Daftar Isi

Tuesday, May 28, 2013

Melongok Situs Gunung Padang

balok-balok di GN Padang
Balok-balok batu itu berserakan di mana-mana. Tidak hanya di puncak bukit tetapi juga di pesawahan, di sekitar rumah-rumah penduduk, bahkan diperkirakan masih tak terhitung jumlahnya tertanam di bawah bukit dan tanahnya yang amat subur. Lokasi situs ini berada di ketinggian 885 m dpl, di Gunung Padang, Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur.

Situs Gunung Padang adalah peninggalan megalitik terbesar di Asia Tenggara dengan luas bangunan purbakalanya sekitar 900 m² dan areal situsnya sekitar 3 Ha. Bangunan punden berundaknya berbahan bebatuan vulkanik alami dengan ukuran yang berbeda-beda. Tepat di puncak gunungnya, bebatuan tersebut berserakan dengan denah mengkerucut dalam 5 teras.

Diperkirakan batunya berusia 4000-9000 tahun SM (Sebelum Masehi). Situs megalitik ini sendiri berasal dari periode 2500-4000 SM. Ini berarti bangunannya telah ada sekitar 2.800 tahun sebelum dibangunnya Candi Borobudur. Bahkan, usia situs megalitik ini lebih tua dari Machu Picchu di Peru. Situs megalitik Gunung Padang diperkirakan sezaman dengan bangunan pertama Piramida di Mesir.

Batu dari Gunung Padang
Kata “padang’” dalam bahasa Sunda berarti caang atau terang benderang. Ada juga pengertian lain dari istilah “padang”, yaitu: pa (tempat), da (besar; agung), dan hyang (eyang; moyang; leluhur), dari ketiga kata tersebut kemudian kata ‘padang’ dimaknakan sebagai tempat agung para leluhur.

Bentuk situs Gunung Padang berupa tiang-tiang dengan panjang rata-rata sekitar 1 meter dan berdiameter rata-rata 20 cm, berjenis andesit, basaltik, dan basal. Geometri ujung batu dan pahatan ribuan batu besar dibuat sedemikian rupanya teratur berbentuk pentagonal (lima sudut). Angka 5 juga seakan memberikan identitas pemujaan bilangan ‘5’ oleh masyarakat Sunda dahulu kala. Hal ini membedakannya dengan Babylonia yang menganggap sakral angka 11 atau Romawi Kuno dengan angka 7.

Simbol ‘5’ tersebut mirip dengan tangga nada musik Sunda pentatonis, yaitu: da mi na ti na. Oleh karena itulah, selain kompleks peribadatan purba, banyak juga yang menyebut Situs Gunung Padang sebagai teater musikal purba.

Batu-batu andesit Situs Gunung Padang hanya dapat ditemui di sekitar Gunung Padang. Begitu menyeberangi Kali Cikuta dan Kali Cipanggulaan, tidak ada lagi batu-batu besi seperti itu. Masyarakat setempat percaya bahwa batuan andesit itu terlebih dahulu diukir di satu tempat yang kini disebut Kampung Ukir dan dicuci di satu empang yang disebut Kampung Empang. Hingga kini terhampar berserakan sisa-sisa ukiran batu purba tersebut. Kampung Ukir dan Kampung Empang berada sekitar 500 meter arah tenggara Situs Megalitik Gunung Padang.
  
Situs Gunung Padang pertama kali  termuat dalam Rapporten van de Oudheidkundige Dienst (ROD) atau Buletin Dinas Kepurbakalaan pemerintah Hindia Belanda pada 1914. Seorang sejarawan Belanda ternama yaitu N. J. Krom sempat menguraikannya tetapi belum banyak keterangan lebih lanjut mengenai informasi keberadaannya. Kajian arkeologi, sejarah, dan geologi kemudian dilakukan Puslit Arkenas sejak 1979. Tidak ditemukannya artefak berupa manik-manik atau peralatan perunggu menyulitkan penentuan umur situs ini. Hal itu karena mayoritas artefak megalitik di Indonesia dan Asia Tenggara ditemukan pada masa kebudayaan Dongson (500 SM).

