengan makanan khas Betawi lainnya. Hal ini karena proses pembuatannya dengan cara diacar yaitu melalui penambahan garam dan asam suka.  Rasanya yang khas, membuat makanan ini digemari. Isi asinan biasanya sayur-sayuran segar.

Racikan makanan ini konon berasal dari perpaduan budaya Betawi dan China. Nama asinan sendiri muncul dari proses merendam sayuran dan buah-buahan ke dalam larutan air dan garam. Makanan ini mirip dengan rujak, hanya saja jika rujak bahan yang disajikan segar, asinan bahan yang disajikan dalam keadaan diacar dan diasinkan.
sepiring asinan
Bahan asinan terdiri dari timun, sawi asin, tauge, kol,lobak dan potongan tahu. Ada juga sambal kacang dan diberi kucuran gula merah. Sebagai teman pelengkapnya, makanan ini dikasih kerupuk mie kuning dan kacang goreng yang membuat rasa asinan semakin bertambah nikmat.

Sayur Babanci
Sayur Babanci adalah salah satu makanan khas Betawi yang sudah hampir punah. Makanan ini sangat susah ditemukan di Jakarta saat ini. Wujud dari sayur Babanci seperti soto, tapi dengan kuah yang lebih kental. Bahan utamanya berupa daging, santan, kelapa sangrai, dan kelapa muda dengan bumbu-bumbu seperti kunyit, jahe, terasi, ketumbar dll.

Ciri utama makanan ini adalah serutan kasar kelapa muda di atasnya. Kelapa muda yang segar ini membuat rasa sayur menjadi lebih ringan. Tekstur kelapa muda ini juga bisa mengimbangi tekstur daging yang kasar. Dibutuhkan keahlian khusus untuk mengolah masakan ini, agar penyajian dan rasanya sempurna.

Salah satu alasan yang menyebabkan makanan ini langka, mungkin karena bahan-bahan untuk membuat Babanci semakin sulit ditemukan di Jakarta. Bahan-bahan itu misalnya temu mangga, kedaung, bangle, adas dan lempuyang. Babanci saat disajikan sebagai sayur ditemani oleh sejumlah lauk pauk lain seperti tempe, tahu dan krupuk. Bagi yang suka rasa pedas, dapat menambahkan sambal untuk menambah kelezatan makanan ini.

Laksa Betawi
Makanan khas Betawi ini juga jarang bisa ditemui di Jakarta. Namun begitu, dibeberapa lokasi tertentu masih bisa dijumpai.Laksa Betawi adalah panganan berjenis mie yang diberi bumbu. Laksa Betawi memiliki kuah berwarna kekuningan. Udang rebon yang dicampur ke dalam kuah, membuat rasanya menjadi segar dengan paduan aroma khas udang.

Selain itu, laksa Betawi biasanya menggunakan ketupat, telur, kemangi, tauge, kucai,bihun,perkedel dan bawang goreng.  Cara lain untuk menikmati laksa adalah menggunankan semur Betawi. Paduan rasa manis pada semur, akan menambah gurih di lidah. Namun ini bukan sebuah keharusan, karena tergantung selera masing-masing.

Ketoprak Betawi

Makanan tradisional Betawi ini cukup banyak penggemarnya. Potongan lontong, taburan tauge dan bihun yang dicampur dengan bumbu kacang yang kental cukup mengenyangkan untuk makan siang. Tak sulit untuk menemukan ketoprak, karena hampir di setiap sudut kota Jakarta ada penjualnya. Biasanya pedagang yang menjual ketoprak berkeliling dengan menggunakan gerobaknya. Tapi sekarang beberapa rumah makan pun menyediakan ketoprak sebagai salah satu menu mereka.

Ayam Sampyok
Ayam Sampyok, hidangan mewah Betawi kota dengan sentuhan cita rasa China yang menyelimuti daging empuk ayam. Perlu diketahui, dua layer proses “pembumbuan” dilakukan untuk mendapatkan rasa lezat Ayam Sampyok ini. Sehingga sedap hingga ke dalam ayam terasa terus hingga akhir santapan.

Kerak Telor
Kerak telor merupakan salah satu makanan khas daerah Betawi yang gampang di temui di arena Pekan Raya Jakarta. Makanan ini dibuat dari bahan-bahan seperti beras ketan putih, telur ayam atau bebek, ebi (udang kering) dan parutan kelapa yang disangrai kering,  bawang goreng, cabai merah, kencur, jahe, merica, garam dan gula pasir sebagai bumbu pelengkapnya.

