Arya dan Adi Bing Slamet |
Syahdan, dunia menjadi gempar saat berita
kematian Marilyn Monroe tersebar luas. Seorang bintang tenar yang sedang berada
di puncak popularitas, ditemukan sekarat karena dugaan over dosis. Marilyn
meninggal di usia 36 tahun. Hingga kini, kontroversi kematiannya masih terus
terjadi. Benarkah ia bunuh diri?Atau Marilyn sengaja dibunuh karena dianggap
membahayakan karir politik Presiden John F. Kennedy (JFK) dan saudara laki-lakinya
Robert F. Kennedy?
Saat Marilyn meninggal 5 Agustus 1962,
dunia hiburan Hollywood tentu belum semaju sekarang. Tapi sudah jadi rahasia
umum, jika perempuan berambut blonde itu pernah jadi “cem-ceman” JFK. Seturut kemajuan dunia medis, kesimpulan awal jika Marilyn sengaja
mengakhiri hidupnya memang tak berubah. Belakangan langkah Marilyn juga
“ditiru” pesohor-pesohor Amerika yang lain, seperti pentolan grup Nirvana, Kurt
Cobain. Ia mati setelah menembak kepalanya sendiri, ditengah rencana perceraian
dengan istrinya.
Selebritas Indonesia, bersyukur masih kuat
mental menghadapi tekanan hidup, yang kadang sudah diluar rasio. Catatan sendu
barangkali hanya ditorehkan saat bintang lawas Marlia Hardi nekad menggantung diri karena
belitan hutang dari rentenir yang tak kunjung usai.Sejujurnya dengan pendekatan
apapun, kisah-kisah tragis bintang Hollywood itu susah dipahami, hingga tak
aneh latar belakang dari perbuatan nekad itu hingga kini masih buram.
Popularitas, puja-puji, limpahan materi dan kemuliaan hidup telah mereka
dapatkan. Mereka juga bukan bintang yang tiba-tiba nongol dan menuai berkah
dari keajaiban publikasi. Tapi kenapa mereka melakukan itu?
Mungkin masalahnya tidak sesederhana itu.
Bagi orang awam yang belum pernah mencicipi dunia yang penuh ektravaganza,
bintang-bintang itu seperti hidup di atas menara gading. Semua serba dilayani.
Tak aneh, ribuan anak muda bermimpi untuk menggapainya. Jika pun anaknya tak
mau, orang tuanya kadang yang punya obsesi besar agar sang anak bisa popular.
Bukan rahasia lagi, segala cara ditempuh, bahkan bila perlu mengeluarkan biaya
pribadi untuk sekedar bisa bikin video klip atau mendapat peran kecil di sebuah
pentas drama atau sinetron. Bagi yang beruntung, bisa lewat “jalan tol” bernama
kontes-kontesan, atau yang sedang in sekarang, tingkah konyol
di Youtube atau depan kamera.
Otak pebisnis hiburan adalah menangkap
momen. Siapa yang sedang naik, langsung ditangkap. Kadang dengan sedikit
perjudian. Ini yang terlihat, ketika akhir-akhir ini tayangan-tayangan
infotainment dipenuhi teriakan “Demi Tuhaaaaan” Arya Wiguna, bekas anak buah Eyang Subur. Dulu ada Sinta dan
Jojo (Sinjo), serta Norman Kamaru. Saya tidak ingin memastikan, durasi Arya
Wiguna paling setali tiga uang dengan Sinjo dan Norman Kamaru. Laiknya
gelembung sabun, mengembang sebentar lantas meletus, segera dilupakan orang.
Faktor terpenting dari hikmah popularitas
adalah cara mensyukurinya. Entah populer hasil kerja berdarah-darah, atau
ketiban sampur karena rencana Tuhan. Sebab, saat popularitas itu dimasukan ke
dalam hati, sakitnya bukan kepalang, ketika dicabut Yang Maha Kuasa. Coba anda
tanya bagaimana perasaan bintang besar, yang sempat berjaya di era
2000-an misalnya, kemudian diceukin tatkala berada di antara kerumunan
wartawan, karena para jurnalis lebih suka menyapa dan mewawancara artis muda
yang segar, ranum dan cantik. Sakit sekali. Seperti diasingkan di
planet Mars.
Tidak ada yang salah dengan pelaku
industri hiburan. Hukum ekonomi berlaku ketat. Siapa yang tak lagi mendatangkan
fulus, bakal ditendang. Arya Wiguna mungkin masih merasa ini masanya. Ini
saatnya untuk menikmati puja-puji, diajak foto bareng, ditawari kontrak
rekaman, atau digaet untuk jadi calon wakil bupati. Apakah keliru? Jangan salah,
ekspektasi publik kadang diluar kemampuan si bintang, hingga popularitas dalam
diri beberapa orang justru menjadi penjara budaya. Michael Jackson
habis-habisan mengonsumi obat kuat, agar shownya bisa berlangsung perfect.
Akibatnya, Jacko meninggal dunia.
Selain soal attitude, belum
masalah benda-benda yang menempel di badan. Saat job masih lancar, duit
mengalir, mungkin itu tak masalah. Tapi, usia popularitas jika tak pandai menjaganya bisa-bisa hanya seumur jagung. Jika tak kuat menahan segala tekanan
itu, obat-obatan atau pelatuk pistol rawan dipilih sebagai solusi. Intinya,
tidak gampang berenang diantara awan-awan popularitas. Kerinduan untuk menjejak
bumi lepas dari segala atribut keartisan kerap meggoda, tapi situasi dan
kondisi sering menahannya. Ini bikin stress.
Arya Wiguna dan belakangan Sefty
Sinustika, istri si playboy Ahmad Fatonah, tahu benar kesempatan tidak datang dua kali.
Saat moncong kamera terus bertubi-tubi ingin mengambil gambarnya, ini adalah
potensi yang bisa mendatangkan keuntungan finansial yang besar. Mereka sedang
dipeluk Dewi Fortuna. Soal ada yang sudah bosan melihat lagaknya yang alay (pinjam
istilah ABG sekarang), itu masalah lain. Namun jika membaca peta
persaingan super ketat yang terus berlangsung, “Demi Tuhaaaaaan” bukan itu cara
bijak untuk mensyukuri keberuntungan mereka. Kecuali kalau Arya ingin,
keberadaannya di pentas dunia hiburan cepat-cepat ditarik dari orbit edar,
karena publik sudah tak menyukainya lagi. Habis, cuma bisa teriak-teriak "Demi
Tuhaaaan" doang…
No comments:
Post a Comment
Terima kasih atas kunjungan anda!