Para arkeologi sepakat bahwa Situs Gunung Padang bukan merupakan sebuah kuburan seperti dinyatakan oleh Krom (1914) tetapi merupakan sebuah tempat pemujaan masyarakat Sunda Kuna. Selain itu, situs ini juga dibangun dengan posisi memperhatikan pertimbangan geomantik dan astromantik. Analisis dengan planetarium yang dilacak hingga ke tahun 100 M menunjukkan bahwa posisi Situs Gunung Padang pada masa prasejarah menunjukan berada tepat di bawah langit yang lintasannya padat bintang berupa jalur Galaksi Bima Sakti.

Legenda Prabu Siliwangi
Berbeda dengan para arkeolog, masyarakat setempat meyakini bahwa reruntuhan bebatuan ini berkaitan dengan upaya Prabu Siliwangi dari Kerajaan Padjadjaran yang ingin membangun istana dalam semalam. Bersama pasukan dan masyarakatnya mengumpulkan balok-balok batu alami dari sekitar Gunung Padang. Akan tetapi, sayang upaya tersebut gagal karena fajar telah menggagalkannya sehingga bebatuan itu dibiarkan berserakan di atas bukit.

Asumsi tersebut diyakini karena peninggalan prasejarah ini berupa bebatuan yang sama sekali belum mengalami sentuhan tangan manusia atau belum dibentuk oleh tangan manusia. Selain itu ditemukan juga guratan senjata kujang dan ukiran tapak harimau pada dua bilah batu. Argumentasi ini dikuatkan dengan bentuk monumental megalit dan catatan Bujangga Manik, yaitu seorang bangsawan dari Kerajaan Sunda dari abad ke-16 yang menyebutkan suatu tempat yaitu Kabuyutan (tempat leluhur yang dihormati orang Sunda) berada di hulu Sungai Cisokan yang berhulu di sekitar Gunung Padang. Namun Bujangga Manik juga menulis bahwa situs ini sudah ada sebelum Kerajaan Sunda.

Uniknya, penduduk setempat menjuluki beberapa batu yang terletak di teras-teras itu dengan nama-nama berbau Islam. Misalnya ada yang disebut meja Kiai Giling Pangancingan, Kursi Eyang Bonang, Jojodog atau tempat duduk Eyang Swasana, sandaran batu Syeh Suhaedin alias Syeh Abdul Rusman, tangga Eyang Syeh Marzuki, dan batu Syeh Abdul Fukor.

Melihat bentuknya, bangunan punden berundaknya mencerminkan tradisi megalitik (mega berarti besar dan lithos artinya batu) seperti banyak dijumpai di beberapa daerah di Jawa Barat. Untuk mengeksplor lebih dalam, Andi Arief yang juga staf khusus presiden bidang bantuan sosial dan budaya  mengkoordinir Tim Terpadu Penelitian Mandiri Situs Gunung Padang Cianjur—sebelumnya bernama Tim Katastropik Purba—karena diduga bangunan itu berbentuk piramida. Setelah melakukan pengeboran secara diam-diam, tim menemukan atap, lorong, dan material pasir di kedalaman 26 meter terkubur di Gunung Padang, Cianjur, Jawa Barat. Penemuan itu membuktikan gambar yang dihasilkan dari pemetaan geolistrik berupa piramida itu untuk sementara ini benar.

Teka-teki Orkestrasi Musik
Situs Gunung Padang tak hanya memunculkan teka-teki seputar kebudayaan masa lalu yang telah membuatnya. Peneliti dari Bandung Fe Institute bahkan menemukan di sudut belakang bagian timur undak pertama ada sejumlah batu yang tersusun sedemikian rupa. Karena dengan memukulnya akan terdengar suara nyaring berfrekuensi tinggi bagaikan nada-nada.

Peneliti Fe Institue, Hokky Situngkir mengungkap bebatuan tersebut seolah menjadi sebuah alat musik litofonik purba. Tapi berbeda dengan berbagai artefak litofonik warisan megalitik yang juga ditemukan di banyak negara di kawasan Asia Tenggara, ukuran dari artefak ini jauh lebih besar dimensinya. Dengan menggunakan analisis fast fourier transform, Hokky dkk memetakan nada-nada yang dicurigai sampel frekuensinya ke tangga nada barat dan ditunjukkan pengerucutan pada empat nada yakni ‘f’-'g’-'d’-'a’. Menurut dia, mayoritas batuan yang disampling tidak menghasilkan bunyi yang frekuensinya dapat diklaim sebagai ‘nada’ tertentu.