Cara membuat makanan ini cukup unik karena tidak dimasak di atas kompor namun dimasak diatas bara api. Pedagang kerak telor sesekali membalikkan wajan agar permukaan dari kerak telor tersebut juga terpanggang dan matang merata sambil dikipas-kipas agar bara api tetap menyala. Setelah kering dan matang kerak telor siap untuk disajikan.

Roti Buaya
Buaya adalah binatang yang paling setia dengan pasangannya. Buaya berbentuk roti dalam masyarakat Betawi merupakan representasi dari kesetiaan. Oleh karena itu harus diberikan sepasang. Roti buaya ini berbentuk buaya kecil yang lucu. Sayang, roti ini mulai sekarang juga sudah susah mendapatkannya. Toko-toko roti lebih banyak menjual berbagai jenis roti dari luar daripada roti khas Betawi ini.


Kue Cucur
kue cucur
Kue berwarna coklat ini sering dijumpai di sekitaran Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi. Bagian tengah kue cucur biasanya lebih tebal daripada tepi-tepinya, yang kering berenda sehingga terasa gurih, manis dan renyah karena sedikit gosong.

Warna coklat kue cucur berasal dari gula merah yang membuat rasanya legit. Sebagai bahan dasar, kue ini terbuat dari tepung beras. Biasanya, di dalamnya ada semacam serat yang rasanya manis dan kenyal. Meski sudah mulai langka, tapi kue cucur masih bisa dijumpai di pasar-pasar tradisional.

Kue Akar Kelapa
Pernah mendengar kue akar kelapa? Kue tradisional khas masyarakat Betawi di Bekasi ini biasanya ditemukan saat Idul Fitri atau Lebaran. Makanan ini menjadi salah satu hidangan wajib disuguhkan saat hari raya. Sebagian orang Bekasi menyebutnya kue Procot. Dinamakan kue akar kelapa, karena bentuknya mirip akar kelapa. Sedangkan disebut kue Procot, karena saat digoreng adonannya diprocotkan atau dikeluarkan secara perlahan menggunakan tabung yang sudah dilubangi bagian ujungnya .
kue akar kelapa

Kue Pepe
Kue pepe biasanya dimakan sambil ditemani segelas kopi panas. Teksturnya lembut dan kenyal. Kue khas Betawi ini berlapis-lapis dengan warna menarik,membuat tampilannya makin cantik. Kue pepe atau kue lapis sagu ini rasanya manis dan lengket. Terbuat dari adonan tepung beras, tepung sagu, gula pasir dan santan. Agar terlihat lebih menarik,adonannya juga bisa diberi bermacam-macam warna.

Seperti kue lapis umumnya, kue berbentuk segi empat ini dikukus hingga matang. Dikalangan masyarakat Betawi, kue lapis sagu sering disajikan saat hajatan, tahlilan dan syukuran. Tampilannya memang mirip dengan kue lapis tapi adonan kue ini sedikit lengket, kenyal dan berwarna  cerah. Selain dijadikan camilan, kue pepe bisa juga dihidangkan untuk menu pencuci mulut. Kue ini juga banyak dijajakan di toko kue dan pasar tradisional.

Kue Rangi
Kue Rangi atau biasa disebut sagu Rangi terbuat dari tepung kanji dicampur dengan kelapa yang diparut kasar. Dahulu, orang memanggang kue Rangi dengan memanfaatkan api yang berasal dari kayu bakar atau arang. Alhasil, kue tersebut menjadi lebih wangi.

Kue Rangi adalah salah satu makanan khas Betawi yang juga mulai jarang didapatkan. Namun ada beberapa restoran dengan semangat melestarikan budaya Betawi, kembali memasukan kue ini dalam menu mereka. Kue ini  rasanya gurih karena mengandung parutan kelapa dan juga manis karena di permukaan ditaburi gula merah. Aromanya jangan ditanya, harum dan menggugah selera.

Dodol Betawi
Dodol yang legit ini sebenarnya tidak kalah pamornya dengan dodol Garut. Sayangnya tidak mudah menjumpai dodol Betawi di ibukota, hanya di kampung Dodol yang terletak di bilangan Kalibata, Jakarta Selatan saja. Kita akan mudah menjumpai dodol Betawi karena wilayah tersebut merupakan sentra produksi dan penjualan dodol Betawi.

