Daftar Isi

Monday, May 20, 2013

KAOS


Ada satu moment “menjijikan” saban kali peluit panjang wasit menandai berakhirnya pertandingan sepak bola. Beberapa pemain terlihat bertukar kaos,  menggegamnya erat-erat, seolah tak mau kehilangan barang berharga itu. Ritual ini, dalam beberapa hal memang seperti menghapus segala perseteruan yang baru terjadi. Seorang pemain bintang, kadang tak melulu menukar kaosnya sebagai tanda berakhirnya kompetisi, tapi juga karena sang kaos jadi rebutan sebagai cedera mata pemain lawan yang mengaguminya. Tak peduli, kaos itu sudah basah dan menguarkan bau tak sedap.

Sebagai penikmat bola amatiran, saya kadang tak habis pikir dengan “upacara” itu. Buat apa kaos bau ketek ditukar-tukar, atau bahkan diperebutkan, seperti yang terjadi saat David Beckam bertandang ke Senayan tempo hari? Bukankah jersey serupa bisa dibeli, dari kelas yang original hingga yang berharga Rp 35 ribu, dengan jaminan masih baru dan tidak bau?Belakangan setelah saya ngobrol dengan seorang bekas pengurus PSSI, ritual itu memang memiliki banyak makna. Salah satunya, kompetisi boleh saja berlangsung sengit dan keras. Tapi setelah semua usai, mereka semua, kita semua sesungguhnya bersaudara.

Makna ini memang terasa indah, jika diresapi dalam-dalam tak hanya di dunia olahraga. Saya tergelitik untuk menghubungkannya dengan fenomena belakangan, dimana para artis sedang berlomba-lomba memakai kaos partai. Ada yang berseragam merah, biru, hijau atau kuning. Saat ini, kaos telah membuat mereka “berjarak”. Si A adalah kita, dan si B adalah mereka. Kompetisi sengit yang bakal dihelat di 2014 nanti, sudah mulai terlihat dengan berbagai manuver, dengan alasan yang hampir seragam; ingin memperbaiki kondisi bangsa.

Ada artis yang tetap setia dengan seragam kaos sebelumnya. Tapi beberapa terlihat berganti kaos, karena mendapat tawaran yang lebih menarik dari partai sang pemilik kaos. Mirip seperti pemain bola profesional, yang jika tak betah akan segera hengkang untuk mengenakan jersey baru. Kaos menjadi identitas baru, sekaligus sumber kebanggaan karena berhasil masuk dalam komunitas tertentu. Tak cuma sebagai anggota dewan,”kaos” dalam hal jabatan yang lebih tinggi juga menarik untuk jadi rebutan.

Saat Rieke Dyah Pitaloka ada isu hendak mencalonkan diri sebagai Calon Gubernur Jawa Barat, saya sempat menanyakannya kenapa harus “mengkhianati” konstituen yang telah mengantarkannya ke Gedung Dewan.  Saat itu, Rieke mencoba meyakinkan jika niatnya untuk maju “nyagub” baru sebatas wacana. Kebetulan belum lama Rano Karno meninggalkan kursi Wakil Bupati Tangerang, untuk memburu jabatan lebih tinggi sebagai Wakil Gubernur Banten. Langkah Rano itu sempat membuat saya berdebat kecil dengan Si Oneng, soal banyaknya politisi yang lebih bernafsu memburu kekuasaan, daripada merampungkan amanah yang dibebankan masyarakat hingga tuntas.
kaos partai siap dijual
Posisi sebagai selebritas, dalam banyak hal memang menguntungkan artis saat hendak terjun di dunia politik praktis. Pramono Anung dalam risetnya bahkan menyebut, artis sebagai figur yang paling kecil mengeluarkan ongkos politiknya, karena nama mereka yang sudah dikenal. Dalam posisi seperti itu pun, mereka masih kerap diberi keistimewaan, dengan ditanggung seluruh biaya kampanyenya. Ini sungguh-sungguh terjadi dan bukan isapan jempol belaka. Partai politik tak peduli dengan latar belakang si artis. Entah tak tamat SMA atau populer hanya karena gosip-gosipnya semata.

Apresiasi tentu pantas disematkan pada artis yang mau belajar, dan akhirnya mereka jadi melek politik. Tapi gugatan juga harus dilayangkan, pada artis yang selama lima tahun jadi anggota DPR tapi tak pernah sekalipun ngomong politik di depan media. Giliran ngomong, malah soal rencana cerainya. ”Kaos” yang mereka pakai, seolah hanya formalitas agar tak di cap pengangguran terselubung, karena berkurangnya job di dunia hiburan. Lebih mengenaskan lagi, jika semua itu dilakukan karena memang kapasitas mereka yang tidak memadai sebagai anggota dewan.

Sistem pemilihan langsung telah menjungkirbalikan akal sehat kita, sampai-sampai ada kekhawatiran akan muncul oilgarki-oligarki baru. Jabatan publik dikuasai oleh keluarga dan golongan tertentu, karena kekuatan uang dan pengaruh. Masyarakat pun dinilai semakin pragmatis. Tak peduli misi dan visi, jika sudah menyumbang pembangunan mushola, maka pilihan gampang dijatuhkan. Kondisi ini, telah menutup rapat figur cerdas dan punya idealisme tinggi untuk berkiprah di dunia politik, karena asupan “gizi”nya yang seret.

Laiknya semangat sepak bola, korps artis memang paling sedikit menonjolkan “kaos”nya setelah kompetisi berakhir. Ini positif. Mereka masih merasa senasib sepenanggungan, walau berada dalam partai berbeda. Jarang terjadi saling serang, atau sikap bermusuhan sekalipun itu di depan layar gelas. Keadaan ini berbeda pada politisi yang berangkat dari background lain, terutama para pengusaha lebih-lebih aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM).

Tentu saja undang-undang memberi jaminan dan hak yang sama pada tiap warga negara, apapun profesinya untuk berkiprah di dunia politik. Jika segala kemudahan didapatkan kelompok artis, itu adalah berkah Tuhan yang harus disyukuri. Namun berkah itu rasanya terlalu dikesankan aji mumpung, jika mereka berangkat dengan bekal minim dan kemampuan seadanya.  

Saat para artis itu telah berhasil mentransfer nilai-nilai sportivitas usai kompetisi 2009 lalu, akan lebih elegan lagi jika mereka juga meniru persiapan matang seorang pemain bola dengan latihan kerasnya, agar level permainannya bisa meningkat lebih tinggi lagi. Tantangan zaman berubah. Persoalan bangsa terus menjadi-jadi. Dengan kemampuan mumpuni, yah, selain agar tidak malu-maluin, siapa tahu “kaos” yang mereka pakai benar-benar menjadi jersey kebanggaan. Bukan sekedar alat kamuflase karena di dunia hiburan nama mereka sudah mulai redup.Tabik...   




No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas kunjungan anda!