Tangga nada dalam pengelompokan batuan itu lazim digunakan dalam musikologi modern. Fakta ini menunjukkan bahwa sangat mungkin tradisi megalitik di situs Gunung Padang telah mengenal instrumen musik. Memang dari sisi urutan nada-nada yang diperoleh belum sempurna untuk dapat dikategorikan sebagai pentatonic scale ataupun heptatonic scale. Ada dugaan nada-nada yang hilang tersebut kemungkinan ada di batuan yang sebagian terpendam tanah di sekitar batuan yang menghasilkan frekuensi tinggi.

Soal musik ini masih menjadi teka-teki, apakah batu yang jadi sumber bunyi itu merupakan artefak litofon yang telah ditemukan di banyak tradisi megalitik lainnya. Jika memang batuan ini dijadikan alat musik, maka peradaban yang membangunnya telah mengenal pola orkestrasi atau permainan musik dengan berkelompok.

Apalagi kawasan situs ini memiliki ketinggian 983-989 di atas permukaan laut atau relatif jauh lebih tinggi dari kawasan sekitarnya. Hokky dkk menduga, bukan tidak mungkin bunyi-bunyian dari batu itu dijadikan sebagai pemberi aba-aba atau informasi di kawasan bawah situs dengan tipe punden berundak itu.

Tidak dipotong-potong
Berbeda dengan pendapat jika batu-batu itu dibentuk, ada pendapat lain jika Situs Gunung Padang dibangun dari batu-batu yang ada, tanpa sentuhan tangan manusia. Menurut Guru Besar Universitas Indonesia dan arkeolog senior, Mundardjito, para pembangun punden berteras lima itu mengambil bebatuan dari situs itu kemudian menempatkan sesuai fungsinya di bangunan itu.

Ini artinya, pembuatannya tidak seperti Candi Borobudur yang mendapatkan sumber bebatuan dari tempat lain kemudian dipotong berbentuk persegi sesuai ukuran yang dibutuhkan. Fakta ini mematahkan pendapat bahwa si pembangun Situs Gunung Padang menumpuk dan menyusun batu-batu itu dari bawah sampai ke atas hingga menjulang setinggi seratus meter.

Soal pernyataan Tim Terpadu Penelitian Mandiri tentang adanya ruangan di dalam Gunung Padang dari hasil pemindaian dengan geomagnetik dan geolistrik, ada seorang geolog yang menjelaskan bahwa sebenarnya itu bukan ruang, melainkan tanah lembab atau lempung. Sebelumnya, warna biru sesuai hasil pemindaian Tim Andi Arief diduga adalah ruangan bawah tanah di Situs Gunung Padang.

Penelitian tim lain juga mencatat berbagai bentuk kerusakan di situs Gunung Padang. Kerusakan memang bisa disebabkan oleh alam, namun peran manusia—pengunjung dan masyarakat—juga sangat besar dalam proses perusakan itu. Sebagai upaya pelestarian  ada usul penetapan tiga zonasi perlindungan.

Zona Inti yang merupakan area pelindungan utama untuk menjaga bagian terpenting cagar budaya seluas 9.000 meter persegi. Zona Penyangga, suatu area yang melindungi zona inti seluas 129.000 meter persegi. Kemudian Zona  Pengembangan, berfungsi melindungi lanskap alam dan budaya, kehidupan budaya tradisional, keagamaan, rekreasi dan kepariwisataan seluas 153.800 meter persegi.

Lalu, berapakah usia sesungguhnya situs Gunung Padang ini? Fakta awal Gunung Padang adalah gunung api purba. Batuan kekar kolom merupakan hasil dari tenggorokan gunung api. Berdasar penelitian lewat pertanggalan C-14 terhadap sisa material yang ditemukan di aliran sungai sisi barat Gunung Padang, bahwa pernah terjadi longsoran sekitar 5.300 tahun silam. Sementara budaya megalitik muncul dan berkembang pertama kali di Bumi sekitar 2500 - 1500 sebelum masehi. Mana yang benar?Penelitian hingga kini masih berlangsung. Jadi,tunggu saja.


No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas kunjungan anda!