Bir Pletok

Bir pletok adalah salah satu minuman khas Betawi. Embel-embel bir pada minuman ini bukan berarti mengandung alkohol. Bir pletok justru merupakan minuman kebugaran dari rempah alami yang memiliki beragam khasiat. Salah satunya, bisa mengatasi masalah sulit tidur alias insomnia.

Pada acara-acara adat Betawi, bir pletok biasanya disajikan bersama dengan camilan-camilan khas Betawi lainnya. Bir ini terbuat dari rempah-rempah seperti jahe merah, kayu angin, kayu manis, serai, kapulaga, dll. Minuman ini memiliki sensasi hangat ketika diminum dan cocok diminum malam hari atau pada saat udara dingin.

Es Selendang Mayang
Bagi masyarakat Betawi, tentu sudah tak asing lagi mendengar jenis minuman yang juga bisa mengenyangkan ini. Minuman ini dapat mengenangkan, karena bahan utama dari es selendang  mayang adalah tepung sagu dan tepung beras berbentuk kue seperti agar-agar serta disiram dengan santan yang gurih dan segar.

Warna merah atau hijau dari adonan kue yang disajikan dalam potongan kotak-kotak dan berpadu dengan warna putih santan, membuat tampilannya seperti selendang. Meski sudah mulai langka, tapi bagi penggemar kuliner Betawi, es selendang mayang masih bisa dijumpai di kawasan Kota Tua, Glodok dan kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara.

Es Doger
Es Doger banyak ditemukan di Jakarta. Minuman yang menyegarkan ini berisi es serut,tape singkong, ketan hitam ditambah sirup dan susu kental manis. Kadang-kadang ditambah juga roti tawar sebagai pelengkap, hingga rasa es doger semakin maknyus.


Tuesday, June 4, 2013

Pushtun

gadis suku Pushtun
Pernah berkunjung ke Negeri Jepang? Datanglah sekali-kali dan kagumi kreatifitas teknologi mereka dari yang paling remeh hingga teramat njlimet. Begitu saran seorang teman, yang tahu saya tak pernah menginjak negara Jepang. Gambaran soal kemajuan negeri matahari terbit itu memang hanya saya dapat lewat bacaan. Itupun dari majalah bekas yang dibeli di alun-alun Kota Tegal, Jawa Tengah, tempat saya sering nongkrong saat SMA dulu. Di situ ditulis, Jepang bangkit dari keterpurukan tak punya apa-apa setelah dibom atom, lewat peniruan dan pengembangan tak kenal lelah teknologi Barat.

Sesungguhnya, potensi kreatifitas bangsa kita tak kalah hebat. Memang semangatnya masih sebatas urusan ekonomi. Belum beranjak bagaimana menjadi pionir karena terinspirasi produk atau kultur dari negara lain. Buktinya, film atau album baru yang hari ini beredar di Amerika Serikat, besok sudah ditemui bajakannya di Glodok. Bahkan ada anekdot, jangan memasukan barang ke Indonesia. Nanti orang yang memasukan bisa-bisa ditiru juga! Luar biasa.

Ledakan kreatifitas menjadi penting, karena inilah daya yang menghidupkan segalanya. Di ranah apapun. Sunan Kalijaga menjadi wali tersukses di Tanah Jawa, karena gaya dakwahnya yang tidak kaku dan monoton. Tidak seperti ormas sekarang yang main gebuk jika berbeda dengan mereka. Sunan Kalijaga mengadopsi kesenian wayang dengan cerita Mahabaratta, diganti kisah-kisah sahabat Nabi Muhammad. Puji-pujian pada sang pencipta, diambil dari tembang-tembang Jawa, tapi dengan syair yang bercerita soal ketauhidan.

Jujur saja, daya kreatifitas positif ini pantas mendapat pujian. Seniman musik dan pencipta lagu kita merajai pasar Malaysia, karena dinilai lebih kreatif. Bahkan dalam soal gaya panggung, penyanyi Indonesia berhasil mengawinkan nilai-nilai agama dengan tuntutan komersial sebagai penghibur, dan itu tidak membosankan. Gaya berjilbab kini semakin variatif, dan mendukung penuh tampilan walau dalam panggung yang disesaki oleh ribuan pengunjung sekalipun. Kondisi ini seperti mendobrak pakem dunia hiburan sebelumnya, yang seolah-olah menahbiskan seorang penyanyi berjilbab seperti sedang tampil di acara 17 Agustus-an.

Fatin dan Dewi Sandra
Mungkin karena suasananya yang sudah kondusif, beberapa publik figur kini tak segan-segan memilih jilbab sebagai pakaian sehari-hari. Sudah tentu ini keputusan besar. Mereka dalam masa produktif dan masih basah kuyup di dunia hiburan. Karena banyak juga artis berumur dan menikmati masa tua, tapi tak berani untuk memilih jalan itu. Segala pilihan, tentu punya risiko dan di atas segalanya, inilah sebenarnya kemenangan kreatifitas yang memangkas keraguan jika dengan berjilbabpun, para artis itu bisa tampil trendy.

Sentilan keras bukan berarti tak ada. Memahami hubungan agama dan kultur masyarakat kita menjadi penting, agar kerangka berfikir kita tidak stereotif, “aku adalah aku dan dia bukan aku”. Padahal dalam beragama yang kaffah, kerangka fikir yang harus dikembangkan adalah “dia adalah aku, aku adalah dia”. Bukankah menjadi sesuatu yang aneh, saat memutuskan berjilbab, tapi sikap dan cara melihat sesuatu lantas tidak dirubah? Ada banyak contoh dan salah satunya “tradisi” cium pipi kiri dan cium pipi kanan (cipika cipiki) yang masih terus dilestarikan.

Cara pandang yang benar akan menghasilkan keputusan yang benar. Termasuk keyakinan, jilbab bukanlah busana penyelamat, saat seorang publik figur terindikasi tersangkut kasus korupsi misalnya. Keseharian berbusana seksi, tapi giliran dipanggil Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) jadi tertutup rapat dan berkerudung. Bukan soal citra Islam yang bakal tercemar. Al Islamu ya’lu wala yu’la alaih.Islam itu tinggi nilainya, dan tidak ada sesuatupun yang dapat menyaingi ketinggian nilai Islam. Ini hanya soal kepatutan. Sebab tanpa pikiran jernih, jatuhnya akan timbul prasangka dan pikiran negatif.

Kasus Luthfi Hasan Ishaaq (LHI) yang menyebut kata “Pushtun” dalam percakapannya dengan Ahmad Fathanah, tersangka kasus suap daging sapi impor menguatkan hal ini. Melihat sepak terjang Fathanah dengan beberapa wanita cantik, “Pushtun” lantas diasosiasikan sebagai hal negatif. Penghakiman tidak adil ini bahkan menyentuh ke wilayah sensitif, termasuk mereka yang memutuskan untuk mengenakan busana muslimah, tanpa motif-motif kebendaan. Sebagai publik figur, artis tentu yang paling rentan diasosiasikan prasangka negatif ini.

Hmmm....tersangka korupsi
Keteledoran LHI pantas disesalkan. Sebagai sebuah suku bangsa, perempuan-perempuan Pushtun di Afganistan justru sangat dijaga. Mereka tak bisa sembarangan bertemu laki-laki lain yang bukan muhrimnya. Konon untuk sekedar melihat kecantikan perawan Pushtun, seseorang yang berkunjung ke pemukiman mereka perlu hari keberuntungan. Tradisi ini terus hidup dan dihidupkan selama ratusan tahun, dan jadi “rusak” oleh kreatifitas segelintir orang kita. Entah bagaimana perasaan suku Pushtun, seandainya mereka tahu soal ini.

Jepang menjadi negara maju karena kreatifitasnya yang tinggi. Korea Selatan berhasil mengekspor industri kreatifnya karena inovasi. Dunia pertunjukan Indonesia,sudah bergerak dengan segala hal yang tidak dijumpai bahkan di Timur Tengah sekalipun, sebagai tempat kelahiran Agama Islam. Inilah kreatifitas terpenting yang tidak melanggar hukum, orisinil, alat syiar efektif dan menginspirasi jutaan anak muda untuk tidak malu-malu bergaya dengan hijab.  

Jika semua upaya itu kemudian “dirusak” oleh pemahaman yang keliru akibat tingkah beberapa orang, sudah saatnya pihak-pihak yang berkompeten turun tangan, sebelum semuanya  jadi salah kaprah dan susah diluruskan. Bukankah begitu?